Jatayu tidak menyangka bahwa Bhuta yang ia lawan ternyata memiliki ketahanan tubuh yang jauh lebih kuat dari Bhuta Cakil. Meskipun Bhuta di depannya ini lebih bodoh dari Cakil, Bhuta tanpa nama ini memiliki kulit yang lebih tebal dan berlemak. Bahkan saat ditebas oleh pedang Cakra Garudha milik Jatayu, kulit Bhuta itu hanya mengalami goresan kecil karena lemak-lemak di tubuhnya melindunginya dari tebasan Jatayu.
Hal itu tentu saja membuat Jatayu merasa geram, hingga akhirnya Jatayu mengalirkan tenaga dalamnya ke pedangnya, lalu menebas perut Bhuta yang tertawa-tawa karena Jatayu gagal menyerangnya. Tebasan kali ini membuahkan sedikit hasil, karena Jatayu berhasil merobek dada dan perut Bhuta gemuk itu. Sang panglima penjaga Sapta Pratala itu melesat ke udara, lalu menatap rendah kearah si Bhuta yang meraung kesakitan.
"[Garuda! Beraninya ras siluman rendahan sepertimu menebasku! Akan kucabik-cabik kau Garuda sialan!]" Bhuta itu meraung marah pada Jatayu. Si Bhuta berusaha menggapai Jatayu dengan cara melompat, tetapi tidak bisa karena Jatayu melesat semakin tinggi di udara. "Namaku bukan hanya Garuda, Bhuta tak tahu diri! Namaku....." Jatayu menjeda kalimatnya seraya melesat turun dan menebas putus tangan kiri Bhuta itu. ".....namaku Jatayu, Patih kepercayaan Raden Rakai dan Nyai Ratu Asmitha," ucap Jatayu sengit.
Sementara itu, Raka masih bertarung sengit dengan Bhuta Cakil yang tubuhnya 3 kali lebih tinggi darinya. Raka bisa unggul dari Bhuta itu berkat bantuan petir Rudra dan Brahma Dahana yang menyelimuti tubuhnya. Meski begitu, bukan berarti tubuhnya tidak terkena dampak pertarungan mereka. Raka sempat terkena tamparan dan pukulan dari Bhuta Cakil sebanyak dua kali, dan itu sukses membuat tubuhnya terasa kaku selama beberapa saat.
Beruntung bagi Raka, para penjaga Sapta Pratala membantunya untuk mengalihkan perhatian Cakil sementara dia memulihkan kondisi tubuhnya dengan tenaga dalam. Mereka melemparkan tombak-tombak mereka kearah Cakil sementara Raka berusaha berdiri dan memasang kuda-kuda lagi.
'Bhuta yang satu ini menjadi semakin ganas setelah kehilangan salah satu tangannya, apa aku perlu menggunakan Renewal Taekwondo milikku?' batin Raka seraya melihat bahwa para prajurit sudah kewalahan dalam membantunya. Pemuda itu lalu mengubah kuda-kuda miliknya menjadi kuda-kuda taekwondo, dan menatap tajam kearah Bhuta Cakil yang balas menatapnya garang.
Raka lalu berlari menerjang kearah Bhuta itu dengan kecepatan penuhnya, dan melayangkan beberapa tendangan kearah kaki Bhuta itu. Kobaran api melapisi kaki kanan Raka hingga ke lutut, lalu Raka menarik sebelah tangannya ke belakang. "Renewal Taekwondo, Serangan Maut: Tendangan Naga Api!" teriak Raka sambil melompat kearah tubuh Bhuta itu dan menyarangkan tendangannya ke dada si Bhuta.
Serangan Raka kali ini mengenai dada Bhuta Cakil dengan telak. Bhuta itu lalu roboh dengan bagian dada yang bolong seperti tertembus tombak raksasa. Tak lupa, Raka melemparkan sebuah bola api ke bangkai Bhuta Cakil dan membakarnya. Raka menghela nafas seraya menunduk, ekspresi wajahnya tersembunyi dibalik bayang-bayang poni rambutnya.
"Akhirnya! Aku bisa mencapai level dimana aku bisa mengalahkan Bhuta dengan mudah," ucap Raka senang seraya mengepalkan kedua tinjunya ke udara. Para prajurit Sapta Pratala bertepuk tangan atas keberhasilan Raka, menambah suasana senang di hatinya. Akan tetapi, butiran-butiran bunga api tiba-tiba keluar dari tubuh Raka dan menyatu membentuk sesosok gadis yang mengenakan kebaya putih dengan corak emas dan kain jarik berwarna hitam yang juga bercorak emas. Di tubuh gadis itu, terpasang banyak sekali perhiasan, termasuk mahkota besar di kepalanya.
Raka mengenali sosok itu sebagai perwujudan dari pusaka yang mendiami tubuhnya, Shinta sang Vasavi Shakti. Sosok yang selalu menolak untuk melakukan kontak batin dengannya belakangan ini tanpa alasan yang jelas, kini muncul di depannya dengan wujud fisik dan ekspresi cemberut. Raka tentu saja tak dapat menahan diri untuk menatap gadis itu dengan tatapan bingung, apalagi saat Shinta berjalan mendekatinya dengan aura yang cukup menyeramkan.
"Kenapa kamu masih menggunakan petir Rudra? Padahal kamu sudah punya diriku dan Brahma Dahana!" ujar Shinta seraya menarik kerah seragam sekolah Raka yang kotor dan kumal karena habis bertarung. "Aku sudah bilang kan, Shinta, karena aku butuh kekuatan! Aku tidak bisa terus mengandalkan kekuatanmu. Apalagi saat kamu bilang kekuatanmu sudah hampir habis dan wujud terkuatmu akan terkunci, tentu saja aku akan kelabakan kalau tiba-tiba kekuatanmu habis saat aku menghadapi pertarungan yang berat," ucap Raka sambil memegang pundak Shinta untuk menenangkan gadis itu.
"Tapi aku tidak suka kamu menggunakan petir itu! Apalagi saat kamu mengkombinasikan petir Rudra dengan Brahma Dahana untuk membentuk senjata baru!" Shinta membentak Raka dengan keras sebelum memeluk Raka dengan erat. "Kamu cuma takut aku tidak akan menggunakan kekuatanmu lagi kan?" Raka bertanya dengan senyuman terukir di bibirnya.
Sebuah anggukan dari Shinta pun menjadi jawaban atas pertanyaan Raka, membuat pemuda itu terkekeh pelan karenanya. "Shinta, bukannya aku tidak mau menggunakan kekuatanmu. Kamu sendiri pernah bilang kan, kalau kekuatanmu itu terhubung dengan tenaga dalam milikku. Jadi, setiap kali aku menggunakan kekuatanku, sama saja seperti aku menggunakan kekuatanmu," ujar Raka mengingatkan Shinta akan percakapan mereka tempo hari.
Shinta akhirnya tersadar dari kekhawatirannya, lalu mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Raka. "Benar juga ya, kenapa aku nggak kepikiran?" Tanya Shinta dengan nada bingung yang terdengar sangat imut bagi para prajurit Sapta Pratala. "Karena kamu itu dodol, Shinta, kamu pusaka paling dodol diantara semua pusaka yang ada," ejek Raka dengan nada bercanda.
Shinta kembali mengerucutkan bibirnya setelah mendengar ejekan Raka, lalu memukuli dada pemuda itu dengan gemas. Raka hanya terkekeh kecil saat melihat kelakuan Shinta, dan kembali memeluk perwujudan dari pusaka miliknya itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Raka melompat mundur sambil membawa Shinta bersamanya, dan tak lama berselang, sebuah gada raksasa muncul menghantam tempat Raka berdiri sebelumnya. Raka merasa sedikit kesal karena serangan tiba-tiba itu, lalu melihat ke sekelilingnya. Benar saja, dari kejauhan Raka bisa melihat beberapa ekor Bhuta tengah berjalan dipimpin oleh seekor Bhuta yang memikul seorang manusia di pundaknya.
Bhuta-Bhuta itu memiliki ukuran yang bervariasi, meski yang terbesar dari mereka tak melebihi ukuran pemimpin mereka. Pemimpin mereka berukuran sebesar Bhuta Rambut Geni yang Raka bunuh saat pertama kali ia bertemu Sembadra. Sementara Bhuta-Bhuta lainnya yang terbesar hanya dua kali ukuran tubuh manusia, seperti halnya dengan Bhuta Cakil.
Melihat rombongan musuh yang tampak berjalan teratur kearah Sapta Pratala membuat Raka mau tak mau kembali memasang kuda-kuda miliknya. Para prajurit Sapta Pratala pun ikut berbaris di belakang Raka sembari menyiagakan tombak mereka. Para pasukan Bhuta terhenti langkahnya beberapa puluh meter dari pasukan Sapta Pratala, membuat Raka bisa melihat siapa yang tengah dipanggul oleh pemimpin para Bhuta itu.
"Jadi, Cakil dan anak buahnya gagal menyerang Sapta Pratala ya? Padahal aku sudah susah-susah mengikuti kalian kemari hanya untuk membalas dendam pada kalian," ucap manusia yang tengah duduk santai di bahu pemimpin pasukan Bhuta. "Mau apa kau kemari, Diana?! Kenapa kau bisa selamat dari sekian banyak Bhuta di sekelilingmu, bahkan sampai dipanggul oleh pemimpin mereka?!" Raka bertanya dengan geram.
Tawa sinis meledak dari mulut Diana karena mendengar pertanyaan Raka yang menurutnya konyol itu. Para Bhuta di sekitarnya ikut tertawa saat mendengar Diana tertawa, membuat Raka sedikit merasa kesal. Tapi, sebelum Raka bisa membentuk sebuah tongkat seperti yang ia tunjukkan pada Asmitha, puluhan anak panah tiba-tiba melesat dan menghujani pasukan Bhuta disana.
Diana tentu saja terkejut karena pasukannya dihujani oleh puluhan anak panah, membuatnya terpaksa melompat turun dari pundak Bhuta yang ia tunggangi. Gadis itu menunjukkan ekspresi marah kearah Raka yang terbengong melihat beberapa Bhuta jatuh dan mati gara-gara hujan anak panah itu. "Kurang ajar! Siapa yang berani-beraninya menyerangku dengan anak panah?!" gadis itu berteriak murka.
"Salah sendiri kau membawa pasukanmu ke Sapta Pratala, seolah mendeklarasikan perang pada kami," ujar sebuah suara bernada dingin yang mereka kenali. Raka menoleh kebelakang, dan menemukan Sembadra tengah berdiri disamping Shinta sambil membawa sebuah busur. Pakaian Sembadra kini seperti seorang prajurit wanita pada zaman kerajaan Majapahit, menambah daya tarik tersendiri bagi gadis itu.
"Sembadra? Kok bisa kamu mengenakan pakaian macam itu? Belum lagi.....busur apa itu?" Raka bertanya bertubi-tubi seraya berjalan mendekat kearah Sembadra dan Shinta. "Sebenarnya, pakaian dan busur itu adalah perwujudan dari Srikandhi, Raka. Sama seperti Shinta, Srikandhi sekarang adalah sebuah pusaka yang memiliki jiwa dan tubuh fisik sendiri," bukan Sembadra yang menjawab pertanyaan Raka, melainkan Asmitha yang baru saja datang ke arena pertempuran.
"Hah? Kok bisa?" tanya Raka yang mulai penasaran, apalagi saat dia melihat Sembadra tampak fokus menatap lawan mereka. "Itu adalah kekuatan yang belum bisa kamu capai, Raka. Namanya adalah Wujuding Satriya, yaitu sebuah tingkatan dimana kamu mampu memanggil kekuatan tertinggi sebuah pusaka dan membentuk baju perisai untuk melindungimu dari serangan musuh," jawab Shinta yang juga menatap kearah musuh.
"Untuk sekarang, simpanlah dulu pertanyaanmu, Raka, kita sedang berperang, ingat?" Sembadra berkata seraya tangan kanannya terangkat ke atas. Tangan kanan Sembadra bercahaya terang, membuat Raka menatap takjub kearahnya. Saat cahaya itu meredup tampaklah sebuah anak panah yang ujungnya berbentuk seperti tubuh seekor burung. Sembadra memasang anak panah itu ke busurnya, lalu menarik tali busurnya sekuat tenaga sampai ke pipinya.
"Dengarlah permohonanku, Busur Bathara Kamajaya, hukumlah para pendosa dengan kesucian cinta! Samohana: Kyai Sarutama!" ucap Sembadra seraya mengarahkan anak panahnya keatas dan melepaskannya. Anak panah itu melesat ke langit bagaikan sebuah peluru, lalu berpecah menjadi puluhan anak panah dengan wujud yang sama dengan wujud awal mereka. Puluhan anak panah itu kembali menerjang pasukan Bhuta milik Diana, menjadi pertanda bahwa sebuah pertempuran telah dimulai di depan gerbang Sapta Pratala.
Bersambung
Silahkan tanyakan hal yang dirasa kurang dimengerti mengenai chapter kali ini di kolom komentar ya