Suara musik dangdut memenuhi seluruh penjuru ruangan ini. Lampu-lampu disko menghiasi ruangan, menambah suasana keseruan yang tercipta.
Lily memperhatikan mama dan nenek Angkasa yang bernyanyi lagu dangdut dengan lancarnya. Lily hanya tidak mengira, keluarga Angkasa berbeda dengan keluarga lain yang biasanya akan mengadakan acara dansa daripada sebuah acara karaoke seperti ini. Keluarga ini benar-benar unik, beda dari yang lain.
Lily yakin ruangan yang sedang mereka tempati saat ini adalah sebuah ruangan yang kedap suara, jadi tidak akan mengganggu lingkungan sekitar.
Lily memilih anteng duduk bersama Intan, mereka masih baru dikeluarga ini, tentu paling tidak mereka harus memiliki sifat malu-malu, kalem sebelum benar-benar menunjukkan sifat asli mereka. Walau begitu Lily sesekali bersorak mengikuti yang lainnya.
Setelah menidurkan anaknya, Ica. Clara bergabung dalam acara dan menambah kehebohan.
Lily melihat keseliling ruangan ini, tidak mendapati Angkasa ada disana. Padahal sebelumnya Angkasa duduk anteng di sampingnya.
Lily menyelinap keluar dari dari ruangan itu. Lily menyusuri setiap isi rumah megah itu, saking luasnya mungkin Lily bisa tersesat. Kemana kira-kira Angkasa pergi?
Kaki Lily berhenti melangkah ketika melihat sebuah taman indah yang terletak dibelakang rumah. Lily menemukan Angkasa sedang duduk di kursi taman.
"Sa." Panggil Lily, namun tidak ada jawaban dari Angkasa. Sepertinya dengan datang kemari membuat Angkasa terlalu banyak menahan beban fikiran.
"Sa." Panggil Lily sekali lagi sambil menepuk pundak Angkasa. Kali ini Angkasa menyadari kehadiran Lily dengan tersenyum lembut kearahnya.
"Kamu gak ikut karaokean?" Tanya Lily sembari mengambil temlat di samping Angkasa.
"Gak minat." Lily tertawa tebahak-bahak mengingat dengan jelas bahwa Angkasa memang tidak memiliki suara sebagus itu untuk dibanggakan.
"Maaf aku lupa kalau suara kamu jelek." Angkasa mencubit kedua pipi Lily gemas. Bisa-bisanya Lily mengejeknya.
"Oke-oke, lepas dong. Sakit nih." Pasrah Lily ketika pipinya tidak segera dilepas oleh Angkasa, walaupun sebenarnya Lily tahu Angkasa tidak benar-benar mencubit pipinya, melainkan hanya memegangnya.
"Terus kenapa?"
Angkasa termenung. "Bukannya kamu diminta sama papa buat bawa aku kesini, tapi papa malah sibuk di ruang kerjanya."
"Tapi kamu senengkan ketemu sama mama, sama nenek, sama Ica juga? Seenggaknya kamu udah setor wajah ke mama, mama sempet khawatir banget sama kamu pas tahu kamu gak pulang-pulang." Angkasa mengangguk cepat, perkataan Lily ada benarnya. Mamanya mungkin sangat khawatir membiarkan anak satu-satunya ini tinggal seorang diri di apartemen dan merasa tenang sekarang karena telah melihat Angkasa baik-baik saja.
Biarlah Lily berada disini menemani Angkasa menikmati angin malam. Ikut melamun, memikirkan apapun yang terlintas dibenaknya dan sesekali menatap langit.
Lily menyambut tangan Angkasa yang dibuka lebar-lebar untuk menggenggam tangannya. Lily sedikit merasa was-was apabila ada yang melihat mereka, tapi Lily ingat seluruh penghuni rumah ini ada di dalam ruang karaoke.
"Ly."
"Hm?"
"Pasti berat ya mengalami semua kejadian itu dalam hidup. Tentang orang yang hampir mencelakai kamu, sampai bikin kamu trauma juga tetang ayah kamu." Lily menggeleng cepat, faktanya Lily bisa menghadapi itu semua hingga terlewati dengan baik.
"Ada apasih, kok tiba-tiba ngomongin itu?" Lily kebingungan dengan sikap Angkasa yang tiba-tiba menjadi melankolis.
"Maafin aku, kalau aku jadi salah satu penyebab lukamu Ly." Lily tersenyum dan menggenggam tangan Angkasa lebih kuat.
"Sa, makasih udah hadir di hidup aku. Kamu pernah bilang kalau kamu itu milik aku kan? Jadi aku gak perlu hal lain lagi, ataupun status. Kamu bukan barang, tapi kamu cuma milik Lily." Angkasa tersenyum simpul. Angkasa suka sensasi yang muncul di dalam hatinya ketika Lily mengatakan bahwa Angkasa adalah miliknya.
"Kita berdua melewati masa-masa yang sulit Ly. Jadi aku harap, kamu terus disampingku bersama menghadapi kesulitan itu, jangan tinggalin aku."
"Selama dihati kamu masih ada stampel milik Lily, aku bakal bawa kamu kemanapun aku melangkah." Lily mengelus singkat pipi Angkasa, menyalurkan rasa sayang yang membuncah di dalam hatinya.
Lily tersentak dikala tangannya yang digunakan untuk mengelus pipi Angkasa ditangkap dengan mudahnya oleh Angkasa.
Tatapan mata Lily terkunci oleh Angkasa yang menatapnya dalam. Seakan seluruh dunia Lily kini hanya terpaku oleh Angkasa dan seolah-olah Lily terhipnotis hanya bisa melihat Angkasa di hadapannya.
"Ly, jika aku cium kamu sekarang. Apa kamu akan menghindar lagi? Dan.. apa akan memicu trauma mu?" Lily terdiam sejenak, apa sekarang Angkasa meminta izin Lily untuk menciumnya?
"A.. aku rasa.. gak." Hati Lily terasa akan meledak jika terus menatap mata Angkasa. Lily segera mengalihkan pandangannya pada lampu taman yang terletak tak jauh didepannya.
Manik Lily tertutup rapat dikala Angkasa mendekatkan wajah mereka. Disaat hidung Angkasa menyentuh hidung Lily, Angkasa terhenti untuk mengingat ekspresi Lily saat ini.
Angkasa menarik kepala Lily sedikit untuk menghadapnya. Sekali lagi, menatap bibir Lily yang dibalut lipstik berwarna merah itu. Sebelum akhirnya menyatukan bibirnya dengan bibir Lily dengan sempurna.
Hanya sebuah kecupan ringan yang sedikit lama, namun berhasil membuat Lily menahan nafasnya.
Lily membuka matanya perlahan, menatap Angkasa yang enggan menjauhkan wajah mereka. Angkasa masih menatap bibir Lily penuh minat.
Ini benar-benar gila, rasanya Lily ingin berlari dan berteriak sekencang mungkin.
Lily mengeratkan genggaman tangannya yang masih setia digenggam Angkasa, dikala Angkasa kembali mendekat dan menyatukan kembali bibir mereka.
Kali ini bukan hanya sebuah kecupan yang Angkasa berikan. Angkasa melumat bibir Lily tanpa henti, membuat Lily kesulitan mengikuti pergerakan Angkasa. Ini bukanlah hal baru bagi Lily, mengingat Yuli selalu mengajaknya menonton drakor.
Inikah yang disebut efek kupu-kupu dalam perut, yang selalu disebutkan novel-novel romansa.
Angkasa masih terus melumat bibir Lily seolah-olah tak ada hari esok hingga sebuah suara menginterupsi mereka.
"Kak Rei." Suara manis itu berhasil membuat Lily dan Angkasa kelabakan. Ica berlari kearah mereka, Angkasa dan Lily sama khawatirnya kalau-kalau Ica melihat apa yang baru saja mereka lakukan.
"Ica kok belum tidur?" Tanya Lily sembari membawa Ica duduk kedalam pangkuannya.
"Ica udah tidur, tapi haus Kak."
"Tadi Ica lihat Kak Rei lagi ngapain gak?" Lily mencubit lengan Angkasa, kenapa membahas hal tersebut kepada anak yang mungkin tidak melihatnya. Ica berfikir sejenak.
"Lihat, sama kayak yang dilakuin mama sama papa." Raut muka Lily memucat.
"Tapi tenang aja, Ica gak akan bilang ke siapa-siapa kok." Lily mengelus kepala Ica dengan lembut. Anak berumur lima tahun ini terlihat sudah dewasa dan sangat pintar.
"Bagus, nanti Kak Rei beliin es krim ya?"
"Oke. Sekarang Ica haus."
"Ica mau minum apa?"
"Orange Juice yang dibikin tante Bella tadi." Angkasa memutar otak sejenak, jika tidak salah di kulkas masih terdapat sisa setengah teko jus orange yang dibuat mamanya.
"Ya udah yuk, ambil ke dapur." Angkasa menggandeng tangan Ica untuk menuntunnya ke dapur, Lily mengikutinya dari belakang. Melihat langkah kecil Ica yang kesulitan menyamakan dengan langkah besar milik Angkasa.
Sebelum benar-benar pergi, Angkasa berbalik menghampiri Lily. Jantung Lily terasa berhenti sepersekian detik ketika Angkasa menyentuh bibirnya dengan ibu jarinya untuk merapikan lipstik yang sedikit berantakan.
"Rapi in dulu di kamar mandi, aku anter Ica bentar."
Angkasa terkekeh melihat Lily yang mengangguk patuh seperti robot konslet. Kemudian beralih kembali menggandeng Ica pergi menuju dapur. Meninggalkan Lily yang sempat lupa dengan debaran jantungnya karena kehadiran Ica.
Oh jantung, semoga kau kuat sampai Lily tua nanti.