Ralin menatap berganti-ganti dua orang di hadapannya, yang terlihat bingung sekaligus penasaran. Riga mengamati wajahnya dengan cemas. Ralin tahu bagaimana rupanya saat ini, kuyu dan pucat, dan ini sudah terjadi berhari-hari. Para sahabatnya sudah bereaksi dan mencoba menghiburnya agar ia lebih ceria, namun ia menolak semuanya, lebih betah menghabiskan waktu sendirian setiap saat. Ia merasa, kesedihan yang membebaninya dan membuatnya sesak setiap saat tak akan pernah bisa dipulihkan lagi. Ia akan menanggungnya sendirian, walaupun tak tahu apa obat yang tepat untuk meredamnya.
“Lin, lo mau ngomong apa?”