Agar tidak membuat bingung, tolong baca terlebih dahulu (jika berkenan) struktur penulisan di bawah ini :
"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[Kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'Kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu (makna ganda) / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selamat Membaca ^-^
@ @ @ @ @
KALAU ada yang bilang hari Minggu adalah hari emas, kupikir itu adalah sesuatu yang salah. Hari Minggu yang sebenarnya adalah waktu yang pas untuk membuat ruang kamar menjadi bau keringat dan tagihan listrik rumah membengkak.
Kata 'Emas' dimana hal-hal yang menyenangkan terjadi seperti liburan, membeli barang mahal yang diinginkan, kencan, ataupun bermain bersama teman adalah kebohongan.
Berbanding terbalik, hari Minggu yang sebenarnya adalah untuk mencuci, merapikan rumah, menonton TV, main game, atau tidur.
Tapi yang sebenarnya terjadi di masyarakat luas, kedua opsi di atas benar-benar terjadi. Hanya saja keberadaannya bagaikan 'Tuan' dan 'Budak'.
Untuk diriku sendiri yang tidak memiliki teman, tentu aku menyangkal keberadaan opsi pertama dan menyebutnya kebohongan. Jujur saja, walaupun aku berada pada opsi kedua sebagai 'Budak', sebenarnya ini tidak terlalu buruk.
Bayangkan saja, para 'Raja' itu sudah jauh-jauh hari menentukan mereka ingin liburan ke suatu tempat, seperti pantai. Membeli perlengkapan yang menguras uang saku mereka sampai nol dan tidak bisa tidur menantikan hari esok tiba. Setibanya esok, mereka terjebak macet dan mulai menyesali uang saku dari orang tua mereka yang sudah habis. Kalaupun mereka berhasil liburan, setidaknya mereka akan terpapar cahaya matahari dan besar kemungkinan mengidap kanker kulit.
Membeli barang mahal pun terkadang menjadi masalah. Ada kemungkinan barang itu cepat rusak atau hilang bahkan dicuri. Kencan pun juga tak masuk akal, tak jarang mereka sudah janjian sebelumnya, tapi ketika waktunya tiba salah satu pihak membatalkan janji. Setelah itu, ia pergi menenangkan diri—dan diwaktu yang sama, ternyata orang itu mendapati kekasihnya sedang selingkuh. Bermain bersama teman pun tidak terlalu menyehatkan, terkadang akan terjadi kebosanan dan konflik karena terus-menerus bermain dan bercanda.
Jadi dapat ku pastikan bahwa tetap berada dirumah adalah pilihan yang bijak dan tepat.
Tapi walau begitu, apa yang sedang kulakukan saat ini anggap saja pengecualian. Kurasa aku kurang menambahkan opsi belanja kebutuhan di sana.
Ini adalah toleransi.
Kegiatan luar rumah seperti belanja kebutuhan sebenarnya sedikit melenceng untuk dilakukan anak laki-laki sepertiku. Tapi demi kebaikan dan keinginan egois, aku harus tetap melakukannya.
Daftar belanjaan yang sudah ku kantungi sekaligus uangnya pun sudah ku perhitungkan semuanya. Sebenarnya yang ku incar adalah uang tips yang diberikan untukku jika mau melakukan ini.
Akhir-akhir ini banyak sekali komik bagus bermunculan, dan akhir-akhir ini pula rasanya aku mulai menyukai membaca novel.
Yang terlintas di dalam kepalaku ketika menilai komik dan novel adalah si pengarang memiliki kepribadian penyendiri. Karena akhir-akhir ini banyak komik dan novel yang bermunculan, kurasa para penyendiri di dunia ini mulai berkembang pesat keberadaannya. Dengan begitu, ku pikir orang-orang mulai memahami bahwa menjadi penyendiri adalah suatu yang spesial dan hebat.
Ya-ya-ya, itu hanya pelarianku saja.
Inti dari kegiatan ini hanyalah mengambil uang tips untuk nanti ku belikan komik—walau terkadang malah membeli Novel.
