Keesokan harinya, pada pukul enam pagi aku terbangun dari tidurku. Kemudian aku berjalan menuju wastafel, mencuci muka dengan air mengalir, setelah itu berjalan ke dalam kamar mandi untuk membuang hajat. Selesai membuang hajat, sudah saatnya bagiku pergi keluar, untuk mencari makan.
Kulihat Dedi, belum beranjak pergi dari rumah. Sepertinya, dia sudah berangkat bekerja. Ketika aku membuka gerbang, tukang bubur melintas tepat di hadapanku. Spontan aku memberhentikannya. Tukang bubur itu membawa dagangannya dengan sebuah motor.
Lalu aku memesan bubur dengan porsi jumbo, seharga sepuluh ribu rupiah. Kemudian, aku menikmatinya di depan teras rumah, duduk di atas lantai. Sesendok bubur telah masuk ke dalam mulutku. Rasanya sungguh nikmat. Sambal kacang, toping cakwe, bawang goreng dan telur, citra rasanya bergabung menjadi satu.
Tak lupa aku mencampurnya dengan kerupuk. Agar citra rasa semakin nikmat. Udara di pagi hari terasa sejuk, rasanya diriku tak ingin berhenti untuk makan. Selesai makan aku membuang sterofoam bubur, pada tong sampah di depan rumah.
Kemudian aku menoleh ke arah kiri, ternyata aku baru sadar bahwa dua kontrakan belum ada penghuninya. Pantas saja suasana disini terasa sepi, tetapi aku yakin tempat itu akan segera terisi. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi, Okana akan segera dimulai.
Okana adalah sebuah kegiatan yang diadakan oleh fakultas Sastra Jepang, untuk menambah skill dalam penguasaan huruf kana. Satu jam telah berlalu sudah saatnya bagiku untuk mandi. Selesai mandi aku bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.
Setelah berkemas aku menggendong sebuah tas, lalu berangkat dengan berjalan kaki. Tidak lupa diriku menggunakan jaket merah kesayanganku. Aku berjalan menaiki sebuah terotorar, setiap tanjakan dan turunan mengingatkanku dengan sebuah lagu opening ninja hatori.
Sepanjang perjalanan aku mulai menyanyikannya dengan riang gembira. Tak terasa akhirnya aku sampai dikampus, lalu aku berjalan melewati sebuah gerbang yang besar, setelah itu berbelok ke kanan dan berjalan di sebuah lorong.
Suasana di kampus cukup ramai, kulihat ada beberapa mahasiswa berlalu-lalang dijalan, bahkan ada beberapa mahasiwi menggunakan sebuah kostum tari asal aceh. Ada juga beberapa mahasiswa berjalan dengan menggunakan baju basket, sambil membawa sebuah bola basket dengan bangga.
Terkadang melihat kerumunan seperti itu, membuat diriku canggung. Segala macam usia boleh mendaftar dan mengikuti perkuliahan di kampus ini. Disini katanya bahkan ada yang berusia tiga puluh tahun, yang baru mendaftar disini.
Kampus ini memiliki tiga kelas, yaitu pagi, malam, dan terakhir kelas karyawan. Kelas pagi dimulai dari jam sembilan hingga tengah hari, lalu kelas malam dimulai pada pukul tujuh hingga sepuluh malam. Sedangkan kelas karyawan, bisa masuk diantara kelas itu sesuai jam kerjanya. Sesampainya di fakultas bahasa, aku menaiki sebuah tangga sampai ke lantai tiga. Sebenarnya di lantai satu ada lift, namun diriku sengaja melakukannya untuk melatih fisikku.
Setelah sampai di lantai tiga, aku memasuki sebuah kelas yang bertuliskan mikan (Jeruk). Lalu aku duduk di sebelah seorang pemuda berkulit sawo matang, berbadan gemuk. Samping kumis tipisnya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Pemuda itu sedang berbicara dengan dua orang temannya, yang satu berbadan cungkring, botak plontos dan berkulit putih. Dan yang satunya lagi berambut mangkok, dengan kacamata. Disudut ruangan, kulihat seorang gadis menggunakan jilbab dan cadar hitam, duduk menyendiri.
Gadis itu sedang berlatih huruf kana, dengan sebuah buku catatan kecil. Sesekali ia memandang sekitar untuk merenggangkan syaraf matanya. Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku, lalu aku menoleh ke arahnya. Pemuda berpostur gemuk itu bertanya.
"Mas dari mana?"
"Saya dari Subang, kalau mas sendiri dari mana?"
"Asli sini, perkenalkan saya Hadi salam kenal." Berjabat tangan denganku.
"Saya Juliet salam kenal." Berjabat tangan dengan perasaan canggung.
Kemudian aku berkenalan dengan dua temannya. Yang pertama Si Kepala Botak bernama Ruben, sedangkan yang satunya bernama Juki. Setelah itu kami bertiga, mulai bercerita mengenai indahnya kampung halaman masing-masing. Ketika aku sedang berbincang, jujur diriku merasa sangat canggung. Selesai membicarakan kampung halaman, diriku bingung dengan apa yang harus aku katakan. Namun aku memutuskan, untuk mendengarkan percakapan mereka, dan usahakan agar diriku tidak menjadi pusat perhatian.
Sebab menjadi perhatian itu rasanya tidak enak. Jika salah langkah, maka masa pembullyan akan terulang kembali. Ini tidak bisa dibiarkan, maka mulai sekarang aku harus berhati-hati dalam menjaga sikapku. Kemudian mereka bertiga, mulai membicarakan Piala Presiden. Seketika wajahku menjadi datar, sebab dari dulu aku tidak begitu menyukai sepak bola. Jadi ketika mereka memberikan seribu pertanyaan, aku menjawabnya dengan beribu-ribu kebohongan.
Tiga puluh menit kemudian, masuklah mahasiswi cantik dengan menggunakan almet. Mahasiswi itu bernama Bila, dia menggunakan jilbab hitam, kaos biru, kemeja merah, almamater kamus berwarna biru, dan rok panjang berwarna hitam. Hidungnya mancung, kulitnya cerah, dan alis tebal. Sekilas dia terlihat seperti orang turki. Setelah itu dia pun duduk di kursi depan samping kanan papan tulis. Bila pun membuka sebuah buku absen, yang ia bawa dari dalam tas gendong miliknya. Sebelum absen, aku maju ke depan lalu menghampirinya untuk menuliskan namaku. Sebab aku baru mengikuti kegiatan okana. Selesai dengan urusanku aku kembali tempat dudukku yang berada di tengah. Dan pelajaran pun dimulai.
"Minasan, ohayo gozaimasu. Kyou wa atarashi shinnyuusei ga irundesuga, mou ichido jikoshoukai shite kudasai."
(Selamat pagi semuanya. Hari ini ada murid baru, oleh karena itu tolong perkenalkan diri kalian sekali lagi)
Kemudian kami memperkenalkan diri satu persatu, menggunakan bahasa indonesia. Cara memperkenalkan diri, tak hanya mengeluarkan sebuah kata, tetapi ada caranya. Perkama kalian harus berdiri sikap sempurna, lalu memperkenalkan diri dimulai dari nama hingga tempat tinggal. Selesai memperkenalkan diri, kalian harus melakukan ojigi sambil berkata, "Yoroshiku onegaishimasu." Yang artinya senang berkenalan denganmu, atau bisa diartikan dengan, "Salam kenal / saya menginginkan hubungan baik dengan kalian."
Ojigi adalah budaya membungkuk yang dilakukan oleh orang Jepang. Dulu budaya ojigi mulai dilakukan orang Jepang antara tahun 500-800. Budaya itu awalnya berasal dari Tiongkok, lalu disampaikan melalui ajaran agama Buddha ini dilakukan untuk menunjukkan status seseorang. Contohnya saat memberi salam kepada orang dengan kedudukan lebih tinggi, seseorang harus membungkuk untuk memberi tanda bahwa mereka bukanlah ancaman. Pemandangan seperti itu masih dapat dilihat di film atau drama berlatar sejarah terutama saat adegan orang biasa berhadapan dengan raja, ratu, atau orang berkuasa lainnya. Sekarang digunakan untuk berterima kasih, memohon sesuatu, memberi selamat, dan meminta maaf.
