Satu bulan telah berlalu, sepertinya para senior telah melupakan kejadian itu. Namun meski begitu, keberadaan Sang Pelaku masih menjadi misteri sampai sekarang. Meskipun ada sebuah petunjuk, yang diperoleh dari hasil terawang gaib yang dilakukan oleh Farhan. Itu semua tidaklah cukup. Untuk membuktikan hal itu diperlukan saksi mata, jika kita kilas balik waktu tidak ada saksi mata. Aku sempat melihat tangan Sang Pelaku, namun aku tidak sempat melihat wajahnya. Jika aku langsung menunduhnya secara langsung, tanpa alat bukti bisa menjadi bumerang bagiku.
Kulihat sepertinya Nunki mulai melupakan kejadian itu, meskipun begitu ia akan terus mengingatnya. Aku sungguh tidak bisa melakukan apapun, seadainya aku punya kekuatan pasti aku langsung menangkap pelakunya. Intensitas mental yang diberikan oleh para senior, semakin hari semakin turun. Dengan begitu setidaknya aku bisa sedikit bernafas. Latihan yang kami jalani siang dan malam, mulai terlihat hasilnya. Yang sebelumnya tidak rapih, sekarang menjadi rapih dan berenergi begitu juga latihan lainnya. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan baru disini.
Singkat cerita malam pun tiba, kulihat para senior mulai berkeliling untuk berjualan. Mereka menjual aksesoris, pulsa, dan es kenyot. Selama kami belum menggunakan baju hijau, mereka masih memperbolehkan kami bermain HP. Lalu ada sebagian taruni mendekati para senior, juga taruna yang bertingkah seolah kenal dekat dengan mereka. Mereka pun berfoto bersama di bawah sinar bulan. Sementara itu aku dan temanku di asrama, hanya melihat itu semua dengan secangkir kopi. Setelah itu kami pun beradu kekuatan dengan cara Push up, siapa yang mendapatkan hasil yang paling banyak dialah pemenangnya.
Sekarang adalah giliranku, dan aku pun bersiap, kedua tangan dibentangkan sebahu lalu posisi badan tengkurap, pandangan lurus kedepan, posisi punggung harus lurus seperti ketika melakukan plank. Ketika melakukan push up, aku hanya bisa mendapatkan lima. Sementara teman-temanku, mendapatkan hasil diatas tiga puluh.
"Ayo mana tenaga laki-laki!" kata Piras.
"Masa cuman lima payah!" kata Yoga.
"Kuatin tangannya!" Kata Dodi sambil menepuk tangan.
"Itu tangan apa linggis, kecil amat!" Kata Paijo.
"linggis, tangan gue gemeter kambing!" ujarku sambil menahan sakit dikedua tanganku.
"Dorong terus, paksain katanya mau bisa push up!" kata Muner.
Dan akhirnya dengan sedikit paksaan dan dorongan dari teman-teman. Akhirnya aku berhasil mendapatkan sepuluh poin. Keringatku bercucuran, pandanganku lurus ke depan dalam posisi tengkurap, dan tanganku gemetar. Kemudian mereka secara paksa, melatih seluruh otot tubuhku hingga mencapai batasnya. Selesai berlatih aku pergi ke dalam untuk minum segelas air putih. Tiba-tiba seluruh taruna memasuki asrama masing-masing dengan penuh tergesah-gesah. Sepertinya malam ini akan diadakan ospek dadakan oleh para pelatih. Namu dugaanku salah, rupanya itu hanyalah kunjungan para senior. Seketika suasana pun kembali normal. Lalu ada tiga senior mengunjungi asramaku. Salah satu senior pun bertanya.
"Ada yang berasal dari Subang?"
Senior itu, berkulit sawo matang, berambut pendek, berwajah sedikit berjerawat dengan bekas luka bakar di dahi kirinya, serta memiliki tinggi yang sepantar dengan kami namun kekar. Aku dan Yoga pun mengacungkan tangan, setelah itu kami pinda ke depan lalu duduk bersila. Kemudian kami bertiga saling memperkenalkan diri. Senior itu bernama Soni Rohman, dia berasal dari Kalijati. Dia mengambil jurusan teknik permesinan, setelah lulus ia berencana untuk bekerja di kapal pesiar. Kemudian ia menjelaskan peluang karir setelah lulus dari akademi.
"Setelah memakai baju hijau, kehidupan kalian akan terasa jauh lebih berat. Pesan saya, sabar nanti juga badai pasti berlalu. Tetap jaga kekompakan, saya percayalah orang Subang kuat-kuat kok. Jangan malu-maluin kota Subang, dan terakhir jangan manja saya benci orang manja. Setelah lulus dijamin kalian langsung dapet kerja, gaji tinggi dan koneksi nambah. Semangat yah!"
"Siap senior!" Jawab kami berdua.
Selesai kunjungan para senior kembali ke rumahnya masing-masing. Tak terasa sudah tengah malam, kulihat suasana diluar sangat sepi. Sebelum tidur kami pun berkumpul diruang tengah, lalu berbincang mengenai para senior yang berkunjung. Seminggu lagi seluruh angkatanku akan mengikuti MADABINTAL (Masa Dasar Binaan Mental). Rencananya kegiatan itu akan dilaksanakan, di salah satu Batalyon Infantri 993 Garuda Force. Kegiatan itu berlangsung selama seminggu. Setelah MADABINTAL, dilanjutkan dengan Long March (Jalan Jauh) dari Banjar ke Pangandaran. Salah satu senior mereka memberitahu, bahwa perlakuan mereka akan lebih ekstrem dari biasanya. Mendengar hal itu, jujur membuatku sangat takut rasanya aku belum siap mengikuti hal itu. Lalu Paijo pun berkata.
"Paling nanti si Juliet langsung pingsan"
"Gak tau dah soal itu, gimana jul?" tanya Piras.
"Hmmm..."
"Juliet pasti kuat lah, " kata Yoga.
"Percaya gue mah sama Juliet, tinggal kuatin mentalnya aja pasti bisa," kata Muner.
"Ho.ho iya dong, soal dibentak gue sudah terlatih saat PMR dulu," kataku.
"Tapi pengalaman kayak begitu gak bisa menjamin si bro," kata Dodi.
"Juliet gak bakal kuat, gue udah apal banget tipe anak rumahan kayak elu," kata Paijo.
"Kuat kok, gue taruna!" Dengan nada sedikit tinggi.
"Widih mantap Mas Jul," ujar mereka.
Setelah itu kami pun pamit untuk kembali ke kasur masing-masing, lalu menarik selimut hingga terlelap. Entah mengapa saat memikirkan hal itu, firasatku menjadi tidak enak. Tetapi aku tidak tau firasat apa itu. Yang jelas semoga apa yang aku takuti selama ini tidak terjadi. Tak terasa minggu telah tiba, seluruh taruna pergi ke pos penjagaan, dekat asrama taruni untuk mencukur. Para laki-laki dicukur hingga memiliki rambut sepanjang 0,1 CM, sedangkan taruni harus memiliki panjang rambut 3 CM, termasuk yang berhijab. Terpaksa aku harus merelakan rambutku untuk sementara. Setelah pemotongan rambut, kami diberi seragam PDH hijau berlengan panjang, lengkap dengan topi dan sepatu PDL hitam.
Kami mencoba seragam itu di dalam asrama masing-masing. Lalu saat aku mencobanya, ukurannya sudah pas denganku. Aku penasaran dengan sepatu yang akan aku gunakan besok, saat aku mencobanya sepatu ini terasa cukup berat. Setelah berpakaian lengkap aku pun bercermin, sambil menarik nafas aku pun berkata.
"Sepertinya aku sudah siap," ujarku.
Keesokan harinya pada pukul lima pagi, kami berkumpul dilapangan depan akademi. Kulihat wajah semua orang terlihat sangat serius, sedikit saja ada yang tertawa habislah sudah. Udara yang dingin serta tekanan dari para senior, mebuat jiwaku bergetar. Namun aku harus kuat, lagi pula kegiatan ini hanya berlangsung satu minggu. Lalu datanglah tiga bus Agramas jurusan ekonomi, setelah itu satu persatu taruna memasuki bus dengan tertib. Sebelum itu aku tidak membawa kalung kesayanganku. Aku tidak ingin para senior itu merampasnya dariku, maka aku sembunyikan kalungku di dalam lemari asrama. Setelah memasuki bus, aku duduk disamping teman dekatku Farhan dan Yoga. Kami duduk ditengah samping kanan. Sekian lama menunggu bus melaju. Sepanjang perjalanan kami dikawal oleh mobil polisi, sirine mobil itu membuat para pengemudi menyingkir sejenak. Melihat jalanan rasanya seperti melihat rumah, jujur aku sangat takut mengikuti ini semua.
"Sudah jangan takut santai aja bro," kata Farhan.
"Selow aja Jul nikmati, lagipula elu sudah terlatih di PMR sekolah," kata Yoga.
"Iya thanks," kataku.
Tiga jam telah berlalu, sebentar lagi kami sampai ditujuan. Jantungku berdetak begitu kencang, kedua tanganku gemetar, lalu aku memutuskan untuk melihat pemandangan dibalik kaca. Kulihat banyak sekali pepohonan, serta kebun teh yang menyejukkan mata, turunan dan tanjakan telah kami lewati. Kulihat awan dilangit sudah mulai gelap, gemuruh petir mulai terdengar, lalu langit pun mulai menangis. Kemudian tanpa sadar akhirnya kami pun sampai, semua orang terbangun saat mendengar teriakan dari para TNI. Suaranya yang lantang, sambil menepuk badan bus dengan kencang, serta membawa selang membuat kami ketakutan.
Setelah itu kami turun dari bus dengan tergesah-gesah, setiap keluar dari bus satu persatu dari kami di cambuk menggunakan selang. Jika kalian bertanya bagaimana rasanya, silahkan rasakan sendiri. Kemudian para senior ikut dalam amarah, lalu ia mencambuk kami hingga berbaris rapih.
"Dasar lambat kalian, cepat rapihkan barisanmu gundul!" ujar para TNI.
"Kau punya mata tidak, lihat barisan disampingmu gundul!" ujar para senior dengan suara lantang.
Kami pun berjuang sekuat tenaga agar terlihat rapih dimata mereka. Namanya junior apapun yang kami lakukan, tetap saja salah dimata senior. Lalu hujan pun turun, kemudian kami dipaksa berjalan jongkok sejauh 2 KM sambil membawa beban tas punggung berisi pasir dan kebutuhan. Berjalan jongkok sambil membawa beban, membuat kakiku terasa mati rasa. Derasnya hujan membuatku sulit menggerakkan kakiku, lalu demi meringankan rasa sakit aku berteriak.
"Merdeka, ayo keluarin tenaga lakinya kaki sialan!" ujarku sambil berjalan jongkok.
Teriakanku telah memancing para senior dan bapak TNI untuk datang. Baru 500M kakiku merasa tidak kuat, kesadaranku mulai hilang dan akhirnya aku pingsan. Saat aku terbangun aku sudah berada diruang kesehatan, kulihat ada beberapa taruna juga terbaring lemah dilantai. Kulihat diluar banyak sekali anak taruna, yang berlari dengan seutas tali tambang. Wajah mereka terlihat kelelahan, namun mereka paksakan meskipun terasa ingin mati. Tidak sepertiku yang hanya duduk, sambil memperhatikan mereka dari kejauhan. Kejadian seperti ini sangat memalukan, selama aku hidup baru pertamakali merasakan yang namanya pingsan.
Kemudian datanglah Sinagar, Sang Danyon (Komandan Batalyon) dengan ciri khas menggunakan tali kur berwarna kuning tua dan merah. Kulihat ia menatap kami dengan penuh kebencian, lalu berjalan sambil mengepalkan tangannya. Dia datang tidak sendirian, ia ditemani oleh tiga orang POLTAR (Polisi Taruna), dan seorang perwira TNI. Saat mereka memasuki ruang kesehatan, dia memaki kami dengan suara lantang. Setelah itu Sang Danyon pun berkata.
"Beginikah angkatan tujuh puluh dua? Memalukan segitu kau bilang sakit, dasar lemah! Sana pulang kembali ke rumah. Bikin susu berlindung di ketek emak! Mana jiwa laki-laki mu?!" kata Sang Danyon.
"Lantas untuk apa fungsi belalai diselangkanganmu itu. Apa gak malu?!"kata salah satu poltar.
"Lihat kedepan, apa kalian gak malu?!" sambil menunjuk ke arah para taruna yang sedang berlari.
"Dalam hitungan ke sepuluh, jika kalian tidak bubar siap-siap kenalan dengan selang ini. Satu..dua!" kata perwira TNI.
Dengan tergesah-gesah kami pun berkemas lalu pergi ke luar sambil berlari. Setelah itu kami pun berbaris, lalu berjalan jongkok sejauh 1 KM hingga sampai di barak. Barak itu memiliki dua tenda besar yang hanya beralaskan tanah, untuk tidur kami hanya menggelar sebuah tikar, yang terbuat dari karet. Tikar itu hanya untuk satu orang saja, jadi jika ada yang kehilangan, terpaksa ia harus tidur dengan beralaskan tanah basah. Kulihat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Setelah itu kami pun tidur, sebab besok akan diadakan pelatihan tiga jam sebelum upacara pembukaan MADABINTAL.
Ketika sebuah kapal yang kita naiki, terkena sebuah ombak yang sangat besar. Berjuanglah untuk mempertahankannya agar tidak tenggelam.
Keesokan harinya kami bangun pukul lima pagi, rencananya kami akan berlatih untuk upacara pembukaan MADABINTAL hari ini. Latihan yang kami jalani, diawasi ketat oleh para senior dan TNI. Sedikit saja kesalahan, selang pun siap menjadi taruhanya. Jujur aku masih sangat mengantuk, serta tubuhku kelelahan sambil membawa beban tas punggung berwarna hijau. Namun aku berjuang agar tidak tumbang. Tak terasa jam delapan telah tiba, kami pun berkumpul dan membentuk barisan layaknya upacara bendera. Seluruh peserta mengikuti upacara itu dengan serius. Poltar pun mulai berpatroli, untuk mencari CATAR (Calon Taruna) yang mengantuk. Jika ketauan ada yang mengantuk, mulutnya akan dimasuki biji setan. Biji setan itu sebenarnya adalah obat herbal untuk malaria, karena tidak tau nama biji itu, maka aku menyebutnya begitu.
Rasa dari biji itu sangat pahit, meskipun berusaha dinetralkan dengan air tetapi rasa pahitnya, tidak akan hilang selama tiga hari. Sebelum upacara dimulai, aku sudah dipaksa untuk mengunnya tiga biji setan. Di akhir upacara dua orang perwakilan catar, menerima bendera sebagai simbol dimulainya MADABINTAL. Tiba-tiba suara meriam dan senapan api, mulai bergemuruh diudara. Spontan kami pun disuruh merayap oleh para senior, hingga ke ujung lapangan. Sialnya aku berada diurutan paling belakang, lalu para senior dan TNI mulai mencambukku dengan selang, layaknya seekor kambing.
"Ayo mana teriaknya!" kata Senior Aditiya, yang menjabat sebagai DANKI (Komandan Kompi)
"Kenapa, mau mati kau!" kata senior Soni, yang menjabat sebagai poltar.
"Cepat gerakkan kakimu gundul!" kata Narto, Sang Perwira TNI.
"Yah dia mau nangis, payah!" kata Aisyah, senior cantik yang menjabat sebagai Poltar.
Setelah itu dilanjutkan dengan berguling-guling hingga ke ujung lapangan. Para senior pun mengeluarkan suara, seperti orang ingin muntah dengan suara lantang. Aku yakin suara itu adalah pancingan, dan akhirnya ada beberapa catar yang terpancing. Melihat hal itu, para senior pun memaki mereka lalu tertawa terbahak-bahak. Kepalaku terasa pening sekali, rasanya aku akan bernasib sama seperti mereka, apalagi sekarang tiga orang poltar sedang mencabukku cukup keras.
"Gulingkan badanmu dul!!"
Suara yang membuatku mebuatku ingin naik darah. Aku sungguh tidak kuat akhirnya diriku nekat untuk beristirahat. Kulihat para catar baru saja berbaris rapih, sambil menunggu kedatanganku. Tiba-tiba ada salah satu dari mereka menendangku, lalu ia memakiku dengan suara lantang. Setelah itu aku kembali melanjutkan tugasku hingga akhir. Katika aku ingin masuk barisan, senior David yang menjabat sebagai poltar menahanku, dengan tangan kekarnya. Kemudian mereka semua diperintahkan untuk membungkuk, lalu mereka semua dicambukki dengan selang.
"Lihat ini gundul, karena kamu mereka jadi begini!" kata Senior Soni.
"Mau nangis, uhh cup cup" kata senior Rita berambut pendek, dengan tali kur putih biru ciri khas poltar.
Setelah mereka dicambuk, kini giliranku untuk dicambuk habis-habisan. Sakit sekali rasanya, namun aku harus bertahan menghadapi ini semua. Kemudian mereka mendorongku hingga tersungkur, lalu aku pun bangkit dan bergabung dalam barisan. Lalu kami diperintahkan, untuk berlari mengelilingi markas sebanyak tiga putaran. Aku berada dibarisan paling belakang, samping kanan dan kiriku ada Yoga dan Farhan. Entah mengapa sepatu yang aku gunakan mulai terasa berat, dan akhirnya aku tertinggal lima langkah dari barisan. Narto Sang Perwira TNI untuk berhenti, lalu kami semua terdiam dengan sikap sempurna.
"Dasar goblok kalian semua, kalian apatis karena telah meninggalkan teman kalian sendiri!" kata Narto, Sang Perwira TNI.
"Beginikah kekompakan angkatan tujuh dua!?" kata senior Aisyah.
"Hey siapa nama kamu dul?" tanya senior Aditiya.
"Juliet.."
"Woi begitukah kau menjawab kepada seniormu?!" kata senior David.
"Siap Juliet Fadilah!" jawabku.
"Hey hey kenapa dengan ekspresi wajahmu, apakah kamu ingin menangis?!" tanya senior Rita.
"Siap tidak!" kataku.
"Jiah pengen nangis dia" kata senior Robi, senior yang menjabat sebagai poltar.
Begitulah yang mereka lakukan setiap diriku melakukan kesalahan. Singkat cerita malam pun tiba, kami semua sedang tertidur lelap dengan beralaskan karpet, dan tas sebagai bantalan. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara tembakan dari penjuru arah, lalu para senior memukul tenda.
"Woi bangun elu semua gundul!" kata para senior.
Seluruh catar terbangun lalu berkemas dan berkumpul dengan tergesah-gesah. Ketika kami semua sudah berkumpul, semua catar terlihat kacau, ada yang tidak membawa tas, tali tambang, topi, baju yang tidak dikancingkan, bahkan ada yang tidak memakai celana. Aku pun datang paling akhir, namun sudah berpakaian lengkap. Selama dua jam kami dimaki habis-habisan, lalu kami diperintahkan untuk push up hingga tersungkur. Aku sudah tidak tahan lagi, rasanya ingin segera mengakhiri ini semua. Sayangnya ini baru dua hari, aku harus menunggu lima hari lagi. Jujur satu hari itu terasa seperti satu bulan, lama sekali rasanya. Hingga suatu hari aku mengucapkan hal terlarang tanpa sadar.
"Sudah tidak tahan, aku ingin pulang" gumamku.
Aku kira tidak ada satu pun yang mendengar perkataanku, sayangnya semua itu terdengar oleh Narto Sang perwira TNI, dan senior Robi. Mereka berdua pun tertawa lalu menarikku ke depan seorang diri. Kulihat mereka semua terdiam dengan sikap sempurna, lalu hujan pun turun.
"Apa kalian dengar apa yang dikatakan Juliet barusan? Dia ingin pulang katanya" ujar senior Robi.
"Ada yang ingin pulang!?" tanya perwira Narto.
"Siap tidak!"
"Mana suaranya babi!" kata senior Soni.
"Siap tidak!"
"Kau dengar itu, sungguh memalukan!" kata senior Robi sambil memegang daguku.
"Rasakan ini!" kata salah satu poltar sambil menamparku dengan keras.
Hujan pun turun semakin deras, seluruh baju kami basah oleh air hujan, noda lumpur yang menempel dibaju telah hilang terbawa guyuran hujan. Semenjak saat itu aku selalu menjadi target utama mereka, tamparan dan cambukan menjadi sarapan sehari-hari. Hingga hari keempat air mataku tidak bisaku bendung lagi. Suatu hari saat tengah malam, mereka membawaku ke depan klinik kesehatan, seketika mentalku down, lalu pandanganku menjadi kosong. Rasanya aku merasa tidak ada artinya lagi hidup di dunia ini. Seketika mereka mulai membicarakan tentang kepulanganku, sebagian ada yang tertawa dan sebagian hanya diam membisu. Lalu datanglah seorang perwira berbadan cungkring, dengan tahi lalat disamping hidungnya. Perwira itu bernama Sugianto, kulihat sepertinya ia sudah usia kepala tiga. Perwira itu menatapku dengan penuh prihatin, lalu ia menggelengkan kepala.
"Siapa namamu?"
"Siap, Juliet" dengan intonasi lemah.
"Sepertinya kamu sudah menjalani hari yang berat, mari sini duduk kita ngobrol sebentar sambil minum teh" sambil menuntunku memasuki ruang kesehatan.
Sambil berjalan ia melototi orang yang menertawakanku, lalu memberikan isyarat agar pergi pergi menemui para catar yang lain. Di tempat itu hanya ada empat lima orang, yaitu aku, senior Aditiya, Perwira Sutisno, Senior David, dan terakhir Perwira Sugianto yang sedang duduk disampingku.
"Kamu asli dari mana?"
"Subang"
"Saya juga sering ke subang bareng teman saja, itu juga sekalian dinas. Kota Subang benar-benar kota kecil yang indah rupanya. Ngomong-ngomong katanya kamu pengen pulang, ada apa?" tanya perwira itu.
"Fisiku sangat lemah, banyak teman-temanku yang menjadi sengsara karena aku. Lebih baik aku pulang, lagipula saya tidak yakin bisa mengikuti ini semua hingga kelulusan" ujarku.
"Dulu saya juga saat pertamakali masuk ke akademi militer, pernah merasakan hal yang sama. Jika dibandingkan dengan ketahanan fisik para catar, fisikku yang paling lemah. Hey tapi kau tau, disitu aku belajar satu hal. Bahwa sebenarnya fisik itu bisa dilatih, namun yang paling sulit adalah melatih mental" ujarnya.
"Hmm"
"Tetapi saat melihatmu langsung seperti ini, entah mengapa saya mulai mempercayaimu. Begitu juga dengan para senior didepan matamu ini. Mungkin didalam hati mereka pasti mereka ingin mengatakan, kamu itu bisa bisa. Itu benarkan?!" tanya Sugianto kepada dua orang senior.
"Itu benar semangat dong, kamu pasti bisa!" kata senior Aditiya.
"Gue lihat elu orang baik Jul, dan gue yakin suatu hari nanti elu bakal jadi orang sukses" kata senior David.
"Yasudah begini saja, kalau ada apa-apa cerita ke bapak. Bapak pasi bakal dengarkan keluh kesah kamu" kata perwira Sutisno.
"Pokoknya nanti setelah latihan, kamu temui saya lalu ceritakan semua yang kamu alami. Soal seniormu jangan khawatir, mulai sekarang kamu jadi anak emas. Jangan sungkan untuk bercerita" ujarnya.
Dari situlah awal kedekatanku dengan pelatih Sugianto. Setiap berlatih aku selalu menceritakan keluh kesahku kepada beliau. Ketika ada senior dan para pelatih yang menghukumku dengan selang ditangan mereka, hanya beliaulah yang tidak pernah memukulku. Dia hanya menatapku sambil tersenyum, lalu ia menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia yakin aku bisa melalui ini semua.
Perbuatan mereka bukanlah sebuah kejahatan. Melainkan membantumu, agar menjadi seorang manusia yang tangguh.
bình luận đoạn văn
Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.
Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.
ĐÃ NHẬN ĐƯỢC