Kamu harus buktikan kalo kamu bisa melewati ini semua
- - -
Pagi ini Alana dan Arya sudah rapi, biasanya jika selain hari sabtu dan minggu bila mereka sudah rapi pasti Arya akan mengantar Alana berangkat sekolah. Namun kali ini tidak, walupun hari ini adalah hari selasa mereka bukan akan pergi mereka akan ke rumah sakit.
"Ayah sama bunda masih satu minggu lagikan pulangnya?" Tanya Alana tiba-tiba.
"Iya, kamu nggak usah khawatir soal ayah dan bunda, itu biar Abang yang urusin." Arya memang selalu seperti ini, berusaha membuat Alana tenang. Selama Alana mengetahui bahwa penyakitnya kembali lagi, Alana sepakat dengan Arya untuk merahasiakan hal itu dari ayah dan bunda mereka.
"Bang,"
"Iya Na, ada apa?"
Secara tiba-tiba Alana memeluk Arya. "Maafin Alana ya kalo Alana banyak salah sama abang, maafin Alana yang selalu merepotkan abang, sekali lagi maaf." Alana memeluk Arya erat dengan menitikkan air mata.
"Itu sudah kewajiban Abang, kamu harus buktikan kalo kamu bisa melewati ini semua." Arya mengelus punggung Alana.
"Udah yok berangkat, nanti telat kemoterapinya." Ajak Arya yang melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 09:00.
Mereka lantas berangkat menuju rumah sakit dengan mobil. Di dalam mobil Alana dan Arya hanya saling diam. Arya fokus sendiri dengan menyetir dan Alana yang sibuk dengan memandangi sekitar jalan. Dikeheningan mobil tiba-tiba handphone Alana bergetar.
Drt drt drt...
VanoFP: Na lo kenapa nggak berangkat sekolah lagi?
Alana hanya membaca pesan line dari Vano.
VanoFP: Nenek lo sakit lagi ya?
VanoFP: Na, dimana rumah nenek lo? Gue mau jenguk nenek lo nih
VanoFP: Na jangan di read doang dong.
Rentetan pesan itulah yang tertera pada layar handphone Alana, namun sekali pun Alana tak membalasnya walu sebenarnya di lubuk hati terdalamnya ingin membalasnya.
VanoFP is calling...
Alana membiarkan handphonenya hingga berhenti bergetar, Arya yang sendari tadi mendengar handphone Alana bergetar pun akhirnya bertanya. "Siapa Na? Kenapa nggak di angkat?"
"Harus ya diangkat?"
"Angkat aja, siapa tahu penting."
Drt drt drt
Handphone Alana masih terus bergetar, terhitung ini sudah panggilan Vano yang ke sepuluh.
"Hallo Na, lo dimana? Kenapa lo nggak angkat angkat telfon gue? Lo baik-baik ajakan?" Berbagai pertanyaan itu terlontar begitu cepat dari Vano ketika Alana mengangkat telfonnya. Namun reaksi Alana ketika mendengar berbagai pertanyaan Vano, Alana hanya diam sembari menahan sesak yang menyerangnya.
"Na, lo masih di sana kan?" Vano kembali bertanya.
"Jangan pernah lo cari dan hubungi gue lagi, gue nggak mau ketemu lo lagi." Alana langsung mematikan handphonenya setelah berbicara pada Vano.
Buliran air mata Alana akhirnya pecah, ia menangisi apa yang sudah ia lakukan pada Vano. Ia merasa tak tahu terima kasih. Bagaimana tidak, ia mengabaikan perhatian yang Vano berikan padanya. Alana tahu bahwa Vano melakukan ini semua hanya untuk dekat dengannya, namun ia berusaha menjauhinya setelah sempat dekat dengannya dan kemudian pergi begitu saja tanpa alasan.
Walaupun di dalam hati kecilnya, sebenarnya ia tak ingin menjauh. Otaknya sudah dipenuhi praduga-praduga yang menguasai dirinya hingga ia lupa untuk berfikir menggunakan hatinya. Arya yang melihat kondisi Alana memutuskan untuk meminggirkan mobilnya. Memeluk Alana yang terisak, tindakan itulah yang Arya lakukan untuk menenagkan Alana.
"Disaat kamu bingung, bimbang untuk mengambil suatu keputusan gunakanlah hatimu." Nasihat Arya di sela-sela isakan Alana.
# # #
Di depan ruangan tempat Alana kemoterapi, Arya menunggu dengan harap-harap cemas. Entah mengapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. Satu jam sudah berlalu, namun dokter yang menangani Alana belum juga keluar dari ruang kemoterapi.
"Kamu pasti bisa laluin ini semua Na." Gumam Arya disela-sela doanya.
"Permisi, keluarga dari Alana?" Seorang dokter keluar dari ruangan kemoterapi Alana.
"Saya dok, ada apa?"
"Mari keruangan saya." Dokter tersebut berjalan meniggalkan ruangan Alana kemoterapi.
"Bagaimana dok dengan kemonya?" Tanya Arya ketika sudah sampai di ruangan dokter tersebut.
"Alhamdulillah kemoterapi berjalan dengan lancar."
"Kapan saya dapat menemui adik saya?" Wajah Arya seketika berbinar setelah mendengar kabar baik tersebut.
"Setelah ini anda sudah dapat melihat adik anda, namun sebelumnya saya ingin memberi tahukan efek yang mungkin akan timbul akibat kemoterapi ini."
"Saya sudah tahu efeknya." Kata Arya dengan nada yang sangat lemah disertai wajahnya yang menjadi muram.
"Namun efek ini berbeda dari efek yang pernah Alana alami pada kemoterapi yang pernah ia lalui beberapa tahun yang lalu." Timpal Dokter.
"Maksud dokter?"
"Kemoterapi yang Alana lakukan kali ini berpotensi menimbulkan efek sesak nafas dan kelainan detak jantung, karena Alana kehilangan darah cukup banyak ketika kemoterapi tadi." Kata dokter menjelaskan.
"Jadi maksud dokter adik saya akan mengalami sesak nafas dan kelainan detak jantung?" Tanya Arya yang syok. Dokter pun lantas hanya menjawab Arya dengan anggukam yang menandakan bahwa jawabannya adalah 'iya'.
"Kalo memang seperti itu, saya hanya berharap semoga dokter dan yang lain untuk berusaha menangani efek yang mungkin akan terjadi pada adik saya dengan sebaik-baiknya." Seru Arya kemudian dengan bijaknya.
"Baik, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk adik anda."
Setelah selesai berbicara dengan dokter, Arya dengan segera menuju ruangan Alana. Dengan langkah pelannya Arya secara pasti mendekati Alana yang tergeletak di tempat tidurnya. Tetes demi tetes air mata Arya tiba-tiba meluruh tanpa seijinnya, Arya tak tega melihat berbagai alat menempel di tubuh Alana.
"Kenapa harus kamu lagi? Bukan orang lain," Arya menggenggam dan mengecupi tangan Alana dengan air mata yang mengalir.
"Kenapa?" isak Arya.
"Karena Tuhan tahu kalo aku kuat." Ucap Alana yang sudah sadarkan diri.
"Alana, kamu sudah sadar?" Arya mengusap air matanya.
"Iya, Abang jelek kalo ingusan begitu." Ledek Alana yang melihat sisa ingus Arya yang belum terusap oleh tangan Arya.
"Itu gara-gara kamu aku jadi ingusan." Sahut Arya dengan mengusap ingusnya dan kemudian mengusapkan tangan yang ia gunakan untuk mengusap ingus pada pipi Alana.
"Iihhh Abang! Jorok!"
"Biarin, siapa suruh buat abang terganteng ini khawatir."
"Iya iya, maaf kalo aku udah buat abang khawatir."
"Iya iya, abang bercanda kali. Tapi abang terganteng kan?" Arya mengedipkan satu matanya kearah Alana.
"Issshhh apaan sih, genit." Alana mencubit tangan Arya yang ada didekatnya.
"Apaan sih, sakit tau." Arya mengusap tangannya.
Untuk sementara Arya merasa lega karena Alana sudah sadar setelah melakukan kemoterapi. Namun kelegaannya tergantikan oleh rasa kecemasan ketika ia teringat ucapan dokter mengenai efek dari kemoterapi ini. Ia hanya bisa berharap semoga apa yang diucapkan oleh dokter tidak terjadi.
Kemoterapi Alana berjalan dengan baik, itu juga menandakan rahasia mengenai penyakit Alana juga akan dijaga dengan baik pula oleh Arya dari ayah dan bunda. Namun tidak menutup kemugkinan Arya akan membongkar rahasia ini jika terjadi apa-apa pada Alana.
# # #
Sudah tiga hari ini Alana berada di rumah sakit, dan sudah tiga hari ini pula Alana hanya terbaring di atas tempat tidurnya. Mungkin karena ia bosan, Alana membujuk Arya untuk berkeliling di luar.
"Ayolah Bang, Alana bosen tau cuma tidur di sini," Alana terus membujuk Arya yang tidak mau.
"Mau ngapain sih keluar?"
"Cari udara seger, ayolah boring ni di sini." Alana memelas melaskan wajahnya agar Arya mau ia ajak jalan-jalan.
"Yaudah deh, tapi sebentar aja ya." Kata Arya yang akhirnya mau. Dengan menggunakan kursi roda, Arya membawa Alana ke taman rumah sakit. Disana juga terdapat pasien lain yang mungkin juga sedang menghilangkan kebosanannya.
"Na, kamu disini dulu ya. Abang mau ke toilet dulu." Kata Arya pada Alana yang sedang asik melihat-lihat sekitar taman.
"Hhheeemmm, tapi balik lagi. Awas kalo nggak balik."
"Iyalah, mana tega seorang Abang terganteng ini meniggalkan adiknya." Arya lantas pergi meniggalkan Alana. Alana yang mendengar ucapan Arya yang menyebut dirinya sebagai Abang terganteng hanya dapat menggeleng gelengkan kepalanya.
"Punya abang satu kok rada gesrek kek gitu."
Alana yang ditinggal sendiri oleh Arya akhirnya hanya dapat melihat-lihat sekitar taman, namun disaat Alana sedang sendiri tiba-tiba ada seorang wanita sebayanya yang juga menaiki kursi rodo berhenti di sampingnya dengan seorang suster.
"Hai," Sapa Alana pada wanita tersebut.
"Hai," Balas wanita itu dengan tersenyum simpul.
"Kenalin namaku Alana," Alana mengulurkan tangannya pada wanita tersebut.
Wanita tersebut lantas mengangkat tangannya, namun ketika hendak menjabat tangan Alana tangan wanita tersebut seperti mencari-cari dimana keberadaan tangan Alana. Alana yang bingung pun melirik suster yang bersama wanita tersebut.
"Maaf Dek, dia tidak dapat melihat." Jelas suster yang dilirik Alana dengan pelan. Alana yang mengetahuinya pun lantas menarik tangan wanita tersebut agar bisa berjabatan dengannya.
"Maaf aku nggak tahu kalo kamu nggak bisa lihat. Soalnya pada mata kamu sepertinya baik-baik saja."
"Nggak papa, Kenalin aku Angela. Apa yang kamu bilang itu benar, mata aku memang nggak papa. Tapi itu sebelum aku kecelakaan."Angela menundukkan kepalanya.
"Sorry kalau aku buat kamu jadi flashback."
"It's ok, kamu sendiri bisa di sini kenapa?"
"Aku sakit." Jawab Alana.
"Kamu itu lucu ya, semua orang juga tahu kalo orang di rumah sakit ya sakit. Andai aku bisa lihat wajah kamu, pasti sudah aku cubit pipi kamu." Kata Angela.
"Hehe, iya juga ya." Alana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mereka pun selanjutnya mengobrol, namun disaat Alana dan Angela sedang asik mengobrol Arya tiba-tiba datang.
"Kita balik ke kamar ya Na?" Kata Arya yang baru berjalan menuju Alana.
Alana yang mengetahui Arya sudah kembali, ia pun pamit pada Angela.
"Aku balik ke kamar dulu ya, abangku kayaknya udah ngajak balik."
"Iya, senang bisa ngobrol sama kamu." Balas Angela.
Alana kemudian menjalankan kursi rodanya menuju Arya. Setelah sampai di depan Arya, Arya lantas membawa Alana kembali ke kamar rawatnya. Sudah lima hari Alana berada di rumah sakit dan sudah dua hari Alana berteman dengan Angela, pasien lain di rumah sakit yang buta karena kecelakaan. Alana dan Angela sangatlah terlihat akrab meski mereka baru kenal. Mereka bertukar cerita setiap sore di taman tempat pertama mereka bertemu.
Namun berbeda pada hari ke enam, Alana tidak pergi ke taman karena pada hari itu efek dari kemoterapi yang dibilang dokter terjadi pada Alana. Alana mengalami sesak nafas dan detak jantungnya melemah, hingga keadaan itu mengakibatkan Alana menjadi kritis.
Arya yang panik pun tak dapat lagi menyimpan rahasia penyakit Alana dari kedua orang tuanya. "Halo,"Bibir Arya bergetar ketika berkata.
"Iya Ar, ada apa?" Jawab bunda yang mendapat telfon dari Arya.
"Alana bun," kaki Arya terasa sudah seperti tak sanggup lagi menahan berat badannya, ia lemas, bingung harus bilang apa pada bunda.
"Alana kenapa Bang?!" Terdengar dengan jelas dari seberang sana nada suara bunda yang cemas.
"Alana kritis Bun." Punggung Arya sudah merosot dari sandarannya pada tembok. Arya terduduk dilantai dengan keadaan yang berantakan. Sedangkan bunda yang mendengar kabar itu segera memberi tahu ayah dan mengajaknya untuk segera ke rumah sakit.
# # #
Satu bulan sudah Vano tak melihat Alana di sekolah maupun di luar sekolah. Bahkan di rumah Alana pun ia tak mendapati adanya Alana, mencoba mengkontak Alana sudah ia lakukan. Sms, Wa, Line, sudah Vano lakukan, namun selalu tak mendapat balasan, bahkan telfon pun juga Vano laukan setiap hari. Tapi setiap kali ia menelfon Alana, selalu tak diangkat walau telfonnya masuk.
Bingung mencari keberadaan Alana dan penasaran mengapa tiba-tiba Alana menghilang, dua hal itulah yang kini bersarang pada Vano. Karena ia sudah tak tahu harus mencari ke mana lagi, kali ini Vano bertekad menunggu di depan rumah Alana hingga ia dapat menemui Alana atau siapa pun yang dapat memberinya info dimana Alana.
"Maaf Den, aden masih mau nunggu di sini?" Tanya Bik Iyem yang sudah akan pergi dari rumah Alana.
"Eh Bibik, iya Bik. Kira-kira Abangnya Alana bakal pulang nggak Bik?"
"Bibik nggak tahu Den, sebentar lagi paling satpam yang datang buat nunggu rumah ini. Coba kamu tanya saja sama dia." Kata Bik Iyem memberi saran.
"Oh iya Bik, makasih sarannya. Bibik mau Vano anter?" Tawar Vano.
"Nggak usah, nanti kalo ada non Alana atau den Arya yang pulang nanti aden nggak tahu." Tolak Bik Iyem.
"Yasudah, hati-hati di jalan ya Bik."
"Iya, saya duluan ya Den." Bik Iyem pun akhirnya berlalu dari hadapan Vano.
Benar saja apa yang dikatakan oleh Bik Iyem, belum ada sepuluh menit Bik Iyem pergi sudah datang seorang satpam dengan sragam lengkapnya.
"Bapak satpam di rumah ini?" Tanya Vano memastikan.
"Iya benar, adek kenapa di depan gerbang?" Tanya bapak satpam dengan memandangi Vano dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kenalin pak saya Vano, saya di sini ingin mencari Alana. Apa bapak melihat Alana pulang ketika malam hari?" Tanya Vano to the point.
"Kalo non Alana beberapa minggu ini saya tidak melihatnya, tapi kalo Den Arya saya lihat pulang setiap pukul delapan malam." Kata bapak satpam. Sedikit harapan akhirnya ada untuk Vano, karena hari yang masih sore Vano memutuskan untuk pergi terlebih dahulu dan ia akan kembali lagi nanti malam.
"Makasih pak atas infonya, kalo gitu saya pamit dulu."
"Iya sama-sama."
Pukul setengah delapan malam Vano sudah kembali berada di depan gerbang rumah Alana. Ditemani oleh bapak satpam, Vano kembali menunggu kepulangan Arya.
Setengah jam sudah berlalu, namun orang yang Vano tunggu belum juga muncul. Padahal sepertinya hujan sebentar lagi akan turun membasahi bumi. Namun Vano tak menyerah, ia tetap akan menunggu hingga ia mendapat Info keberadaan Alana.
Satu jam sudah Vano berada di pos satpam depan gerbang rumah Alana dan sudah setengah jam hujan turun. Untung ada Bapak satpam, kalo tidak mungkin Vano sudah kedinginan di depan gerbang karena kehujanan. Disaat Vano sedang berbincang-bincang dengan bapak satpam, tiba-tiba ada sorot lampu sebuah mobil menuju gerbang rumah Alana. Vano yang melihatnya pun lantas berdiri hendak membukakan gerbang.
"Biar saya saja pak, bapak duduk di sini saja." Kata Vano pada bapak satpam.
Di bawah hujan yang deras, Vano berlari menuju gerbang dan membukanya. Dan benar dugaannya, pengendara mobil tersebut adalah Arya. Setelah membukakan gerbang, Vano lantas menutupnya kembali dan segera berlari menuju mobil yang sudah terparkir.
"Kakak kakaknya Alana kan?" Tanya Vano.
"Iya, kenapa hujan-hujan lo disini?" Tanya Arya balik.
"Saya mau tanya, Alana dimana ya? Sudah satu bulan ini saya tak pernah melihatnya di sekolah."
"Sebentar sebentar, kamu yang dulu ketemu di supermarket dan nuduh kalo gue ini pacarnya Alana kan?" Tanya Arya yang mengingat-ingat kejadian beberapa bulan lalu. Vano yang mengingatnya pun jadi malu, tapi harus bagaimana lagi ini jalan satu-satunya agar ia mendapat info keberadaan Alana.
"Iya kak." Jawab Vano dengan menundukan kepalanya.
"Nama lo Vano kan?" Tanya Arya lagi.
"Iya."
"Ya sudah, mending lo sekarang pulang. Ini sudah malam, kasian orang tua lo nungguin di rumah." Arya berjalan menuju pintu. Vano yang tak ingin penantiannya tak menghasilkan apa-apa, ia pun menahan Arya masuk ke rumah.
"Please kak, kasi tahu saya dimana Alana."
"Untuk apa lo cari Alana?" Tanya Arya.
Skakmat. Pertanyaan itu seketika membungkam Vano, Vano sendiri tidak tahu untuk apa ia mencari Alana, alasan apa ia mencari Alana. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya yang ingin bertemu dengan Alana.
"Kenapa diam? Nggak bisa jawab, sudah lo pulang saja." Arya lantas menggerakan gagang pintu untuk masuk. Namun tiba-tiba Vano menahan Arya dengan berlutut di depannya.
"Saya mohon kak beritahu saya dimana Alana, saya memang tidak punya alasan kuat untuk bertemu Alana, tapi perasaan saya khawatir. Saya hanya ingin melihatnya, apakah dia baik-baik saja?" Mohon Vano.
"Maaf, saya mau masuk." Arya masuk ke dalam rumah meniggalkan Vano yang tadi berlutut dengan badannya yang basah kuyup.
"Saya akan tetap di sini sampai kakak mau memberi tahu dimana Alana!" teriak Vano di bawah guyuran hujan.
"Terserah." Respon Arya yang berada di dalam rumah.
Sudah hampir dua puluh menit Arya masuk ke dalam rumah, itu berarti sudah dua puluh menit pula Vano diam berdiri di bawah guyuran hujan. Karena ingin memastikan apakah Vano masih di luar atau tidak, Arya mengintip dari balik jendela.
"Ni bocah emang orang ternekad yang pernah gue temui, dulu nuduh-nuduh kalo gue itu pacarnya Alana dan bilang dia bakal nunggu kita putus, sekarang malah nekad hujan-hujanan hanya demi mau cari tahu dimana Alana." Gumam Arya yang masih mendapati Vano di luar.
Arya yang tidak tega melihat Vano yang basah kuyup pun akhirnya memutuskan untuk keluar menemui Vano. "Dikira gue ini nggak punya perasaan apa? Mana tega gue biarin anak orang kehujanan malam-malam begini." Kata Arya yang berjalan menghampiri Vano dengan membawa payung.
"Lo mau sampai kapan berdiri di situ?" Tanya Arya yang berdiri beberapa langkah dari Vano.
"Sampai kakak kasih tahu dimana Alana." Jawab Vano dengan sedikit terbata-bata karena kedinginan. Arya yang mendengar jawaban Vano, menyorotkan pandangannya dari ujung rambut sampai ujung kaki Vano. Basah dengan kaki yang bergetar, itulah yang Arya lihat pada diri Vano saat itu.
"Masuk ke rumah sana, ntar gue kasih tahu dimana Alana."
"Bener kak?!" Tanya Vano dengan antusias.
"Hheemmm, ayo masuk." Arya memayungi Vano menuju teras rumah dan mengajaknya untuk masuk. Setelah menyuruh Vano untuk berganti pakaian, kini Arya dan Vano sedang berada di ruang tengah dengan di temani teh hangat.
"Segitu ingin tahu kah lo dimana Alana, hingga lo rela hujan-hujanan malam-malam begini?" Tanya Arya.
"Apa sih yang nggak buat Alana? Seandainya kakak diposisi saya, pasti kakak bakal lakuin hal yang sama." Jawab Vano dengan menyesap teh hangat yang Arya suguhkan.
"Kalo gue nggak ngelakuin hal yang sama gimana?" Tanya Arya lagi.
"Itu berarti kakak nggak berada diposisi saya sekarang." Jawab Vano dengan pdnya.
"Nggak usah pake saya saya, lo gue aja. Nggak nyaman gue." Terus terang Arya.
Hening, suasana itulah yang kini tergambar antara Arya dan Vano. Mereka hanyut dalam diam mereka masing-masing.
"Lo benar ingin tahu di mana Alana?" Tanya Arya tiba-tiba.
"Iya,"
"Kalo gitu sekarang lo tidur dulu di kamar tamu, besok gue akan ajak lo ke tempat dimana Alana berada." Arya kemudian berdiri dengan maksud hendak menunjukan kamar tamu pada Vano.
# # #