Kurnia: Jadi 'kan? Mana alamat rmh lu cepetan. Gw mau maen PS empaat 13.33
Aristo menahan senyum. Si anak setan antusias sekali semenjak dirinya memberi tahu kalau dia punya konsol keluaran terakhir—untuk saat ini—dari Sony. Aristo memang menjanjikan kalau dia akan mengajak Kurnia ke rumahnya tepat hari Sabtu ini.
Sayangnya ada agenda mendadak.
Aristo meringis, jarinya menyambangi cepat papan ketik ponsel.
Aristo Cakra: Gk jdi hari ini. Gw gak bs, ad acara 13.47
Begitu ia ingin meletakkan ponselnya ke atas meja, benda itu bergetar lagi. Aristo terkekeh dalam hati. Cepat sekali dibalas, pikirnya.
Kurnia: Elah, sok sibuk lo 13.47
AristoCakra: Serius, gw lg ad kencan 13.48
Aristo Cakra: Mungkin bs dibilang kencan buta 13.48
Kurnia: Mksd lo kencan tunanetra? Oh iya, lo mmg cocok sih, biar orang ga sekadar jatuh karena tampang lo doang 13.48
Aristo Cakra: Njir, ganggu lo. Di dpn gw ad cewek cantik hrs diladenin. Lo gk penting amat, cuk 13.49
Kurnia: Ck, jd beneran gk jdi maen PS4 ni gw ceritanya? Lo itu udh tukang tikung juga tukang ingkar janji ternyata. Parah lu 13.49
Aristo Cakra: Lo ternyata msh dendam sama gue, y. Belum dapet penggantinya Anita? 13.50
Kurnia: Diam anjing 13.50
Kurnia: Kalo ketemu gw mutilasi burung lo 13.50
Aristo Cakra: Ok, bos 13.51
Aristo Cakra: Berarti bahaya kalo lo datang main PS ke rmh gw 13.51
Aristo Cakra: Gw msh sayang aset masa dpn gw 13.51
Kurnia: Argh, serius ni! Jd kpn lg gw bs gerayangin PS4 lo? 13.52
Aristo Cakra: Besok aj. Kan Minggu. Siang 13.52
"Woy, To. Fokus. Main hp waktu lagi kumpul itu haram hukumnya."
Aristo seketika melirik Rayan—mengabaikan ponselnya yang bergetar kembali. Dua gadis yang duduk di seberang meja juga menatapnya.
"Sorry," jawab pemuda itu pendek. Sejak tadi ketiga orang itu seru membahas film horor berjudul Lights Out yang baru rilis di bioskop dan Aristo hanya diam mendengarkan. Bukannya belum pernah nonton si hantu dalam gelap itu—Aristo hanya sedang malas.
Kali ini ketiga orang itu membahas mengenai sekolah masing-masing. Rayan memang pakar kalau masalah asmara fana—dari yang wajar sampai yang menyimpang—anak edan itu sudah punya pemahaman dan praktik berpengalaman. Singkatnya; dia bajingan gila. Ketika Aristo baru saja keluar dari kelas dan Rayan langsung merangkul Aristo sok oke sambil bilang kalau mereka ada kencan ganda dengan dua gadis dari SMA tetangga hari ini, Aristo seketika merasa ingin mencolok mata temannya itu. Entah kenapa pemuda itu tidak merasa tertarik untuk ngecengin lawan jenis saat ini. Bayangan dia seru-seruan di depan konsol sampai banting joystick bersama Kurnia rasanya lebih menyenangkan.
Aristo melirik ketiga orang yang sekarang sudah berganti topik membahas hobi masing-masing. Gadis yang berpasangan dengan Aristo tampak mencuri lirik sesekali—tampaknya ingin menanyai Aristo juga, tetapi segan.
