Dua bulan sebelum ulang tahun Aksa yang ke tiga, aku udah berhasil lulus kuliah. Artinya aku sudah wisuda saat itu. Kami merayakan wisudaku dengan meriah, meski cuma ada orang-orang terdekat aja.
Ya contohnya Angga, Aksa,Tika dan Dwiki. Nggak ada Bapak dan Ibu, karena mereka udah meninggal. Well, Bapak meninggal karena memang udah waktunya Bapak pergi. Itu terjadi ketika Aksa baru berumur tiga bulan. Sedih memang, tapi itu adalah takdir yang nggak bisa dihindari.
Ah, balik lagi ke acara wisuda. Angga cuti demi bisa datang ke acara wisudaku. Dwiki juga menyempatkan diri hadir. Tentu aja ada Aksara Tedjo kesayanganku.
Ini pertama kalinya aku bawa dia ke lingkungan kampus. Dan memang selama ini nggak pernah ada yang lihat dia sih.
Kata Angga nggak usah show off. Biar aja mereka nggak lihat Aksa, toh nggak ada untungnya juga buat Aksa ketemu sama mereka.
Ketika sedang keluar dari toilet, aku dihadang sama Alif. Dia juga bareng sama aku wisudanya. Of course, dia ditemani orangtuanya dan sang pacar kesayangan, Selly.
"Dia anak gue?" dengan entengnya dia tanya kayak gitu.
Aku sih lebih memilih untuk nggak jawab pertanyaan dia. Ya secara biologis sih anak dia, karena dia penyumbang sperma. Tapi jelas aku nggak akan mengakui hal itu untuk dia.
"Jawab pertanyaan gue." dia mencekal lenganku, menghentikan langkahku. "Dia anak gue?"
"Atas dasar apa lo klaim dia anak lo?" tanyaku balik.
"Lo bilang dia anak gue. Lo juga minta pertanggungjawaban gue dulu." Alif ngomongnya yakin banget.
Tatapan tajam kuberikan ke Alif. Whoa, enak banget dia ngomong kayak gitu. Gampang ya jadi cowo ternyata. Sebar sperma, nolak akui anak, pas udah gede baru dateng buat ngakuin.
"Dia punya bapak, tapi bapaknya nggak pecundang kayak lo. Jadi secara teknis dia bukan anak lo." jawabku mantap.
"Ada darah gue yang ngalir di tubuh dia. Dia anak gue, meski lo ngelak dan nolak buat kenalin gue ke dia." Jelas Alif nggak terima sama jawabanku.
"Kemana lo pas gue bilang hamil? Apa selama ini lo pernah tanya tentang dia? Apa lo nyariin dia?" seharusnya sih itu pertanyaan pamungkas. Bikin dia paling nggak mikir.
"Lo selalu hindarin gue. Lo nggak pernah kasih kesempatan gue buat tanya."
"Dan lo juga nggak ada usaha buat tanya sama gue. Lo nggak berhentiin gue buat nanya soal dia. Intinya, lo emang nggak pernah mau tanggung jawab soal dia." balasku sengit.
"Dia tetep anak gue." ucapannya penuh keyakinan dan ancaman.
Ini bukan adegan yang aku pengen terjadi saat ini. Ketika aku lagi bahagia karena berhasil lulus kuliah dengan semua masalah yang menghampiri. Seharusnya aku cuma tertawa bahagia dan menebar senyuman.
"Apa maksud omongan lo tadi?"
Ya Tuhan, apalagi ini? Kenapa Selly bisa muncul disini sih?
"Sel. Kayaknya lo salah denger." aku berusaha setenang mungkin.
Begitu cengkraman tangan Alif mengendur, aku langsung gunain kesempatan itu buat pergi. Langsung pergi gitu aja tanpa pamit.
Jalanku juga nggak santai banget. Pengen aja cepet balik ke aula dan ketemu banyak orang. Nggak kuat kalo harus sendirian yang nantinya malah ketemu sama mereka lagi.
Aku nggak menghindari Selly, aku juga nggak benci Selly. Ketika aku bilang kalo Alif bukan laki-laki baik buat dia, itu memang bener. Karena Alif udah berkali-kali selingkuh dibelakang Selly. Dan ditambah apa yang kejadian sama aku. Aku jelas nggak mau Selly ngalamin hal yang sama kayak aku.
Tapi Selly punya pemikiran dan pandangan lain. Yang jelas aja nggak setuju sama apa yang aku bilang. Aku bisa memakluminya, karena dia nggak lihat kenyataannya. Alif terlalu pandai bermain belakang dari Selly.
Sekarang, Selly denger apa yang kami bincangkan. Hal yang memang nggak banyak diketahui sama orang-orang. Bahkan keluargaku sendiri nggak tahu fakta itu.
[I need your hug]
Pesan itu terkirim ke ponsel Angga. Saat ini, pelukan Angga rasanya bisa bikin aku lega. Dan memang begitu biasanya.
Kelar acara wisuda di aula, aku langsung cari Angga. Dia hari ini ganteng banget pake setelan yang sama kayak yang dipakai Aksara. Mereka memang mirip, jadi wajar juga kalo kebanyakan orang ngira Aksa itu anaknya Angga.
Hal pertama yang aku lakukan ketika melihat keluargaku ya tentu aja peluk Angga. Ya, pria yang udah jadi tameng perisai dalam hidupku. Pria yang berarti banget bagiku.
"Hei, gue keluarga lo, paling nggak peluk adik lo dulu sebelum peluk pasangan lo." protes Dwiki nggak tahu malu.
Nggak tahu malu adalah nama tengah kami. Aku dan Dwiki sama-sama seenak hati melakukan apa saja di depan umum. Aku yang peluk erat Angga, mengabaikan Aksara yang mulai jengkel karena nggak bisa peluk daddy-nya juga.
"I wanna hug too." rengeknya.
"Antri, Aksara." Tika berusaha menenangkan Aksara.
"Iya, habis Uncle baru kamu yang hug Mommy." godaan Dwiki bikin Aksara makin heboh rengeknya. Great, adik yang baik!
"What's wrong?" yeah, Angga meski cuek adalah cowo yang sangat peka.
"I'll tell you later." bisikku sepelan mungkin.
Oke, jadi antrian sudah mengular. Mari kita uraikan. Pertama jelas peluk Aksara setelah peluk Angga. "I love you so much, My Little Man."
Pindah ke Dwiki, "Makasih support-nya, Adik Bawel."
Yang terakhir, Tika. "Makasih udah bantuin aku ngurus Aksara."
***
Tika putusin buat balik lebih dulu karena Aksara udah mulai rewel. Aksa capek dan udah waktunya juga dia tidur siang. Dwiki? Jangan tanya, dia langsung ikutin para ciwi-ciwi yang menurut dia cantik. Dasar playboy cap semen.
Sebenernya aku juga udah pengen pulang. Badan juga udah capek banget karena bangun awal buat dandan. Tapi Angga maksa aku ikut acara sampe kelar, biar aku ada pengalaman katanya.
Jadi, disinilah kami. Berdua aja duduk di pojokan hall fakultas. Liatin orang-orang yang pada heboh dengan pesta.
"Boleh kami gabung?" pertanyaan Merry bikin kami kaget.
Di depan kami, Merry sama Selly udah berdiri. Keliatan banget kalo canggung.
"Ya." malah Angga yang jawab.
Mereka mulai duduk di hadapan kami, bersama dalam satu meja. Aku meremas tangan Angga. Tanda kalo aku sebenarnya nggak nyaman sama situasi ini dan butuh dukungan.
"Girls talk." sial, Angga selalu aja bisa bikin aku jengkel.
Dia meninggalkan kami bertiga gitu aja. Dan lagi, apa coba maksudnya 'girls talk'?
"Selly udah cerita tentang apa yang dia denger. Apa itu bener?" seperti biasa, Merry selalu jadi penengah diantara aku dan Selly.
"Tentang?" aku nggak mau langsung jujur. Bukan apa-apa, tapi aku harus menyaring apa aja yang ingin aku share. Yeah, privacy is everything.
"Soal anak lo. Dia bukan anak Angga?" Merry melanjutkan.
"Ya, dia bukan anak Angga. Dia anak gue." jawabku mantap.
Itu memang bener kan? Aksa anakku, karena aku yang melahirkannya. Terlepas siapa bapaknya, itu bukan masalah penting.
"Maksud gue, bapak kandung anak lo. Bukan Angga." oke, Merry udah menyampaikan maksudnya. "Dia anak biologis Alif?"
"Dia anak gue. Terlepas siapa bapak kandungnya, itu bukan hal penting. Apa itu aja yang mau dibahas?"
Sumpah ya, aku nggak bermaksud ketus. Tapi kok kedengarannya ketus banget ya?
"Kenapa lo nggak jujur?" kini Selly yang ngomong.
Selly dari tadi nundukin kepala. Nggak tahu juga kenapa dia kayak gitu. Yang jelas itu bukan Selly yang cerewet dan kepedean, bukan Selly yang gue kenal.
"Gue cuma mau lindungin privasi anak gue. Dia berhak dapat hidup yang normal meski keadaan sekitar nggak normal." mataku udah berkaca-kaca aja ngomongnya.
Kangen aja ngobrol sama mereka berdua. Waktu tiga tahun tuh nggak sebentar. Dan banyak hal yang udah terlewatkan karena salah paham ini.
"Kami, gue sama Selly, mau minta maaf. Kami salah sama lo."
"Gue udah maafin, dan gue juga minta maaf sama kalian. Thanks mau ngobrol sama gue lagi."
Kaca yang retak nggak bisa balik mulus lagi. Kertas yang udah diremas nggak bisa halus lagi. Aku nggak benci sama mereka, tapi apa yang udah kejadian nggak bisa hilang begitu aja. Selalu ada bekasnya. Tapi aku udah maafin mereka kok, karena aku juga punya salah sama mereka.