Lily ingin segera beranjak dari sana, namun apalah daya dikala hati dan tubuhnya tidak sejalan. Lily menunduk dalam, membiarkan beberapa tetes air mata lewat begitu saja selama sisa waktu penayangan film. Lily merasa sesak didalam ruangan luas itu.
Riuh tepuk tangan kembali terdengar dan Lily tahu bahwa penyangan film ini telah berakhir. Kaki Lily melangkah dengan cepat membawanya ke depan pintu keluar.
"Sebelum kita tutup acara ini, mari kita dengarkan beberapa patah kata dari aktor kita, Sky Flower."
Lily menoleh sebentar kearah dimana Angkasa naik keatas panggung.
"Selamat malam semua. Saya disini mau mengucapkan banyak kata terima kasih atas semua pihak yang telah mendukung saya, hingga saya berada di titik ini. Untuk pak Ares selaku kepala managemen saya ucapkan terima kasih karena telah membimbing saya dengan baik. Untuk Gema, Manager saya yang paling sabar menghadapi saya." Lily beralih menatap kenop pintu yang sudah dalam genggamannya.
"Juga Sindi, sebagai partner yang baik, saya ucapkan terima kasih." Percuma Lily menunggu disini. Apa yang Lily harapkan? Lily segera membuka pintu dengan lebar.
"Dan Lily, jangan keluar." Tangan Lily berhenti membuka pintu yang sudah separuh terbuka. Lily semakin menundukkan kepalanya disaat semua orang sibuk mencari sosok yang di panggil Angkasa.
"Silahkan lanjutkan apa yang ingin kamu sampaikan Sky." Ucap sang MC, mengizinkan Angkasa untuk meneruskan perkataannya.
"Lily, adalah satu-satunya sosok yang terus menjadi alasanku untuk tetap maju sebagai model. Disaat semua orang, termasuk kedua orang tuaku menentang itu. Hanya Lily yang tetap diam berada disampingku. Dia memang tidak terus terang menunjukkan bahwa dia mendukungku. Tapi dengan dia terus berada di sisiku, itu sudah cukup. Karena aku mencintainya." Semua orang terkejut, beragam reaksi mereka berikan. Ada yang ikut senang, ada juga yang tidak suka.
Tangan Lily ditarik hingga Lily berdiri tepat dihadapan Angkasa. Disaat semua kamera mengarah pada Angkasa dan Lily, mata Lily membulat sempurna dan membuatnya semakin menundukkan kepala.
Sinar kilau dari puluhan kamera yang mengarah padanya membuat kepala Lily semakin pening. Bahkan peluhnya mengalir deras walaupun terdapat pendingin besar di ruangan ini.
"Dia adalah alasanku berjuang sampai detik ini. Aku rasa, sekarang Lily sedang marah karena melihat kedekatanki bersama Sindi di dalam film." Suara tawa berderu di seluruh penjuru ruangan. Angkasa menggenggam erat tangan Lily. Tidak dapat dipungkiri bahwa jantung Lily kini berdebar dengan cepat, bagaikan mendapat pasokan oksigen yang mempercepat aliran darahnya.
"Aku rasa dia cemburu melihat adegan ciuman tadi." Angkasa membungkukkan badan agar bisa melihat Lily yang menunduk. Angkasa bisa melihat kening Lily dan bibirnya yang berkerut, menahan marah.
"Bolehkah aku pamit dan membawanya pergi untuk menghiburnya?" Tanpa menunggu persetujuan semua orang, Angkasa menarik Lily pergi keluar dari ruangan itu. Menjatuhkan mic kesembarang arah hingga berbunyi nyaring.
Lily melihat sekilas kearah Sindi yang tersenyum, sebelum Angkasa benar-benar membawanya keluar dari sana. Tersenyum?
*
Lily tersenyum dengan lebar ketika melihat pemandangan dari atas gedung tinggi ini. Luar biasa, Lily seperti sedang berada di atas gunung.
Matanya menikmati pemandangan didepan, namun fikirannya berkelana dengan memikirkan artikel apa yang akan mungkin muncul esok hari. Bagaimana jika identitas yang selama ini Angkasa simpan rapat justru terbongkar karena kehadirannya di acara itu?
Angkasa memakaikan jasnya pada Lily karena merasakan angin malam yang berhembus dengan kencang. Lily melirik Angkasa yang ikut berdiri di sampingnya sembari tersenyum lembut padanya.
"Kamu masih marah Ly?" Tanya Angkasa, membuat Lily tergagap. Apa sejelas itu?
"Ap.. apa? Enggak kok." Sanggah Lily.
