Mataku berkedip sekali.
Shaw&Partner.
Shaw.
Aku memandang wajahnya dengan tatapan bodoh selama beberapa detik. "Jadi... siapa namamu?"
"Nicholas. Aku tidak tahu kami sedang menyewa auditor." Jawabnya sambil mengambil gelas Winenya lalu meminum sisanya. Waiter Giorgio kembali membawa Chamomileku, mengisi Wine di gelasnya, lalu menghilang lagi. Sementara otakku masih berusaha memproses informasi yang baru saja diterimanya. Ia bukan banker tapi pengacara. Nicholas Shaw.
Ya Tuhan, aku sedang makan siang dengan bos klienku.
"...itu artinya kau hanya akan berada di Manhattan untuk sementara waktu?"
Aku setengah tidak mendengarkan pertanyaannya. "Seminggu. Setelah auditku di sini selesai aku akan kembali ke San Fransisco." jawabku buru-buru.
Aku menatap kedua sudut mulutnya yang ditarik ke bawah. Apa Ia benar-benar gay? Kata-kata Christine beberapa hari yang lalu terngiang lagi di dalam kepalaku.
"Seminggu." Ulangnya pada dirinya sendiri. Tiba-tiba suasana menjadi lebih canggung saat Ia terdiam. Giorgio kembali lagi ke meja kami membawa saladku dan steak untuk Mr. Shaw.
Aku menatap sepiring salad dengan campuran warna yang menarik di depanku. Sepiring salad yang terlihat mahal. Ugh.
Sebenarnya gaji sebagai akuntan sepertiku cukup banyak, belum lagi jika ditambah bonus. Tapi cicilan uang kuliahku masih harus kulunasi hingga tahun depan, jadi aku harus berhemat hingga semua hutangku lunas. Dan hutang pertama yang harus kubayar adalah hutang sepatu Lana. Aku tahu pria ini pasti sangat kaya, tapi aku tetap tidak bisa menerimanya begitu saja.
Kami makan dalam diam, Ia terlihat sibuk dengan pikirannya sama sepertiku. Dalam keheningan yang canggung ini aku hampir tidak bisa merasakan salad yang kumakan. Kurasa aku akan membeli bagel lagi setelah ini, salmon dan cream cheese, aku bisa memakannya di kantor untuk lembur nanti.
"Dessert, Eleanor?" Ia sudah menyelesaikan makannya. Aku mengangguk dengan otomatis, lalu menghabiskan saladku. Selang beberapa menit setelah saladku habis, segelas mousse coklat dingin menggantikan piring saladku. Di atas mousse nya serpihan emas yang bisa dimakan tertata dengan cantik.
Pandanganku terpaku pada dessertku. Aku belum pernah makan emas sebelumnya.
"Sudah tinggal lama di San Fransisco?" tanyanya tanpa menyentuh dessertnya, Ia terus meminum Winenya sejak tadi.
"Sejak kuliah. Sebelumnya aku tinggal di Georgia." Kusendok mousseku beserta serpihan emasnya lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Aku tidak bisa merasakan emasnya, tapi coklatnya yang dingin dan pekat langsung mencair di mulutku, teksturnya lebih ringan dari cheesecake. Kuhela nafasku setelah sendokan yang pertama, aku tidak keberatan memakan segalon mousse ini sendirian.
"Aku pernah tinggal di San Fransisco sebelumnya. Apa orangtuamu tinggal di Georgia?" kedua matanya mengikuti gerakan sendok yang kumasukkan ke mulutku. Warna biru matanya berubah semakin menggelap, mungkin karena efek cahaya?
Aku menggeleng, "Aku tidak mempunyai orangtua." Aku bahkan tidak tahu apa mereka masih hidup. Seluruh masa kanak-kanakku kuhabiskan di panti asuhan dan keluarga angkat.
Ia hanya mengangguk kecil dan tidak melanjutkan pertanyaannya lebih jauh. Kuhabiskan mousseku lalu menatap jam tanganku, masih ada waktu 20 menit lagi. Makan siang ini tidak seperti yang kubayangkan, setelah aku tahu namanya semuanya berubah menjadi lebih canggung.
"Sedang terburu-buru?" tanyanya sambil memanggil waiter lagi.
