Sudah hampir 3 jam berlalu sejak aku meninggalkan San Francisco. Kupejamkan mataku sejenak sambil menempelkan pelipisku di jendela bus yang dingin. Aku tidak bisa menggunakan pesawat karena Nick bisa melacaknya dengan mudah. Jadi aku menggunakan bus malam yang menuju California. Greg sudah memesan tiket pesawat atas namaku dengan tujuan Washington DC, hanya untuk mengalihkan perhatian Nick sementara. Aku juga sudah meninggalkan sedikit jejak yang menunjukkan aku akan pergi ke Washington.
Kupeluk tas ranselku yang berisi beberapa baju dan dua botol darah. Aku hanya membawa uang cash, satu-satunya cara untuk menghubungi Greg jika aku membutuhkan bantuan hanya telepon umum. Tapi aku yakin tidak ada telepon umum di Taman Nasional Redforest, California. Kuhela nafasku hingga jendela di sebelahku berembun. Aku bersyukur bus ini cukup sepi karena aku masih belum yakin dengan kontrol yang kumiliki jika aku berada terlalu lama di dekat manusia.
Kupandang kegelapan malam di luar sana dengan pandangan kosong, apa yang dilakukan Nick sekarang? Ia seharusnya sudah bangun dan mungkin sedang mencariku. Tidak, Ia pasti mencariku.
Kulirik jam digital di dinding bus sekilas dari kursiku yang berada di pojok bus, pukul 1 malam. Kupejamkan kembali mataku saat bus berhenti di perhentian berikutnya. Bus ini akan sampai di California pukul 6 pagi lalu aku akan—
Bau yang sangat kukenal membuat kedua mataku terbuka dengan sangat cepat. Hatiku mencelos saat memandang pria yang sedang berdiri di depan pintu bus, kedua mata biru gelapnya balas memandangku dengan marah. Sedikit ekspresi panik masih tergurat jelas di wajahnya. Ia hanya mengenakan kemeja biru yang sedikit kusut dengan kedua lengannya yang dilipat asal-asalan hingga ke siku dan celana berwarna hitam. Rambut coklatnya bahkan masih sama berantakannya dengan saat aku meninggalkannya di hotel tadi. Tiba-tiba Ia berjalan dengan sangat cepat menuju tempat dudukku hingga tiga orang penumpang bus lainnya menoleh sekilas ke arah kami. Tubuhku membeku saat Ia berdiri di depanku, bagaimana Ia bisa berada disini?
"Apa yang kaulakukan?" aku hampir bisa mendengar geraman di suaranya. Tapi rasa terkejut dan panik karena rencanaku yang berantakan melebihi rasa takutku karena tertangkap. "Aku—aku harus pergi." Jawabku tanpa bergerak dari tempat dudukku.
"Sir, kau harus membayar dulu sebelum masuk." Suara supir bus yang kesal terdengar dari belakangnya. Nick mengulurkan tangannya lalu meraih pergelangan tanganku dengan cengkeramannya yang kuat walaupun tidak menyakitkan, Ia mengambil tas ranselku dengan tangannya yang lain.
"Nick, tunggu—"
"Diam, Eleanor." Potongnya tanpa menoleh ke arahku sedikitpun. Aston Martinnya diparkir tidak jauh dari perhentian bus, dan dilihat dari posisi parkirannya yang sembarangan aku tahu Nick sangat terburu-buru saat menghentikan mobilnya. Ia melemparkan ranselku di kursi belakang sebelum membuka pintu untukku. "Masuk." Perintahnya tanpa memandangku, ekspresi marah di kedua matanya masih bertahan. Samar-samar aku mendengar suara bus yang bergerak menjauh meninggalkan kami sendirian, angin malam yang dingin berhembus perlahan tapi Nick tidak terlihat kedinginan sedikitpun walaupun Ia hanya mengenakan kemeja.
"Masuk. Eleanor." Ulangnya dengan nada lebih kasar. Aku tidak menjawabnya, hanya memandangnya hingga akhirnya Nick membalas tatapanku. Guratan panik masih sedikit terlihat di keningnya begitu juga kemarahan di matanya. Aku sudah membuatnya seperti ini... Tapi hanya ini kesempatanku satu-satunya.
"Aku tidak bisa kembali sekarang." Kataku, kali ini dengan nada lebih lembut dari sebelumnya.
"Eleanor, masuk. Sebelum aku kehilangan kesabaranku."
Aku menggeleng. "Kau tidak mengerti, Nick." Tiba-tiba Ia membanting pintu mobilnya dengan sangat keras hingga suaranya menggema di tengah keheningan malam. Lalu detik berikutnya Ia berjalan mendekatiku hingga punggungku menempel di pintu mobilnya, kedua tangannya berada di kedua sisi tubuhku, mengurungku.
"Aku tidak mengerti?" Ia mengulangi kata-kataku dengan suara rendah, wajahnya mendekatiku hingga jarak kami hanya beberapa senti. Jantungku berdebar tidak beraturan sama dengan nafasku saat ini. "Jadi buat aku mengerti, Eleanor. Mengapa kau pergi dari sisiku?"
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari kedua mata biru tuanya yang berubah mendekati hampir hitam. Ia terlihat sangat berantakan saat ini, seakan-akan hal pertama yang dilakukannya saat Ia membuka matanya tadi adalah mencariku. Kuangkat salah satu tanganku untuk menangkup wajahnya, tapi Nick menjauh sebelum aku sempat menyentuhnya. "Jangan lakukan itu lagi."
"Nick..."
"Jangan menyentuhku. Jangan biarkan aku menyentuhmu lagi jika sebagai gantinya kau akan pergi dari sisiku."
Kalimatnya terasa lebih menyakitkan dari tamparan bagiku.
"Kau akan pergi ke tempat Alastair?" nada suaranya saat menyebut nama Alastair dipenuhi dengan kebencian. "Jadi yang kita lakukan sebelum ini untuk perpisahan bagiku?" keningnya berkerut marah, dan aku melihat ekspresi terluka di kedua matanya yang berubah dingin.
"Nick..." kuulurkan lagi tanganku untuk menyentuhnya, tapi Nick menebas tanganku dengan kasar lalu mundur satu langkah lagi. "Jangan menyentuhku." Nafasnya terlihat lebih berat dari sebelumnya seakan-akan Ia sedang berusaha keras menahan kemarahannya. Kami berdiri di pinggiran kota antah berantah pada pukul satu pagi dan hal yang paling kuinginkan saat ini adalah pulang ke rumah. Ke apartemenku. Aku hanya ingin kembali ke kehidupanku semula, yang normal. Satu-satunya hal yang kukhawatirkan dulu hanya cicilan hutang uang kuliahku, aku tidak harus mencegah Volder yang berusaha bunuh diri atau mengkhawatirkan apakah aku akan meminum darah manusia di sekitarku tanpa kusadari. Aku hanya lelah. Kutahan air mataku yang ingin keluar sejak tadi lebih keras, aku tidak akan menangis sekarang. Tidak saat Nick seperti ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa lebih buruk lagi.
Kami berdiri dalam diam selama beberapa saat hingga Nick akhirnya kembali mengontrol dirinya lagi, kedua matanya sudah kembali ke warna asalnya lagi. Tapi nafasnya yang memburu masih bertahan. Ia memejamkan matanya sambil mengernyitkan keningnya selama beberapa saat, "Masuk, Eleanor." Gumamnya sebelum melangkah menuju pintu kemudi dan masuk. Kubuka pintu mobilnya lalu masuk ke dalam. Kami tidak berbicara sedikitpun selama di perjalanan, bahkan saat aku tahu jalan yang kami lalui bukan jalan kembali ke San Francisco aku tidak bertanya padanya. Hingga matahari muncul beberapa jam kemudian, Nick hanya menghentikan mobilnya dua kali saat mengisi bensin, Ia menelepon Erik beberapa kali tapi aku tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan karena Nick hanya menjawab pendek-pendek. Dua jam kemudian kami sampai di Manhattan setelah hampir 7 jam perjalanan, tubuhku terasa lelah dan aku sangat membutuhkan darah tapi aku tidak berani menyentuh tas ranselku yang berada di jok belakang. Nick mengambil tasku lalu berjalan menuju rumahnya sedangkan aku mengikutinya dari belakang.
Erik sudah menunggu kami di dapur, Ia menyediakan dua gelas penuh berisi Wine darah untuk kami. Ia hanya tersenyum sopan saat aku berterimakasih padanya. Erik sangat jarang berbicara, penampilannya yang dingin dan tanpa ekspresi membuatnya terlihat seperti robot. Seperti David di film Prometheus. Rambut pirangnya dan pakaiannya hampir selalu terlihat sama, formal. Tapi Ia tidak pernah membuatku merasa canggung atau tidak enak selama ini.
Nick menghabiskan Winenya dalam satu tegukan lalu meletakkan gelasnya, tiba-tiba Ia menoleh ke arahku yang masih meminum Wineku. Kuletakkan gelasku yang masih ¾ penuh lalu menjilat bibirku dengan gugup.
"Erik akan menjagamu selama aku pergi." Katanya untuk yang pertama kalinya sejak 8 jam yang lalu.
"Kau akan pergi?" tanyaku walaupun aku sudah tahu jawabannya.
"Tiga hari." Jawabnya lalu Ia berbalik menuju lantai dua. Aku mengikutinya dari belakang, rasa panikku kembali lagi dengan cepat. "Nick, apa kau akan membunuhnya?"
Ia menaiki tangga tanpa menjawabku. "Apa kau tetap akan melakukannya jika aku memohon padamu sekalipun?" Langkahku terasa semakin berat, mungkin karena rasa lelahku tapi aku berusaha menyamai langkahnya.
"Nick!" panggilku saat Ia berada di puncak tangga, diluar dugaanku Ia berbalik menghadapku. Wajahnya terlihat tenang tapi kedua matanya sudah terlihat mulai menggelap lagi.
"Kau akan memohon padaku, Eleanor? Untuk tidak membunuh Alastair setelah apa yang dilakukannya padamu?" Ia mengucapkan setiap kata dengan perlahan dan jelas.
Perutku terasa semakin mual karena rasa gugupku. Aku tahu bagaimana semua ini terlihat di mata Nick, Ia berpikir aku melakukannya untuk Alastair. "Aku... Aku tidak—"
"Lalu apa selanjutnya? Kau ingin aku melepasmu juga?" tanyanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya. Datar dan dingin. "Aku sudah mengatakannya padamu sejak awal. Tidak ada jalan kembali untukmu."
Kedua kakiku mulai terasa lemas. Kali ini aku tahu alasannya bukan karena rasa gugupku, kuulurkan tanganku untuk mencengkeram sandaran tangga. Seharusnya aku langsung menghabiskan Wine darahku, aku sudah hampir mencapai limitku. Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang, Nick harus mendengarkanku. "Nick, aku tidak melakukannya untuk Alas—"
"Sir?" suara Erik memotongku dari dasar tangga. Nick mengalihkan pandangannya dariku.
"Semuanya sudah siap." Gumam Erik dengan pelan sebelum berjalan pergi lagi. Nick hanya melirik ke arahku sekilas sebelum meninggalkanku. Beberapa detik kemudian kubiarkan tubuhku merosot hingga bersandar di anak tangga teratas, nafasku terasa semakin sulit. Jadi ini rasanya terlambat meminum darah? Kupejamkan mataku saat pandanganku mulai berbayang. Tangan kiriku masih mencengkeram sandaran tangga sejak tadi. Rasa mual di perutku membuatku semakin merasa buruk. Kulepaskan tanganku dari sandaran tangga lalu meletakkan kepalaku di anak tangga paling atas yang tertutup karpet. Apa aku harus meminta bantuan Erik? Aku tidak yakin aku bisa berjalan saat ini.
"Nick..." bisikku diantara nafasku yang tersengal-sengal. Sebuah tangan dingin menyentuh lenganku, kubuka kedua mataku memandang sepasang mata berwarna abu-abu milik Erik. Ia sedang berlutut di sebelahku, "Anda tidak apa-apa, Miss Heather?"
Aku hanya bisa menggeleng lemah untuk membalas pertanyaannya.
"Suhu tubuh anda terlalu panas." Erik menyentuh keningku kali ini, Ia bermaksud membantuku berdiri saat sebuah suara menghentikannya.
"Eleanor?" suara Greg tiba-tiba muncul dari pintu depan. "Ada apa dengannya?" Ia membantuku berdiri bersama Erik lalu membawaku ke sofa terdekat. Erik pergi lagi untuk mengambil darah untukku.
"Nick memintaku mencarimu semalam." Gumamnya dengan sangat pelan, "Saat Ia memberitahuku kau sudah ditemukan aku langsung menuju Manhattan. Apa kau pergi untuk menemui..." Ia terdiam sejenak sambil mengamatiku, "Ada apa denganmu?"
Aku menggeleng lagi sambil memejamkan mataku, keringat dingin sedikit membasahi keningku. Tubuhku tidak bisa digerakkan dengan bebas.
"Aku akan memanggil Nick." Ia menyentuh tanganku sekilas sebelum pergi meninggalkanku. Dengan nafas tersengal tanganku terulur ke arah Greg yang berjalan menjauh. Pandanganku mulai dipenuhi bintik-bintik berwarna hitam. Aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya karena hal terakhir yang kuingat hanya suara langkah kaki.