Tải xuống ứng dụng
14.81% Better / Chapter 8: Attention

Chương 8: Attention

Nina bangun terlalu pagi saat rumah dalam keadaan sangat sepi. Ia memutuskan berangkat ke PB Garasi lebih pagi dan ikut lari pagi bersama atlet lainnya. Sesekali ikut olahraga tidak masalah kan, lagi pula tidak ada yang melarang, malah sangat dipersilakan kalau memang Nina mau ikut olahraga pagi.

Saat berjalan menuju gelanggang latihan, Nina mendengar suara seseorang merintih kesakitan. Nina menoleh ke belakang—pada sumber suara—dan menemukan Kevin membawa kantung belanja.

Sejenak, Nina berniat untuk menanyai si tengil itu. Namun, detik berikutnya Nina menepis niat dan rasa penasarannya. Ia pun meneruskan jalan menuju gelanggang tanpa peduli dengan Kevin yang terus mendesis atau merintih kesakitan.

"Hey, apa lo nggak punya rasa peduli sama sekali sebagai manusia. Gimana bisa lo jalan dengan tenang saat ada orang merintih di belakang lo?" Kevin menahan bahu Nina sehingga langkah gadis itu terhenti.

"Lo udah gede, kalau sakit tinggal pergi ke dokter, kalau luka tinggal diobatin, dan kalau udah kurang waras tinggal berangkat ke rumah sakit jiwa." Nina melepaskan tangan Kevin dari bahunya dengan cukup kasar.

"Aduh!" pekik Kevin bersamaan dengan gerakan kasar gadis itu.

Nina mencoba untuk tidak peduli. Ia malah lanjut berjalan santai seakan tidak ada orang lain di selasar. Nina mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan untuk Rina yang menginformasikan kalau Nina sudah ada di klub.

"Nina," panggil Kevin di tengah-tengah ringisannya.

Nina berhenti melangkah lagi. "Apa?!"

Tanpa disangka Kevin menggenggam pergelangan tangan dan menariknya ke lorong sepi. "Tolong liatin luka di punggung gue, parah atau enggak?"

Nina memicingkan mata setelah mendengar permintaan tolong Kevin. Karena Nina masih memiliki rasa peduli sebagai sesama manusia, akhirnya dia melakukan apa yang diminta cowok tengil itu untuk melihat punggung Kevin, yang artinya Nina harus membuka kaos yang dikenakan cowok itu.

Refleks Nina ikut meringis melihat luka empat goresan tak beratur yang mengeluarkan darah dan di sekitar luka itu terdapat memar biru.

"Lo habis kecopetan?" tanya Nina kembali menutup kaos kembali.

"Apa itu parah? Gue tadi kesrempet waktu nyebrang ke minimarket, terus kena kayu atau apalah itu gue nggak tau. Dan gue baru sadar waktu sampai di sini." Kevin meringis lagi waktu keringat mengaliri luka-lukanya. Rasa sakitnya disembunyikan dengan ekspresi sok kuat.

"Itu lumayan parah sih, masih berdarah dan memar. Itu harus lo bersihin."

"Bisa gue minta tolong lo buat bersihin lukanya?"

Nina langsung mendelik mendengarnya. "Bersihin aja sendiri! Kalau nggak bisa minta tolong temen-temen lo, lagian lo kan sekamar sama Ardi, minta tolong Ardi ajalah."

"Gue nggak mau mereka tanya-tanya perihal luka ini. Lo tau kan kalau gue mau tanding, gue nggak boleh kelihatan sakit sedikitpun."

Bola mata Nina berputar jengah. "Iya iya, nggak usah lebay juga kali jawabannya. Di kantor aja, di sana ada kotak P3K."

Sebenci-bencinya Nina pada seseorang, tetap saja rasanya tidak tega kalau harus membiarkan orang itu kesakitan. Jadi dengan terpaksa Nina akan membantunya atas dasar rasa kasihan terhadap orang yang sedang membutuhkan bantuan ini. Nina menekan setengah mati rasa bencinya terhadap Kevin agar bisa mengobati dengan baik dan benar.

Selama Nina membersihkan lukanya, Kevin tidak memekik kesakitan layaknya orang kebanyakan. Cowok itu hanya merintih kemudian menggigit kuku jemarinya.

"Jangan sampai teriak, kalau teriak bakal gue tabok, lo." Ancam Nina saat cowok di depannya hendak berteriak tapi ditahan sehingga suara yang muncul hanya rintihan.

"Gue sakit sempat-sempatnya lo ngancam. Ajak gue ngobrol, kek, biar nggak terasa sakitnya."

Nina tahu rasanya pasti sakit sekali. Mengobrol adalah pengalihan yang tepat saat ini agar sakitnya tidak terlalu terasa.

"Sayangnya gue nggak mau ngobrol sama lo," uap Nina sembari fokus pada proses mengobati. Nina sangat berhati-hati karena dia belum pernah mengobati luka orang lain, lukanya sendiri saja orang lain yang mengobati.

"Sampai kapan lo kayak gini ke gue?"

"Sampai dinosaurus muncul lagi di peradaban dunia."

"Apa lo benci banget sama gue?"

"Gue nggak tau. Tapi yang pasti gue nggak suka lo, nggak suka masa lalu yang menghubungkan gue dan lo. Semua itu cuma bikin gue merasa kecewa."

Kevin terdiam. Entah kenapa jawaban Nina membuat dirinya merasa tidak nyaman dan semakin penasaran penyebab dari semua ini. Semua itu cuma bikin gue kecewa. Kalimat yang membuat Kevin merasa menjadi orang jahat.

"Nina."

"Hmm?"

Kevin tetap memunggungi meskipun perbannya sudah terpasang. Nina membereskan peralatan yang digunakan untuk mengobati Kevin dan mengembalikannya ke tempat asal.

"Semua akan jelas kalau lo mau bilang apa kesalahan gue yang bikin lo kayak gini."

"Nggak ada yang perlu gue bilang ke elo, semua yang diperluin adalah introspeksi. Apa lo udah lakuin itu?"

"Ini semua nggak adil aja buat gue. Gue nggak pernah ngapa-ngapain lo tiba-tiba lo marah sebesar ini ke gue."

Nina melihat jam yang menggantung di jam dinding. "Gara-gara lo gue nggak jadi ikut olahraga pagi," ucapnya mengalihkan pembicaraan. "Lebih baik sekarang lo balik ke asrama dan siap-siap latihan. Jangan lupa belanjaannya dibawa."

Nina membukakan pintu kantor dan memerintahkan Kevin keluar dengan isyaratnya. Mau tidak mau Kevin menurut dan keluar dari kantor.

Kevin merenung sambil berjalan. Harusnya dengan pembicaraan tadi, Kevin sudah mendapatkan jawabannya dan semuanya jadi jelas. Tapi Nina malah mengalihkan pembicaraan. Dia tidak sadar kalau itu semua membuat Kevin semakin tak tenang.

*****

Pertandingan selanjutnya sudah di depan mata, bahkan besok mereka harus sudah berangkat ke Thailand. Ini adalah hari tersibuk yang pernah ada dimana semua mengurus keberangkatan. Untuk para atlet hanya perlu latihan dan mengurus barangnya sendiri sementara staff yang mengurus semuanya, mulai dari pesawat, penginapan, mobil, dan administrasi jelang pertandingan lainnya. Itu sudah menjadi hal yang biasa, kan?

"Beres!" seru Nina lega setelah berhasil memesan hotel untuk semua orang yang besok akan berangkat ke Thailand.

"Kamar hotel buat kita juga udah kan?" tanya Widi memastikan.

Nina mengangguk. "Aku pesen dua kamar aja. Aku, Mbak Widy, sama Mbak Anin sekamar terus Mas Putra sendirian."

Widi mengacungkan jempol. Anak magang yang ini bisa diandalkan. Pekerjaannya sangat terbantu dengan munculnya Nina sebagai pemagang di sini. Bakal lebih bagus kalau boss punya niatan mengangkat Nina jadi asisten Widi.

"Akhirnya sekarang kita bisa santai," ujar Widi menyandarkan punggungnya ke kursi dan menguap lebar.