Ada tiga hal yang perlu kalian ketahui, dalam melakukan ojigi. Pertama punggung direnggangkan namun tetap lurus, posisi kaki dan pinggul harus lurus, serta menarik nafas saat menurunkan kepala lalu mengembuskan nafas saat mengangkat kepala. Semua itu dianjarkan oleh Bila senpai secara langsung. Senpai berarti senior, sebutan yang biasa disebutkan kepada pada mahasiswa semester tiga ke atas. Satu persatu peserta selesai memperkenalkan diri. Semua yang aku dengar terasa biasa saja, namun ketika giliran peserta yang berada di bangku depan, seketika dirinya menjadi pusat perhatian. Peserta itu bernama Sakti, dia berasal dari Purwokerto namun karena tuntutan pekerjaan, dia berserta keluarganya tinggal disini. Sakti memiliki rambut ikal pendek, berkepala sedikit oval, berkacamata, dan berkulit sawo matang.
"Hajimemashite, watashi no namae wa Sakti desu. Purwokerto kara kimashita. Yoroshiku onegaishimasu."
( Perkenalkan, nama saya Sakti. Saya dari Purwokerto, salam kenal)
Sekarang giliranku untuk memperkenalkan diri. Ketika aku berdiri, jujur jantungku berdetak begitu kencang, seketika diriku berkeringat dingin, pandanganku menjadi tidak jelas, dan kepalaku terasa pening. Kemudian aku menarik nafas dan menghembuskan nafas panjang, setelah diriku yakin aku pun mulai memperkenalkan diri.
"Hajimemashite, watakushi wa Juliet to moushimasu. Subang kara mairimashita. Ima, Bekasi ni sunde imasu. Minasan, yoroshiku onegai itashimasu." Melakukan Ojigi.
(Perkenalkan, nama saya Juliet. Saya berasal dari subang. Sekarang saya tinggal di Bekasi. Senang berkenalan dengan anda semua)
Seketika diriku menjadi pusat perhatian mereka semua. Kulihat Bila senpai menatapku dengan kagum, lalu menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Melihat hal itu wajahku memerah lalu aku duduk, membaringkan kepalaku di atas meja sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Setelah itu semua orang memberikan tepuk tangan kepadaku. Sekilas aku mendengar mereka berkata.
"Gila lihat itu Juliet, sepertinya dia calon saingan Sakti."
"Dari cara pengucapannya, lawannya bukan Sakti lagi melainkan calon rivalnya Adam."
"Memangnya siapa Adam?"
"Itu si kribo glowing, yang mendapatkan nilai tertinggi dalam kegiatan Okana. Dia berada di kelas sebelah."
"Sayangnya Juliet baru gabung hari ini."
"Benar, yasudah kita lihat nanti."
Seketika diriku merasa seperti menerima sebuah beban yang begitu besar. Yang mereka katakan tidaklah benar, aku hanya seorang pria yang memiliki IQ dan prestasi yang biasa saja. Tidak ada yang spesial pada diriku. Aku hanya seorang pemuda yang berjalan mencari jalan hidupku sendiri. Kemudian pelajaran pun dimulai, kulihat para peserta mengeluarkan sebuah buku tulis. Lalu meletakkannya di atas meja. Materi hari ini adalah tata cara penulisan huruf kana.
Setiap penulisan huruf kana, baik hiragana maupun katakana. Jika salah dalam menulis di setiap urutannya, tentu hasilnya tidak sesuai harapan. Semua orang memperhatikan materi yang di sampaikan oleh Bila senpai dengan serius. Selesai menyampaikan materi, saatnya untuk memulai tes membaca. Satu persatu di panggil ke depan, lalu duduk di sebuah kursi. Kemudian setiap peserta membaca sebuah cerita yang terdiri dari huruf kana.
Selesai membaca peserta di perbolehkan untuk pulang. Sebagian peserta sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Jumlah peserta di kelas ini semakin sedikit, sebelum giliranku tiba aku berlatih membaca, pada sebuah situs di layar phonselku. Ini pertamakalinya aku berlatih membaca, awalnya aku mengalami kesulitan. Sedikit demi sedikit akhirnya aku mulai bisa membacanya, walaupun banyak melakukan kesalahan. Tak terasa giliranku telah tiba, saatnya diriku untuk unjuk kemampuanku. Namun aku sangat gugup dan tidak percaya diri, seketika seluruh huruf kana yang aku pelajari lupa begitu saja.
Tanganku gemetar, raut wajahku menjadi panik, tanpa sadar aku mulai berkeringat dingin. Padahal ini bukanlah interview kerja, tetapi mengapa dengan tubuhku ini? Lima menit telah berlalu, namun aku belum mengeluarkan sepatah katapun. Tiba-tiba Bila senpai memegang tanganku, lalu menggenggamnya dengan cukup kuat. Lalu ia melepaskannya, setelah itu mencubit pipiku dengan kedua tangannya. Dia pun berkata.
"Selow jangan tegang begitu. Kita sedang mengadakan latihan membaca, bukan sedang interview. Jadi fokus ok?" Menarik-narik kedua pipiku layaknya sebuah adonan kue.
"Baik."
Akhirnya ingatanku telah kembali, seketika aku mengerti apa yang harus aku baca. Seluruh teks yang tertera, mudah aku baca. Dan akhirnya latihan membaca pun telah berakhir. Sekarang aku bisa kembali ke rumah untuk tidur. Sebelum pulang Bila senpai memberitahuku bahwa besok akan diadakan ujian. Mendengar hal itu aku pun terkejut, padahal aku baru saja aku masuk. Besok harus mengikuti ujian, sungguh malang nasibku ini dan sepertinya malam ini aku harus bergadang untuk persiapan ujian besok. Kemudian aku kembali turun ke lantai satu, lalu berjalan menelusuri lorong hingga keluar gerbang. Panas matahari telah menusuk kulitku, polusi udara yang di keluarkan oleh kendaraan bermotor telah menyakiti paru-paruku.
Aku putuskan untuk mempercepat langkahku. Kulihat ada seorang pedagang ketoprak, berjualan di bawah sebuah pohon yang rindang di depan mataku. Seketika perutku mulai keroncongan, lalu aku memesan satu bungkus ketoprak untuk dibawa pulang. Sambil menunggu, aku duduk disebuah bangku kecil samping grobak. Sekian lama mengantri akhirnya pesananku telah selesai di masak. Tiba-tiba para satpol PP turun dari sebuah truk, spontan para pedagang berhamburan pergi melarikan diri, termasuk pedagang ketoprak.
Pedangang itu membereskan dangangannya, lalu mendorong grobak hingga memasuki gang secepat mungkin. Aku pun hanya bisa diam dan melongo, sebab aku belum membayar ke pedagang itu. Rasanya aku seperti orang yang sedang berhutang. Akhirnya aku memutuskan, untuk melanjutkan perjalananku kembali ke rumah. Sekian lamadi perjalanan akhirnya aku sampai di rumah, kulihat Dedi belum kembali dari tempat kerjanya. Lalu aku masuk ke dalam untuk membuang hajat, setelah itu berganti pakaian dan tidur.
Kepintaran seseorang tidak selalu dilihat dari kesan pertama.
Keesokan harinya pada pukul enam pagi, seperti biasa aku keluar untuk mencari sarapan pagi. Katanya jika aku berjalan ke arah kanan, diriku bisa menemukan sebuah warteg yang buka pada pagi hari. Katanya rasa dari hidangan tersebut tak kalah dengan restoran bintang lima. Dan yang lebih menarik lagi, warteg itu memiliki sebuah televisi sehingga aku bisa sedikit menghibur diriku disana. Namanya juga anak kost, melihat televisi seperti melihat sebuah harta karun.
Membayangkan hal itu membuatku semakin bersemangat untuk pergi kesana. Sesampainya disana, aku memesan lauk pauk kesukaanku yaitu orek tempe kecap, terong balado, dan nasi setengah porsi. Kulihat orang yang melayaniku adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun. Dia menggunakan jilbab, dan menggunakan baju terusan berwarna oren muda bermotif daun. Lalu aku duduk di sebuah kursi dan meja panjang, setelah itu melirik ke kiri atas melihat acara televisi. Dihadapanku terdapat sebuah etalase, berisi berbagai macam lauk pauk. Hari ini aku menikmati acara kartun Spongebob kesukaanku.
Kebetulan suasana warteg sedang sepi, jadi aku bisa menikmatinya seorang diri. Di pertengahan acara, chanel pun diganti oleh Sang Nenek menuju chanel drama kesukaannya. Dia sengaja menggantinya, sebab dirinya pikir aku tidak menyukai acara tersebut. Padahal itu semua tidak benar, justru aku sangat meyukainya. Meskipun itu hanya sebuah kartun, tanpa kita sadari banyak pelajaran penting yang bisa diambil dari sana. Dibandingkan dengan acara naga terbang, dipenuhi dengan adegan yang tidak sepantasnya, di tunjukkan kepada anak berusia sepuluh tahun ke bawah. Sekarang kita bisa lihat, bagaimana seorang anak berusia lima tahun, mengerti tentang percintaan.
Atau fenomena menghilangnya lagu anak-anak. Sekarang mereka lebih mengenal lagu, dengan judul "Mamah Muda." Saya sendiri jujur kurang menyukai acara tersebut, sebab acara itu terlalu banyak mengandung bawang, adegan di luar logika, serta kejanggalan lainnya. Aku lebih suka dengan drama asal Korea Selatan. Sebab drama yang di tampilkan penuh dengan seni, pantas saja kaum hawa sangat menyukai acara tersebut. Pemeran juga terkenal dengan parasnya yang rupawan, walau tidak semua bawaan dari lahir.
Tetapi meskipun begitu, mereka tetap memperhatikan kualitas sehingga menembus panggung internasional. Mungkin beberapa tahun kedepan, semoga Indonesia bisa bersaing. Tetapi buat apa aku memikirkan hal itu? Lagipula hidupku sudah di penuhi dengan drama. Begitulah yang aku pikirkan sejak tadi. Selesai makan aku langsung membayarnya, lalu kembali ke rumah. Sejak kemarin aku belum melihat keberadaan tetanggaku, semalam aku hanya melihat lampunya yang menyala. Sekarang lampu itu sudah mati, sepertinya dia sudah berangkat kerja. Kapan-kapan aku akan berkunjung ke rumahnya.
Kemudian aku pergi untuk mengambil sebuah buku, lalu aku pun berlatih menulis huruf kana (Hiragana dan Katakana), setelah itu aku berlatih membaca pada sebuah situs internet. Setiap kata yang terlihat ku ucapkan dengan jelas dan lantang. Tiga puluh menit telah berlalu, sudah saatnya mengisi soal yang aku tulis sendiri. Soal itu berisi kumpulan kalimat, dengan tulisan latin yang harus diubah ke huruf kana. Terakhir aku harus mengubah salah satu cerita ke tulisan kana. Selesai mengerjakan soal akhirnya aku bisa sedikit percaya diri.
Setelah itu aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Sesampainya dikampus aku memasuki sebuah kelas yang disediakan oleh para panitia. Disana kami harus menunggu giliran untuk mengikuti tes kemampuan membaca. Tetapi sebelum itu, kami mengikuti ujian tulis terlebih dahulu. Selesai mengikuti ujian, kami harus menunggu di dalam ruangan. Kulihat sebagian dari kami, berlatih membaca pada sebuah layar phonsel, dan sebagian dari kami hanya menunggu sambil berbincang-bincang.
Sedangkan aku juga berlatih membaca, pada sebuah teks dibalik layar phonsel. Lima belas menit kemudian aku pun tertidur, lalu aku di bangunkan oleh Bila Senpai.
"Hei kamu cepat bangun, sekarang adalah giliranmu." Menepuk punggungku sebanyak lima kali, lalu mendoroku sebanyak tiga kali.
"Maaf senpai, saya ketiduran." Menatap wajahnya lalu menggaruk kepalaku sebanyak tiga kali.
Sekarang adalah giliranku untuk mengikuti tes membaca. Orang yang akan mengujiku adalah seorang Dosen berumur tiga puluh tahun. Dosen itu bernama Yogi Nias, beliau berpostur agak gemuk, memakai baju koko oren cerah, celana bahan diatas lutut, berkacamata, berambut ikal, dan memiliki janggut yang runcing. Kemudian aku duduk berhadapan dengannya, lalu beliau memberikanku sebuah kertas yang berisi tulisan kana. Satu kata menghasilkan satu poin, dalam waktu tiga menit, aku harus membaca ini semua dengan pelafalan yang jelas.
Padahal satu kertas HVS berukuran F4, berisi lima paragraf. Satu paragraf terdiri dari lima kalimat, melihat hal itu aku mulai tidak percaya diri. Kemudian aku langsung berdoa di dalam hati, dan akhirnya rasa percaya diriku telah pulih. Tes pun dimulai. Setiap kalimat dengan mudah aku membacanya, sebelumnya aku mengalami beberapa kesulitan dalam membaca tulisan katakana. Dengan rasa percaya diri dan ketelitian yang tinggi, aku pun bisa mengatasinya. Selesai menyelesaikan ujian kami diperintahkan untuk menunggu di luar.
Sebab setelah melakukan perhitungan, hasil tes dari keseluruhan rencananya akan ditempel atas mading, tepat di lantai tiga tempat kami berdiri. Satu jam kemudian akhirnya hasil ujian pun telah keluar. Ternyata dari seratus peserta, aku mendapatkan urutan ke tiga puluh. Sungguh hasil yang mengecewakan, padahal aku sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Seharusnya dirikulah yang harus mendapatkan peringkat pertama. Tetapi setelah aku selidiki, rupanya ujian ini dilakukan setiap dua hari sekali.
Dan ini adalah ujia terakhir yang aku ikuti. Jadi wajar saja jika aku mendapatkan posisi tersebut. Kemudian aku melihat siapa yang mendapatkan urutan pertama. Orang yang mendapatkan urutan pertama adalah Adam Mulyadi. Aku penasaran siapa orang itu, dan mengapa dirinya sangat populer? Lalu aku pun bertanya Si Botak Ruben.
"Woi." Menepuk pundaknya sebanyak tiga kali, ketika dirinya sedang melihat mading.
"Apa?" Melirik ke arahku.
"Gue penasaran, yang namanya Adam Mulyadi yang mana yah?"
"Itu disamping kiri elu." Menunjuk ke arah Adam, dengan suara sedikit lantang.
Adam menyadari akan hal itu, lalu kami berdua bertatapan setelah itu memberikan senyuman dan aku pun pergi begitu saja. Saat itu jujur aku merasa malu, dasar Ruben mengapa dia memberitahu dengan cara seperti itu? Jadi aku merasa tidak enak dengannya, kapan-kapan jika aku bertemu dengannya, sepertinya diriku harus meluruskan kesalah pahaman ini.
Kemudian aku berjalan menuruni tangga, lalu berjalan melewati lorong hingga keluar gerbang. Setelah itu berjalan menaiki trotoar hingga sampai ke rumah. Tak terasa hari sudah menjelang sore, kulihat Dedi belum pulang dari tempat kerjanya. Entah mengapa suasana di kontrakan ini semakin lama semakin hening. Semoga dalam beberapa hari ke depan, dua kontrakan samping kiriku segera terisi. Tiga telah berlalu, sudah saatnya aku pergi untuk membeli makan malam.
Katanya di pertigaan jalan lampu merah, sebelum pangkalan ojek ada sebuah kedai nasi kuning yang sangat enak. Karena penasaran aku langsung pergi untuk mengunjunginya. Tak disangka banyak sekali pria setengah jadi berkeliaran di jalan. Para pria itu menggunakan pakaian serba minim, wig rambut panjang, dan berbagai macam aksesoris untuk menarik perhatian. Melihat hal itu membuatku sangat geli, apalagi aku sempat mendengar rumor, bahwa mereka penyuka sesama jenis.
Rasanya aku ingin kembali saja ke dalam rumah, namun sepertinya perutku berkata tidak. Sebab sejak tadi dia terus memberontak, agar dirinya segera terisi oleh makanan. Belum sampai di kedai, tiba-tiba para banci itu berlarian ke arahku. Wajah mereka terlihat ketakutan, lalu berlari sekencang mungkin dari sesuatu di belakang mereka. Karena sudah terlanjur takut, spontan aku juga ikut berlari bersama mereka.
"Lari!"
"Kabur cin, selamatkan dirimu!"
"Aww, tidak tolong!"
Suara menjijikan yang terlintas di pikiranku. Saat diriku menoleh ke arah mereka rupanya itu adalah Satpol PP. Seketika aku pun tersadar, lalu bertanya kepada diriku.
"Kenapa gue ikutan lari?" Gumamku saat berlari bersama mereka.
Namun para Satpol PP, menatapku dengan tajam dan akhirnya aku pun berlari memasuki gang. Setelah itu memutar dan kembali memasuki rumahku. Pada akhinya rencanaku untuk makan malam di luar telah gagal. Terpaksa aku harus memakan sebuah roti, yang sempat aku beli di sebuah toko, ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. Setelah itu aku memakan roti, sambil merenung di pojokan dengan wajah putus asa.
Bạn cũng có thể thích
bình luận đoạn văn
Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.
Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.
ĐÃ NHẬN ĐƯỢC