Tanganku menjejalkan baju terakhir yang kubawa ke dalam koperku, lalu menutupnya. Tiga jam lagi pesawatku berangkat, artinya satu setengah jam lagi aku sudah harus berada di bandara. Kubuka lagi koperku lalu melemparkan sebuah buku ke dalamnya.
"Aku sudah menelepon taksi." Sebuah kepala pirang muncul dari balik pintu. Aku tersenyum sambil menutup resleting koperku. "Trims, Lana."
Ia masuk ke dalam kamarku lalu loncat ke atas ranjangku, kakinya yang panjang menjuntai anggun di pinggir tempat tidurku. "Kau yakin semua itu cukup untuk dua minggu?" tanyanya sambil menatap koper kecilku.
Aku mengangkat bahuku, "Aku akan kembali akhir pekan." Walaupun melelahkan tapi aku tidak ingin menghabiskan 2 minggu sendirian di kota yang tidak kukenal.
Kujatuhkan tubuhku di samping Lana. Kami menyewa sebuah apartemen dengan dua kamar bersama. Aku mengenal Lana sejak awal kuliah, walaupun sekarang kami bekerja di perusahaan yang berbeda tapi kami masih menyewa apartemen bersama. Ia masih berumur 23 tahun, lebih muda dariku satu tahun walaupun kami lulus bersamaan.
Lana berasal dari keluarga yang kaya, sangat kaya. Saat kuliah Ia tinggal bersama Ayahnya dan Ibu tirinya yang selalu berganti setiap lima tahun sekali. Ibu kandungnya sudah meninggal sejak lama, dan Lana tidak memiliki saudara lain. Sedangkan aku, yah, aku tidak memiliki orangtua atau saudara lain. Kurasa itulah yang membuat kami sangat dekat seperti saudara kandung selama ini; kami sama-sama kesepian. Lana tidak pernah pulang ke rumahnya sekalipun setelah kami menyewa apartemen bersama, ia memiliki hubungan yang buruk dengan ayahnya.
"Kau bisa membawa milikku, Ella. Semua itu tidak akan cukup." Gumamnya sambil menunjuk koperku dengan tangannya. Lalu Ia berdiri dan menghilang dari pintu kamarku, beberapa menit kemudian Ia kembali membawa setumpuk pakaian miliknya dan sebuah koper yang lebih besar.
Berasal dari keluarga kaya membuat Lana bisa memiliki pakaian sebanyak yang Ia inginkan. Ia selalu mengatakan ayahnya membelikan itu semua untuk menghiburnya, karena tidak ingin membuatnya lebih sedih aku tidak pernah bertanya apa maksudnya.
Mungkin Lana tahu aku masih harus membayar cicilan uang kuliahku yang sangat mahal, yang masih harus kubayar satu tahun lagi, jadi Ia memberikanku akses penuh ke lemari pakaiannya. Sejak saat itu aku tidak pernah membeli pakaian lagi. Bukan karena aku tidak mampu, tapi karena Lana akan memarahiku jika aku membeli pakaian baru. Jika Ia menangkapku sedang memandang blus atau dress baru di depan butik, hari berikutnya Ia akan membelinya dan memberikannya padaku.
Jika aku menolaknya, Lana akan menggunakan berbagai macam alasan hingga aku menerimanya. Sejak saat itu aku berusaha melatih mataku untuk tidak sembarangan menatap ke dalam etalase butik lagi setiap pergi bersamanya.
"Apa ini cukup?" tanya Lana pada dirinya sendiri sambil memindahkan pakaianku ke kopernya. Setelah puas Ia mengangguk pada dirinya sendiri lalu menutup kopernya. "Aku memasukkan beberapa sepatu heelsku ke dalam, milikmu sudah hampir patah." Gerutunya sambil melipat tangannya di dada.
Aku memandangnya sambil tersenyum, "Okay, Mom."