"Makan siang apa nih, Mbak?" tanya Nina melihat jam yang sudah hampir menunjukkan pukul dua belas siang. Waktunya makan!

Widi bangkit lalu memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Aku udah izin buat pulang cepet, kamu aja yang makan sendiri, aku mau balik."

"Mas Arsen?" Nina menoleh pada cowok yang duduk di sebelahnya.

"Gue mau makan ayam-ayaman, mau ikut?" tawar Arsen tanpa mengalihkan pandangan dari komputer. Begitulah kalau Arsen sudah fokus, dia tidak akan mengalihkan pandangannya barang sedikit saja, kecuali kalau matanya sudah panas.

"Oke, aku ikut Mas Arsen!" jawab Nina bersemangat.

Hari ini sedang sehati dengan Arsen, ingin makan sesuatu yang berhubungan dengan ayam.

*****

"Gimana lo bisa kenal sama Kevin?" Arsen sudah tidak tahan dengan rasa penasarannya.

Tidak ada jawaban dari Nina. Arsen mengangkat kepala, memastikan kalau Nina tidak ketiduran di depannya.

"Nina!"

"Aku lagi nggak mau bahas itu, Mas."

"Tapi gue penasaran karena kalian aneh, bener-bener aneh. Mencurigakan."

"Aduh Mas, serius deh, aku nggak mau bahas itu. Lagian nggak penting banget bahas Kevin."

"Gue bakal terus ngoceh sampai lo jawab pertanyaan gue tadi."

Nina akhirnya membalas tatapan penasaran Arsen. "Tapi janji setelah itu Mas Arsen nggak boleh tanya-tanya lagi soal aku dan Kevin. Jangan pernah bahas juga!"

"Jawab dulu gimana lo kenal sama dia?"

Nina memutar bola mata. "Dulu tetangga di Surabaya, satu sekolah juga, terus Kevin pindah ke Jakarta. Waktu aku SMP, aku pindah juga ke Jakarta terus ketemu Kevin lagi, nggak lama sih, soalnya dia udah masuk ke asrama sini dan aku juga fokus sama pendidikan." Nina tidak perlu menjelaskan yang lainnya, toh yang ditanya bagaimana dia bisa kenal dengan si tengil.

"Terus sekarang lo berdua jauh-jauhan, lebih tepatnya lo menjauh, apa lo iri sama kesuksesannya?" Arsen menelan makanannya. “Dia emang belum masuk pusat, tapi dia cukup sukses loh, terkenal di mana-mana, jadi bintang iklan, banyak penggemarnya.”

"Hati aku nggak sekecil itu kali. Dan urusan aku menjauh dari Kevin itu karena alasan pribadi."

Arsen mengangguk. "Gue cuma bingung aja. Kalau gitu ceritanya, harusnya lo seneng karena temen lo mencapai kesuksesannya. Tapi kalau emang ada alasan pribadi, ya gue nggak bisa ngusik. Itu privasi lo."

Kedua sudut bibir Nina tertarik naik. "Makasih, Mas, udah nggak kepo sama urusan itu."

"Tapi lo masih perhatian sama dia, ya."

Ah pasti masalah tadi pagi. Ternyata Arsen memergoki Nina mengobati Kevin, tapi pemuda itu sengaja tidak masuk ke kantor karena melihat keduanya sedang berbicara serius.

"Itu karena aku kasihan, dia luka dan nggak bisa obatin sendiri."

"Kan ada temen sekamarnya."

"Dia bilang nggak mau ditanya-tanya. Satu-satunya orang yang nggak peduli sama dia cuma aku, jadi mungkin aku pilihan tepat untuk diminta ngobatin lukanya."

"Dan lo mau."

"Mau gimana lagi. Mas Arsen jangan bilang siapa-siapa soal lukanya Kevin."

"Iya, lo bisa percaya sama gue."

Seminggu lebih bekerja sama, baru kali ini Nina merasa ada kecocokan mengobrol dengan Arsen. Biasanya Nina cenderung kesal karena Arsen banyak memerintahnya. Tapi ternyata Arsen orang yang enak diajak bicara, santai.

*****


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C8
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập