Tải xuống ứng dụng
82.35% BAGIAN YANG LAIN. / Chapter 14: Bagian XIV ( Keraguan; sebagian dari diriku yang ingin sembuh )

Chương 14: Bagian XIV ( Keraguan; sebagian dari diriku yang ingin sembuh )

"Aku ini apa. Aku siapa. Apa yang benar. Apa yang salah."

Tiba-tiba seluruh otak Salwa dipenuhi keraguan. Keraguan akan dirinya sendiri, juga ketidak yakinan pada lingkungannya.

Salwa tidak tahu, tidak mau berpikir. Segala hal yang sebelumnya sangat dia yakini mulai tampak bias.

Salwa ingin mengumpat, namun serapahnya terkulum. Jengah. Harus bagaimana, harus apa agar bisa menemukan kembali dirinya. Salwa merasa dihempas pada titik nadir dari takdirnya. Tidak ada luka, namun jiwanya terkoyak.

"Aaron, selama ini aku pasienmu, 'kan… Kamu tidak banyak bicara tentangku karena kamu yang lebih tahu. Sebenaranya... mana yang benar, mana yang enggak? Siapa yang benar, siapa yang enggak?" Salwa bertanya putus asa.

Air mata Salwa akan tumpah. Meski beberapa menit telah berlalu, tidak juga ada air yang jatuh.

Mungkin sedang menahan diri.

"Apapun yang akan aku katakan apa kamu akan percaya? Bukankah kamu sendiri tidak tahu mana yang benar-benar duniamu. Kamu yang sekarang tidak yakin bahwa aku nyata. Bahwa kami ada." Aaron muncul padahal sebelumnya sama tidak sekali tidak terlihat.

Mungkin karena Salwa memanggilnya sehingga Aaron muncul. Atau karena Salwa pasiennya jadi Aaron terus berada di sekitarnya, sangat dekat, meski sering tidak Salwa sadari.

"Aku... apa yang harus aku lakukan?" tanya Salwa seperti tidak pada siapa-siapa.

Tidak satupun jawaban terdengar. Salwa merasa sudah tidak mungkin tertolong lagi. Tidak ada jalan keluar.

Hening.

Salwa merasa sepi meski ingar di sekelilingnya oleh berbagai jenis manusia. Manusia-manusia yang tengah terkurung oleh dunia mereka masing-masing. Sepi yang begitu dalam. Inilah kekosongan yang sesungguhnya. Perasaan tersingkir dan kalah oleh nestapa. Tanpa seorang pun. Rengkuh.

Tiba-tiba Salwa begitu merindukan keluarganya. Kehangatan, perhatian, dan kasih sayang mereka. Air matanya pun meleleh. Satu-satunya jalan keluar dari semua konflik yang menjerat jiwanya.

*****

Hari selanjutnya Salwa hanya mengurung diri dalam ruangannya. Salwa menolak kunjungan Dian, bahkan tidak membiarkan saat seorang perawat berlama-lama menemani meski Salwa tahu mereka khawatir.

Salwa tidak peduli, ingin sendiri. Salwa sedang menikmati sepi yang menikamnya. Membiarkan nestapa mengalahkannya dan bercengkrama dengan jemawa.

Salwa masih menolak pembesuk selang dua hari setelahnya. Bahkan itu keluarganya sendiri. Ayah dan Ibu pun hanya bisa mengintip di balik pintu.

Salwa sebenarnya masih marah pada mereka meski sangat ingin bertemu. Salwa marah karena mereka juga menganggapnya gila. Mereka membiarkannya melalui masa terberatnya seorang diri. Mereka meninggalnya begitu lama. Salwa marah, ingin berteriak.

Tapi… mengetahui keluarganya juga menderita semakin membuat Salwa tidak berdaya. Ibu bertambah kurus, kantung mata Ayah semakin tebal dan menghitam, juga adiknya yang semakin pendiam.

Salwa masih mengurung diri, merenung, tapi tidak hanya untuk menangis dan menyesali takdirnya. Salwa juga sedang berpikir, introspeksi. Dia harus tahu sedang berada di titik mana untuk bisa memutuskan ingin kembali atau tetap pada jalannya.

Kesendirian membuat Salwa bisa berpikir panjang. Kesendirian mengajarkannya menjadi kuat yang sesungguhnya. Salwa masih terus berpikir, berpikir, dan berpikir.

Salwa yang menyedihkan, takdir yang menghempaskannya ke titik paling dasar dalam perjalanan hidupnya. Salwa tidak tahu ini sebuah hukuman atau ujian, takdir atau kutukan. Yang dia tahu, dialah yang menjadi pemeran dalam permainan kehidupannya. Dia yang dipilih entah berdasarkan kualitas seperti apa.

"Aku akan menjalaninya, sampai akhir. Sampai aku benar-benar harus berhenti."

Salwa telah membulatkan keputusannya. Dia berjanji tidak akan menyesalinya.

*****

"Dian sudah datang." Eis memberitahu. "Semoga beruntung," tambahnya tersenyum, kemudian meninggalkan Salwa.

Salwa tertegun. Dia menatap punggung Eis yang bergerak menjauh. Kalimat yang Eis ucapkan terdengar seperti mengetahui keputusan yang telah Salwa buat, mendukung, dan mendoakan yang terbaik untuknya.

Bahkan sampai akhir, tetap hanya Bakal Manusia yang sepenuhnya bisa mengerti. Yang ada di pihaknya. Salwa menarik nafas panjang, membangun kembali keyakinannya yang mulai goyah, kemudian tersenyum pilu.

Tentu saja. Karena Bakal adalah Bakal.

"Salwa, kamu baik-baik saja?" Dian bertanya memburu begitu melihat Salwa.

Keputusannya menolak menemui siapapun jelas membuat semua orang khawatir.

"Maaf sudah membuat kalian semua khawatir," kata Salwa tulus.

Dian mengangguk kemudian memeluk Salwa. Dian seperti sedang bersyukur atas apa yang tidak Salwa mengerti.

"Aku akan mengatakan sesuatu dan aku juga sudah memutuskannya." Salwa berkata lagi.

"Apa?" Terdengar kekhawatiran dari suara Dian.

"Aku akan mengatakan hal yang kuketahui tentang Bakal Manusia padamu..." Dian terlihat hendak menyela, namun Salwa melanjutkan kalimatnya dengan cepat. "...untuk yang terakhir kalinya."

Dian terkejut. Keningnya berkerut dalam. Ingin bertanya dan menuntut penjelasan. Ingin menasehati. Tapi, melihat reaksi Salwa, Dian tahu dia hanya harus menjadi pendengar. Membiarkan Salwa menyelesaikan apa yang ingin dia katakan.

"Kemana pun aku melihat mataku selalu tertuju pada 'mereka'. Bahkan saat aku berada di tempat ini. Awalnya aku mengira akan aman tapi ternyata... salah satu dari mereka juga berada di sini," kata Salwa nyaris berbisik.

Perubahan ekspresi Dian terlihat sangat jelas. Salwa tidak bisa membaca apa yang sedang Dian pikirkan, tapi dia tahu Dian menganggap semua kata-katanya sama seperti sebelumnya. Jika mereka berdebat lagi, mereka akan tetap berada di posisi yang sama. Dengan penyangkalan dan pembelaan yang juga sama.

"Kamu tahu, perawat tadi bernama Eis. Dia adalah salah satu dari 'mereka'. Ketika aku menyadari siapa Eis, aku bertanya kenapa dia memilih tempat ini, kemudian dia bercerita mengenai batas. Selama beberapa hari ini aku terus berpikir dan akhirnya aku mengerti."

Salwa menarik nafas, Dian memberi waktu.

"Ini adalah takdirku. Pertemuanku dengan 'mereka' dan segalanya. Aku tidak akan mengingkarinya. Tapi..." nada suara Salwa berubah berat dan bergetar.

Salwa telah memutuskan bahwa ini benar-benar yang terakhir. Ini adalah salam perpisahan. Salwa akan memulai semuanya dari awal dan mengakhiri yang lalu. Meninggalkannya di tempat ini.

"...aku ingin melanjutkan hidupku." Salwa menyelesaikan kata-katanya dengan susah payah.

"Salwa…"

Dian mengelus punggung Salwa seolah bisa mengerti betapa beratnya mengambil sebuah keputusan besar.

Mata Salwa sempat berkaca-kaca, namun dia bisa mengendalikan dirinya dengan baik. Ini bukan perpisahan dimana dirinya diizinkan menangis hingga terisak-isak. Tidak, bukan perpisahan semacam itu.

"Tolong katakan pada keluargaku, aku akan baik-baik saja dan segera keluar dari tempat ini," kata Salwa setelah cukup panjang menarik nafas.

Dian mengangguk, mengerti. Dian tersenyum lega, mendukung keputusan Salwa sepenuhnya.

Salwa masih hanya terdiam, berpikir Dian akan mulai bertanya atau mengungkapkan kalimat-kalimat yang telah tersimpan di ujung lidahnya. Salwa menunggu, tapi tetap tidak terdengar suara dari mulut Dian. Tidak ada pertanyaan atau basa-basi apapun.

"Karena untuk terakhir kalinya maka aku akan mengatakannya sampai tuntas." Salwa melanjutkan, "Sebenarnya... aku juga melihat salah satu dari 'mereka' berada di sekitarmu."

"Aku?!" Dian tampak terkejut.

"Hm." Salwa mengangguk.

"Apa itu artinya?"

Salwa tidak langsung menjawab. Berusaha mempelajari apa yang mungkin sedang Dian rasakan.

"Artinya?" Salwa balik bertanya.

"Iya," Dian mengangguk. "Aku berada di pemandangan seperti apa? Hal bodoh, menyedihkan, mengerikan, atau menggugah? seperti apa 'dia' yang berada di sekitarku?"

Salwa menangkap sesuatu yang berbeda dari cara Dian bertanya. Tidak seperti Dian yang bersikeras pada pendapatnya, dan menganggap semua ucapan Salwa hanya imajinasi. Dian yang yang bersikukuh untuk tidak mempercayai cerita-cerita Salwa. Dian yang benar dan Salwa yang salah.

Dian yang ini, terlihat mulai mengambil pertimbangan untuk memikirkan lagi keberadaan Bakal Manusia.

"Ah, aku rasa aku enggak perlu tahu. Iya, 'kan." Dian mengurungkan pertanyaannya. Mungkin sedang menahan diri.

Salwa sendiri membiarkan pertanyaan Dian menggantung tanpa jawaban.

Hari-hari yang dilalui setelahnya tidak bisa disebut tahap rehabilitasi dan penyembuhan yang mudah. Pengakuan Salwa, salam perpisahannya, artinya Salwa mengakui bahwa dirinya sepenuhnya sakit. Bahwa selama ini dia salah.

Salwa berjuang untuk sembuh dengan menelan berbagai macam obat dan menjalani terapi kejiwaan. Berbagai pergolakan masih muncul dalam dirinya. Sebagian dari dirinya masih melakukan penolakan. Suara-suara dalam kepalanya semakin sering terdengar, terus memaki, mencaci, dan menghardik dengan umpatan-umpatan kasar.

Sempat kembali merasa muak dan ingin menyerah. Tapi dukungan keluarga menjadi obat sekaligus anti depressant yang sangat membantu.

Dari segala perasaan sakit dan putus asa, keluarga adalah salah satu alasan Salwa harus sembuh. Alasan lain, tentu saja dirinya sendiri. Karena ingin melanjutkan hidup.

Salwa tidak ingin menyia-nyiakan hidup yang dipercayakan padanya. Salwa yang selamat dari kecelakaan, yang terus menerus ditolong saat nyawanya berada di ujung kematian. Salwa masih tidak tahu kenapa, alasannya apa, tapi tidak akan menuntut jawaban lagi.

*****


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C14
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập