Bugh bugh bugh
Itulah suara yang timbul akibat efek dari benturan antara bola dengan lantai yang keras. Sekeras usaha Alana sore kali ini untuk memasukkan bola ke dalam ring basket.
"Isshh, ni bola kok nggak nurut banget dah. Nurut dikit kek napa, gue sihir jadi kodok lo tau rasa." Gumam Alana yang frustasi pada bola basket yang kini sedang ia pantul-pantulkan.
"Ya kalik bola jadi kodok." Ucap sesosok pria yang biasa Alana panggil 'No No' alias Vano.
Bugh
Bola kembali meluncur berbelok dari ring. "iisshh, lo sejak kapan di situ?" Tanya Alana pada Vano yang berdiri di pinggir lapangan basket.
"Sejak lo ngomong sendiri sama bola kek orang begok." Vano berjalan mengambil bola yang tadi di ajak Alana berbicara.
"Terserah gue mau ngomong sama bola kek, sama ring kek, itu hak gue." Balas Alana yang kini duduk di pinggir lapangan basket.
"Ya itu emang hak lo, tapi seenggaknya lo mikir presepsi yang timbul di otak orang lain ketika melihat polah lo." Kata Vano kemudian dengan menyerahkan bola yang tadi Alana ajak bicara.
"Bodo." Balas Alana yang acuh akan pemikiran orang lain tentang dirinya.
"Lo balikin aja tu bola, sebelum bener-bener gue sihir jadi kodok." Kata Alana pada Vano setelah melihat bola yang ia gunakan tadi sudah di depannya. Vano yang mendengar ucapan Alana pun lantas mengambil kembali bola yang tadi ia serahkan kepada Alana. Vano berdiri dan kemudian menarik tangan Alana menuju tengah lapangan.
"Eh eh eh, lo mau ngapain?!" kata Alana yang kini ditarik-tarik Vano seperti hewan peliharaan.
"Lo berdiri di sini dan perhatiin gue." Vano menghentikan Alana beberapa meter dari ring basket.
"Bentar lo jangan kemana-mana." Vano kembali menuju pinggir lapangan dan mengambil bola basket yang lain.
"Lo ikutin gue." Perintah Vano pada Alana yang juga sudah memegang bola.
"Pegang bola dengan kedua tangan di atas kepala." Vano memberikan arahan pada Alana. Alana yang diberi arahan oleh Vano pun mengikuti gerakan Vano.
Karena gerakan yang Alana lakukan tak sesuai dengan apa yang ia ajarkan, Vano mendekat ke belakang badan Alana dan membenarkan posisi bola yang berada di tangan Alana.
"Pegang pake telapak tangan, bukan ujung telapak tangan. " kata Vano dengan membenarkan posisi bola. Disaat seperti ini, yang Alana lakukan hanyalah mendongakkan kepalanya dan mendapati Vano di atas wajahnya.
"Kemudian kedua kaki ditekuk, dan pandangan terpusat pada ring, jangan terpusat pada muka gue. Gue tahu kalo gue ganteng." Celetuk Vano pada Alana yang masih melihati wajahnya. Alana yang mendengar celetukan Vano langsung menjauhkan badannya dari Vano.
"Lo tu cari kesempatan dalam kesempitan." Balas Alana.
"Baju gue nggak kesempitan." balas Vano.
"Siapa juga yang tanya baju lo." Balas Alana sinis.
"Dah sana lempar bolanya." Perintah Vano. Alana yang sempat berubah posisi melempar, kini kembali memposisikan dirinya pada tempat dimana Vano mengajarinya tadi. Gerakan demi gerakan yang Vano ajarkan mulai Alana lakukan. Mulai dari memegang bola di atas kepala dengan telapak tangan, kemudian menekuk kedua kaki dan.....
Bugh bugh bugh byar*anggep suara bola masuk ring.
Alana yang mendapati bola yang ia lemparkan masuk langsung berlari dengan riangnya menuju Vano. Karena saking senangnya Alana reflek memeluk Vano.
"Bolanya masuk No, bolanya masuk!" kata Alana histeris di pelukan Vano.
"Gue udah tahu kalo lo pasti bisa." Kata Vano yang membiarkan Alana memeluknya.
"Makasih lo udah mau ngajarin gue, makasih!" kata itulah yang Alana ucapkan pada Vano dengan melepaskan pelukannya pada Vano.
"Santai aja kalik." Jawab Vano.
"Maaf soal gue meluk lo, itu reflek." Alana menundukkan kepalanya.
"Gue nggak mau maafin lo." Jawab Vano.
"Kok gitu." Alana yang semula menunduk pun langsung meyorotkan tatapan tajam ke Vano dengan cemberut.
"Kalo lo cemberut kek gitu." Kata Vano melanjutkan ucapannya yang ternyata belum selesai.
"Isshh, apaan sih." Respon Alana yang kemudian berlari mengambil bola yang ia lemparkan tadi ke pinggir lapangan. Kemudian mendribel bola tersebut mendekati ring. Belum Alana sampai tengah lapangan, bola tersebut malah di rebut Vano.
"Kalo bisa rebut ni bola!" Vano mendribel bola.
"Rese lo!" Alana menghentikan geraknya. Karena merasa tak ada yang mengikutinya, Vano pun juga menghentikan gerakannya dan menengok ke arah Alana.
"Na lo kenapa?!" Vano berlari menuju Alana yang sedang mengusap-usap hidungnya dengan tisu.
"Gue nggak papa."
"Nggak papa gimana, hidung lo mimisan begitu."
"Gue nggak papa, gue kan pernah bilang kalo gue mimisan itu karena gue kecapekan." Alana masih terus mengusap hidungnya yang berdarah.
"Lo butuh apa? Biar gue cariin." Kata Vano mengajukan pertolongan.
"Gue nggak butuh apa-apa, gue cuma mau ke kamar mandi dulu." Kata Alana dengan mengambil tasnya.
"Ok." Kata Vano pelan pada Alana yang sudah berjalan meniggalkannya me kamar mandi.
# # #
Kamar mandi.
Sesampainya Alana di kamar mandi yang Alana lakukan mengambil sesuatu benda dari tasnya dan kemudian meminum benda tersebut. Beruntung tak ada yang melihat Alana meninum benda tersebut, karena saat itu hari sudah sore dan siswa lain sudah dipastikan sudah pulang. Karena darah di hidungnya masih terus saja keluar Alana terus mengusapnya dengan air di wastafel.
"Please berhenti." Hanya kata itulah yang Alana ucapkan saat itu. Hingga kurang lebih sepuluh menit Alana mengusap-usap hidungnya, akhirnya darah tersebut sudah tidak keluar lagi.
"Huuufffhhh." Hela nafas Alana.
"Kenapa sih lo Na?" tanya Alana pada pantulan dirinya di kaca wastafel.
"Na lo nggak papa?" tanya Vano yang tiba-tiba di depan pintu kamar mandi.
"Seperti yang lo lihat."
"Muka lo pucet."
"Gue mau pulang."
"Gue anter."
"Gue tunggu di gerbang." Alana langsung berjalan melenggang menuju gerbang.
"Lah, tu bocah kok jadi dingin gitu." Gumam Vano yang menatap Alana yang sedang berjalan dari belakang.
"Lagi capek mungkin." Pikir Vano yang kemudian juga melenggang menuju tempat parkir.
# # #
Ruangan 4 x 4 m² bernuansa putih dengan lantai pulam yang berderet memenuhi ruangan. Tergeletak Alana yang lemah di bangkar.
"Menurut serangkaian tes lab menunjukkan penyakit anak anda sudah stadium lanjut, dan karena penyakit anak anda yang langka kemungkinan untuk sembuh hanya sedikit." Tutur seseorang di balik tirai yang menutupi bangkar tempat Alana tergeletak.
"Dok selamatkan anak saya Dok, berapa pun saya akan bayar. Asalakan anak saya dapat sembuh seperti dulu Dok."
"Maaf Buk sebelumnya.Bukannya kami tak ingin mengobati anak anda. Kami sebagai dokter juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan anak anda. Namun kasus penyakit yang anak anda alami itu sangat sangatlah jarang, jika ada pun setelah beberapa tahun kasus tersebut akan berakhir dengan kegagalan." Tutur seseorang tersebut lagi di balik tirai.
Alana yang tergeletak di bangkar pun tak tinggal diam setelah mendengar tutur seseorang tersebut. Ia langsung memaksakan dirinya turun dari bangkar.
Srekkkkkk*anggep suara tirai.
"Itu semua bohong kan?" kata Alana setelah membuka tirai. Bunda Alana yang semula terduduk di depan meja sang dokter pun langsung menghampiri Alana.
"Jawab Bun! Jawab!" kata Alana meminta kepastian. Bunda pun hanya bisa bungkam dengan memeluk erat Alana.
"Bunda bilang ke Alana kalo semua yang dikatakan dokter itu nggak mungkin kan?" Bunda masih saja bungkam seribu bahasa.
"Bunda nggak jawab pertanyaan Alana, berarti yang dikatakan dokter itu benar?" kata Alana lagi meminta kepastian. Bunda tak mampu berkata, ia hanya dapat semakin mengeratkan pelukannya pada Alana dengan harapan agar anak perempuan satu-satunya itu dapat tenang. Namun bukannya tentang di pelukan bunda Alana malah memberontak.
"Tidak! Tidak! Tidak!" Alana tak terima atas apa yang dokter katakan tentang penyakitnya.
"Kamu harus kuat Na, ada bunda." Bunda terus saja mengeratkan pelukannya, meskipun Alana memberontak.
"Tidak! Tidak! Itu tidak mungkin!"
"Na, kamu dengerin abang nggak sih?" tanya Arya membuyarkan lamunan Alana.
"Hah, apa?"
"Kamu ngalamun ya? Hayo ngaku."
"Apa sih? Enggak kok, Alana nggak ngalamun. Alana tu lagi mikirin PR Alana yang banyak?" sangkal Alana.
"Ealah Na, besok kan minggu. Santai aja kali. Mending sekarang kamu nyanyi, gitarnya sudah selesai ni abang benerin." Kata Arya dengan mencoba kunci-kunci gitar.
"Nyanyi apa? Eta terangkanlah, biar hidup Abang lebih terang."
"Hidup Abang udah terang, ntar kalo terang-terang silau lagi. Lagu yang lain."
"Ada yang mau terang terang nih," kata Dani yang tiba-tiba berada di tengah-tengah kursi taman yang diduduki Arya dan Alana.
"Kan udah ada kak Dani, jadi nyanyinya sama kak Dani aja ya bang, Alana mau masuk." Alana lantas berlari meniggalkan taman.
"Nggak asik kamu Na! "
"Bodo."
"Apa mungkin mimpi itu akan jadi kenyataan?" tanya Alana pada dirinya yang kini sudah berada di kamarnya.