Rayan sendiri menyadari gelagat Aristo sejak tadi—tapi tidak ambil pusing. Akhir-akhir ini sohibnya itu memang memasang tampang datar nyaris bosan saat ia menceritakan mengenai cewek-cewek cantik yang berhasil ia dapatkan kontaknya. Orang ganteng memang bebas. Bisa-bisanya dengan kurang ajar merasa jenuh dikelilingi bidadari—dasar tidak tahu bersyukur. Padahal Rayan berniat baik agar Aristo punya partner dan tidak harus mencuri pacar bocah ingusan anak SMP seperti kasus waktu lalu. Aristo tampak menyedihkan baginya.
Lihatlah, bahkan anak itu sekarang kembali sibuk dengan ponselnya. Lawan mainnya sama sekali tidak digubris.
Kurnia: Bsk g bs. Gw ad janji main sepak bola sama teman2 gw 13.55
Aristo Cakra: Serius? Dmn? 14.08
Kurnia: Lapangan dekat rmh gw 14.08
Aristo Cakra: Oh, yg ada gawang permanennya itu? Sip, gw ikut. Bs kan? Gw rasa gw butuh kegiatan outdoor 14.09
Kurnia: Huh? 14.09
Kurnia: Y udh deh 14.09
Kurnia: Dtg sekitar jam tiga 14.10
Nah 'kan, Aristo senyum-senyum sendiri melihat layar ponselnya. Rayan mengedik samar. Mungkin ada orang lain yang membuat dia kepincut.
Atau mungkin dia sakit.
Aristo biasanya bakal aktif dan agresif bertanya selama kencan—tidak akan merelakan perempuan bening lewat begitu saja hanya untuk meme atau guyonan receh di Instagram.
Tapi Rayan maklum.
Mungkin ini masih bagian dari pubertas atau apalah. Rayan merasa tidak perlu banyak bertanya pada Aristo. Lebih baik dia menyambangi karya Tuhan yang sedang duduk manis di hadapannya.
——————————————————————
Minggu, 21 Agustus 2016.
17.58 WIB.
Hujan badai.
Lapangan dipenuhi teriakan.
"Gila lo pada."
Seorang bocah sepantaran Kurnia mengumpat melihat selebrasi gol teman-temannya. Ujung bawah kaus yang basah kuyup dipakai untuk mengelap bibir yang sama basahnya. Tidak berfaedah. Ingin sekali ia ikut tindih-tindihan sampai jadi menara di tengah lapangan seperti apa yang sedang ia saksikan—tapi apa daya, dia yang sedang dapat sial karena harus menjalankan peran wasit.
"Nggak ada. Lebay amat selebrasi lo! Offside tuh tadi, ya 'kan Sit? Waktu menerima operan sebelum nembak tadi, Sem posisinya dihitung di belakang si Dean." Seorang lelaki jangkung mengudarakan protes. Berjalan lesu ke dalam gawang untuk mengambil bola.
"Lo ngiggau, Ngga. Mereka berdiri sejajar—ah, nggak. Sem berdiri agak di depan Dean beberapa senti."
Angga mendecak. "Penglihatan lo kabur gara-gara hujan."
"Auh ah, gelap." Berdebat dengan Angga itu melelahkan. "Intinya babak kedua udah kelar." Ia meniup peluit panjang dua kali.
"Ambil formasi lagi, oi!" Angga melancarkan perintah, melambaikan tangannya tinggi-tinggi. "Striker ke tengah. Kick off!"
"Hah? Lo tadi janji kalo lo kalah, kita bubar. Gue udah dicariin nyokap gue nih pasti."
"Gol yang tadi nggak sah. Offside."
"Oi, oi, Sit?"
Si Wasit hanya mengendikkan bahu apatis. Memasang ekspresi sesuka-dia-aja-gue-capek.
"Cepat atur ulang lagi posisinya! Pertambahan waktu."
"Udahan woy. Si Anjar pake baju warna merah, entar dia disambar petir emaknya nanya-nanya ke gua."
"Tunggu sampai jam enam pas elah, 'kan udah gue bilang tadi," Angga sekarang sibuk juggling bola. Bola yang melambung-lambung di sela kaki-kakinya tetap dapat seimbang di bawah langit hujan begini. "Masih seri. Babak tambahan."