Lana hanya membalasku dengan memutar kedua mata biru terangnya. "Jadi kau akan mengaudit Shaw&Partner?" katanya tiba-tiba sebelum menjatuhkan tubuhnya di sebelahku, kedua matanya memandang langit-langit kamarku.
"Kau tahu tentang perusahaan itu?" tanyaku. Keluarga Lana memiliki koneksi luar biasa di dunia bisnis, hampir semua CEO dan pimpinan perusahaan mengenal ayahnya. Bahkan sebelum Lana kuliah ayahnya berusaha menjodohkannya dengan kenalannya.
"Aku pernah bertemu salah satunya." Suara Lana terdengar sedikit tercekat lalu Ia menelan ludah sebelum melanjutkan, "Gregory Shaw... Aku pernah bertemu dengannya sekali."
"Oh? Ayahmu menjodohkanmu dengannya?" sahutku, mulai tertarik.
Lana tertawa kecil lalu menggeleng, "Ayahku? Bukan, aku bertemu dengan Gregory Shaw saat konferensi. Kau ingat konferensi yang kuikuti saat kuliah dulu?"
Ah... Tentu saja aku mengingatnya. Setelah konferensi itu Lana kembali ke asramaku sambil menangis, Ia menginap selama beberapa hari di asramaku setelah itu. Hingga saat ini aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, dan ia tidak pernah mau menceritakan alasannya.
"Aku bertemu dengannya di tempat itu. Hanya sekilas." Lanjutnya sambil mengangkat bahunya tidak peduli. Tapi pandangan matanya yang menerawang mengatakan sebaliknya.
"Apa Ia setampan itu?" Christine juga memiliki pandangan yang sama saat menyebut Shaw bersaudara.
Lana menoleh lalu tertawa lagi, "Well, Ia lumayan. Tapi bukan tipeku."
Aku cukup lama mengenal Lana untuk tahu Ia sedang berbohong, tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh suara klakson mobil terdengar dari luar.
"Taksi!" Pekik Lana.
Kami berdua melompat dari tempat tidur, kuambil koperku dan sepatuku dari kolong tempat tidurku lalu menyusul Lana yang sudah berjalan keluar lebih dulu.
***
Hal pertama yang kusadari saat menginjakkan kakiku di bandara Manhattan adalah aku tidak membawa handphoneku. Setelah lima belas menit penuh membongkar tas tanganku tiga kali, aku menyerah.
Sambil menyeret koperku aku berjalan ke booth telepon berbayar terdekat lalu menelepon Lana untuk memberitahunya kalau aku baru bisa menghubunginya setelah membeli handphone baru.
Perjalanan ke hotel memakan waktu satu jam lebih karena macet. Walaupun perjalanan pesawatku hanya 2 jam tapi rasa lelah langsung menyerangku begitu aku sampai di bandara. Sebagian karena aku tidak ingin berada di tempat ini, sebagian lagi karena aku harus lembur malam sebelumnya.
Setelah check-in, kututup pintu kamar hotelku rapat-rapat dan menghabiskan sisa hari dengan tidur.
***
Hotelku hanya berjarak lima menit dari gedung Shaw&Partner, dan berada di tengah blok pusat bisnis yang hampir tidak pernah sepi. Pagi ini aku berangkat 45 menit lebih awal untuk mencari toko bagel yang Lana rekomendasikan.
Deretan gedung toko yang kulalui berseberangan dengan gedung perkantoran, mulai dari starbucks, laduree, hingga butik desainer. Hampir semua orang yang berjalan di blok ini mengenakan pakaian yang sama denganku, pakaian kerja formal dan wajah cemberut. Ha. Sepertinya bukan hanya aku yang membenci Manhattan.
Setelah berjalan lima menit penuh aku baru menyadari aku tidak tahu kemana arah gedung Shaw&Partner, ataupun toko bagel yang kutuju. Langkahku terhenti di sebelah mobil SUV hitam yang diparkir di pinggir jalan, kuedarkan pandanganku mencari tanda jalan. Apa aku harus menggunakan GPS? Ah sialan, aku tidak membawa handphoneku.
Kedua mataku masih berusaha mencari tanda jalan saat aku menangkap pantulanku di kaca SUV di sebelahku. Seluruh kacanya berwarna hitam pekat hingga aku tidak bisa melihat ke dalam, tapi mobil yang diparkir biasanya tidak berpenghuni, kan?
Kupandang pantulanku di jendela mobil SUV itu untuk mengecek ikatan rambutku, lalu menyeka lipstik di ujung bibir dengan jariku. Aku memandang pantulan ekspresi serius wajahku sejenak. Bahkan pantulanku terlihat sangat biasa, satu-satunya yang bisa kubanggakan mungkin hanya kedua mata amberku. Lana bilang hal pertama yang Ia ingat dariku adalah kedua mataku yang memang agak jarang ditemui.
Sisanya... jika dibandingkan dengan Lana mungkin skornya 7/10?
Karena merasa bodoh sudah membandingkan diriku dengan sahabatku, aku tersenyum pada pantulanku sendiri lalu mengalihkan pandanganku ke jam tanganku. Masih ada sekitar 35 menit untuk mencari toko bagel itu. Kulanjutkan langkahku menyusuri deretan panjang toko yang berjajar di sepanjang jalan.
Sepuluh menit kemudian aku menemukannya, restauran kecil berwarna biru yang menjual bagel. Persis seperti deskripsi Lana. Tempat ini bahkan tidak mempunyai nama. Aku melangkah ke dalam lalu menbaca deretan menu yang dipajang setelah itu memesan Avocado Salmon dan kopi. Beberapa menit kemudian seorang pria mengantarkan bagel salmon dan kopiku, Ia menaruhnya di mejaku sambil tersenyum. Aku mengucapkan terimakasih padanya sambil membalas senyumannya. Hal-hal kecil seperti inilah yang kusukai dari mengunjungi toko atau restauran kecil dibandingkan restauran mewah.
"Nona, kau harus mencoba bagel Herring lain kali." Katanya sambil tersenyum lebar, rambut hitamnya sudah sedikit memutih di beberapa bagian.
"Oh, okay." Balasku, masih tersenyum.
"Aku akan memberimu ekstra gratis lain kali, Nona...?"
Kuulurkan tanganku padanya, "Eleanor."
"Ah, nama yang cantik untuk wanita yang cantik." Ia mengelap tangannya di apronnya sebelum menggenggam tanganku. "Kau bisa memanggilku Julio."
Aku mengangguk, "Trims untuk bagelnya, Julio. Apa tempat ini milikmu?"
"Milikku dan Istriku. Well, selamat menikmati, Eleanor." Balasnya sebelum berpindah untuk menyapa pengunjung yang lain.
Tanganku membuka kertas penutup bagelnya, bau salmon asap dan bumbunya menguar di udara membuat perutku semakin lapar, aku belum makan sejak tiba di Manhattan kemarin sore.
Kuhabiskan bagelku sambil memandang ke luar jendela, kedua mataku menangkap mobil SUV yang tadi. SUV itu berhenti di salah satu gedung perkantoran tidak jauh dari restauran bagel ini.
Seorang pria keluar dari pintu penumpang belakang lalu berjalan masuk ke dalam gedung, aku hanya bisa melihat punggungnya dari jarak sejauh ini. Beberapa detik kemudian mobil itu melaju menjauh, dan menghilang di tikungan jalan. Kualihkan pandanganku ke jam tanganku setelah bagelku habis, aku mempunyai waktu 15 menit untuk mencari gedung Shaw&Partner.
Setelah bertanya ke Julio dimana letak gedung Shaw&Partner, ternyata gedung itu adalah gedung yang dimasuki pria SUV tadi.
Sekuriti gedung tersebut memberiku tag tamu dan mempersilahkanku naik ke lantai 15. Ia memberitahuku bahwa aku akan bertemu dengan Mrs. Lynch di bagian keuangan, dan Dave di bagian HRD untuk mengambil tag karyawan sementara.
Walaupun Shaw&Partner adalah pemilik gedung ini tapi mereka hanya menempati 5 lantai teratasnya, sisanya disewakan ke perusahaan lain. Aku tidak bisa membayangkan berapa kekayaan Mr. Shaw bersaudara hingga memiliki sebuah gedung perkantoran di pusat bisnis Manhattan.
Pasti pekerjaan pengacara jaman sekarang sangat menguntungkan, pikirku sambil masuk ke dalam lift bersama beberapa karyawan lain, lalu menekan tombol 15 di lift. Sesaat kedua mataku tertuju pada tombol lift ini yang hanya sampai lantai 19. Bukannya gedung ini memiliki 20 lantai?
Satu menit kemudian lift ini berhenti di lantai 15 dan terbuka, logo Shaw&Partner terukir dengan jelas dan besar di dekat meja resepsionis.
"Selamat datang di Shaw&Partner." Gumamku pada diriku sendiri sambil melangkah keluar lift.
***
Ternyata seluruh dugaan awalku salah. Mrs. Lynch, kepala bagian keuangan, hanya memintaku untuk mengaudit keuangan 6 bulan kebelakang. Ia berpikir ada sedikit mark up yang dilakukan staffnya, tapi Ia tidak mempunyai waktu untuk membuktikannya karena sekarang sudah mendekati periode audit akhir tahun. Jadi Ia menyewa akuntan independen untuk melakukannya.
Aku tidak mengerti mengapa Ia tidak merelakannya saja daripada repot-repot menyewa akuntan dari luar, lagipula kebocoran seperti ini biasanya tidak terlalu besar.
Mrs. Lynch memberiku kantor sementara, walaupun kecil paling tidak aku mendapatkan privasi.
Seluruh semangatku kembali lagi dalam sekejap saat melihat meja kerja baruku, kurasa aku bisa menyelesaikannya dalam seminggu jika aku lembur hampir setiap malam. Kuletakkan tasku lalu menyalakan laptop di meja.
"Miss Heather?" suara Mrs. Lynch mengalihkan perhatianku.
"Ya?" aku mendongak dari mejaku.
Mrs. Lynch berjalan masuk ke dalam, rambut bob coklatnya sedikit bergoyang saat berjalan. Wajahnya mengingatkanku pada Anna Wintour, editor majalah Vogue, lengkap dengan ekspresi dinginnya.
"Sebelum anda memulai lebih jauh, saya ingin memberitahu anda untuk merinci kas masuk yang diterima dari Bank Rotterdam." Kedua matanya menatap lurus padaku, "Dan anda harus melaporkannya langsung kepadaku."
Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum padanya. "Hanya Bank Rotterdam?"
Ia terdiam sejenak seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu di dalam kepalanya, "Bank Rotterdam dan perusahan bernama Thompson&Thompson."
Aku mengangguk lagi lalu Anna Wintour, maksudku Mrs. Lynch, keluar dari kantorku. Kualihkan perhatianku kembali ke laptopku, menandai kalendernya tepat satu minggu dari sekarang sebagai deadline, lalu meneruskan pekerjaanku.
***
Pada akhirnya aku terpaksa melewatkan makan siangku karena mengejar deadline hari ini. Lagipula aku tidak memiliki teman makan karena aku belum mengenal siapapun di tempat ini, satu-satunya yang kukenal hanya Mrs. Lynch. Dan auditor kadang-kadang tidak diterima begitu baik oleh karyawan kliennya, inilah mengapa aku lebih memilih bekerja di dalam tim daripada sendirian.
Tapi untungnya aku menyukai pekerjaanku hingga tanpa kusadari jam di dinding kantor sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Kuputuskan untuk mengakhirinya dan kembali ke hotel, lagipula aku harus membeli handphone baru dan menghubungi Lana secepatnya.
Kumasukkan barang-barangku yang berada di atas meja ke dalam tasku dan berjalan menuju lift. Saat aku keluar sebagian karyawan sudah pulang, lift pun sudah lebih sepi daripada pagi tadi.
Baru beberapa meter kakiku melangkah dari gedung Shaw&Partner, aku teringat flasdisk-ku yang masih tertancap di laptop kantor. Kubalikkan badanku lalu menyeberang kembali saat lampu jalan masih merah.
Tentu saja satu kesialan belum cukup untukku, salah satu heels sepatuku tersangkut di drainase yang berada di jalan sebelah trotoar.
"Oh sial." Gumamku sambil berusaha menarik kakiku. Lampu jalan sudah berubah hijau saat aku membungkuk untuk menarik sepatuku, beberapa mobil melewatiku dengan jarak sangat dekat sedangkan yang lainnya hanya mengklakson.
Heels yang kupakai hari ini adalah heels milik Lana, jadi aku tidak bisa meningggalkannya begitu saja tersangkut di sini. Sepatu Lana yang paling murah bisa setara dengan gajiku selama satu bulan, dan aku tidak tahu berapa harga heels yang sedang kupakai sekarang.
Aku berusaha menariknya lagi sekuat tenaga, tapi semakin banyak kakiku bergerak malah semakin dalam ujung heelsnya tersangkut.
Suara klakson berbunyi lagi di dekatku, tapi aku tidak terlalu mempedulikannya. Akhirnya dengan usaha terakhir aku berdiri lagi dan menarik kakiku dengan kedua tanganku.
Tiba-tiba dari sudut mataku aku bisa melihat sesuatu bergerak ke arahku dengan cepat, saat aku menoleh sebuah mobil sedang melaju 25 meter tepat di depanku dan Ia masih belum mengurangi kecepatannya sama sekali. Aku bisa melihat pengemudinya yang sedang menatap handphone di tangannya dan tidak menyadariku.
Tubuhku membeku di tempat, terlalu panik untuk bergerak. Lagipula sepertinya aku tidak akan bisa menghindarinya. Otakku terasa membeku seperti tubuhku.
Saat jaraknya semakin mendekat hanya beberapa meter dari tubuhku, tiba-tiba sepasang lengan yang kuat memeluk pinggangku dan menarikku. Hanya selisih sepersekian detik kemudian mobil itu melibas salah satu sepatu Lana yang masih tersangkut di drainase dan melaju menjauh.
Jantungku berdebar seratus kali lebih cepat di dalam dadaku hingga aku bisa mendengar suara dentuman jantungku sendiri di telingaku. Kedua mataku menatap lurus ke kemeja putih yang berada beberapa senti di depan wajahku, sedangkan tubuhku masih menegang karena shock.
"Anda tidak apa-apa?" sebuah suara bariton yang menenangkan setengah berbisik di telingaku. Suaranya diselingi oleh nafasnya yang sedikit terengah, seakan Ia baru saja berlari.
Aku mendongak menatap penyelamatku. Sepasang mata paling biru dan gelap sedang memandangku, sedikit rasa khawatir terlihat jelas di dalam tatapannya.
Aku mengangguk sedikit, otakku masih sedikit shock untuk membalas pertanyaannya. Pria itu masih memeluk pinggangku, dan aku juga masih bergantung padanya. Salah satu tanganku mencengkeram erat kemejanya, sedangkan yang satunya lagi memegang pundaknya yang keras.
"Kau yakin?" ulangnya setelah mengamati wajahku, Ia tidak memakai nada formalnya lagi. Aku bisa mencium bau musk dan mint dari jarak sedekat ini, bau menyenangkan yang membuat otakku sedikit mencair dari rasa shock. Kedua alis coklat gelapnya yang terlihat sedikit arogan berkerut padaku.
