Hali akhirnya terbangun ketika hari sudah malam. Dia bingung sendiri, siapa yang membawanya pulang? Setahunya dia berada di bar. Memorinya kemudian mengingat Adwan pasti pria itu yang membawanya ke rumah.
Pria itu mengembuskan napas panjang dan beranjak menuju kamar mandi guna menyegarkan diri. Setelahnya, Hali keluar dari kamarnya. Telinganya menangkap suara teriakan dari kamar kedua orang tuanya dan tak ambil pusing.
Dia sudah terbiasa dengan pertengkaran kedua orang tuanya seperti teriakan selalu menjadi konsumsinya sehari-hari. Hali turun ke lantai pertama dan menemukan sang adik yang murung. Putra.
"Putra, kenapa kau murung? Apa ada masalah di sekolah?" Putra menggeleng.
"Aku sedih Mama sama Papa selalu saja sering bertengkar. Aku tak betah di sini." Hali merasa sedih melihat sang adik segera memeluk anak berusia sembilan tersebut.
Tidak apa-apa jika Hali menjadi korban toh dia sudah dewasa tapi tidak dengan Putra. Anak kecil yang tak tahu apa-apa kenapa harus melihat Mama dan Papanya sering bertengkar.
Suara pintu yang terbuka terdengar dilanjutkan dengan suara berat dengan nadanya keras. Erwin lalu turun dari tangga dan melempar tatapan dingin menurut Hali.
Sepersekian detik kemudian dia melangkah menjauh dari mereka. "Papa mau ke mana?" tanya Hali berani berbicara.
"Mau cari udara segar, bosan di sini terus." jawabnya ketus. Keluar dari rumah langkah Erwin berhenti saat ingin menuju garasi. Seketika teringat akan Syifa yang tinggal di gudang belakang.
Pria paruh baya itu mengubah haluan menuju gudang belakang. Di sana dia langsung disambut oleh Syifa yang langsung menyuguhkan teh. Erwin melihat sekeliling. Meski ada beberapa barang yang belum dipindahkan tapi sudah bersih. "Sekali lagi terima kasih ya karena sudah mengizinkan kami untuk tinggal di sini."
"Ah ini bukan apa-apa. Anda sudah menyelamatkan perusahaan saya jadi sudah sewajarnya jika saya menolong anda." Syifa memberikan senyuman pada Erwin yang kini menyesap teh buatannya.
"Tapi sungguh Pak, saya tak tahu harus bagaimana lagi. Gudang belakang ini lebih dari nyaman, di sini ada juga kamar mandi dan dapur. Air serta listrik rasanya merepotkan sekali."
"Tak apa-apa, tak merepotkan kok. Anda bilang kalau anda ingin mencari pekerjaan dan memiliki ijazah sarjana boleh saya melihatnya sebentar." Syifa merasa heran tapi menurut saja dan memberikan ijazahnya pada Erwin.
Erwin melihat sesekali bergumam tak jelas lalu tersenyum. "Anda belajar manajemen?"
"Iya pak,"
"Kebetulan sekali kau bisa bekerja di perusahaanku kami kekurangan karyawan dan saya harap anda bisa bekerja. Saya juga lihat anda juga memiliki nilai yang cukup baik. Bagaimana?"
"Serius? Saya diterima?" Pria itu mengangguk dan tampillah senyum cerah oleh Syifa.
"Iya, Pak saya mau. Saya janji akan bekerja sebaik mungkin di perusahaan Pak Erwin." kata Syifa bahagia. Lagi-lagi kemujuran didapatkan oleh Syifa dan dengan begini dia yakin akan bisa hidup bahagia di sini bersama Rey.
❤❤❤❤
Beberapa hari kemudian, Syifa dan Erwin datang ke perusahaan bersama-sama. Sambil menggendong Rey, putranya Syifa berjalan masuk. Dia sudah pernah mengeluh pada Erwin tentang dirinya yang tak bisa dia tinggalkan.
Erwin pun lantas mengatakan ada bagian penitipan anak di perusahaan jadi Syifa merasa agak lega mendengarnya. "Rey di sini baik-baik ya, Bunda akan datang lagi ke sini setelah selesai bekerja."
Rey yang masih balita mengangguk pada Syifa. "Bagus, Rey anak yang pintar." Berbicara agak lama dengan si pengasuh akhirnya Syifa pergi mengikuti Erwin. Keduanya naik lift dan keluarlah mereka di lantai tiga. Berjalan sebentar mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan.
"Nah Syifa ini kantormu sekarang dan kau adalah sekretaris baru dari anakku namanya Hali." Syifa menganggukan kepala mengerti.
"Baiklah saya pergi dulu nanti anakku akan datang. Semoga kalian bisa bekerja sama dengan baik sebagai sekretaris dan bos."
"Baik pak." Erwin kemudian pergi meninggalkan Syifa sendirian. Dia membenah sedikit lalu memasuki ruangan Hali. Dia melihat ruangan Hali sangatlah bersih. Ada lemari yang penuh akan dokumen.
Banyak lain lagi yang tak bisa disebutkan Syifa satu per satu. Masih melongo, indera pendengaran Syifa menangkap suara derapan kaki dan juga suara laki-laki yang menelepon.
"Papa sudah memilihkan sekretaris untukku? Kenapa tak bilang padaku?! lalu juga kenapa membuat keputusan sepihak?! Papa ini tentang sekretarisku, dia akan bekerja denganku bukan sama Papa." Syifa panik kemudian mengambil kenop pintu.
Dia lalu membukanya tanpa tahu kalau Hali tengah berada di dekat pintu dan walhasil kepala Hali terantuk karena pintu terbuka. "Aww!" Syifa keluar dengan wajah pucat. Dia tahu kalau dia melakukan kesalahan begitu mendengar suara erangan pria itu.
Hali mengaduh kesakitan seraya menyentuh dahinya. "Maafkan saya pak, saya tak sengaja." ucap Syifa merasa bersalah. Hali menatap bengis pada Syifa.
"Siapa kau? Berani-beraninya kau masuk ke ruanganku tanpa meminta izin dariku?!" Syifa menunduk. Dalam hati dia terus merutuk sambil mengatakan bahwa dia akan kena hukuman atau yang lebih buruk lagi kalau dia akan dipecat.
"Saya Syifa, saya sekretaris baru anda pak." balas Syifa takut-takut.
"Oh jadi kau sekretaris pilihan Papaku. Heh, baru pertama kali kau sudah membuktikan bahwa kau tak pantas untuk jadi sekretarisku. Kepalaku sudah kau buat terluka, apa lagi saat kau bekerja denganku mungkin saja kau akan membunuhku." kata Hali dengan nada dingin.
Hai namaku Mika (ini nama samaran) saya adalah penulis amatir semoga suka sama cerita saya dan sebenarnya cerita ini ada wp cari saja pakai judulnya. meski di sana pakai nama akun cowo tapi saya perempuan. Oh ya akun wpnya punya saya juga jadi tolong jangan bilang saya plagiat ok?