Keesokan harinya kami bangun pukul lima pagi, rencananya kami akan berlatih untuk upacara pembukaan MADABINTAL hari ini. Latihan yang kami jalani, diawasi ketat oleh para senior dan TNI. Sedikit saja kesalahan, selang pun siap menjadi taruhanya. Jujur aku masih sangat mengantuk, serta tubuhku kelelahan sambil membawa beban tas punggung berwarna hijau. Namun aku berjuang agar tidak tumbang. Tak terasa jam delapan telah tiba, kami pun berkumpul dan membentuk barisan layaknya upacara bendera. Seluruh peserta mengikuti upacara itu dengan serius. Poltar pun mulai berpatroli, untuk mencari CATAR (Calon Taruna) yang mengantuk. Jika ketauan ada yang mengantuk, mulutnya akan dimasuki biji setan. Biji setan itu sebenarnya adalah obat herbal untuk malaria, karena tidak tau nama biji itu, maka aku menyebutnya begitu.
Rasa dari biji itu sangat pahit, meskipun berusaha dinetralkan dengan air tetapi rasa pahitnya, tidak akan hilang selama tiga hari. Sebelum upacara dimulai, aku sudah dipaksa untuk mengunnya tiga biji setan. Di akhir upacara dua orang perwakilan catar, menerima bendera sebagai simbol dimulainya MADABINTAL. Tiba-tiba suara meriam dan senapan api, mulai bergemuruh diudara. Spontan kami pun disuruh merayap oleh para senior, hingga ke ujung lapangan. Sialnya aku berada diurutan paling belakang, lalu para senior dan TNI mulai mencambukku dengan selang, layaknya seekor kambing.
"Ayo mana teriaknya!" kata Senior Aditiya, yang menjabat sebagai DANKI (Komandan Kompi)
"Kenapa, mau mati kau!" kata senior Soni, yang menjabat sebagai poltar.
"Cepat gerakkan kakimu gundul!" kata Narto, Sang Perwira TNI.
"Yah dia mau nangis, payah!" kata Aisyah, senior cantik yang menjabat sebagai Poltar.
Setelah itu dilanjutkan dengan berguling-guling hingga ke ujung lapangan. Para senior pun mengeluarkan suara, seperti orang ingin muntah dengan suara lantang. Aku yakin suara itu adalah pancingan, dan akhirnya ada beberapa catar yang terpancing. Melihat hal itu, para senior pun memaki mereka lalu tertawa terbahak-bahak. Kepalaku terasa pening sekali, rasanya aku akan bernasib sama seperti mereka, apalagi sekarang tiga orang poltar sedang mencabukku cukup keras.
"Gulingkan badanmu dul!!"
Suara yang membuatku mebuatku ingin naik darah. Aku sungguh tidak kuat akhirnya diriku nekat untuk beristirahat. Kulihat para catar baru saja berbaris rapih, sambil menunggu kedatanganku. Tiba-tiba ada salah satu dari mereka menendangku, lalu ia memakiku dengan suara lantang. Setelah itu aku kembali melanjutkan tugasku hingga akhir. Katika aku ingin masuk barisan, senior David yang menjabat sebagai poltar menahanku, dengan tangan kekarnya. Kemudian mereka semua diperintahkan untuk membungkuk, lalu mereka semua dicambukki dengan selang.
"Lihat ini gundul, karena kamu mereka jadi begini!" kata Senior Soni.
"Mau nangis, uhh cup cup" kata senior Rita berambut pendek, dengan tali kur putih biru ciri khas poltar.
Setelah mereka dicambuk, kini giliranku untuk dicambuk habis-habisan. Sakit sekali rasanya, namun aku harus bertahan menghadapi ini semua. Kemudian mereka mendorongku hingga tersungkur, lalu aku pun bangkit dan bergabung dalam barisan. Lalu kami diperintahkan, untuk berlari mengelilingi markas sebanyak tiga putaran. Aku berada dibarisan paling belakang, samping kanan dan kiriku ada Yoga dan Farhan. Entah mengapa sepatu yang aku gunakan mulai terasa berat, dan akhirnya aku tertinggal lima langkah dari barisan. Narto Sang Perwira TNI untuk berhenti, lalu kami semua terdiam dengan sikap sempurna.
"Dasar goblok kalian semua, kalian apatis karena telah meninggalkan teman kalian sendiri!" kata Narto, Sang Perwira TNI.
"Beginikah kekompakan angkatan tujuh dua!?" kata senior Aisyah.
"Hey siapa nama kamu dul?" tanya senior Aditiya.
"Juliet.."
"Woi begitukah kau menjawab kepada seniormu?!" kata senior David.
"Siap Juliet Fadilah!" jawabku.
"Hey hey kenapa dengan ekspresi wajahmu, apakah kamu ingin menangis?!" tanya senior Rita.
"Siap tidak!" kataku.
"Jiah pengen nangis dia" kata senior Robi, senior yang menjabat sebagai poltar.
Begitulah yang mereka lakukan setiap diriku melakukan kesalahan. Singkat cerita malam pun tiba, kami semua sedang tertidur lelap dengan beralaskan karpet, dan tas sebagai bantalan. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara tembakan dari penjuru arah, lalu para senior memukul tenda.
"Woi bangun elu semua gundul!" kata para senior.
Seluruh catar terbangun lalu berkemas dan berkumpul dengan tergesah-gesah. Ketika kami semua sudah berkumpul, semua catar terlihat kacau, ada yang tidak membawa tas, tali tambang, topi, baju yang tidak dikancingkan, bahkan ada yang tidak memakai celana. Aku pun datang paling akhir, namun sudah berpakaian lengkap. Selama dua jam kami dimaki habis-habisan, lalu kami diperintahkan untuk push up hingga tersungkur. Aku sudah tidak tahan lagi, rasanya ingin segera mengakhiri ini semua. Sayangnya ini baru dua hari, aku harus menunggu lima hari lagi. Jujur satu hari itu terasa seperti satu bulan, lama sekali rasanya. Hingga suatu hari aku mengucapkan hal terlarang tanpa sadar.
"Sudah tidak tahan, aku ingin pulang" gumamku.
Aku kira tidak ada satu pun yang mendengar perkataanku, sayangnya semua itu terdengar oleh Narto Sang perwira TNI, dan senior Robi. Mereka berdua pun tertawa lalu menarikku ke depan seorang diri. Kulihat mereka semua terdiam dengan sikap sempurna, lalu hujan pun turun.
"Apa kalian dengar apa yang dikatakan Juliet barusan? Dia ingin pulang katanya" ujar senior Robi.
"Ada yang ingin pulang!?" tanya perwira Narto.
"Siap tidak!"
"Mana suaranya babi!" kata senior Soni.
"Siap tidak!"
"Kau dengar itu, sungguh memalukan!" kata senior Robi sambil memegang daguku.
"Rasakan ini!" kata salah satu poltar sambil menamparku dengan keras.
Hujan pun turun semakin deras, seluruh baju kami basah oleh air hujan, noda lumpur yang menempel dibaju telah hilang terbawa guyuran hujan. Semenjak saat itu aku selalu menjadi target utama mereka, tamparan dan cambukan menjadi sarapan sehari-hari. Hingga hari keempat air mataku tidak bisaku bendung lagi. Suatu hari saat tengah malam, mereka membawaku ke depan klinik kesehatan, seketika mentalku down, lalu pandanganku menjadi kosong. Rasanya aku merasa tidak ada artinya lagi hidup di dunia ini. Seketika mereka mulai membicarakan tentang kepulanganku, sebagian ada yang tertawa dan sebagian hanya diam membisu. Lalu datanglah seorang perwira berbadan cungkring, dengan tahi lalat disamping hidungnya. Perwira itu bernama Sugianto, kulihat sepertinya ia sudah usia kepala tiga. Perwira itu menatapku dengan penuh prihatin, lalu ia menggelengkan kepala.
"Siapa namamu?"
"Siap, Juliet" dengan intonasi lemah.
"Sepertinya kamu sudah menjalani hari yang berat, mari sini duduk kita ngobrol sebentar sambil minum teh" sambil menuntunku memasuki ruang kesehatan.
Sambil berjalan ia melototi orang yang menertawakanku, lalu memberikan isyarat agar pergi pergi menemui para catar yang lain. Di tempat itu hanya ada empat lima orang, yaitu aku, senior Aditiya, Perwira Sutisno, Senior David, dan terakhir Perwira Sugianto yang sedang duduk disampingku.
"Kamu asli dari mana?"
"Subang"
"Saya juga sering ke subang bareng teman saja, itu juga sekalian dinas. Kota Subang benar-benar kota kecil yang indah rupanya. Ngomong-ngomong katanya kamu pengen pulang, ada apa?" tanya perwira itu.
"Fisiku sangat lemah, banyak teman-temanku yang menjadi sengsara karena aku. Lebih baik aku pulang, lagipula saya tidak yakin bisa mengikuti ini semua hingga kelulusan" ujarku.
"Dulu saya juga saat pertamakali masuk ke akademi militer, pernah merasakan hal yang sama. Jika dibandingkan dengan ketahanan fisik para catar, fisikku yang paling lemah. Hey tapi kau tau, disitu aku belajar satu hal. Bahwa sebenarnya fisik itu bisa dilatih, namun yang paling sulit adalah melatih mental" ujarnya.
"Hmm"
"Tetapi saat melihatmu langsung seperti ini, entah mengapa saya mulai mempercayaimu. Begitu juga dengan para senior didepan matamu ini. Mungkin didalam hati mereka pasti mereka ingin mengatakan, kamu itu bisa bisa. Itu benarkan?!" tanya Sugianto kepada dua orang senior.
"Itu benar semangat dong, kamu pasti bisa!" kata senior Aditiya.
"Gue lihat elu orang baik Jul, dan gue yakin suatu hari nanti elu bakal jadi orang sukses" kata senior David.
"Yasudah begini saja, kalau ada apa-apa cerita ke bapak. Bapak pasi bakal dengarkan keluh kesah kamu" kata perwira Sutisno.
"Pokoknya nanti setelah latihan, kamu temui saya lalu ceritakan semua yang kamu alami. Soal seniormu jangan khawatir, mulai sekarang kamu jadi anak emas. Jangan sungkan untuk bercerita" ujarnya.
Dari situlah awal kedekatanku dengan pelatih Sugianto. Setiap berlatih aku selalu menceritakan keluh kesahku kepada beliau. Ketika ada senior dan para pelatih yang menghukumku dengan selang ditangan mereka, hanya beliaulah yang tidak pernah memukulku. Dia hanya menatapku sambil tersenyum, lalu ia menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia yakin aku bisa melalui ini semua.
Perbuatan mereka bukanlah sebuah kejahatan. Melainkan membantumu, agar menjadi seorang manusia yang tangguh.