Aku masih belum menjawab pertanyaannya, tapi pandanganku juga belum beralih dari wajahnya. Rambut coklat gelapnya disisir rapi ke belakang, walaupun beberapa helainya sudah sedikit berantakan. Aku bisa melihat ketegasan dari wajahnya, rahangnya yang kuat dan hidungnya. Ia terlihat seperti orang penting, atau seperti orang yang pekerjaan utamanya adalah mengintimidasi orang lain.
Lalu pandanganku beralih pada tanganku masih mencengkeram kuat kemejanya, dengan canggung kulepaskan kedua tanganku darinya. Tapi berdiri dengan satu heel membuat tubuhku tidak seimbang, kedua tangan pria itu kembali memegang pinggangku.
"Aku—" Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering, "Aku tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah..." kalimatku yang selanjutnya terhenti di tenggorokanku saat kedua mata biru gelapnya memandangku dengan intensitas yang membuat jantungku kembali berdebar kencang, seakan Ia sedang berusaha mengamatiku lekat-lekat, seakan bukan hanya aku yang saat ini sedang terpana.
Lalu setelah beberapa detik yang terasa lama, kualihkan padanganku ke sekitar kami untuk menyembunyikan wajahku yang terasa panas. Beberapa orang sedang memandang kami sambil berjalan.
Dengan perlahan, seakan Ia tidak ingin melepaskannya, Ia menarik tangannya dariku. Aku berdiri dengan canggung di depannya, lalu melepas heels yang sedang kupakai agar aku bisa berdiri lebih seimbang.
"Aku melihat plat nomornya, kau bisa melaporkannya ke polisi setelah ini." Suaranya yang dalam membuat perutku sedikit terasa aneh.
Aku tersenyum padanya, "Tidak perlu, yang tadi adalah kesalahanku." Balasku sambil menunjuk sepatu Lana yang sekarang tertancap semakin dalam di antara jeruji drainase.
Oh, dasar sial. Aku harus menguras tabunganku untuk menggantinya.
"Aku tetap akan melaporkannya. Ia mengemudi sambil menggunakan handphone." katanya sambil menarik kedua sudut mulutnya ke bawah lalu menatapku dari wajahku hingga turun ke kakiku, membuatku semakin merasa canggung. "Kakimu terluka, Miss...?"
"Eleanor... Heather." Jawabku. Ia kembali memandangku, kali ini sebuah senyuman samar menghiasi wajahnya yang tampan.
"Queen Eleanor." Gumamnya pada dirinya sendiri.
Beberapa dosenku juga pernah memanggilku Queen Eleanor saat aku menyebutkan namaku untuk pertama kali. Namaku memang agak sedikit kuno.
Sebelum aku sempat bertanya siapa nama penyelamatku, sebuah mobil berhenti di sebelah kami. Sebuah SUV hitam, mobil yang sama dengan yang kulihat pagi ini. Jendela tempat pengemudinya perlahan turun, seorang pria berambut pirang menatap ke arah pria di sebelahku. "Sir."
"Erik." Pria di sebelahku membalasnya, lalu Ia membuka pintu penumpang SUV. "Aku tidak bisa tidur dengan tenang sebelum memastikanmu baik-baik saja, Miss Heather." Katanya sambil mempersilahkanku masuk, aku menatapnya dengan terkejut.
"Aku—aku baik-baik saja. Hanya sedikit lecet." Balasku.
Kedua mata birunya yang intens membalas tatapanku. "Erik akan mengantarmu pulang." suaranya yang memerintah tidak menyisakan argumen untukku.
Pria bernama Erik hanya memandang kami sekilas lalu tersenyum padaku sebelum menatap ke depan lagi.
Aku memandang kakiku yang lecet lalu ke arah pria itu lagi, "Okay." lalu mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam SUV di depanku. Ia menutup pintu mobilnya sebelum aku sempat berterimakasih padanya, lalu mobil ini melaju meninggalkan pria itu yang berdiri di pinggir jalan.
Pandangannya masih terus mengikuti laju mobil ini, hingga akhirnya kami berbelok di tikungan.
Aku bahkan belum bertanya siapa namanya.