Tải xuống ứng dụng
92.85% Be My Husband / Chapter 13: Only Hope

Chương 13: Only Hope

Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.

Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya.

"Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.

Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus."

"Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu mengungkit tentang Deril yang mengiriminya pesan atau mengomentari instastory saudara perempuannya itu.

Sekali lagi Deril tertawa. ""Tidak Kiran, lagipula aku komen pas kau juga direkam oleh Kak Kanaya."

Aku mendengus sebal. Kanaya memang sering memperlihatkan pesan yang dikirim Deril kala mengabadikan momen kesialanku yang tertangkap kamera ponsel perempuan itu. Kemudian akan tertawa membaca komentar Deril yang tidak kalah menyebalkannya. 

"Jadi kau bakal daftar nih di kampus Kak Kanaya?" tanyaku beralih pada tujuan awal Deril meminta nomor Kanaya yang katanya mencari informasi tentang perguruan tinggi.

"Belum tahu sih. Kau sendiri gimana?" tanya Deril yang membuatku terkekeh.

"Ril, kau lupa, aku tidak termasuk yang bisa daftar SNMPTN. Mungkin bakal coba pas SBMPTN nanti," ujarku apa adanya.

"Kiran, aku menanyakan kau mau kuliah di mana? Bukan bagaimana cara masuknya," balas Deril membuat dahiku berkerut.

"Loh, bukannya cara masuk dulu paling penting? Aku sih diterima sama salah satu PTN saja sudah syukur," jawabku, lalu tidak sengaja menatap ke beberapa murid yang sedang memandangku dengan Deril.

Aku sudah terbiasa dengan pandangan dan gosip para murid yang sering membicarakan tentang hubunganku dengan Deril. Seolah kami berdua sedang berpacaran, tetapi kenyataannya jauh berbeda.

Aku tidak menampik bagaimana hubunganku dengan Deril yang jika dilihat sepintas, kami sering makan bersama di luar, nonton film bahkan mengobrol seperti sekarang ketika jam istirahat. Momen-momen seperti itu jelas menggambarkan bagaimana laki-laki dan perempuan dalam menjalin sebuah hubungan. Namun lebih dari siapapun, Deril tahu bahwa itu tidak mungkin, karena laki-laki itu mengetahui siapa sebenarnya yang ada di hatiku. 

Ruri termasuk murid yang sering salah sangka akan hubunganku dengan Deril, tetapi bukan bergosip di belakang, melainkan memilih langsung bertanya kepadaku.

"Dalam beberapa bulan terakhir, kau dan Deril itu jelas punya sesuatu?" ujar Ruri yang duduk di depanku. Ia bahkan mengangkat kedua tangannya membentuk huruf V dengan gestur menggambarkan kata sesuatu yang tersirat.

Sepulang sekolah hari jumat, kami memutuskan hangout bareng untuk sedikit bersantai, sebelum menghadapi ujian sekolah yang akan menguras habis pikiran kami

"Itu tidak seperti pikiranmu selama ini Ruri. Jangan biarkan imajinasimu berkeliaran liar," balasku menyinggung tentang imajinasi Ruri yang kadang berlebihan. Untung saja sahabatku itu membawanya ke arah positif, seperti menulis sebuah cerita.

"Gak mungkin aku dan anak-anak lainnya salah. Tidak hanya sekali atau dua kali loh kami melihatmu berduaan sama Deril pada jam istirahat," ujar Ruri yang terlihat masih yakin.

Aku tertawa pelan, lalu memandang serius Ruri. Aku pikir sudah saatnya aku jujur pada sahabatku satu ini tentang Evan.

"Deril itu cuma membantuku," kataku akhirnya.

Sebelah alis Ruri terangkat. "Membantu dalam peajaran?"

Aku mengangkat tangan membantah. "Bukan, bukan. Aku menyukai lelaki lain, walaupun ya … usianya sebelas tahun lebih tua dariku."

Kini aku melihat mata Ruri terbelalak. Aku bisa membaca pikirannya yang sebentar lagi akan dituangkan dalam bentuk kalimat.

"Oke, beda sebelas tahun mungkin terdengar bahwa aku menyukai seorang om-om. Tapi dia beda Ruri," sergahku menjelaskan sebelum Ruri membalas.

Aku bahkan mengeluarkan ponselku dan memperlihatkan profil Instagram milik Evan. 

"Namanya Evan? Dia terlihat seperti awal dua puluhan, meski wajahnya … sangat tampan," kata Ruri yang kulihat memperhatikan secara saksama foto Evan.

Aku pun mulai menjelaskan tentang sosok Evan. Mulai dari pertemuan pertama kami, fakta bahwa lelaki itu adalah tetanggaku, dan bagaimana Deril yang kenalan Evan membantuku untuk dekat dengan lelaki berusia dua puluh delapan tahun tersebut.

"Kau menyukainya sudah selama itu?" tanya Ruri terlihat tidak percaya akan perasaan yang telah kupendam selama berbulan-bulan.

Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Aku bahkan mengeluarkan buku kecil yang selalu menjadi tempatku menuliskan segala hal yang berhubungan dengan Evan.

Ruri membaca setiap tulisanku dengan cermat, hingga mulutnya sedikit terbuka. "Gila, usahamu sekeras itu Kiran?"

"Dia itu beda. Selain wajah tampannya, sikap, sifat, hingga kebiasaan Kak Evan membuatku selalu berdebar," kataku tanpa malu-malu lagi. Aku menangkupkan pipiku dengan kedua tanganku. Merasakan pipiku memanas kala membayangkan momen kebersamaanku kembali dengan Evan.

"Terus kapan kau akan menyatakan perasaanmu? Kau menulis bahwa dia belum punya pacar, jadi sebaiknya kau bergerak cepat." Ruri terlihat bahagia atas kejujuranku. Aku bahkan bisa merasakan bahwa perempuan itu mulai antusias mendengar perjuangan cintaku.

"Bergerak cepat?" balasku bingung.

"Iya, bentar lagi kita bakal lulus Kiran. Bagaimana jika kau kuliah di luar kota nanti?"

Aku merenung sejenak. "Benar, tapi bukan itu yang kurisaukan. Kak Evan hanya akan tinggal sebagai tetanggaku selama satu tahun, setelah itu dia akan pindah ke tempatnya terdahulu," ucapku mengingat percakapan Evan dengan ayah yang berkata tentang satu tahun bekerja pada perusahaan konstruksi.

"Lalu kapan kau berencana menyatakan perasaanmu?" tanya Ruri kini mulai terdengar gemas, seolah ingin segera mengetahui akhir dari kisah cintaku dan jujur saja, itu membuatku takut.

"Setelah kita ujian nasional. Setelah itu … aku akan menyatakan perasaanku," jawabku mulai bertekad bahwa kesempatanku dengan Evan mungkin akan menentukan hasil dari perjuanganku selama ini. Meski konsekuensi terburuk telah bisa kubayangkan.

♡♡♡

Setelah memantapkan diri untuk menyatakan perasaanku ketika seluruh masalah akademik SMA berakhir, aku mulai mencoba fokus pada mata pelajaran serta praktikum. Menyelesaikan kewajiban sebagai pelajar SMA.

"Kiran, panggil kakakmu untuk makan malam," ujar ibu ketika aku baru saja duduk di kursi makan.

Aku mengangguk singkat, tetapi baru saja aku akan berbalik badan menuju kamar Kanaya, tiba-tiba di meja samping kulkas, kulihat sebuah rantang yang biasa jika tidak terpakai akan berada di dalam lemari rak, di mana ibu biasa menyimpan peralatan dapurnya.

"Itu rantang buat apa Bu?" tanyaku penasaran.

"Oh itu … buat Evan. Kemarin Ayahmu berkunjung untuk mengajak Evan bermain catur, tapi pekerjaan Evan masih banyak bahkan tidak sempat makan malam. Padahal sudah sepuluh loh," ujar ibu menjelaskan.

"Kalau begitu biar Kiran nanti yang bawakan," usulku menawarkan diri.

Ibu tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Sekarang panggil kakakmu dulu."

Aku segera beranjak menuju kamar Kanaya, tetapi sekitar tiga meter dari pintu kamarnya, aku mendengar suara teriakan Kanaya.

"Kau sudah gila? Itu berbahaya Irvan!"

Aku sedikit tersentak dengan seruan Kanaya yang menyebut nama kekasihnya itu. Perlahan tanganku terulur untuk mengetuk pintu kamarnya. Padahal biasanya aku hanya menyeleng masuk.

Pintu terbuka dengan cepat dan menampilkan wajah memerah Kanaya, karena emosi. Jelas raut wajah kesal bercampur amarah tergambar di sana. Membuatku menahan napas sejenak. Belum pernah aku mendapati Kanaya seperti itu.

"Ada apa Kiran?" tanya Kanaya tegas.

Aku melirik ponsel yang masih dipegangnya. "Dipanggil Ibu buat makan malam."

"Tidak. Aku tidak lapar, kau saja yang makan," balas Kanaya ketus, lalu kembali menutup pintu kamarnya. Padahal aku masih berdiri di sana.

Aku merenggut ikut kesal dengan sikap Kanaya itu. Segera aku kembali ke meja makan di mana ayah dan ibu sudah duduk di sana.

"Katanya Kak Kanaya gak lapar," tukasku ikut duduk di sebelah ayah.

"Anak itu, pasti tengah malam nanti bakal pesan makanan cepat saji lagi," balas ibuku menghela napas.

"Kak Kanaya makan tengah malam? Bukankah dia itu pegiat diet," balasku menyipitkan mata.

Ayah hanya tertawa pelan. "Ayah sering membukakan pintu untuk kurir beberapa hari ini, kalau sedang nonton bola."

Jadwal pertandingan bola luar negeri selalu tayang pada tengah malam untuk waktu Indonesia. Artinya Kanaya akhir-akhir ini senang memesan makan kalau sudah tengah malam.

"Pasti karena tidak mau membaginya denganku," gumamku berkesimpulan.

Aku melihat ayah dan ibu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan kami kemudian makan dengan cukup tenang, sambil sesekali orang tuaku akan bertanya tentang masalah akademikku yang biasa saja.

"Jangan lupa antar ini ke Evan," ujar ibuku ketika kami bertiga telah selesai makan malam.

"Enggak dong. Yaudah Kiran pergi dulu," balasky segera menyambar rantang berisi berbagai lauk-pauk bahkan nasi sekalipun. 

Ibu seolah mengerti bahwa pria lajang yang tinggal sendiri seperti Evan yang punya banyak pekerjaan, pasti tidak sempat memasak.

Ketika telah berada di depan pintu depan rumah Evan, aku menarik napas dalam sebelum mengetuknya.

Tok.

Tok.

Setelah mengetuk hampir lima kali, aku menoleh dan mendapati mobil pria itu terparkir di garasi. Artinya Evan ada di dalam rumah. Dengan inisiatif aku memegang dan memutar pegangan pintu yang ternyata terbuka.

Aku masuk bagai pencuri yang tidak berucap apapun. Namun keadaan ruang tamu begitu gelap, karena lampu belum dinyalakan. Meski begitu, mataku menangkap seberkas cahaya dari ruangan lain dan aku mengikuti cahaya tersebut.

"Kiran?" ucap Evan yang duduk di meja kerjanya dengan tumpukan dokumen dan sebuah laptop.

Aku yang memegang rantang berjalan mendekatinya. "Kak Evan masih kerja?" tanyaku melihat lelaki itu dengan wajah lelahnya.

Evan mengulas senyum tipis yang jelas dipaksakan. "Tidak sempat kerjain di kantor."

Aku menghela napas frustrasi. "Ibu bawa ini untuk Kak Evan. Mending makan segera, sebelum Kiran dimarahin, karena tidak pastiin Kak Evan memakannya," ujarku beralasan.

Kali ini Evan terkekeh kecil dan itu sebuah reaksi spontan yang tidak dipaksakan. "Baiklah, ayo keluar ke meja makan."

Setelah memindahkan seluruh makanan dari rantang ke piring, aku mempersilakan Evan untuk makan. Aku merasa seolah telah menjadi istri lelaki itu dan tanpa penolakan dari Evan, itu membuatku senang.

"Kiran mau ke kamar mandi dulu ya," ujarku bangkit dari hadapan Evan.

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan dan mulai melanjutkan makannya.

Pergi ke kamar mandi hanya alasan bagiku. Aku yang melihat ruangan kerja Evan yang berantakan berniat membereskannya untuk pria itu. Bukan hanya karena rasa sukaku, tetapi juga rasa kasihan bahwa mungkin tanggung jawab pekerjaan membuat Evan tidak sempat membereskannya.

Aku juga melihat tadi dua gelas bekas minum kopi yang berjejeran di atas meja kerja. Tanda Evan terlalu banyak mengkonsumsi kafein. Setelah merapikan sofa yang penuh jaket yang disampirkan, aku bergerak menuju meja kerja. Aku hati-hati bergerak pada area tersebut, menyadari banyaknya dokumen yang terlihat penting di sana.

Aku berusaha menggapai gelas bekas minuman kopi, namun setelah bergerak mundur, sikuku tak sengaja menyenggol sesuatu dan ketika menoleh, air botol terjatuh yang isinya membasahi sebuah kumpulan kertas yang tercetak sesuatu. Aku segera menegakkan kembali botol berisi air tersebut, lalu menaruhnya di kaki meja.

Aku menegak salivaku. Terkejut dan takut langsung menyeruak dalam kalbuku. Meksi begitu, aku tetap mengambil dua gelas tersebut lalu berjalan menuju area dapur.

"Kenapa kau membawa itu?" tanya Evan mungkin menyadari bahwa aku baru saja kembali dari ruangan kerjanya.

"Kak Evan," panggilku lemah.

Evan yang terlihat sudah makan, mulai minum perlahan, lalu berkata, "Ya?"

"Tadi ketika Kiran coba beresin meja kerja, tidak sengaja tumpahin air dan membasahi dokumen Kak Evan," kataku jujur tak berani menatap mata pria itu saat ini.

Bayangan Evan murka dan membentakku langsung terlintas dalam pikiranku. Bisa kubayangkan bagaimana menyeramkannya hal itu, bahkan seribu kali lebih terlihat kejam daripada Kanaya tadi.

Hanya suara kursi berdecit, tanda Evan bangkit dari kursi makan. Setelah melirik sosoknya yang telah beranjak ke ruangan kerja, langsung saja mataku mulai memanas.

Kakiku yang melemas dengan tubuh gemetar membuat air mataku mulai turun. Perasaan bersalah dan takut benar-benar menyelimutiku sekarang.

Aku melihat ke depan sekilas, sebelum tertunduk kembali bahwa Evan telah berjalan kembali ke arahku. Dia lalu menyodorkan beberapa lembar kertas yang telah terklip dengan baik. Kertas tercetak yang basah tadi.

Tangisanku semakin menjadi-jadi, namun aku menggigit bibir bawahku agar tidak menimbulkan suara yang dapat memancing amarah lebih dari Evan.

"Aku benar-benar minta maaf Kak Evan. Kiran hanya berniat sedikit membereskan--"

Belum selesai kalimat penyesalanku, tiba-tiba kurasakan dua buah lengan merengkuh tubuhku dengan hangat. Evan memelukku. Sekali lagi, pria itu memelukku dan kudengar suara kekehannya. Jantungku seketika ingin copot saat itu juga, debarannya terlalu kuat.

"Tenanglah Kiran, itu hanya cetakan kertas dokumen yang salah. Bukan perjanjian penting atau dokumen penting lainnya," balas Evan lalu tertawa pelan.

Namun bukannya berhenti menangis, air mataku malah menjadi-jadi, karena rasa lega bercampur bahagia.

Evan melepas pelukannya dan kulihat wajahnya heran. "Kiran?"

Tangan Evan terulur mengusap air mataku dengan lembut dan saat itu juga aku berpikir bahwa mungkin aku memiliki kesempatan. Bahwa aku sudah begitu yakin akan menyatakan perasaanku kepada pria yang ada di hadapanku saat ini.

Semoga Evan juga menyukaiku, sebagaimana aku jatuh hati kepadanya.

♡♡♡

Author Note:

Sedih aku belum dapat peringkat, karena kurang yang review. Ayo dong review cerita ini, biar makin rajin updatenya :)

☆☆☆☆☆


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C13
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập