'Duh, kemana sih si Raka? Masa dia nggak masuk hari ini,' batinku resah saat menyadari bahwa orang yang kutunggu tak kunjung datang. Padahal, biasanya kami makan siang berdua di kantin, lalu berkunjung ke Sapta Pratala saat waktu pulang sekolah tiba. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu padanya? Entahlah, yang jelas, bahkan sepupuku di kehidupan ini juga tak tahu dimana keberadaan Raka. Padahal, Adit sebenarnya adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang sangat mumpuni dalam hal melacak seseorang dari pancaran tenaga dalam miliknya.
~Flashback~
Bel istirahat telah berbunyi semenit yang lalu, tapi Raka belum juga menunjukkan batang hidungnya. Aku mencoba berpikir positif dengan menganggap kalau Raka sedang mengerjakan tugas, jadi dia terlambat keluar kelas. Satu persatu teman sekelasku telah beranjak keluar kelas, entah menuju ke perpustakaan, koperasi, atau kantin, sementara aku masih duduk di bangku mejaku dan memainkan pena sambil berharap Raka cepat datang.
"Ra, kita mau ke kantin, kamu mau ikut nggak?" Lina, teman semejaku mendatangiku bersama teman-teman yang lain. Aku tersenyum rikuh saat Lina memanggilku dengan nama panggilanku di kelas, Rara. Namaku memang terlalu panjang dan aneh kalau disebutkan, maka dari itu aku memutuskan untuk menggunakan nama Rara sebagai nama panggilanku. "Duluan deh, Lin. Aku lagi nunggu orang nih," ujarku pada Lina, membuat gadis itu mengangguk paham atas maksudku.
"Kamu nungguin Raka kan? Si Raka nggak masuk hari ini, kata Siwi, temanku di kelas 10 IPS B, Raka lagi sakit," ujar temanku yang bernama Sasha. "Beneran Sa? Sebentar, aku tanya si Adit dulu," ucapku panik sambil mengambil ponselku dari laci meja. Sialnya, teman-temanku mendengar saat aku keceplosan menyebut nama Adit, meski aku tidak sadar akan hal itu dan malah menelepon sepupuku yang satu itu.
"Ra, kamu kenal sama Adit anak IPS itu? Yang sekelas sama Siwi?" Sasha menanyaiku dengan antusias sampai membuatku kaget dan akhirnya tersadar kalau aku sudah keceplosan menyebutkan nama Adit. "E...emang aku tadi nyebut nama Adit ya, Sa?" tanyaku dengan nada gelisah, apalagi saat mendapati tatapan antusias dari Sasha. "Kami semua denger lho waktu kamu nyebutin nama Adit tadi. Meskipun aku nggak 100% yakin, tapi kuanggap kalo Adit yang kamu maksud itu Aditya Pratama Jati," jawab Nina membuatku tak bisa berkutik lagi.
"Kok bisa kamu beranggapan kalo Adit yang aku maksud itu Aditya Pratama Jati?" aku masih mencoba untuk mengelak. Awalnya, aku mengira bahwa mereka akan memberondongkan serentetan pertanyaan padaku, tapi ternyata malah gelak tawa cekikikan yang muncul dari mulut mereka.
"Ya elah Ra, kita pernah denger kok kalo Adit itu sepupu kamu. Soalnya dia bilang sendiri waktu dia ngenalin kamu ke Raka di kantin," Lina berkata seraya tertawa, membuat wajahku terasa panas karena malu. "Udah lah, yuk ke kantin. Taruhan deh, Adit sekarang lagi di kantin bareng temen-temennya," Sasha mengulangi ajakan Lina, membuatku mau tak mau mengiyakan ajakan mereka.
~Flashback~
.....dan begitulah ceritanya, akhirnya aku ada di kantin bersama Adit, Gilang, Lingga, Lina, Sasha, dan Nina. Aku menanyakan banyak hal mengenai Raka pada Adit, meski Adit tidak bisa memberiku jawaban yang memuaskan. Untungnya, hanya Lingga dan Gilang saja yang bisa ikut mendengarkan percakapan kami. Terima kasih pada Ajian Selungkup Swara yang dimiliki setiap arwah di dunia ini, termasuk Srikandhi, sehingga kami bisa berbicara dengan leluasa.
"Dit, kamu yakin kalo Raka nggak masuk hari ini?" aku bertanya untuk kesekian kalinya, membuat sepupuku memasang tampang jengah miliknya. Lingga dan Gilang tak bersuara saat melihatku memasang ekspresi khawatir yang tak biasa kutunjukkan, meskipun aku sama sekali tak menggubris mereka. Tatapanku masih terfokus pada Adit yang menyedot es teh manis miliknya dengan tatapan ragu-ragu, lalu melirik kearah Lingga dan Gilang yang juga mengangkat bahu.
"Begini, Ra, kami 100 persen yakin kalau Raka tidak masuk sekolah hari ini. Untuk alasannya, kami tidak tahu kenapa, tapi kurasa bukan karena sakit," Adit menjawab setelah agak lama, membuatku akhirnya bisa bernafas lega. "Kalau begitu, kenapa kalian tidak bisa menemukan dimana Raka, 'Gatotkaca', 'Antareja' dan 'Antasena'?" aku bertanya seraya sedikit menekankan nada suaraku pada ketiga nama yang kusebutkan.
Adit menengok ke kanan dan kiri saat aku menyebutkan ketiga nama itu, lalu menyentuh pundak ku saat ia merasa bahwa sekelilingnya aman. "Nimas Sembadra, bukannya tidak bijak untuk memanggil kami dengan nama-nama itu? Terlebih lagi, bisa gawat kalau para prajurit Bathara itu mengetahui kalau aku adalah Gatotkaca," ujar Adit dengan nada tenang, meski aku tahu bahwa dia sedang panik dari gerak-geriknya yang selalu melempar lirikan matanya ke segala arah.
"Kangmas Gatotkaca benar, Nimas, terlebih lagi mereka sudah mengetahui identitas Raka sebagai sang reinkarnasi Karna. Kalau salah satu dari kami ketahuan identitasnya, maka kami tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu untuk memecahkan masalah 'ITU'," Gilang menimpali perkataan Adit dengan nada yang lebih kalem dan tenang. Reinkarnasi kesatria setengah siluman ular ini rupanya lebih waspada dari kelihatannya, meski dia sekarang tampak tenang dan santai.
"Aku mengerti hal itu, Antareja, tapi kita tidak punya pilihan lain. Gatotkaca bilang kalau dia tidak bisa menemukan jejak Raka, mana bisa aku tidak panik?" ujarku hampir membentak Gilang. Entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa Raka sedang dalam bahaya, apalagi karena aku tidak bisa menemukannya semenjak ia mengamuk di Sapta Pratala kemarin. "Nimas, bukannya aku meragukan kekhawatiran mu pada Raka, tapi, kumohon agar kau bisa menahan diri, kita masih ada di sekolah, Nimas," Lingga berkata dengan nada sok menggurui yang membuatku mendengus kesal.
"Jangan karena kalian bertiga adalah cucu dari Sang Hyang Antaboga maka kalian akan mendapatkan perlakuan berbeda dariku," ujarku setengah merajuk, membuat ketiganya menunjukkan ekspresi salah tingkah. Aku menggembungkan pipiku sambil menoleh kearah Adit, lalu menatapnya tajam seraya bertanya, "Dimana posisi terakhir Raka saat kau coba melacaknya, Gatotkaca?"
Aku melihat bahwa Adit tampak semakin salah tingkah saat mendengar pertanyaanku, begitu pula dengan Gilang dan Lingga. Lingga hanya bisa menunduk dalam diam, sementara Gilang menoleh kearah lain sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. "Ada di Kaliurang, tepatnya di daerah danau yang dekat dengan istana dari Penguasa Gunung Merapi," jawab Adit saat aku kembali menatapnya dengan tajam, bahkan sampai menggunakan tenaga dalam milik Srikandhi yang melayang di belakangku.
"Kaliurang?! Kenapa dia kesana?! Kita harus mencarinya sekarang!" ucapku tak sabar seraya beranjak dari bangku kantin. "Nimas, sabar dulu! Jam sekolah sebentar lagi usai, maka dari itu, bersabarlah sedikit!" Lingga membentakku dengan keras, untungnya Ajian Selungkup Swara ini belum dihilangkan oleh Srikandhi. "Kau berani membentakku, Antasena?!" aku balas membentak Lingga sambil mengerahkan hawa membunuh yang besar kearah reinkarnasi kesatria setengah naga itu.
"Antasena benar, Nimas. Kita tidak bisa pergi begitu saja, jangan lupa kalau disini ada para prajurit Bathara yang mengawasi kita. Apa kau mau kami tertangkap seperti saat Raka ditangkap oleh mereka dulu?" Adit mencoba membujukku dengan nada tenang, tapi aku sudah terlanjur dibakar emosi. Akupun melayangkan tamparan ke wajah reinkarnasi Gatotkaca itu, lalu menarik kerah bajunya dengan keras. "Apa maksudmu berkata begitu, Gatotkaca?! Kau mau harapan terakhir kita dalam memutuskan lingkaran setan ini musnah begitu saja?!" geramku dengan nada penuh emosi.
Sebuah rantai mengikat tanganku sebelum aku bisa melayangkan satu lagi tamparan ke pipi Adit. Aku menoleh kearah dimana rantai itu berasal, dan menemukan bahwa Gilang tengah menggenggam ujung rantai yang satunya. "Nimas, kita sedang dalam keadaan yang tidak diuntungkan sekarang, jadi kita tidak punya pilihan selain menunggu sampai sekolah usai. Jangan khawatir, Nimas, aku masih bisa merasakan kalau Raka baik-baik saja, meski kondisi tenaga dalam miliknya terasa aneh bagiku," ucap Gilang kalem, membuatku sedikit demi sedikit menurunkan amarahku dan kembali menduduki kursi.
"Kalian ada benarnya... Maafkan aku, Gatotkaca, Antareja, Antasena, karena aku tidak bisa berpikir jernih tadi," ucapku pelan sambil menatap es jeruk di depanku dengan tatapan tak berselera. "Jangan khawatir, Nimas, kami akan menemanimu untuk menemukan Raka. Karena kami sudah berjanji padamu untuk selalu mendampingimu kemanapun kau pergi," Adit berkata seraya menepuk pundak ku pelan, membuatku hanya bisa menganggukkan kepalaku dengan lemah.
~Kuntawijaya~
"Apa benar disini tempatnya, Gatotkaca? Kenapa aku merasa ragu kalau kita akan menemukan Raka disini?" Sembadra bertanya dengan nada ragu saat ia turun dari motor Adit. Suasana di sekitar terasa sangat bersahabat bagi gadis itu, sehingga ia merasa ragu kalau jejak Raka menghilang di sekitarnya.
"Tidak salah lagi, Nimas, aku menemukan jejak tenaga dalam milik Raka dan Shinta, meskipun aku tidak yakin dengan ini," jawab Adit dengan nada yakin. Pemuda itu lalu turun dari motornya setelah mematikan mesin kendaraan itu dan mencabut kuncinya. Di samping motornya, terparkir motor lain yang dikendarai oleh Gilang dan Lingga. Sadar kalau kedua temannya juga sudah sampai di lokasi yang sama membuat Adit menoleh kearah keduanya dengan tatapan yang seolah berkata 'Apa kau bisa merasakannya?'
"Gatotkaca, aku melihat ada sebuah motor di depan, kurasa itu milik Raka," ujar Gilang seraya melepas helm yang ia pakai. Lingga yang sejak tadi terdiam langsung berjalan menghampiri motor yang ditunjuk oleh Gilang, lalu melihat sebuah tas yang ia kenali tergantung disana. "Hoi! Kesini cepat! Ini tas milik Raka!" Lingga berteriak sambil melambaikan tangannya.
Sembadra, Adit, dan Gilang langsung saja berlari menghampiri Lingga yang masih menyelidiki barang-barang milik Raka yang tergantung di motor itu. Ketiganya menemukan seragam sekolah Raka di dalam tas itu, juga sebuah buku, selembar bandana, charger handphone, dan sebuah dompet. Adit memeriksa dompet itu, dan menyadari kalau itu memang dompet Raka saat menemukan kartu pelajar lama milik sahabatnya itu.
Sementara itu, Sembadra berjalan ke sekitar untuk mencari petunjuk mengenai keberadaan Raka. Gadis itu berjalan kearah batu besar di depan motor Raka, lalu menemukan sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna hitam dengan casing bergambar sebuah foto seorang perempuan yang tak lain adalah dirinya sendiri. Sembadra memungut benda itu dari batu yang ia duduki sekarang, dan menemukan kalau ternyata itu adalah ponsel milik Raka.
'Ini kan... Ponsel Raka... Kenapa bisa ada disini?' batin Sembadra penuh tanda tanya seraya menoleh ke sekelilingnya. "[Nimas, apa perlu aku membantumu?]" Srikandhi bertanya menawarkan bantuan. Sembadra lalu berdiri, dan memegang tangan Srikandhi seraya menyalurkan tenaga dalam miliknya. "Datanglah, Samohana..." gumam Sembadra saat Srikandhi melebur menjadi sebuah busur di tangan kanan Sembadra.
Gadis itu lalu melompat turun dan berlari menuju ke danau yang terletak tak jauh dari batu besar tempatnya duduk tadi. Ia sama sekali tak menghiraukan panggilan dari ketiga laki-laki yang menemaninya untuk mencari Raka tadi, lalu menatap pergelangan tangannya untuk melihat arlojinya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah empat sore, tapi tempat itu sangatlah sepi dan ganjil. Sembadra menggenggam erat ponsel Raka di tangan kirinya, lalu berteriak sekuat tenaga kearah danau itu, "RAKAAAA!!"
Sembadra terus menerus berteriak memanggil nama Raka, membuat hawa di sekitarnya terasa semakin ganjil. Tak lam kemudian, Sembadra merasa tenggorokannya terasa kering, lalu jatuh terduduk dan batuk-batuk. Hawa di sekelilingnya terasa sangat panas dan membakar, hingga rumput-rumput di sekeliling Sembadra tampak layu. Sembadra yang menyadari perubahan itu menolehkan kepalanya ke segala arah, lalu menemukan bahwa hawa panas itu berasal dari atas, dimana ia melihat semburat api berwarna merah membara di cakrawala.
"Raka....?" Sembadra sekali lagi memanggil nama Raka, meski kali ini ditujukan kepada semburat api di langit. Perlahan, api itu tampak semakin mendekat kearah Sembadra, membuat suhu di tempat itu semakin naik. Tepat saat api itu turun semakin cepat, tubuh Sembadra langsung ditarik mundur oleh Adit. Api itu menghantam tempat dimana Sembadra jatuh terduduk karena kelelahan memanggil nama Raka, lalu memudar hingga menunjukkan sesosok orang yang sedang mereka cari, Raka.
Raka, dalam balutan busana perang miliknya, Perisai Dewa Surya tengah berdiri dan menatap mereka dengan matanya yang berwarna merah layaknya bara api. Ekspresinya menggambarkan kemarahan yang amat mengerikan, dan yang semakin mengejutkan adalah, di tubuhnya terdapat tambahan dua pasang tangan yang keluar dari bahunya. Sosok Raka ini menggambarkan wujud dari salah satu dewa dalam mitologi Hindu, Bathara Guru atau Dewa Siwa, dalam wujud kemurkaannya, Ashura.
Bersambung
Mohon maaf atas keterlambatannya untuk upload. Hal ini dikarenakan saya kemarin menderita demam sampai 2 hari 2 malam, sehingga saya sama sekali tidak menyentuh hp saya karena itu. Sekali lagi, mohon maaf ya, readers.