"Dua menit lagi jam enam, bego!"
"Dari mana lo tahu?"
"Nih. Jam tangan gue kurang jelas apa lagi?" Bundaran arloji dipampangkan angkuh.
"Ya udah. Tambahan waktu dua menit juga jadi deh."
Sementara Kurnia bersiul—meski suaranya sumbang karena kemasukan air hujan. "Lo beli jam tangan baru, ya."
"Menurut lo?"
Anak lain ikut nimbrung. "Wiih bisa dipake waktu hujan-hujanan ya."
"Water resistant. Gak usah sok udik gitu, anjay."
Tawa renyah mengudara, teredam dengan suara jerangan air di atas tanah berumput.
"Agung benar tuh! Gue udahan!" Aristo mendadak merebahkan tubuhnya. Kedinginan, pegal, dan kepuasan bercampur. Bajunya basah dan menempel ke badannya. Rambutnya lepek. Kaki telanjangnya penuh lumpur.
"Lemah lo, To." Pemilik jam tangan tahan air yang baru dikenal Aristo jam tiga siang tadi mengancungkan jempol terbalik di depan wajahnya.
Aristo langsung menendang kaki anak itu. "Tengik lo, Dean. Jadi gelandang tengah capek anjir. Lo kan cuma jadi tukang sapu."
"Tukang sapu pala lo. Gue bantuin kiper jaga pertahanan."
"Tapi lo gak berguna. Cuma maju mundur cantik. Ngedangdut aja lo sekalian."
Aristo meringis ketika mendapat tendangan balik di betisnya. Matanya menyipit menghalau tetesan hujan—melirik pada beberapa personil yang mulai tumbang. Ada yang rebah, ada yang duduk bersila, ada yang memeluk tiang gawang.
Angga berhenti bermain-main dengan bolanya. "Yah, cemen lo semua. Gerimis dikit aja udah pada mau mati. Gue tanam lo nanti satu-satu."
"Sinting lo Kap, air bah dibilang gerimis!"
"Udah jam enam nih. Gue cabut ya, Ngga. Laper."
"Jangan dulu, woy!"
"Terimalah kekalahan dengan lapang dada!" Agung berteriak sebelum ngacir begitu saja sambil menjinjing sepatu dengan kaos disampirkan di bahu telanjang dan botol minum di tangan kanan.
"Edan," umpat Angga.
"Iya, gue juga pulang deh. Cepetan, Dean. Lo nebeng gue 'kan? Mau gue tinggal?"
"Gue cabut ya, To."
"Hem."
Anak-anak mulai berpulangan.
Angga menghela napas menyerah. Mencari jaring pembungkus bolanya dan menghampiri sepeda yang terparkir di jejeran beberapa sepeda motor. Melambai singkat pada Kurnia sebelum berjalan melewatinya.
Kurnia mengangguk kecil. Berjalan menghampiri Aristo dan menendang pelan onggokan tubuh itu. "Masih hidup lo?"
Aristo bangkit duduk.
"Ayo."
Pemuda itu berjalan mengikuti Kurnia di belakang. Dengan sepeda Diandra, ia singgah ke rumah Kurnia untuk mengeringkan tubuh terlebih dulu.
Hari ini bisa menjadi pengalaman terbaiknya selama satu tahun ini. Berkumpul dengan orang-orang asing dari berbagai usia dan berkenalan di lapangan. Hujan turun sejak jam empat sore dan semakin menderas—tapi mereka tetap memutuskan melanjutkan permainan sampai jam enam. Sore tadi, ia dan dua lusin anak-anak tersebut menjelma jadi bocah serampangan di lapangan.
Kurnia bilang kalau salah satu temannya lah yang awalnya mengajaknya bermain. Temannya yang mengajaknya itu juga awalnya diajak oleh seorang teman. Begitu terus sambung-menyambung menjadi satu. Sepertinya ini efek pasca peringatan kemerdekaan. Agustus ini akan diabadikan jadi salah satu momen keren di kepala Aristo—
—kalau saja pagi ini ia tidak bangun dengan tenggorokan yang sakit dan seluruh otot yang pegal. Aristo melirik cermin. Matanya merah. Masih mengantuk. Tapi ibunya sudah teriak-teriak dari bawah.
Dengan gerakan malas yang kental, Aristo bangkit dari kasurnya. Berjalan menuju kamar mandi dan memutuskan hanya mencuci muka. Badannya sedikit tidak enak. Dia turun ke ruang makan dengan dasi yang tersampir di sekeliling kerah—belum tersimpul.
"Tenggorokanku sakit," ungkap Aristo pada ibunya sambil mengaduk-aduk sarapannya. Awalnya ia berniat tidak melapor. Takut ibunya langsung menyodori sepaket obat, lengkap dengan suplemen multivitamin apalah itu—memangnya dia bocah penyakitan.
"Semalam kamu ngapain? Minum es satu truk?"
"Garing, Ma."
Aristo memang belum menceritakan perihal hujan-hujanan kemarin. Malas diomeli. Meskipun sibuk bolak-balik dari rumah sakit umum ke kampus, menangani pasien dan mahasiswa, ibunya bukan tipe ibu karir yang tak peduli anaknya makan apa. Beda dengan ayahnya yang sibuk perjalanan bisnis dan pulang membawa oleh-oleh penuh kalori. Dasar pasangan absurd.
"Rayan udah kasih tahu Mama gimana tindak-tanduk kamu." Ibu Aristo menyipit. "Jam satu siang kencan di kafe minum iced americano, petang nongkrong sama selingkuhan di tukang es kelapa muda. Malamnya candlelight dinner minum mocktail sama simpanan. Gimana kamu nggak batuk? Itu karma, To. Perempuan nggak suka dimadu."
Aristo menelan nasi di tenggorokannya dengan susah payah.
Bagus.
Rayan memang jagonya ngebacot. Itu 'kan pola hidupnya dia.
Dasar tukang fitnah.
Oknum penyebar kebencian.
Gue selalu putusin dulu yang satu baru jalan dengan yang lain, gak kayak dia banyak selir.
Aristo tidak henti-henti merapal kutukan dalam hati. Keningnya berkerut. Sang ibu hanya menggelengkan kepala sekilas.
"Di lemari ada obat batuk sirup. Cek dulu tanggal kadaluarsanya. Selesai sarapan nanti langsung diminum. Kalo udah expired, kirim pesan ke Mama. Biar dibeli yang baru. Cuma tenggorokan yang sakit 'kan? Hidung tersumbat nggak? Sakit kepala?"
"Nggak tahu." Aristo mengendik acuh tak acuh. "Mungkin nanti bakal nyusul."
"Baguslah. Nanti kamu langsung dioperasi aja," sarkasnya. Ibu Aristo meraih tas tangan, melirik Aristo yang masih pasang tampang baru bangun tidur. "Ibu berangkat duluan. Jangan lupa minum obat. Jangan mandi malam. Jangan nggak mandi."
Hentakan sepatu hak tinggi menghilang di ujung pintu depan dan diganti dengan deruan halus mesin mobil.
Aristo memutuskan tidak menghabiskan sarapannya dan langsung meletakkan perangkat makannya ke wastafel. Setelah meminum obat sirup itu, ia keluar lalu mengunci pintu rumah. Baru saja ia menjalankan sepeda motornya sampai ke luar pagar, tubuhnya langsung terasa tidak enak. Dadanya serasa ditikam udara pagi.
Pemuda itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia sakit. Ini tidak mengejutkan. Ia segera menelepon Rayan untuk membuat surat dan meniru tanda tangan ibunya.
"Latihan dulu lo di kertas. Lo tahu 'kan cara buat surat yang baik dan benar? Jangan rese."
/"Iya, iya. Berisik lo. Nggak bilang-bilang kalo mau bolos. Gue udah terlanjur masuk gerbang nih. Ribet kalo mau keluar."/
"Gue sakit, edan."
/"Bisa aja alasan lo."/
"Terserah. Yang penting buat suratnya. Tanda tangannya harus luwes. Pokoknya lo harus latihan dulu. Gue bakal kirim gambarnya." Aristo mencari-cari buku kuitansi ibunya.
/"Oke. Santai aja. Bakal beres kok."/
"Gue jadi makin sangsi," dengus Aristo bercanda. Rayan sangat bisa diandalkan kalau dalam hal seperti ini. Anak itu mampu meniru dengan baik. Kemampuan bahasanya juga bagus. Aristo tahu anak itu cerdas—tapi entah kenapa kerjaannya di kelas hanya melipat pesawat kertas.
/"Gue bisa diandalkan, Jendral. Lo istirahat dengan tenang aja di sana. Pake kompres penurun demam buatan Jepang yang ada gambar pengiun-penguinnya itu. Bye."/
Telepon ditutup. Aristo memutuskan segera mengambil foto salah satu tanda tangan ibunya di kuitansi pertinggal pasien random. Mengirimnya pada Rayan via LINE. Dan mata Aristo tidak sengaja menangkap kontak Kurnia.
——————————————————————
Kurnia meringis kecil. Berdiri menggantung sesak-sesakkan di belakang bus membuat kepalanya berdenyut. Ponsel di saku celananya bergetar panjang sejak tadi. Kurnia mengabaikan. Tapi akhirnya dengan susah payah ia berusaha meraih benda itu saat kembali bergetar.
Aristo Cakra: Panggilan Batal 06.37
Aristo Cakra: Panggilan Batal 06.38
Kurnia berusaha mengetik di ponselnya dengan satu tangan. Untung saja ponselnya tidak terlalu lebar.
Kurnia: Apaan? 06.40
Balasannya datang secepat kilat.
Aristo Cakra: Lo dmn? 06.40
Kurnia: Di dlm bus. Mmgnya knp? 06.40
Aristo Cakra: Gw meriang 06.40
Kurnia mengerinyit. Ada apa dengan si sinting itu, pikirnya.
Kurnia: Jijik 06.41
Aristo Cakra: Serius, jir. Gw meriang secara harfiah, bkn jablay 06.41
Kurnia: Ok, lo meriang 06.41
Kurnia: Jd knp? 06.41
Aristo Cakra: Lo nggak sakit jg? 06.42
Kurnia: Gk. Gw fine 06.42
Kurnia: Lo kan lemah 06.42
Kurnia: Dasar payah dasar lemah 06.43
Aristo Cakra: Setan lo 06.43
Aristo Cakra: Ke rmh gw lo sini, rawat gw 06.43
Kurnia: W T F 06.43
Aristo Cakra: Tolongin, kek. Ini karena gw main bola hujan2an semalam sama lo 06.44
Kurnia: Kan lo yang minta ikut, sarap 06.44
Kurnia langsung mendecak ketika dalam pesan berikutnya yang dikirim Aristo, tertera sebaris alamat.
Aristo Cakra: ^alamat rmh gw 06.45
Aristo Cakra: Btw, PS4 gw lg nganggur 06.45
Dan ya, Kurnia langsung mendesiskan umpatan. Membuat beberapa orang yang berdiri dan duduk di dekatnya meliriknya sekilas.
Baiklah. Membolos sekali-kali itu tidak masalah.
Tidak masalah selama tidak ketahuan.
———————————————————————
Ketika Kurnia turun di halte biasa, ia tidak berjalan ke arah sekolah. Diandra seperti biasa berjalan tanpa memedulikan adiknya itu. Kurnia keluar dari stasiun bus kemudian berhenti di trotoar. Memesan ojek online setelah memasukkan alamat rumah Aristo di kotak yang tersedia.
Tempat tinggal Aristo terletak di komplek perumahaan. Satpam yang berjaga di pos depan sempat menanyai Kurnia sebelum mengizinkannya masuk. Setelah tiba di depan rumah yang dituju, Kurnia turun dan membayar ongkos.
Rumah yang berdiri di depannya bergaya arsitektur kontemporer. Geometris, simpel, dan modern. Pagarnya tidak digembok. Kurnia mendorongnya dengan sedikit ragu. Ia masuk dan menekan bel.
Sesaat kemudian Aristo muncul dari balik pintu yang terbuka. Rambut hitamnya awut-awutan dan tubuhnya masih dibungkus seragam abu-abu. Bahkan masih pakai kaos kaki. Dan Kurnia bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
"Masuk."
Suaranya sengau. Basah. Sepertinya si keparat itu tidak pura-pura sakit.
"Kenapa harus gue yang ngerawat lo?" gerutu Kurnia sambil matanya menelusuri ornamen rumah. Bingkai-bingkai yang tergantung di dinding merupakan potret keluarga, lukisan kontemporer dengan titik-titik aneh, dan gantungan dekoratif.
Aristo tertawa pendek. Mengangkat bahu. "Cuma lo yang tiba-tiba terlintas di kepala gue."
Kurnia mendengus. "Gue lagi sial berarti." Tetapi anak itu tetap mengikuti Aristo menaiki tangga. "Lo sendiri di rumah?"
"Iya. Orang tua gue kerja."
"Memangnya asisten rumah tangga nggak ada? Atau lo memang hobi ngerepotin gue?"
"Ada. Tapi masih libur. Cuti lebarannya diundur waktu itu karena nyokap gue banyak urusan."
Masuk ke kamar, Aristo langsung membanting tubuhnya ke kasur. Sementara mata Kurnia jelalatan langsung ke meja yang berdiri di bawah televisi LCD 32 inchi yang menggantung di dinding. Ada rak di bawah sana dan—
"Oh my, my."
Mata Kurnia berbinar menatap benda persegi seksi hitam metalik yang menampakkan wujudnya di rongga kayu berpelitur. Tangannya langsung gatal mengelus-elus permukaan yang mulus sampai-sampai Aristo merasa perlu melempar anak itu dengan bantal kepala.
"Jangan cabulin konsol gua."
"Cabulin pala lo." Kurnia meringis sekilas memegaingi tengkorak belakangnya sebelum kemudian melempar balik bantal itu, tapi ditangkap dengan baik oleh Aristo. "Gak usah sombong lo. Nanti gue juga bakal dibeliin Nintendo Wii U sama bokap gue."
Aristo menaikkan alis meremehkan.
"Kalo gue berhasil jebol tiga besar pararel."
Dan tawa pemuda SMA itu meledak.
Kurnia melengos. "Itu cara yang mendidik,"—meski menyebalkan, "Nggak kayak lo, apa-apa dibeliin. Dasar anak manja."
"Sok tahu lo."
Kurnia mengabaikan. Sekarang anak itu sibuk mencari-cari sesuatu. Ia menyisir rak dan membuka laci meja kayu itu. Tapi tak kunjung ditemukannya. "Stick-nya mana?" Kurnia masih sibuk membongkar-bongkar.
"Kompresin gue dulu."
"Apa?"
Kurnia menoleh dengan tampang seperempat jengkel tigaperempat horor. Tatapannya seolah berkata lu-sakit-bro-?
Dan Aristo hanya merespon dengan tampang lu-ngerasa-perlu-nanya-?
"Gila lu," sembur Kurnia langsung. "Dengar, gue ke sini jelas cuma mau mentengin si PS4, bukan jadi pengasuh lo."
"Ya udah. Kalo lo bisa main tanpa stick sih gue oke aja."
Anjing.
Tangan Kurnia langsung keriting ingin mencekik mati Aristo. "Lo mau dikompres pake air dingin atau air hangat?"—atau air keras?
"Air hangat, nyokap gue pernah bilang." Aristo menyeringai tipis melihat tampang merengut Kurnia yang menghibur. Dia kemudian bangkit berdiri dari kasur. Menuntun Kurnia berjalan ke ruang makan meski kakinya terasa dingin berentuhan dengan ubin.
"Ambil air panas dari termos atau dispenser juga boleh—terserah. Campur dengan air biasa, ingat. Gue curiga lo punya niat bikin muka gue melepuh."
Sementara Aristo memberi komando seenaknya sambil duduk di kursi meja makan, Kurnia hanya bisa menggerutu sambil mondar-mandir untuk menuang air. Kepalanya yang tadi sempat pulih saat melihat konsol keren kini semakin mendenyut oleh kesal. Bocah itu menyelutuk, "Gue curiga lo pura-pura sakit."
"Gue sakit beneran. Mau gue tularin biar lo percaya?"
Bocah itu mendengus.
Setelah selesai dengan baskom kecil berisi air suam kuku, mereka kembali naik ke kamar dan Aristo melemparkan handuk kecil pada Kurnia.
Kurnia mencelup handuk pada air, memerasnya sambil membayangkan leher Aristo, lalu asal menempelkannya ke dahi pemuda yang lebih senior. Aristo sampai harus memperbaiki posisi kain tersebut.
"Lo nggak ikhlas amat."
"Memang nggak," ketus Kurnia. Tangannya menengadah ke depan wajah Aristo. "Mana stick-nya?"
"Sabar dulu, Bos." Aristo melepaskan kain dari dahinya dan meletakkannya ke tangan dalam Kurnia—membuat anak itu mengerinyit jengkel. "Usapin dulu seluruh badan gue."
Kain basah dilempar telak ke wajah Aristo.
"Sarap lo."
"Lo yang sarap. Itu ajaran nyokap gue, bego. Kalo demam itu bukan cuma kening yang dikompres."
"Ah, bacot! Gue mau stick-nya sekarang." Kurnia kembali mengedarkan pandang, menelusuri sudut kamar dan meja belajar yang berantakan luar biasa—dipenuhi kotak-kotak CD serta kabel data, charger handphone, charger laptop, dan kabel printer yang saling melilit satu sama lain.
"Oke, oke. Ganas amat lo." Aristo mengusap wajahnya setelah menjauhkan kain itu dan meletakkannya kembali ke dahi. "Beliin gue bubur ayam deh," pintanya ketika menyadari perutnya kosong akibat tidak sarapan dengan benar.
"Gue bukan babu lo, babi. Makanya cepat cari pacar baru, dasar jomblo."
"Lo juga jomblo."
"Gue jomblo gara-gara lo, mblo."
Aristo mendecak. "Ini permintaan terakhir. Tukang buburnya di seberang komplek, kok. Masih buka kayaknya. Lo bisa naik sepeda gue. Atau motor gue juga gak apa-apa."
"Nggak mau gue."
"Lo yakin nggak mau nyicip PS gue?"
"Lo—ugh..." Kurnia merasa ingin meremas rambut. Sakit kepalanya menjadi-jadi. Rasanya lelah sekali setelah semalam bermain bola di tengah badai dan esoknya harus menghadapi iblis banyak permintaan macam Aristo. Tapi—astaga, Kurnia ingin sekali memainkan konsol itu. Tumpukan kotak kaset video gamedi rak dengan sampul grafis yang indah membuatnya ngiler.
"Ck, lo 'kan bisa makan makanan rumah aja. Gue malas keluar. Memangnya nyokap lo nggak masak, huh?"
"Masak, sih. Tapi gue butuh yang halus buat pencernaan. Gue 'kan sakit."
"Elah, lo pengin micinnya aja juga."
Aristo memasang cengiran singkat. Perutnya tergelitik. Ia kembali teringat bahwa Kurnia sedikit banyak mirip dengan kakaknya.
"Gue masakin bubur aja deh buat lo."
Aristo seketika mengerinyit. "Lo bisa masak?"
"Bisa lah," dengus Kurnia sombong. "Meski gue cuma tahu masak makanan yang simpel sih. Telur, bubur, kentang goreng, makanan cepat saji yang tinggal digoreng, tahu-tempe, air."
Aristo berat mengakui kalau dia terpana. Akhirnya pemuda itu hanya mengendik. "Dapurnya di bawah. Dari ruang makan lo masuk ke pintu yang—"
"Anterin gue."
Aristo mengerang malas. "Gue sakit, Nia~"
Kurnia mendesah jijik. "Kalo gitu mending gue pulang. Memangnya cuma lo aja yang punya PS4 di dunia ini."
Kurnia melepaskan kecupan di udara dengan telapak tangannya.
"Hasta lavista, baby."
"Eeh, iya deh, iya." Aristo langsung mencengkram lengan Kurnia. Berusaha bangkit dengan berat dari kasurnya yang entah kenapa terasa menyedotnya ke dalam. "Gue anterin," ujarnya kusut.
Mereka kembali menuruni tangga. Catatan kaki : Kurnia bersiul-siul sepanjang perjalanan.
"Ini dapurnya," ucap Aristo letoy. "Alat-alatnya ada di pantry semua. Santai aja, lo bebas pake asal jangan jadiin dapur gue butiran debu."
Kurnia menyipit. "Kayaknya lo meragukan gue banget."
"Jujur, iya."
"Kampret."
"Haha, gue balik ke kamar dulu. Pengen tidur. Lo nggak takut sendirian 'kan?"
"Nggak. Ngomong-ngomong, nyokap lo masak lauk 'kan?"
"Iya. Tapi gue mau telur dadar."
"Males. Sana lo pergi."
Aristo masih bisa cengengesan di tengah-tengah suhu tinggi yang menerpa tubuhnya. Ia cepat-cepat naik dan berbaring. Beberapa menit kemudian pintu kamarnya berderit dan Kurnia muncul dengan nampan berisi mangkuk bubur dan segelas air tawar.
Lampu tidur digeser sedikit. Nampan diletakkan di atas nakas. Kurnia memukul pelan bahu Aristo yang tidur menyamping menghadap dinding. "Bangun, oi. Tuh makan."
Terdengar erangan kecil. Aristo berbalik. Menatap Kurnia dan nampan bubur sekilas. Lalu—
"Jangan bilang lo minta disuapin. Gue gergaji lo sekarang."
Aristo terkekeh. "Enggak sih. Tapi kalo lo mau juga boleh."
"Meh."
Aristo duduk bersandar pada dinding lalu menerima mangkuk bubur dan sendok yang disodorkan Kurnia. Kurnia sendiri menghempaskan bokongnya ke ranjang Aristo.
"Geser lo dikit. Kepala gue pening nih."
"Huh? Lo bilang lo fine as fuck."
"Ck, geser cepetan."
"Ha ha. Le. Mah."
"Ribut lo." Kurnia membaringkan diri. Menggeser bantal empuk Aristo untuk tempat menyenderkan kepalanya.
"Hei, hei. Jangan tidur di sini. Sempit, oi."
Kurnia menjawab tanpa membuka matanya yang sudah terpejam. "Lo sih aneh, kamar besar begini kasurnya cuma kasur solo. Payah lu. Beli yang king size. Biar lain kali pacar lo juga muat."
"Bangke."
Kurnia tidak memedulikan umpatan itu. Aristo sendiri memutuskan untuk melahap buburnya.
"Enak juga."
"Ya iya lah. Gue yang masak."
Ternyata anak tengik itu belum terlelap.
Aristo menyeringai. "Lauknya maksud gue. Kalo bubur di mana aja rasanya sama. Kecuali pake micin."
Tidak terdengar sahutan lagi dari Kurnia setelahnya. Sampai bubur di mangkuk Aristo tandas, anak itu tetap diam di posisinya. Sepertinya sudah nyenyak, pikirnya ketika melihat pernapasannya yang teratur. Pemuda itu tersenyum tipis. Bocah itu sudah membantunya hari ini. Ia menatap wajah jinak itu lama, heran karena ia merasakan dorongan untuk menyentuh. Ia akhirnya menyerah, memutuskan untuk mengecup pipi sawo matang sekilas karena gemas.
Baiklah, cukup.
Aristo meminum lagi air di gelas nakas sebelum kemudian ikut berbaring di samping Kurnia.