Walaupun begini-begini, aku orang yang cukup pemilih dalam membeli. Biasanya disaat membeli komik, hal yang menjadi fokusku adalah sinopsis dan cover. Itu berlaku jika komiknya dibungkus plastik. Dan untuk Novel, biasanya fokusku pada harga. Itu karena harga novel memang lebih mahal. Dan kalau harganya sudah pas di kantung, aku akan menyeleksi judulnya. Semakin judulnya bagus, semakin besar barang itu akan ku beli. Dan untuk genre sendiri aku tidak muluk-muluk, aku bisa melahap semua genre.
Ada kata bijak yang bilang, 'Kau tidak akan dapat apa-apa jika menjadi pemilih'. Tapi sayangnya orang bijak yang bilang begitu adalah aku.
Setelah keluar dari supermarket, alhasil kedua tanganku menggenggam 2 jinjingan barang belanjaan satu-satu. Tugasku selanjutnya adalah pergi ke toko buku untuk menghambur-hamburkan uang tips ini di sana. Untungnya belanjaan ini tidak terlalu berat.
Dari ujung ke ujung, setelah beberapa meter berjalan, tepat dihadapanku terpampang toko buku dengan label terbesar di Asia tenggara. Dengan embel-embel sebesar itu, aku merasa menjadi tamu kehormatan untuk masuk ke toko buku ini. Aku terharu.
Mestinya aku masuk ke sini tidak dengan menjinjing belanjaan ini. Bagiku tidak masalah, hanya saja pegawai di toko ini membuat kesan bahwa aku akan mengutil buku dan memasukkannya ke dalam jinjingan ini lalu pergi begitu saja. Matanya seperti menandakan bahwa aku akan melakukan itu.
Tenang saja. Hidupku sudah busuk, jadi aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatnya menjadi lebih busuk lagi.
Tak perlu memperdulikan hal kecil, lagi pula aku tidak memiliki niatan sedikitpun untuk mengutil, jadi langkahku takkan mundur sedikitpun karena hal itu.
Yang paling menyenangkan masuk ke toko buku Mayor seperti ini adalah banyaknya pilihan yang ditawarkan. Namun ini akan menjadi masalah jika calon pembaca hanya mempunyai nilai uang ala kadarnya, sepertiku. Bukannya senang, justru bimbanglah yang dirasakan.
Mungkin inilah penyebab cukup banyaknya kejahatan di dalam toko buku. Dengan budget yang sedikit, calon pembaca akan mengintimidasi buku-buku tersebut. Seperti mengutil, merobek plastik pelindung, memfoto, membaca buku sambil berdiri atau jongkok berjam-jam sampai tamat atau bahkan... dihafal. Aku tidak tahu yang keempat itu termasuk kejahatan atau bukan, tapi yang kelima rasanya cukup begitu mulia.
Hebatnya lagi, di toko seperti ini terpampang jelas genre-genre setiap buku diatas raknya. Bukan hal baru, sih. Bahkan hampir di setiap toko buku mengadaptasi sistem seperti ini.
Sistem dimana label genre di tempel diatas rak memang memudahkan para calon pembaca untuk mensortir bacaan mereka. Tapi untuk beberapa orang yang terlalu takut di nilai oleh orang lain, ini bisa menjadi masalah. Karena ingin terlihat intelek, zona yang disinggahi biasanya tentang ilmu pengetahuan. Baik ekonomi, sosial, filsafat, pengetahuan alam, hukum, elektronika atau ilmu lain. Terlebih,banyak pelanggan perempuan cantik atau laki-laki tampan disana. Keinginan dilihat berwawasan begitu menggebu-gebu, padahal buku yang mereka incar yang sebenarnya adalah komik,tapi area yang disinggahi bertolak belakang. Alhasil, yang mereka dapatkan hanyalah bacaan yang tidak mereka mengerti dan sikap yang aneh. Awalnya mereka berniat mencari perhatian orang lain dengan masuk ke area itu lalu melirik-lirik sekitarnya. Tapi yang mereka dapatkan malah orang-orang itu meluyur pergi tanpa menghiraukannya sedikitpun. Benar-benar sia-sia. Lagi pula ini 'kan di toko buku, memangnya yang mereka incar sebenarnya apa, sih?
Aku tidak sedang membicarakan diriku, lho. Ini memang membicarakan orang lain.
Aku memang sering ke sini untuk membeli komik, dan sesekali ada orang yang memang kelakuannya seperti itu.
Aku pikir orang-orang itu sedang mengidap penyakit 'Bahagiakan Aku'.
Tidak seperti kamarku yang bau keringat karena malas-malasan, di sini memiliki aroma keintelekan duniawi. Aroma dari buku-buku.
Sekejap, aku terkesiap. Bagaimanakah caranya membuat tempat ini begitu memiliki bau yang khas? Apakah karena ilmu pengetahuan yang mengeluarkan aroma? Atau ruangan ini yang diberi pewangi yang khas? Ataukah karena mbak-mbak cantik di sini? Sepertinya aku sedikit berlebihan. Aku baru sadar ini hanya bau udara yang segar. Sepertinya hidungku mulai terbebas dari bau keringatku sendiri.
Tak bisa disangkal, masuk ke dalam toko buku memang atmosfernya benar-benar berbeda dari pada masuk ke dalam klub malam. Walau begitu, aku sendiri juga belum pernah pergi ke klub malam. Tapi yang kulihat dari acara TV, rasanya tempat itu begitu nyeleneh. Maksudku, kalau masuk ke dalam toko buku itu seperti sedang menaikkan reputasi diri sendiri. Padahal di dalam toko buku yang ku beli adalah komik, tapi setelah keluar toko, orang-orang yang melirikku seperti melihat anak teladan yang sedang mencari referensi ilmu baru.
Aura toko buku benar-benar membanggakan.
Karena hanya membawa uang sisa Rp. 60.000, ku pastikan aku hanya akan membeli komik. Dengan uang segini, mungkin maksimal komik yang ku beli 3 buah. Aku hanya perlu memilih yang terbaik dari sederetan komik di depanku ini.
Tidak seperti anak SMA lainnya yang selalu membawa HP kemana-mana dan menghabiskan uangnya untuk paket internet yang seabrek, aku bahkan tidak khawatir sama sekali tentang habisnya paket internet di mesin penghabis waktu terbaik ku itu. Uang yang ku punya kebanyakan habis untuk membeli camilan dan komik. Dan sepertiganya aku tabungkan untuk sesuatu yang mendadak. Bahkan sudah 2 atau 3 minggu yang lalu pulsaku tidak diisi ulang dan paket internetnya sudah habis.
Mungkin ini memang terdengar menyedihkan. Tapi aku tidak begitu khawatir.
"Maaf,"
"Huh?"
"Barusan mbak menyobek plastiknya??
"A-ah—"
"Kenapa!!? Padahal sudah ada tulisan dilarang menyobek plastiknya 'kan!?"
[Tsah.] Ada satu lagi pengintimidasi buku di sini.
Ketika aku sedang melihat-lihat deretan komik di rak buku di depanku, suara teguran dari penjaga toko itu memperlihatkan padaku sebuah insiden kecil. Setidaknya itu mengalihkan perhatianku.
"O-oh—iya, maaf, aku tidak sengaja."
"Tidak sengaja?? Aku melihatnya dengan jelas kalau mbak menyobek plastik bukunya barusan."
"A-ah, aku serius, aku tidak sengaja. Maaf."
[Uwaaah.] Sandiwaranya payah. Benar-benar payah. Dia tidak berbakat menjadi pembohong. Kau harus banyak belajar.
"I-ini tidak seperti yang dipikirkan. Lagipula di dekat anak laki-laki itu juga ada buku yang plastiknya sudah disobek 'tuh."
Huh? Gadis itu menunjuk ke arahku? Kenapa?
"Dimana?"
"Disana."
Oi, kenapa perasaanku jadi serba salah.
Kedatangannya dari sudut sang gadis ke arah belakangku, lalu diikuti gadis itu yang mengekor di belakangnya, tiba-tiba penjaga toko ini mengambil sebuah buku yang terbalut plastik setengah sobek di rak dan memasang wajah yang penuh pertanyaan tepat di hadapanku.
"Hei, kenapa kau menyobek plastik bukunya!??"
Heh???
Aku mengerti apa yang terjadi pada gadis itu barusan, tapi apa yang terjadi padaku saat ini benar-benar membuatku tidak mengerti.
Aku tidak bisa menjelaskan apapun. Aku hanya terpaku kebingungan.
"Haaaaah~, aku tahu kalian berdua ini masih muda, tapi harusnya kalian berdua tetap bisa menjaga sikap. Kalian mengerti bukan tindakan seperti ini masih termasuk tindak kejahatan!?"
Aku harus bicara apa? [Oi, gadis. Katakan sesuatu.]
"Ya~ ini tidak terlalu menjadi masalah. Karena kalian sudah membuka paksa plastik bukunya, otomatis kalian harus membelinya. Dengan begitu masalah akan selesai. Dan kalian juga harus memikirkan tindakan tidak terpuji ini baik-baik di rumah."
[Masalahnya bukan di situ.]
Tuduhannya memang tidak jelas. Tapi mengingat gadis itu yang langsung menuduh ku seenak jidatnya, kurasa motif itulah yang membuat orang ini langsung percaya begitu saja kalau aku adalah salah satu temannya. Apalagi ia adalah orang yang tadi melihatku penuh curiga. Aku harus segera mengklarifikasikannya.
"Sebentar. Sepertinya kau sudah salah paham. Aku tidak menyobek plastik bukunya. Bahkan aku tidak menyentuhnya sama sekali."
Lagi pula aku tidak berniat sedikit pun membeli buku itu. Memangnya aku ini apa?
"Oke-oke. Aku sudah satu setengah tahun bekerja di sini. Sejujurnya aku sering mendapati anak-anak muda sepertimu melakukan kenakalan yang sama. Dan kebanyakan dari mereka bilang mereka tidak bersalah dan itu hanya salah paham. Tapi nyatanya, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jadi aku mengerti dengan tingkah laku anak muda seperti kalian berdua ini."
[Cih.] Jangan menyamakanku dengan orang lain. Walaupun sama-sama busuk, kebusukanku jelas berbeda dengan kebusukan anak-anak itu. Ini benar-benar kesalahpahaman.
"Tidak, aku benar-benar seri—"
"Ah. Kalian berdua terlihat seumuran. Apalagi tingkah kalian berdua sama. Jangan-jangan kalian ini memang teman, ya? Atau mungkin kalian ini paca—"
"Ah—iya. Kami berdua memang teman. Kita berdua sudah menjadi teman sejak kecil."
[Oi, apa-apaan penyangkalanmu itu, hah!!? Timing mu bicara memang tepat, ya!!? Lalu kenapa dari tadi kau diam saja!!?]
Dan kenapa dia berjalan mendekat ke sisi sampingku?
"Haaah~ sudah kuduga,"
[Apanya!!?]
"Sekalipun kalian ini teman, bahkan sekalipun kalian ini saudara, harusnya kalian mengingatkan satu sama lain, bukannya malah melakukan kejahatan seperti ini sama-sama,"
[Maksudnya sama-sama itu apa!!?]
"Memangnya kalian tidak takut mempermalukan nama baik orang tua kalian? Terutama kau,"
[Kenapa aku lagi!??]
"Harusnya kau menjaga teman baikmu ini supaya tidak melakukan hal buruk. Setidaknya kau itu harus bisa menjadi layaknya kakak yang baik, kau itu 'kan laki-laki!"
[Uwaaah. Aku sekarang mengerti maksudmu paman.]
"Hehe, dia memang tidak bisa diandalkan, pak."
[Kenapa dengan wajah penuh senyumanmu itu, bocah!!?]
Sekarang aku mengerti. Maksud dari perkataan paman ini dan tentunya gadis kurang ajar ini.
Jika diantara 2 orang yang bermasalah terlibat seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan diantara keduanya memiliki karakter yang sama, laki-laki itulah yang harus bertanggung jawab atas semuanya. Termasuk kesalahan si perempuan. Alasannya, karena dia adalah laki-laki. Laki-laki adalah panutan. Penanggung jawab.
Paman inilah yang menjadi sumbernya.
Aku tidak mengerti cara kerja dunia ini memang selalu seperti itu atau tidak, tapi dalam kasusku, inilah kenyataannya. Entah merasa sungkan karena dia perempuan lalu melempar semua kesalahan padaku, atau mungkin karena dari awal paman ini sudah curiga pada tampangku yang baginya itu kriminal. Bahkan ia langsung mencapku pengutil tanpa harus aku menjelaskan apapun terlebih dahulu.
Akan kutunjukkan pada paman ini bahwa aku hanya dimanfaatkan.
"Paman. Sebelum kau memberi gelar padaku penjahat, harusnya kau mendengarkan penjelasanku terlebih dulu dan mencari bukti yang konkret." memang itulah yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Tidak seperti ketika ia memergoki gadis kurang ajar itu lalu menyalahkannya, ia sama sekali tidak memiliki bukti apapun untuk menyalahkan ku, melainkan hanya berdasarkan omong kosong gadis itu dan kepercayaannya yang keliru.
Dan kutunjukkan kebenaran yang sebenarnya.
"Pertama. Aku benar-benar tidak menyobek plastik buku itu. Lagi pula aku adalah laki-laki, mana mungkin aku tertarik pada buku seperti itu. Kedua, apakah kau memiliki bukti? Ketiga, aku benar-benar tidak mengenal gad—"
"Croco, sudah, yuk. Kita minta maaf aja. Lagian aku mulai menyesal."
[Croco? Kau bicara dengan siapa??]
"Paman, kau bilang kalau kita membayarnya, masalahnya akan selesai 'kan?"
"Tunggu. Croco itu siap—"
"Ya. Kalau kalian berdua membayarnya, aku akan menganggap kejadian ini tidak pernah terjadi. Dan kalian boleh pulang."
[Woi.]
"Paman nggak akan bilang siapa-siapa 'kan? Nggak akan bilang sama polisi 'kan?"
"... aku bisa memaklumi kejadian ini, jadi aku akan memegang janji. Itu pun selama kalian membayarnya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
[Sudah kubilang masalahnya bukan disitu.]
"Tuh Croco, pamannya sudah berbaik hati, kita minta maaf aja, ya? Ya? Terus pulang. Aku mulai kepikiran sama mama sama papa. Aku mulai takut....."
Heh? Kenapa dengan wajah sedihnya itu? Kenapa aktingnya tiba-tiba menjadi bagus begitu?
Di saat-saat genting seperti ini, aku dan paman ini hanya bisa takjub dengan akting kepura-puraannya. Dan terdiam sesaat menatapnya.
Sebentar. Kenapa aku juga harus diam takjub dengan aktingnya!? Harusnya aku malah mengklarifikasi kesalahpahaman ini.
"Nak, lebih baik kau menyelesaikan masalah ini secepatnya. Aku jadi tidak enak kalau temanmu itu menangis di depanku. Aku janji tidak akan mengatakannya pada siapapun. Dan aku akan membiarkan kalian berdua pulang."
Hebat. Kenapa aku yang bertanggung jawab di sini?
Di dalam kesalahpahaman ini, tiba-tiba gadis ini membuat keadaannya semakin brutal. Setelah ekspresi sedihnya yang meyakinkan, tiba-tiba aku merasakan ada yang sedang mencubit sweterku dari samping tepat di lengan kiri. Dan setelah ku alihkan perhatian dari si paman, ku dapati gadis ini sedang tertunduk dengan ketiga jari tangan kanannya sedang menarik lesu sweterku ini.
Kurang ajar. Aktingnya benar-benar sempurna.
Di momen ini, aku bisa membayangkan diriku sedang menjadi salah satu pemeran utama di sebuah Anime. Bahkan aku memang menunggu-nunggu saat-saat seperti ini. Dimana seorang gadis sedang membutuhkanku dan menarik sweter dengan jari-jemarinya yang 'Mungil', adegan yang sangat manis. Aku benar-benar menantikannya. Tapi kalau kasusnya seperti ini, sepertinya aku sudah salah kaprah.
Aku meralatnya.
Lagi pula hal-hal manis tidak terlalu baik untuk kesehatan.
"Jangan membuatnya menangis, nak. Aku tidak bisa melihat perempuan menangis di hadapanku. Ayo kita ke kasir!"
Kesalahpahaman ini sudah tidak bisa diperbaiki.
Masalah terbesarnya bukanlah aku di tuduh penjahat oleh paman itu. Ataupun gadis ini menyeretku ke dalam masalahnya. Bahkan jika paman itu memanggil polisi. Yang menjadi masalah sebenarnya di sini adalah, kenapa aku malah mengikuti perintah paman itu seperti kucing piaraan seakan-akan akulah dalangnya yang harus bertanggung jawab.
Apa hakku sebagai manusia telah di ambil dalam kasus ini? Aku menyerah.
Perjalanan dari posisi sebelumnya ke kasir terbilang lumayan. Di perjalanan ini paman itu bertindak sebagai nakhodanya dimana aku mengekor di belakangnya dan gadis itu mengekor di belakangku. Entah apa alasannya, dia tetap menarik sweterku lesu dengan ketiga jarinya.
Oi, kalau caranya seperti ini, kau justru seperti sedang ingin membuang sampah, tahu.
"Jadi, Croco,"
[Itu sebenarnya nama siapa, sih?]
"Temanmu itu sepertinya penasaran dengan buku ini, ya? 'Cara Menaklukkan Hati Seorang Pria' manis juga."
[Memangnya pria itu banteng liar apa!!?]
"Tapi, Croco,"
[Kenapa kau melihat ke arahku?]
"'1001 Tips Meluluhkan Hati Laki-laki', ya? Sepertinya hubungan kalian berdua sangat rumit, ya?"
"Sudah ku bilang aku tidak mungkin tertarik pada buku itu 'kan!!?"
"Hahaha. Oke-oke. Aku mengerti, aku tidak akan mengungkitnya lagi. Hahaha."
[Kenapa tertawanya 2 kali?]
[Fuuuuh.] Maaf saja paman, walaupun kau tertawa, aku tidak akan ikut tertawa bahagia bersamamu. Justru saat ini harusnya aku menangis. Harusnya aku berdebat dengannya sampai titik darah penghabisanku untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. Tapi sepertinya aku punya alasan lain kenapa aku harus menerima semuanya.
Gadis kurang ajar ini.
Ya. Awalnya dia memang seperti penyihir berwajah dua. Bahkan aku sendiri mengerti maksud sebenarnya dari yang dia inginkan sewaktu kejadian tadi. Tapi saat ini, melihat wajahnya yang tertunduk lesu, perasaan lain menghampiriku. Rasanya gadis ini begitu rapuh. Rasanya tangan 'Mungil'-nya itu akan remuk jika ku sentuh.
Aku yakin ini bukan pertanda cinta. Mana mungkin!!! Entahlah, aku memang sering merasakan perasaan yang seperti ini.
Abaikan saja.
Sesampainya di depan kasir, paman nakhoda ini memberikan 2 buku dengan aura Pink yang dipegangnya tersebut pada temannya yang sedang bertugas menjaga kasir. Mereka berdua terlihat masih muda dengan perawakan yang sepertinya cukup dewasa. Kira-kira 25 tahunan.
Sepenglihatanku, paman ini tidak bicara banyak tentang kita berdua saat kejadian tadi pada temannya. Ia hanya menyodorkan 2 buku pada temannya dengan sedikit tersenyum sambil berkata 'Pesanan dari 2 pelanggan muda kita'. Lalu berdiri menunggu disebelah kananku.
Untuk orang yang tidak tahu apa yang sebelumnya terjadi seperti penjaga kasir ini, mungkin ia memikirkan sesuatu setelah melihat kami berdua. Apalagi paman nakhoda itu bilang '2 pelanggan muda' dengan maksud menyambut kedatangan kami. Aku tidak bermaksud menyambutnya dengan kesan yang baik, tapi apa yang gadis ini lakukan padaku saat ini justru membuatku risih.
Aku tidak keberatan kalau dia memegang pakaianku dengan jari-jari manisnya itu. Ini benar-benar adegan yang manis. Tapi ekspresinya yang tertunduk lesu dan menyedihkan ini seperti memberi kesan padaku kalau aku telah melakukan pelecehan padanya.
Baiklah. Hidupku memang benar-benar busuk.
"Semuanya jadi Rp.88.000."
Yang benar saja. Ternyata buku seperti itu lebih mahal dari Komik, ya?
Pandanganku yang sebelumnya tertuju ke kasir, langsung menoleh pada gadis di sebelah ku.
Ini bukan masalah tanggung jawab bahwa laki-laki harus membayar atau apalah. Keberadaanku di sampingnya saat ini memanglah sekedar sandera yang haknya telah hilang.
Bahkan aku tidak mengerti kenapa aku ada di sini.
Tak lama kemudian, gadis ini mulai merogoh saku celananya dalam-dalam dan mulai menarik kembali tangannya. Ia menyodorkan selembar kertas ke atas meja kasir.
.... <-- 2 detik pertama menatap meja kasir.
.... <-- 5 detik.
.... <-- 7 detik.
.... <-- ????
[Huh?Dimana pahlawan yang lainnya?]
.... <-- Saling tatap menatap.
.... <-- Tatap menatap.
.... <-- Tap.
"Oi, harganya 88 ribu, lho. Pahlawan yang kau keluarkan kurang, tuh."
.... <-- Tatap menatap lagi.
.... <-- Dan diakhiri dengan wajah tertunduknya yang menggeleng.
Whoaa~ gaya malu-malunya itu benar-benar imut. Wajahnya yang tertunduk malu sembari diiringi gelengan kepalanya yang harmonis, impianku yang ingin memiliki adik perempuan yang manis rasanya menjadi kenyataan.
Aku tergu—Eh, tunggu.
Aku tahu aku memang busuk. Tapi aku tidak memiliki niatan menjadi Siscon.
Aku tidak sebejat itu.
Dan bukan itu masalahnya.
Siapa yang tahu bahwa gadis ini tidak punya uang untuk membeli buku yang telah ia lucuti?? Ya, sebenarnya itu cukup bisa di tebak. Kalau ia punya uang, ia pasti membelinya bukan melucuti buku itu. Tapi siapa yang tahu masalahnya bisa seluas ini?? Aku tidak menyangka masalahnya akan menjadi serumit ini.
Kutukan untukku hari ini sepertinya sedang berada di puncak-puncaknya.
"Oi. Kau benar-benar tidak punya uang lagi?"
*Sret*
[Kenapa malah menarik erat sweterku!? Kita bukan sedang masuk ke rumah hantu lho, tapi toko buku.]
Gestur gadis ini memang memberikan sinyal keras.
Uang 20 ribu yang gadis ini sodorkan tentu belum cukup untuk melunasi harga buku-buku itu. Dan tentu aku paham apa maksud dari perilaku gadis ini serta tujuannya.
Di saat gadis ini tertelan dalam tundukannya, paman nakhoda dan paman penjaga kasir yang memperhatikan perilaku kami berdua, otakku justru sedang menyortir beberapa kemungkinan ke depannya dengan cepat.
Di satu sisi, tak masalah jika keinginanku untuk membeli komik tidak tercapai. Tapi di sisi lain, uang 60 ribu yang ku punya tetap saja tidak cukup untuk menutup lubang hutang tersebut. Jadi mau tidak mau... aku harus menggunakan kartu AS ku untuk masalah ini.
Tapi dengan begini, uang 10 ribu yang ku sisihkan untuk ongkos pulang ikut raib bersama kutukan buku-buku itu.
Semoga saja masih ada sisa-sisa hari baik untukku hari ini.
Rasanya ini adalah karma atas keinginan egoisku. Jika saja aku belanja di minimarket dekat rumah dan tidak pergi ke sini dengan niatan jajan dengan uang kembalian, mungkin hari liburku yang datar tidak berubah menjadi curam sebagaimana sekarang.
Maafkan aku wahai diriku sendiri.
Kebetulan aku tidak suka menggunakan dompet. Apalagi aku juga tidak ingat menaruh uangnya dimana, jadi ku rogoh semua saku celana dan sweterku untuk menemukan dimana para uang tersebut berada. Jujur saja ini memanglah sebuah masalah.
Tapi sayangnya ini juga sebuah kebiasaan.
Setelah merogoh semua saku, uang-uang itu pun bertumpukan satu sama lain di atas meja kasir. Akhirnya para pahlawan itupun berkumpul. Rasanya seperti reuni. Aku terharu.
"Semuanya Rp.90.000, ya."
Mendengar kalimat barusan, gadis ini pun langsung menegapkan tundukannya.
Ternyata seberharga itu, ya, kalimat 90 ribu baginya? Sudah pasti.
Pecahan 20 ribu, 50 ribu, 10 ribu, 5 ribu, 5 ribu. Tentu nominal itu sudah cukup membereskan masalah ini. Tapi sayangnya aku tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah lain yang telah menunggu.
Transaksi pun selesai. Buku-buku itu telah di masukan ke dalam kantung plastik. Uang kembalian pun sudah di berikan padaku.
Diiringi ucapan terima kasih paman penjaga kasir, kami berdua berderap perlahan berjalan ke pintu keluar.
Sepertinya kami bertiga.
Paman nakhoda ini pun ikut mengantar kepulangan kami. Dan entah apa, gadis ini masih menarik sweterku dengan ke tiga jarinya. Bahkan sampai setelah keluar toko.
Tapi kini gesturnya sudah tak terlihat terlalu menunduk dan kaku.
"Kalian berdua tinggal dimana?"
Ya, sepertinya inilah tujuan dari paman nakhoda ini mengantar kami. Kami bertiga pun saling menghentikan langkah kaki dan berdiri berhadapan tepat di samping pintu toko.
"Aku sendiri masih harus menumpang angkutan umum dari sini. Kira-kira 20 menit. Ya, rumahku cukup jauh."
"Hmm~. Kalau temanmu sendiri?"
Pandangannya pun mengubah haluan ke arah gadis di sampingku.
"A-ah, ru-rumahku agak jauh dari sini."
[Enggak-enggak. Kau tidak perlu takut kenapa dia menanyakan rumahmu. Percaya saja pada paman ini.]
"Oh," Paman ini mengangguk. "Maaf saja kalau kalian tidak enak hati," Dan mulai menatap kami serius."Tapi lain kali jangan melakukan hal seperti ini lagi, ya!? Jangan anggap remeh perilaku kalian yang tidak baik ini. Masalahnya bukan kecil atau besarnya tindakan buruk kalian, tapi bisa saja masalah yang akan menimpa kalian akan benar-benar merugikan diri kalian sendiri. Tidak ada hari buruk atau hari baik. Yang bisa menentukan baik atau buruknya cuma kalian sendiri. Apalagi kalian berdua masih sangat muda, masih banyak hal yang bisa kalian lakukan. Jangan melakukan hal yang justru membuat masa depan kalian hancur. Ingat itu baik-baik, ya!?"
Rasanya aku tidak ingin menjawab atau mengatakan apapun.
"Uh. Maaf." hmph. Gadis ini ternyata bisa jadi kucing penurut, ya.
"Ya, sudah. Kalian boleh pulang. Hati-hati, ya. Jaga baik-baik temanmu ini, ya, croco."
[Aku menyerah.]
Lontaran selamat tinggal itu pun berseraya dengan langkah kaki paman nakhoda itu menuju pintu masuk.
<----- LANJUT KE BAB 4 BAGIAN KE-2 ----->