Haya duduk termenung di taman belakang kantor polisi. Ia sedang menikmati burger dan coca cola sendirian. Pikirannya melayang kemana-mana.
Sudah hampir tiga bulan ia bekerja di bawah Divisi Barang Hilang. Dan sudah tiga bulan pula ia mencari peluang atau informasi tes untuk masuk Divisi Inteligen. Tapi sampai sekarang informasi tes itu belum muncul di papan pengumuman kantor polisi.
Sebenarnya bekerja di Divisi Barang Hilang tidak seburuk yang dipikirkannya. Rekan kerja satu divisinya cukup ramah dan ketua divisinya, Kapten Alan juga humoris. Intinya lingkungan kerjanya baik-baik saja.
Tapi Haya masih belum terima dirinya di tempatkan di sebuah divisi yang tidak memerlukan kemampuannya sebagai seorang polisi. Di Divisi Barang Hilang, Haya hanya mencatat laporan-laporan warga yang kehilangan barang, mulai dari kehilangan hewan peliharaan, sepeda motor, surat berharga dan smartphone.
Divisi tempatnya bekerja sama sekali tidak ada kasus besar, perkelahian fisik ataupun tembak-menembak. Padahal alasan Haya ingin menjadi polisi karena ingin memecahkan kasus besar dan menggunakan kemampuan berkelahinya untuk menangkap penjahat.
"Haya," sebuah suara menyapa. Itu Erika.
Erika adalah sahabat Haya selama di akademi. Kini, Erika juga bekerja di Kantor Polisi Pusat DKI Jakarta tapi di divisi yang berbeda. Gadis itu bekerja untuk Divisi Informasi dan Teknologi.
Erika adalah tipikal gadis manis yang ramah. Ia memiliki rambut keriting, mata hitam jernih dan hidung mungil. Mata hitamnya dihiasi sebingkah kacamata persegi. Bagi orang yang belum mengenal Erika pasti mengira sahabatnya ini culun. Padahal Erika ini hebat banget. Dia memang ahli di bidang IT dan menguasai dunia per hacker-an.
"Ngapain di sini? Kok gak makan siang di kantin sama anggota divisi lainnya?" tanya Erika sambil membawa sebungkus kentang goreng.
"Aku lagi pengen sendirian," kata Haya lemas.
"Ayolah, masuk Divisi Barang Hilang gak seburuk itu. Aku dengar Divisi Inteligen malah bikin kamu gak bisa pulang ke rumah. Terlalu banyak kasus yang mereka kerjakan sekarang," Erika berusaha menghibur Haya.
Erika paling tahu kalau sahabatnya ini mengincar Divisi Inteligen sejak mereka masih duduk di bangku akademi. Gara-gara itulah, Haya bekerja keras selama di akademi.
Sayangnya ketika masuk bekerja di kantor polisi, Haya langsung di tempatkan di divisi yang paling dihindari gadis itu. Meski performa kerja Haya tidak buruk selama di Divisi Barang Hilang, gadis itu kerap uring-uringan di depan Erika.
Lalu Erika dan Haya melanjutkan makan dengan diam.
"Oh ya, aku dengar dari anak-anak divisiku, Ethan, senior kita itu masuk ke Divisi Inteligen di tahun pertama bekerja di sini. Keren gak sih? Sejak di akademi dia emang terkenal menonjol. Gak heran langsung masuk Divisi Inteligen," cerita Erika.
"Kok bisa?" mendadak Haya tertarik dengan cerita Erika.
"Katanya dia mengajukan diri ke Mayor Agung. Dia minta di tes untuk bisa masuk Divisi Inteligen," lanjut Erika bersemangat.
Mendengar perkataan Erika, Haya serasa mendapat angin segar. Ternyata ia masih punya kesempatan untuk berpindah ke Divisi Inteligen!
"Makasi banyak, Erika," Haya memeluk sahabatnya erat-erat. "Aku mau menemui Mayor Agung sekarang."
Erika bingung dengan perilaku Haya. Tadi wajahnya sedih dan ditekuk. Sekarang wajah Haya sudah berubah cerah seperti matahari.
"Buat apa?" tanya Erika.
"Aku mau mengajukan diri untuk masuk Divisi Inteligen," jawab Haya senang. Lalu ia bangkit berdiri dan berlari menuju ke lantai 5 tempat Mayor Agung bekerja.
Sesampainya di lantai 5, Haya menuju ruangan besar yang terletak di sayap kanan. Di sana ada sebuah ruangan besar kaca dengan papan nama diatas pintu bertuliskan "Mayor".
Haya mengetuk pintu. Lalu ia di sambut oleh sekertaris Mayor Agung. Di dalam ruang tersebut terdapat 10 orang staf yang duduk bekerja. Sepertinya mereka adalah tim internal Mayor Agung. Sekertaris Mayor Agung mengizinkan Haya untuk masuk ke ruang kerja Mayor Agung.
Haya menarik napas. Selama bekerja di kantor polisi, belum pernah sekalipun ia bertemu dengan Mayor Agung. Pria itu adalah kepala yang mengawasi kantor polisi. Kurang lebih Mayor Agung adalah atasan tertinggi Haya di Kantor Polisi Pusat DKI Jakarta.
"Permisi," Haya mengetuk pintu dan masuk.
Seorang pria berumur 50 dengan rambut putih sedang duduk di meja kerjanya membaca setumpuk dokumen.
"Silahkan duduk," Mayor Agung mempersilahkan Haya duduk.
"Permisi, saya Officer Haya dari Divisi Barang Hilang, Pak," Haya memperkenalkan diri.
"Baik. Ada perlu apa Officer Haya ke sini?"
"Pak, bolehkah saya mengajukan diri untuk berpindah ke Divisi Inteligen?" tanya Haya sopan.
Mayor Agung menaikkan kacamatanya.
"Kenapa ingin berpindah?" Mayor Agung balas bertanya.
"Karena saya punya kemampuan untuk bergabung dalam Divisi Inteligen, Pak," kata Haya jujur.
Mayor Agung melepaskan kacamatanya. Ia memandang Haya lurus-lurus.
"Officer Haya, masuk ke Divisi Inteligen itu tidak hanya butuh kemampuan semata. Divisi itu menangani kasus-kasus besar. Butuh keberanian dan pengalaman kerja yang mumpuni untuk bergabung dalam divisi itu," Mayor Agung menjelaskan.
"Setahu saya, pangkat officer belum diijinkan untuk masuk ke divisi itu. Kecuali kamu berhasil membuat sebuah prestasi gemilang barulah diijinkan bergabung ke Divisi Inteligen."
Haya sedikit kecewa mendengar penolakkan Mayor Agung.
"Tapi bolehkah saya mengajukan diri untuk tes masuk Divisi Inteligen?" Haya berusaha menawar.
"Boleh. Tapi tesnya baru ada tahun depan," jawab Mayor Agung singkat.
"Saya mengerti. Terima kasih, Pak," Haya memberi hormat dan keluar ruang kerja Mayor Agung dengan lunglai.
Haya berjalan kembali ke divisinya. Di depan pintu divisi, Erika sudah menunggunya dengan cemas.
"Jadi gimana? Apa kata Mayor Agung?"
Haya tidak bersemangat. "Intinya aku gak di bolehin masuk Divisi Inteligen."
Mendengar nada kecewa Haya, Erika ikut sedih.
"Mayor Agung bener. Mana boleh officer yang baru kerja tiga bulan masuk Divisi Inteligen," celetuk salah satu senior laki-laki Haya di Divisi Barang Hilang, Roi. Ia rupanya menguping pembicaraan Haya dan Erika.
"Lagian, kamu itu perempuan, Haya. Agak susah sih kalau perempuan mau masuk ke sana," celetuk senior yang bernama Ajun.
"Emangnya kenapa kalau aku perempuan?" Haya mulai nyolot.
"Ya perempuan biasanya kurang pandai buat menyelidiki kasus besar. Toh kerjaanmu di Divisi Barang Hilang udah paling pas. Gak perlu lembur, kejar-kejaran sama penjahat apalagi berkelahi. Gak cocok banget lah buat orang kayak kamu, Haya," lanjut Ajun.
"Lagian isinya Divisi Inteligen itu cowok semua. Nanti kamu malah di godain mereka. Cowok-cowok di sana itu suka menjadikan cewek cantik target mangsanya," kata Roi dengan tatapan mesum.
Haya sangat kesal. Dia merasa kedua senionrya sudah meremehkannya habis-habisan! Apa salahnya menjad seorang perempuan yang ingin masuk Divisi Inteligen? Meski dia seorang perempuan, Haya adalah murid dengan nilai yang bagus di akademi!
Kedua seniornya tertawa.
Haya langsung berkacak pinggang dan berniat memukul kepala kedua seniornya. Untung Erika mencegah.
"Udah deh. Jangan cari gara-gara sama senior," bisik Erika.
Mata Haya masih penuh kemarahan.
"Awas kalian berdua! Aku akan tunjukkan kalau perempuan sepertiku bisa masuk Divisi Inteligen! Toh aku pede sama kemampuanku. Gak kayak kalian yang kerjanya cuman nyiyirin perempuan! Bilang aja kalian iri dan gak punya kemampuan untuk masuk Divisi Inteligen!"
Haya lalu meninggalkan Divisi Barang Hilang selama seharian. Dia tidak peduli kalau Kapten Alan akan menelpon mencarinya. Bodoh amat!
Kalau kalian punya saran tentang cerita ini, bisa tulis di kolom komentar lho. Penulis akan senang membaca saran dan masukan dari kalian :)