Pada pukul tiga pagi, aku pun terbangun dikasur bawah milik sepupuku Yoga. Lalu aku memandang ke atas sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhku.
Aku pun mulai mengingat, wajah-wajah yang memukulku sebelumnya. Lalu aku mengepalkan tanganku, sambil mengeram dengan penuh kebencian. Namun penderitaanku tidak berhenti sampai disitu saja, selama tiga minggu ketika Pak Sugeng tidak ada mereka terus memukuliku. Demi bertahan hidup, aku harus membela diri hingga semuanya berakhir. Setiap malam aku selalu menangis meratapi nasibku. Sungguh menyedihkan, rasanya aku ingin segera mengakhiri ini semua. Kemudian Yoga pun turun dari atas kasurnya, lalu ia menatapku dengan prihatin. Dia tidak menyangka bahwa dua senior itu, bertindak terlalu jauh. Bahkan dia sempat berkata, bahwa ini bukanlah akademi tetapi sebuah penjara.
Kemudian ia bercerita, bahwa saat insiden pemukulan itu, hanya farhan dan teman seasramaku yang tidak terlibat. Setelah itu ia mengungkapkan kekecewaannya, terhadap oknum yang melakukan penyimpangan atas nama senioritas. Aku pun berkata.
"Bro sepertinya gue udah gak sanggup lagi" ujarku.
"Terus apa rencana elu selanjutnya?"
"Sepertinya gue bakal resign dari akademi ini"
"Apa elu yakin dengan keputusan elu?"
"Iya gue sudah memikirkan ini sejak lama, lagipula jujur ini semua bukan keinginanku" ujarku.
"Yasudah gue hargai keputusan elu, gue berdoa semoga elu lebih baik setelah keluar dari sini" ujarnya.
"Iya thanks, tapi gimana caranya gue menghubungi keluarga gue? Elu tau sendiri kita gak boleh bawa HP"
Kemudian ia naik ke atas kasur, lalu ia mengeluarkan HP androit dibalik bantalnya. Aku tidak menyangka ia nekap membawanya. Dia bertakata bahwa, dirinya sengaja membawanya untuk berjaga-jaga. Tiga hari kemudian saat tengah malam aku langsung berkemas. Sebelum berangkat, aku meminta Piras untuk menitipkan kunci asrama kepadaku. Kemudian pada pukul sepuluh pagi keluargaku datang ke akademi. Setelah itu menjemputku dikelas, lalu mengawalku seperti seorang tahanan yang akan memasuki mobil. Ketika aku akan memasuki, mobil aku sempat bertemu dengan senior Aditiya. Dia menatapku dengan penuh kekecewaan, lalu ia memasuki sebuah pos jaga samping ruang kesehatan.
Selesai mengurusi administrasi, kami pun berangkat ke asrama untuk mengambil barangku. Mobilku mulai melaju, kulihat senior Aditiya berdiri sikap sempurna, lalu memberi hormat kepadaku dibalik kaca. Spontan aku pun langsung menangis, diriku tidak menyangka bahwa akan berakhir seperti ini. Selesai mengambil barang di asrama, aku pun kembali ke asrama dengan berlinang air mata.
Sesampainya di asrama untuk terakhir kalinya Pak Sugeng datang menemuiku. Dia meminta agar dirinya bisa berbicara empat mata dengan diriku. Beliau membujukku untuk tidak mengundurkan diri. Namun aku tetap pada pendirianku, lalu ia pun bertanya.
"Jadi keputusanmu sudah bulat?"
"Iya keputusanku sudah bulat."
"Mengapa kamu memutuskan hal itu, sebelumnya bukannya bapak pernah bilang. Jika ada sesuatu katakan saja, jangan kamu simpan seorang diri."
"Hmm.."
"Sebelum kamu keluar dari akademi ini, bapak ingin bertanya sama kamu. Sebenarnya apa alasan, kamu memutuskan untuk pulang?" tanya Pak Sugeng.
"Saya udah gak betah disini, rencananya setelah ini saya ingin mencari kerja sambil berkuliah. Lagipula sejak awal ini semua bukanlah keinginanku, jadi saya ingin melangkah sesuai keinginanku. Jadi diteruskan saya khawatir akan berdampak buruk ke depannya" ujarku.
"Yakin hanya itu? Atau ada hal lain, seperti insiden pemukulan beberapa waktu lalu? Bapak ingin tau, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Pak Sugeng.
Akupun mulai menceritakan semuanya, dimulai dari pemukulan yang dilakukan oleh senior Soni, di fitnah, hingga menggerakkan masa untuk memukuliku. Semua aku ceritakan apa adanya, seketika Pak Sugeng menundukkan kepala lalu ia melepaskan topi hitamnya. Kemudian ia menggelengkan kepalanya, lalu memegang pundakku dengan tangan kirinya. Dia tak menyangka bahwa hal itu bisa terjadi, padahal sebelumnya pihak akademi sudah melarang tindak kekerasan. Bahkan mereka memasang baliho di setiap sudut akademi. Insiden itu membuat Pak Sugeng merasa bersalah, seandainya ia berada saat kejadian itu mungkin semua tidak akan terjadi. Dia pun berjanji bahwa dirinya akan mengusut kasus ini hingga tuntas. Setelah itu ia pun berkata.
"Untuk masalah ini Bapak mohon jangan kamu lapor ke polisi. Jika kamu melakukan itu, akademi ini akan ditutup selamanya" pintanya sambil menundukkan kepala.
"Tenang saya janji tidak akan melaporkan hal ini ke polisi. Sebab saya yakin suatu hari nanti, akademi ini akan menjadi lebih baik di masa depan" ujarku.
Dan akhirnya aku pun pamit untuk pulang, setelah itu langsung masuk ke dalam mobil. Sebelum berangkat ia berpesan, agar diriku menjadi orang yang lebih baik. Setelah itu supir mulai melajukan kendaraanya, dibalik kaca mobil belakang kulihat Pak Sugeng memberi hormat kepadaku sama seperti senior Aditiya. Asal kalian tau, saat aku melihatnya spontan diriku langsung berlinang air mata. Sementara itu, seluruh keluargaku bersikap seolah tidak tahu.
Sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke rumah, kami mampir ke Rest Area Tol Cipali. Kebetulan sejak tadi aku menahan diri untuk membuang hajat, ketika sampai aku langsung pergi ke toilet umum. Selesai membuang hajat aku memberikan selembar dua ribu, kepada penjaga toilet di luar. Lega rasanya ketika aku bisa mengeluarkannya hingga tak tersisa. Andaikan beban di hati dan juga pikiranku, bisa keluar layaknya membuang hajat. Sayangnya untuk mengeluarkan hal itu, dibutuhkan waktu yang sangat lama. Kemudian kami menghampiri sebuah warung makan, untuk makan malam. Padahal jam baru saja menunjukan pukul lima sore, dua jam lebih awal dari sebelumnya.
Kulihat awan sudah mulai mendung, lalu kilatan cahaya mulai menyambar-nyambar. Sambil menunggu pesanan, aku menikmati secangkir teh tawar gratis di atas meja. Aku baru sadar bahwa ada lima anggota keluargaku, yang ikut menjemputku. Yang pertama adalah Papah, Mamah, adikku, ponakanku, dan terakhir adalah Nenek tetapi aku sering memanggilnya "Emih". Hari ini terasa berat sekali, seluruh tubuhku terasa hampa, pikiranku mulai kosong, dan pandanganku mulai kosong. Bahkan ketika kedua orang tua sedang berbicara denganku, aku tidak bisa menyimak apa yang mereka katakan. Menu makanan hari ini adalah nasi goreng kesukaanku, entah mengapa ketika aku mencicipinya rasanya terasa hambar.
Biasanya apapun jenis nasi goreng yang aku makan, pasti aku dapat menghabiskannya tanpa tersisa. Kini aku hanya mampu memakan sepuluh sendok saja. Tak terasa hujan pun mulai turun, seketika aku teringat ketika diriku sedang mengikuti MADABINTAL. Waktu itu aku dua kali berteriak untuk meminta pulang, bahkan ketika aku berada di asrama aku mengatakan hal yang sama. Sekarang aku sedang berada diperjalanan ke rumah, lalu setelah ini apa yang harus aku lakukan? Sementara teman-temanku diluar sana, memulai langkahnya untuk meraih impian. Rasanya diriku semakin tertinggal oleh mereka, sungguh lemah dan menyedihkannya diriku.
Tetesan hujan telah meredam kebisingan disekitarku. Ini adalah waktu yang pas untuk menikmati waktuku seorang diri. Dibandingkan diriku harus mendengarkan, percakapan mereka yang membuat pikiranku bertambah pusing. Lagipula mereka juga sama saja, selalu melihat apa yang terlihat, dibandingkan apa yang ada didalam.
Terkadang aku bertanya kepada diriku, apakah keputusan kali ini benar? Namun diriku sendiri tak mengetahuinya. Aku teringat sebelum diriku dijemput oleh keluargaku dikelas. Waktu itu suasana kelas sedang ramai, ketika mendengar gurauan dari Sang Pengajar.
Saat itu, aku sedang menulis surat untuk teman kelasku. Tak ada satupun dari mereka yang tau, kecuali sepupuku Yoga. Sebelum berangkat menuju akademi untuk terakhir kalinya, ia memintaku untuk menyapaikan kesan dan pesan, kepada teman-temanku. Namun karena terlalu menyedihkan sekaligus malu, maka aku hanya bisa sanggup menyampaikannya dengan sepucup surat. Lalu surat itu, langsung aku letakan diatas meja kelas ketika keluarga menjemputku.
Tiba-tiba Papah menepuk tanganku, sebanyak tiga kali lalu ia berkata.
"Jadi bagaimana, apa kamu ingin kembali ke akademi itu?" Tanya Papah.
"Tenang aja Fad sekarang kamu istirahat saja, kalau kamu ingin kembali mamah punya kenalan kok disana." Kata mamahku.
"Maaf bisakah kalian tidak membicarakan hal ini sekarang." Menatap kedua orang tuaku, dengan nada cukup tinggi.
Mereka berdua membuatku kesal, seharusnya ketika seorang anak sedang depresi, jangan terlalu memberikan banyak pertanyaan. Sebaiknya berikan sebuah motivasi, jika tidak bisa lebih baik diam. Seketika mereka berdua terdiam, lalu mengalihkan pembicaraan kepada ponakanku. Sekilas kulihat orang-orang yang berlalu-lalang seperti memandangiku. Mereka semua melihatku dengan terheran-heran, rasanya aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah. Sesampainya dirumah mereka tetap saja, mengatakan hal yang sama. Secara logika itu adalah hal yang mustahil, apalagi berkas administrasi telah dituntaskan. Dan jika seandainya aku kembali, mungkin kehidupanku lebih sulit dari yang sebelumnya.
Lalu aku menolak tawaran mereka dengan keras, setelah itu diriku langsung memasuki kamar sambil berjalan sempoyongan. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk mengurung diri, selama empat hari. Selama diriku berada didalam kamar, aku habiskan waktu untuk meratapi nasib. Terkadang diriku tertawa, menangis, bahkan berteriak sendiri tanpa sadar. Merasa terganggu, adikku melempariku dengan sebotol air mineral, hingga mengenai kepalaku. Kemudian ia berkata.
"Berisik lu, dari pada elu terus-terusan jadi beban mending mati aja!" kata adikku.
"Iya gue bakal mati, tapi gantian elu yang jadi beban keluarga selanjutnya bangsat!" ujarku dengan nada tinggi.
"Apa elu bilang?!"
"Itu telinga apa danging jadi? Sok berlaga tidak mendengar!"
"Yang beban itu elu bukan gue!"
"Emang apa kontribusi elu buat keluarga ini? Nyuci aja gak pernah apa lagi masak! Apagi menghasilkan duit!" Kataku.
Tiba-tiba Mamah mengetuk pintuku dengan keras, lalu ia meminta agar berhenti. Seketika kami pun terdiam, kudengar mamah memasuki kamar adikku. Setelah itu, ia memarahi adikku dengan intonasi tinggi. Dia kecewa dengan apa yang adikku katakan, sebagai seorang adik seharusnya memberi dukungan kepada kakaknya. Namun kenyataannya, ia malah menghinaku dan ia terus memojokkanku. Segitu bencinya ia kepadaku, sampai dia menolak keberadaanku sebagai seorang kakak. Setelah memarahi adikku, mamah mulai membujukku agar diriku keluar dari kamar. Tetapi diriku tetap pada pendirianku, berdiam diri sampai waktu yang menyuruhku untuk keluar.
Bahkan ketika aku ingin membuang hajat, aku masukkan air seni ke dalam botol. Dan ketika aku ingin BAB, aku masukkan tinja itu kedalam plastik hitam tebal. Saat malam hari aku menyelinap keluar, lalu mengambil makanan dan minuman sebagai persediaan dialam kamar. Kemudian aku membuang plastik dan ranjau saat keluargaku tertidur. Dua hari telah berlalu, aku pun bercermin pada lemari kaca. Wajahku terlihat pucat, mataku sedikit menghitam, dan rambutku yang acak-acakan. Sejak kemarin mamah terus saja mengetuk pintu, lalu membujukku agar keluar dari kamar. Terkadang bergantian dengan papahku, untuk membujukku.
Keesokan harinya tubuhku mulai muriang, kondisiku bertambah parah ketika aku mendengar, percakapan orang yang melintas sedang membicarakanku. Mereka berkata bahwa tindakanku adalah suatu perbuatan bodoh. Padahal mereka tidak tau apa-apa tentang diriku dan apa yang aku rasakan. Kebanyakan orang selalu mengomentari apa yang ia lihat, dari pada mencari tau kebenaranya. Spontan aku langsung memukul dinding, hingga tanganku memar. Untuk menghibur diriku, aku memutuskan untuk browsing sayangnya jaringan wifi telah dimatikan. Beruntung diriku masih memiliki sisa kuota, sehingga masih bisa untuk akses internet. Kulihat banyak sekali notifikasi masuk, mulai dari facebook hingga whatsapp. Rupanya itu adalah notifikasi dari keluargaku, mereka ingin agar aku segera keluar dari kamar. Mereka mereka merasa, karena tidak mendengarkan diriku sejak awal. Namun aku tidak memperdulikannya, lalu aku membisukan notifikasi hingga besok.
Kemudian aku membuka hordeng kamar, rupanya hari ini sedang turun hujan dengan lebat. Langit sangat gelap, kulihat kilatan cahaya mulai menyambar-nyambar menerangi gelapnya langit. Lalu aku pun kembali menutup hordeng, tiba-tiba aku merasa ada sosok berada disamping kiriku. Saat aku menoleh aku pun terkejut, rupanya sosok itu adalah seorang wanita cantik, ia menggunakan kebaya merah dengan motif bunga, selendang kuning, berambut panjang, dan menggunakan mahkota terbuat dari emas. Dia memiliki mata berwarna hijau, berkulit putih, dan berhidung mancung. Bentuk mahkota itu mirip sekali, dengan mahkota yang digunakan oleh karakter disney yaitu Cinderela. Sepertinya aku sedang berhalusinasi, lalu sosok itu memberi salam.
"Sampurasun." Membungkukkan sedikit badanya, lalu melebarkan kedua tangan sebahu sambil memegang selendang dari kedua sisi.
Dan akhirnya akupun sadar, bahwa ini bukanlah halusinasi lantas siapakah dia? Mengapa dia bisa berada disini, padahal pintu sudah terkunci dua hari lalu. Untuk memastikannya, aku beranikan diri untuk menyentuhnya. Dan ternyata tanganku menembusnya, kulihat tidak ada bayangan dilantai. Namun kali ini diriku tidak takut sama sekali, lalu aku membiarkannya melakukan apapun sesuka hatinya. Lalu sosok wanita itu berkata.
"Hmm.. sepertinya kedatanganku tidak tepat. Kulihat sejak tadi, aura hitam terus saja keluar dari tubuhmu. Jika dibiarkan itu akan mempengaruhi kesehatanmu. Baiklah sebagai hadiahnya, karena kau sudah menyelamatkan rakyatku aku akan membantumu. Katakan ada masalah apa?" Tannya sosok itu.
"Buat apa gue cerita ke makhluk jahat sepertimu."
Mendengar hal itu, ia menarik nafas lalu menghembuskan secara perlahan. Setelah itu ia tersenyum manis kepadaku. Lalu ia pun berkata.
"Tenang saja, aku bukan makhluk jahat seperti peminta tumbal dan lain sebagainya. Aku hanyalah seorang penguasa, yang ingin membahagiakan rakyatnya." Menyentuh dadanya, dengan tangan kanannya.
"Baiklah sepertinya, aku sedikit mempercayaimu. Jadi ada kamu kemari?"
"Aku tidak bisa memberitahumu dengan kondisi seperti ini. Sekarang begini saja, bagaimana kalau aku menghiburmu?"
"Menghiburku, apa maksudmu? Apa jangan-jangan kau ingin melakukan hal itu?" tannyaku dengan pikiran kotorku.
"Maksudku menghibur seperti memberikan motivasi, bercerita dan lainnya. Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan dasar mesum." Menunjukku dengan wajah mesumnya.
Seketika wajahku memerah, lalu aku langsung membalikkan pandangan. Setelah itu aku memberikan seribu alasan, agar ia percaya bahwa aku tidak memikirkan hal kotor. Kemudian aku menceritakan semuanya, dimulai saat aku kelulusan hingga diriku keluar dari akademi. Kulihat ia pun duduk lalu ia meleluk kakinya, setelah itu ia melirik ke arahku sambil mendengarkan ceritaku dengan serius. Selesai bercerita ia pun berkata.
"Jadi begitu yah, setiap manusia pasti memiliki masa kelam. Bahkan makhluk sepertiku, juga memilikinya. Menurutku lebih baik kau nikmati saja prosesnya, lagipula masa depan tidak ada yang tau. Semua itu sudah direncanakan oleh Tuhan YME, jadi jangan bersedih. Berlarut-larut dalam kesedihan dan keputusasaan, itu tidak baik."
"Terus apa yang harus aku lakukan?"
"Jangan bertanya kepadaku, tetapi tanyakan kepada Sang Pencipta. Kau sudah lupa yah? Dialah yang menentukan garis takdir seseorag. Jika kau semudah itu melupakannya, lantas kepada siapa kamu selama ini kamu meminta? Dan apakah ibadah itu hanyalah sebuah ritual?"
Apa yang dikatakanya memanglah benar. Seharusnya ketika memiliki masalah, aku harus mencari dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bahkan bangsa Jin seperti dirinya berani menasehatiku secara langsung. Aku merasa saat ini, drajatku lebih rendah dihadapanya. Padahal aku adalah manusia, makhluk spesial yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Tetapi mengapa aku tidak memikirkan hal itu, sungguh aku menyesalinya sekarang. Lalu sosok itu berkata.
"Yasudah tidak apa-apa, jangan murung seperti itu. Asal kamu bisa mengingat Sang Pencipta itu sudah cukup bagiku. Jadi ingat pesanku, apapun yang terjadi selain bernafas tetaplah berdoa."
"Terimakasih sudah menasehatiku, oh iya aku belum mempernalkan diri. Namaku Juliet."
"Perkenalkan namaku Kirana Pramaswaran, aku Ratu siluman buaya penguasa daerah sini." Berdiri, lalu bersikap seperti sebelumnya.
Kemudian aku pun penasaran tentang wilayah kekuasaannya. Sebenarnya dari mana sampai mana wilayah kekuasaanya? Lalu ia memintaku, untuk menujukkan peta wilayah Indonesia milikku. Setelah itu aku mengambil buku atlas, diantara tumpukan buku di antara dua lemari, setelah itu membukanya. Dia mulai menunjuk ke arah kota Bekasi hingga kota Cirebon, dan disini rupanya adalah ibukota kerajaan. Ternyata wilayahnya, hanya seperempat di wilayah Jawa Barat. Lalu ia sempat memberitahuku nama kerajaannya. Nama kerajaanya adalah Kaliwereng, nama itu terinspirasi dari aliran sungai dan serangga pengganggu, yang menghalangin penglihatannya. Begitulah asal muasal nama dari kerajaan tersebut.
bình luận đoạn văn
Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.
Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.
ĐÃ NHẬN ĐƯỢC