"Percaya sama aku Ly, adegan ciuman itu gak seperti yang kamu kira. Aku sama Sindi cuma berdekatan aja, gak sampai nempel beneran." Lily terdiam, kenapa juga Angkasa menjelaskan hal itu padanya. Bikin kesal saja.
Angkasa mengernyit heran, dikala Lily masih terdiam tidak menganggapinya.
"Kamu beneran marah ya?" Tanya Angkasa, tapi sekali lagi tidak ada jawaban dari Lily. Lily masih sibuk memandang kota malam hari di hadapan mereka.
Dengan kesal Angkasa menarik lengan Lily dan memegang pinggangnya agar Lily tidak terjungkal kebelakang. Lily menahan nafasnya disaat Angkasa mendekatkan wajah mereka.
"Cuma seperti ini, gak lebih." Lily mengangguk kaku, namun Angkasa tidak segera melepaskan Lily ataupun menjauh dari Lily. Tubuh Lily membeku saat merasakan nafas hangat dan wangi milik Angkasa menerpa permukaan kulit wajahnya.
Hidung mereka bersentuhan dan jarak bibir mereka sangatlah tipis, membuat Lily sigap mendorong dahi Angkasa menjauh, dengan menggunakan jari telunjuknya.
"Seharusnya segini, gak boleh lebih deket dari ini." Ujar Lily melipat kedua tangannya kedepan. Matanya menyipit menatap Angkasa sembari berusaha menormalkan detak jantungnya.
Angkasa terkekeh, bagaimana mungkin berdiri dengan jarak lima jengkal seperti ini bisa dikatakan adegan sempurna untuk sebuah ciuman pura-pura.
Tangan Angkasa meraih tangan Lily dan membawa tangan Lily kedadanya. Tepat dimana detak jantungnya berpacu dengan cepat.
"Jantungku menggila seperti ini, itu cuma sama kamu Ly." Lily mengerti, Lily paham. Karena saat ini Lily juga begitu.
"Sa, iya aku ngerti. Sekarang lepasin tangan aku." Lily benar-benar takut dengan apa yang akan Angkasa lakukan setelah ini, terlebih dengan mental Lily yang sedang lemah. Angkasa melangkah semakin mendekat pada Lily, tangannya meraih tengkuk Lily dan tangan yang menggenggam tangan Lily dengan erat.
"Sa, nanti kalau ada yang lihat gimana?" Lily masih berusaha membujuk Angkasa. Namun omelan Lily justru dihadiahi Angkasa kecupan pada bibirnya.
Mata Lily membulat sempurna, tangannya otomatis mencubit bibir nakal Angkasa, hingga Angkasa meng-aduh kesakitan.
"Aduh! Kamu jahat banget Ly." Ucap Angkasa, kemudian mengulum bibirnya sendiri yang sakit.
"Rasain!" Lily mengipas-ngipaskan ke wajahnya yang memanas. Suhu dingin ini tiba-tiba berubah menjadi hangat.
"Kamu sadar gak sih Ly?"
"Apa?!" Tanya Lily garang. Jujur saja, Lily kesal dengan sikap Angkasa yang terlalu tiba-tiba barusan. Lily takut ambruk dihadapan Angkasa dan Lily tidak ingin hal itu terjadi.
"Aku tadi nyatain cinta ke kamu." Angkasa tersenyum sembari mengelus puncak kepala Lily yang masih tertutup dengan topi. Sontak Lily menutup telinganya.
"Aku gak denger. Aku alergi pernyataan cinta." Angkasa terperangah. Ya, memang sulit untuk membuka hati Lily yang penuh dengan luka. Namun keterkejutannya dengan cepat berganti menjadi tawa renyah.
"Kamu berubah tahu Ly." Lily mendelik, kenapa banyak orang yang mengatakan hal itu kepadanya?
"Maksudnya?"
"Kamu itu dulu gampang marah, sekarang masih sih. Tapi aku udah tahu cara bikin kamu kicep." Angkasa mencubit pipi Lily perlahan, entah Lily yang dulu atau yang sekarang. Bagi Angkasa Lily tetaplah Lily yang dicintainya.
"Caranya?" Lily sungguh penasaran bagaimana cara Angkasa membuatnya kicep, namun Angkasa malah tersenyum nakal kearahnya. Lily yang tersadar maksud dari senyuman Angkasa, segera mengambil langkah seribu untuk segera pergi dari sana. Bahaya.
Angkasapun mengejar langkah pendek Lily.
"Jas aku balikin dulu Ly." Teriak Angkasa menyusul Lily yang sudah lebih dulu berjalan jauh didepannya.