Jean menepuk pundak gue pelan.
"Cill, kantin kuy!"
"Yuk. Skalian ajak Queen sama Nonom yuk."
Jean mengangguk setuju. Kami langsung cabut ke kelas 12A1. Hosekk, ketemu gebetan lagi.
"Queen, kantin yok!" ajak gue ke Queen.
Gue ngelirik bentar ke arah Carol. Mata kita ketemu, gue langsung masang senyum termanis gue. Ga nyangka, Si Carol ngebales senyum gue donk.
Ya Tuhan! Manis banget sumpah Si Carol kalau senyum. Tolong Tuhan... Mata hamba tak kuat melihat ciptaan-Mu yang sangat manis ini!
Sebenernya gue masih mau ngeliat Carol, rindu gue belum terpuaskan. Tapi apalah daya gue, Jean dengan kurang ajarnya langsung gandeng gue keluar dari kelas. Tentunya sama Naomi dan Queen juga.
Huft. Nyebelin emang kalau punya sahabat kayak Jean.
Baru aja beberapa langkah gue berjalan di koridor kelas kelas. Gue lihat pemandangan yang cukup aneh lagi. Pete jalan sendiri, tanpa teman-temannya, mukanya lusuh parah. Kayanya tadi mukanya ga selusuh itu, deh.
Kening gue mengkerut bingung waktu melihat Peter jalan ke tangga menuju rooftop. Walaupun dia emang terkenal bandel dan suka bolos, tapi kayaknya Peter ga pernah yang namanya pergi ke rooftop sekolah. Para siswa disini dilarang naik ke rooftop. Hukumannya bakal berat banget bagi yang ketahuan ngelanggar.
Kayaknya emang ada yang salah dari sikap Pete hari ini.
"Kenapa dia?" tanya gue dalam hati.
# # #
"WOY YASTI, TARCA, XETO, MICHARLES, PIKET LO SEMUAAAA!!!" teriak gue dengan kesal.
Tapi bukannya dengerin gue, mereka justru makin buru keluar kelas. Ga hanya cowoknya, ceweknya juga sama. Semuanya kabur! Cuss... Cus.. Cus. Hilang, lenyap, tanpa jejak.
Gue cuman menghela napas pasrah sambil mengelus ngelus dada gue. "Sabar Cillya.. Sabar.. Sebagai ketua, gue harus bertanggung jawab. Semangattt!" ucap gue pada diri sendiri.
Dengan sabar gue sapu dan pel kelas 12A2 tercinta sekitar 20 menitan. Sampai dirasa kelas udah cukup bersih, gue memutuskan untuk pulang. Ya iya lah pulang, emangnya gue mau nginep di sekolah yang ada rumor-rumor bekas Rumah Sakit ini?
Tapi waktu gue mengambil tas, mata gue ga sengaja ngelihat tas Peter yang berada tepat di samping tas gue.
"Aihhsss..," Tangan gue spontan nepuk jidat.
Gue baru ingat kalau dari selesai istirahat pertama Pete belum juga balik ke kelas. Bahkan waktu istirahat ke dua, gue juga ga ngelihat dia sama sekali.
"Apa dia masih di rooftop, ya?"
"Atau jangan jangan dia kabur?" Gue geleng geleng kepala. Ga mungkin Pete kabur, kan tasnya masih ada di kelas.
Gue terdiam sejenak. Sekarang, masalahnya, GUE HARUS APAIN TAS SI PETE!?
"Ish, tuh anak ngilang kemana aja, sih?" gerutu gue kesal bercampur bingung.
Tangan gue mulai garuk garuk bagian belakang kepala yang sama sekali ga gatal.
"Apa gue bawa ke ruang guru aja, ya?" tanya gue entah ke siapa.
Gue bergumam pelan, "Tapi kalau nanti dia nyariin ke kelas, gimana?"
Gue mengedikkan bahu, tak peduli. "Bodo amat. Urusan dia. Siapa suruh dia ga tau kemana."
Gue langsung ambil tas Pete, lalu berjalan keluar kelas. Tapi baru saja beberapa langkah gue jalan di koridor, langkah gue langsung berhenti. Apa sedekat itu kelas gue dengan ruang guru? Bukan.
Gue ngelihat Pete lagi jalan kearah kelas. Ga jauh beda dari gue, Peter juga kelihatan sama kagetnya. Mata kita ketemu, saling mengunci satu sama lain. Tatapan Peter.. Gue ga kenal tatapan itu. Tatapannya benar benar tajam, penuh emosi, seakan memberikan isyarat yang tidak dapat di terjemahkan. Satu kata, menakutkan.