"Tidak terlalu..." Kalimatku terpotong Giorgio yang kembali ke meja kami, Ia membawa bill kami tanpa diminta, kurasa Mr. Shaw sering datang ke tempat ini hingga mereka hapal dengan kebiasannya. Ia memberikan kartu kreditnya pada Giorgio tanpa melihat billnya, lalu perhatiannya kembali padaku.
"Ah! Kau sudah menolongku kemarin, aku belum berterimakasih secara langsung padamu. Paling tidak ijinkan aku membayar—"
"Tidak perlu. Aku hanya berada di tempat yang tepat dan saat yang tepat." Balasnya sambil tersenyum samar.
Aku mulai berpikir mungkin senyum samarnya adalah senyum aslinya, wajahnya selalu terlihat serius. Kedua mata biru gelapnya sedang memandangku dengan intensitas yang membuatku sedikit tidak nyaman.
"Well, aku tetap harus berterimakasih padamu."
"Malam ini aku harus menghadiri gala dinner amal. Bagaimana jika berterimakasih dengan menemaniku?"
Sebagian kecil otakku bersorak karena Ia masih ingin bertemu denganku, lalu aku teringat jadwal lemburku yang tidak bisa ditunda. Kuhela nafasku sebelum menjawabnya, "Aku harus menyelesaikan pekerjaanku malam ini..." Dan malam selanjutnya, dan selanjutnya, dan selanjutnya.
"Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu besok pagi, Eleanor."
"Aku harus menyelesaikannya malam ini jika ingin menyelesaikannya dalam seminggu."
Ia terdiam sejenak, dibandingkan kemarin Ia terlihat sedikit menjaga jarak hari ini. Kecuali kedua mata birunya yang intens, sikapnya yang tenang dan serius hampir membuatnya seperti... robot. Sesaat tanganku gatal untuk mengacak-acak rambut coklat gelapnya yang rapi.
"Bagaimana jika aku menggantinya dengan makan siang?" tambahku sebelum aku sempat berpikir.
"Besok aku harus ke pengadilan."
"Oh." Aku berusaha menutupi rasa kecewa di dalam suaraku. Tentu saja, Ia adalah pengacara. "Mungkin lain kali—"
Giorgio kembali memotong kalimatku. Ia kembali untuk mengembalikan kartu kredit dan mengucapkan terimakasih pada kami sambil tersenyum lebar. Senyum standar restauran mewah. Mr. Shaw melihat jam tangannya sekilas lalu berdiri, "Sebaiknya kita kembali sekarang." Lalu Ia membantuku dengan menarik kursiku. Kami berjalan keluar restauran dan disambut kembali oleh cuaca mendung Manhattan.
"Eleanor—"
"Nicholas." Sebuah suara feminim membuat kami berdua menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita berambut pirang berdiri di belakang Mr. Shaw. Kedua mataku tidak bisa beralih darinya, terpaku pada wajahnya. Ia sangat cantik. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya menarik.
Wanita itu mengenakan dress santai berwarna biru, rambut pirangnya yang terang dibiarkan terurai anggun. Selama ini mungkin aku selalu membanggakan kedua mata amberku yang sedikit langka, tapi jika dibandingkan dengan wanita ini, warna mataku bukan apa-apa. Ia memiliki warna mata yang sangat cantik, campuran antara biru dan abu-abu yang hampir seperti kaca. Kedua matanya, walaupun sedikit dingin, sedang memandang Mr. Shaw.
Untuk beberapa sesaat, aku hanya berdiri memandang kecantikannya seperti orang bodoh.
"Alice, apa yang kaulakukan disini?" Tidak sepertiku, Mr. Shaw hanya melihatnya sekilas lalu pandangannya kembali padaku.
Kupaksa kedua mataku untuk beralih dari wanita cantik di depanku lalu membalas tatapannya, "Terimakasih untuk makan siangnya, Mr. Shaw." Aku berusaha tersenyum padanya, walaupun wajahku terasa kaku. "Sampai bertemu lagi."
"Aku akan mengantarmu—"
"Nicholas. Kita harus berbicara." Wanita cantik itu kali ini memandang Mr. Shaw dengan sedikit kesal. "Sekarang." Tambahnya saat Mr. Shaw akan menjawabnya.
Kugigit bibirku dengan marah untuk mengusir rasa aneh di dalam hatiku. Tentu saja Ia sudah memiliki pasangan, dan Ia tidak gay. Aku sedikit tergoda untuk menelepon Christine dan memberitahunya informasi ini.
"Saya bisa kembali sendiri. Selamat siang, Mr. Shaw." Gumamku sambil membalikkan badanku tanpa menunggu jawabannya. Keningku sedikit berkerut berusaha menebak apa yang sedang kurasakan saat ini. Setelah berjalan hampir satu blok akhirnya aku menyadari perasaan yang sedang kurasakan.
"Ah, sial." Gumamku sambil memarahi diriku sendiri. "Ia bukan siapa-siapa, Ella. Jangan bodoh. Kau bahkan baru mengenalnya sehari."
Kuambil handphone baruku dari dalam tas sambil berjalan, tapi lima detik kemudian layar handphoneku mati karena belum dicharge. Saat aku mengembalikannya ke dalam tas, tanganku menyentuh secarik kertas di dalam tasku. Cek itu, aku lupa memberikannya padanya.
Kudongakkan kepalaku ke atas, menatap langit yang semakin mendung. Suara petir terdengar bersahut-sahutan dari jauh.
Sepertinya hari ini bukan hari baikku.
***
Hujan mengguyur Manhattan sejak siang tadi hingga sekarang. Seluruh karyawan yang bekerja di lantai ini sudah kembali sejak 4 jam yang lalu, hanya tinggal aku sendiri. Kedua mataku terasa lelah setelah seharian menatap layar laptop. Kupejamkan kedua mataku selama beberapa detik lalu membukanya lagi, aku masih punya waktu setengah jam lagi. Lalu pukul setengah sebelas aku akan kembali ke hotel.
Sepanjang siang ini aku sudah mengumpulkan beberapa data transaksi antara perusahaan ini dengan Bank Rotterdam, seperti permintaan awal Mrs. Lynch. Aku menguap untuk yang keenam kalinya saat memandang barisan angka di layar laptopku, "Tinggal sedikit lagi, Ella." Gumamku sambil mengusir rasa kantuk.
Tapi saat kedua mataku mulai terasa panas aku menyerah. Kumatikan laptopku lalu mengumpulkan barang-barangku yang berada di atas meja dan memasukkannya ke tas. Aku benar-benar harus menyeret tubuhku untuk bisa sampai ke lift. Kusadarkan punggungku ke lift yang sepi sambil memandang angka yang berkelip-kelip dari lantai 15 menuju lobby.
Gedung milik Shaw&Partner mungkin salah satu gedung tua di Manhattan, dari luar gedung ini terlihat kuno dengan warna bata merah gelapnya. Tapi di dalam, seluruh interiornya yang modern dan elegan sangat kontras dengan bangunan luarnya. Lantai lobbynya saja menggunakan granit hitam yang selalu mengkilap setiap saat, di tengahnya lantai lobbynya ada logo Shaw&Partner yang cukup besar.
Untuk merenovasi bangunan tua seperti ini pasti membutuhkan biaya yang sangat besar. Saat pertama kali menginjakkan tempat ini aku mengira Mr. Shaw adalah pria berumur akhir 50 an atau 60an, dengan wajah berkharisma khas pengacara. Tapi ternyata tidak seperti yang kubayangkan karena Ia terlihat... muda.
Nicholas Shaw sama sekali tidak seperti yang kubayangkan.
Aku kembali melihat jam tanganku, masih pukul 10 malam, aku masih bisa mampir sebentar dalam perjalanan pulang untuk membeli makan malam. Pikiranku kembali ke mousse coklat yang kumakan tadi siang, aku masih bisa mengingat rasa manis bercampur pahit coklat yang bersatu di dalam kelembutan moussenya yang dingin. Perutku berbunyi satu detik kemudian. Yah, bagaimana lagi, aku hanya makan sepiring salad tadi siang.
Pintu lift akhirnya terbuka di lobby membuyarkan pikiranku, sebelum aku sempat mendongak dari jamku sebuah suara mendahuluiku.
"Eleanor?"