"Itu Peter, kan?" tanya gue dalam hati, "Gue ga salah liat, kan?"
Gue bisa lihat mukanya benar-benar kacau. Matanya agak sembab, kayak orang habis nangis. Juga ada bekas air mata yang sudah kering di pipinya. Kayaknya dia ga cuci muka dulu sebelum kesini. Dia pasti ga nyangka juga bakal ketemu gue.
"Lo ke,-" Ucapan gue terpotong.
Mulut gue menganga lebar ga percaya. Barusan Pete seenak jidat ngambil tasnya dengan kasar dari tangan gue, dan tentunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mata gue menyala, berapi api. Mulut gue udah siap buat ngomel.
"WOY PETE BAU! GA TAU MAKASIH BANGET SIH LO! UDAH DIBAWAIN JUGA TASNYA, MALAH SEENAK KETEK LO NGAMBIL GITU AJA! TAU TADI GUE TINGGAL DI KELAS," teriak gue super kencang. Tapi yang ada Peter ngacuhin gue.
"WOY DENGER GA SIH LO!?" kesal gue dengan amarah yang super memuncak. Kalau kepala gue bisa keluar tanduk, mungkin sekarang tanduk gue udah tumbuh setinggi 1 meter saking keselnya.
Peter ga merespon. Dia berjalan menjauh tanpa menoleh sedikitpun ke gue. Ini, nih, contoh orang yang harusnya musnah dari bumi! Dasar ga tau makasih! Dasar ga tau sopan santun!
Baru aja gue mau teriak lagi karena diacuhin Pete. Tapi langsung gue urungkan saat melihat tangan Pete terkepal penuh, persis seperti orang menahan emosi. Dan anehnya, langkah dia justru super lemes. Ga bertenaga sama sekali. Kaya… ada sesuatu yang… dia sembunyikan?
Ga tau kenapa, mata gue terus memperhatikan sosok Peter yang udah berjalan menjauh.
"Kenapa dia?"
Sial! Gue mengumpat dalam hati. Padahal seharusnya hari ini gue menikmati hari tanpa gangguan dari Peter. Tapi sekarang gue justru dibuat bingung karena sikap Peter dan ga bisa berhenti mikirin itu.
Apa ini ada hubungannya sama pesan kemarin?
# # #
'Druak!'
Seperti biasa Peter melempar tasnya gitu aja ke meja. Menciptakan gempa bumi lokal beberapa detik di meja gue.
"Lempar aja lempar! Skalian kursinya ga mau sekalian juga dilempar ke meja? Biar cacat mejanya, trus masuk rumah sakit!" sindir gue, tajam.
Pete menatap gue datar. Beberapa detik kemudian dia tersenyum songong.
"Lu mau gua lempar juga, kaga? Lempar ke tong sampah gimana?" tanya dia super menjengkelkan.
Gue menatap Peter tajam selama beberapa detik.
"Apa?" tanya Peter sok polos. Seakan dia itu manusia paling suci di bumi.
Gue mengepalkan tangan kesal. Namun tiba-tiba gue keinget kejadian kemarin. Kayanya ini bakal buat dia kicep. HAHA, MAMPUS LO!
"Pete," panggil gue.
Pete cuman menaikkan sebelah alisnya.
"Kemaren lo nangis, kan?" tuduh gue to the point. Tentunya sambil memberikan senyum picik.
Bukannya jawaban yang gue dapet. Justru Si Pete sengah itu balik nuduh gue.
"Sotoy dari mana lu?" tuduh Pete sambil menaikkan salah satu alisnya.
Gue berdecak kesal. Lah, lah, niatnya kan gue yang mau buat Peter kesel. Kok, sekarang malah gue yang gondok sendiri, yak?
Gue melipat tangan di depan dada. Kebayang, ga tuh, gimana songongnya gaya gue yang badannya super mini ini lawan Peter yang super tinggi.
"Gue gak sotoy, sih. Emang lo kemaren abis nangis, tuh. Yakan yakan yakan??" tuduh gue masih berpegang teguh dengan apa yang gue lihat kemarin.
Si sayuran Pete itu malah tersenyum dengan sengahnya sambil geleng-geleng.
"Udeh, mending lu diem. Pendek ae belagu."
Mata gue membulat sempurna. Ga terima. Lah, pendek sama belagu emang apa hubungannya, yak?
Dasar hooman aneh!
Gue berdecak kesal lalu membuang muka. Males ladenin dia. Gue selalu aja kalah kalau debat sama dia. Nyebelin!
"Oi Cabe," panggil Peter.
"Iya."
Peter tersenyum penuh arti ke gue. "Besok temenin gua jalan, yuk?"
"Hah?"
Mulut gue langsung menganga. Barusan Pete ngajakin gue jalan? Dia cuman ngajakkin gue jalan, tapi kok sekarang jantung gue malah berdebar kaya gini, ya? Kayanya ada yang salah, nih, sama sistem jantung gue.
"Hah-hoh-hah-hoh. Besok temenin gua jalan," kata dia mulai agak nge gas. Kebiasaan dasar.
Gue memicingkan mata. "Atas dasar apa lo ngajakin gue jalan?"
Pete justru tersenyum songong.
"Emangnya Cabe ga mau jalan sama Peter yang super ganteng ini?" kata Pete buat perut gue langsung mual. Ganteng mata mu!
"Sama siapa aja?" tanya gue.
Peter tersenyum penuh arti. "Berdua aja."
Pete lalu menaik turun kan alisnya. "Gimana?"
Deg.
Be-berdua? Kalo berdua, cowok sama cewek, itu kencan dong?
Si Pete saudaranya Jengkol itu ngajakin gue kencan? Kalau ga salah, bahasa Inggris nya itu nge-date?
"Lo-lo ngajakin gue kencan?"
AISHH!! DASAR MULUT JAHANAMM! Tangan gue otomatis langsung menutup bibir sialan gue. Kenapa bisa-bisanya gue keceplosan ngomong gitu?
Astaga gue malu banget. Rasanya mau lenyap aja ke belahan bumi paling dalam!
"Kencan?" ulang Peter.
"Sorry. Tipe saya bukan yang seperti anda," kata Peter dengan angkuh sambil menatap gue remeh. Menandakan kalau gue benar-benar bukan tipe nya.
Gue berdesis kesal, mencoba menahan malu.
"Yaudah! Kenapa ngajakin gue jalan berdua?" tanya gue, seketika sensi.
"Yang pasti bukan karena gua suka sama lu."
Lah, yang bilang gue itu suka sama lo SIAPA WOY?
"Dan gue juga gak suka sama lo!" tajam gue, mulai kehilangan kesabaran.
Peter terkekeh pelan. "Jadi bisa kaga?" tanya Peter ga sabaran.
Gue terdiam. Menimbang. Masalahnya gue susah dapet ijin nyokap buat jalan bareng cowok. Atau bahkan hampir mustahil.
"Ga mau," jawab gue milih aman, "Emangnya situ siapa? Kalau Carol yang ajakin, sih, skuy aja," lanjut gue dalam hati dengan tingkat kehalu-an yang tinggi. Ngyahahaha!
"Yahh.." Muka Peter kelihatan kecewa.
"Plis bantuin gua lah…," kata Pete, lagi.
"Mau ngapain, sih, emangnya?" tanya gue penasaran.
Peter menatap gue lekat. "Lu beneran mau tau?"
Gue mengangguk-anggukkan kepala, beneran penasaran.
Peter tersenyum penuh arti ke gue. Dia mendekatkan mukanya ke gue. Seakan mau ngomong sesuatu yang serius.
Duh, kok gue jadi deg-degun gini siii….
"Cabe mau tahu aja atau tahu bulat?"
Mata gue membulat dengar jawaban dari Pete. Padahal gue udah serius dengerinnya. Mana pakai acara disko-an dulu jantung gue.
Ada yang buka jasa santet onlen, ga?
"Tahu segitiga!" jawab gue asal.
Peter tertawa renyah. "Jadi mau, ya?"
Gue menatap Pete datar. "Gak."
Lagi-lagi Pete masang muka ngeselinnya. Dagunya ditopang pakai tangan plus senyum super menggondokkan matanya.
"Gua traktirin Pastaria, gimana?" tawar Pete.
Gue terdiam mendengar tawaran Pete. Dia tau dari mana kalau gue suka makan pasta?
Rasanya gue pengen jawab 'IYA GUE MAU!' . Tapi di saat yang bersamaan gue juga takut ga diijin-in sama nyokap gue.
"Sip. Besok jam 10 gua jemput. Jan molor lu," putus Pete secara sepihak. Dan kemudian Bu Widya masuk kelas, pelajaran dimulai.
Mata gue melotot.
GUE BELOM IYAIN LO!
bình luận đoạn văn
Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.
Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.
ĐÃ NHẬN ĐƯỢC