Tangan kanan Langit menggenggam ujung pintu, "akhirnya" ucap Langit dengan hembus nafas panjang karena merasa legah telah tiba di kelas.
Matanya terlihat sayu disertai kantung mata yang menghitam, kulit bibirnya pecah-pecah juga gelap, wajahnya juga terlihat memucat,
Bumi mengkhawatirkan Langit, ia mencuri lirik melihat Langit yang melewatinya, Langit yang tak se fit biasanya, tubuhnya lebih kurus dari dahulu, berbeda sekali.
Tapi sikap Langit yang begitu kasar dan dingin membuat Bumi enggan terlalu sedekat dahulu, mungkin sekarang caranya berbeda, sikapnya begitu kasar ia juga begitu ketus, dingin bahkan Bumi semakin tak mengenal sosok Langit yang sekarang.
"Sudahlah!" tekad Bumi membalik badannya dan mencoba fokus, bolpoin itu segera ia raih jari jemarinya kini mampu menulis dengan baik setiap instruksi mentor di depan, Bumi menolak menoleh ke arah Langit, ia menghalangi pandangannya dengan poni yang memanjang itu.
Kegaduhan terdengar dari salah sudut kelas,
Bumi tak peduli, ia hanya mengarahkan pandangannya ke depan,
Catatannya terlihat penuh, juga bolpoin nya yang tercengkram dengan lekat,
Suara beberapa orang sedikit mencuri perhatian, belum lagi kakak senior yang menyebar, Bumi mulai mengedarkan pandangannya, ia mencuri tahu, bertanya dengan teman sebelahnya "sepertinya ada suatu hal terjadi?"
"Maybe" jawab Mia teman di sebelah Bumi dengan mengangkat kedua bahu miliknya,
Bumi masih belum puas, ia mencoba berdiri mencari tahu keramaian disana, tapi karena jarak yang cukup jauh Bumi tak mengetahui apa yang terjadi, Bumi kembali memilih duduk, tubuhnya menyandar di kursi, kakinya terjulur di bawah meja, Bumi mengangkat anak rambut di depan daun telinganya menyingkapkan dan meletakkannya di atas daun telinga,
Selain gerah, Bumi juga menyukai tampilan yang ringkas,
"Wajahnya sudah pucat, wajar saja dia harus dibawa ke uks, padahal anaknya tampan sekali, tapi dia angkuh, dan enggan dibopong," ujar beberapa orang yang lewat
"Benar, padahal aku sudah menawarkan bantuan, dia hanya mengangkat tangannya dan menolak, sungguh menyedihkan!" temannya menimbali
"Kita senasib, tapi setidaknya dia sudah masuk ruang UKS, walau ia berjalan seorang diri, ia sangat tampan dan gagah," obrolan kedua gadis yang lewat itu semakin seru,
Bumi menoleh, menelisik bangku milik Langit diujung sana, ia semakin penasaran, memilih berlari kecil dan meraih bangku Langit,
Mendapati bangku Langit kosong Bumi segera bertanya dengan teman lainnya, "apa kalian melihat Langit? Pria yang duduk dibangku ini?" tanya Bumi dengan sopan
Beberapa wanita yang duduk di dekat Langit menoleh, memperhatikan penampilan Bumi yang biasa saja, tapi mereka heran kenapa Bumi terlihat menarik, padahal pakaian yang mereka gunakan lebih baik dari Bumi,
"Hei, apa kalian melihat Langit?" tanya Bumi kembali,
Mereka hanya menunjuk ruang UKS, tanpa berbicara banyak,
"Langit sakit? Apa itu yang dimaksud?" Bumi yang menelisik
"sepertinya", ucap seorang pria yang kewanita-wanitaan
Bumi berterimakasih, dan segera pergi,
Wajah Bumi tampak panik, ia semakin mempercepat langkah kakinya, menuju ruang UKS,
Langkahnya terasa ringan dan tubuhnya seakan mengikuti, jantung Bumi berdetak kencang, tak mampu dipungkiri bahwa ia sangat khawatir.
UKS terlihat cukup berpenghuni, Bumi mengendap memohon ijin masuk, tampak beberapa relawan mengobati mahasiswa lainnya, Bumi mengedarkan pandangannya lebar-lebar, menoleh ke beberapa tirai yang setengah tertutup, Bumi meraih satu persatu, nampaknya Bumi tak menemukan Langit,
Bumi tak percaya, ia kembali membuka tirai satu persatu, juga memperlambat kakinya agar lebih teliti. Mata Bumi benar-benar menyapu setiap sudut ruangan berharap menemukan Langit,
"Tak ada, dimana dia? Bukankah anak-anak lainnya menunjuk ke UKS?" Bumi terlihat keheranan dan wajahnya cemas.
Kakinya memilih keluar dari ruang UKS, ia berdiri diam sejenak, menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. "langit kau dimana?" cemas Bumi.
Bumi menoleh ke arah kiri ia berniat kembali ke kelas, tapi hati kecilnya menuntunnya membalik wajahnya ke arah kanan, sontak saja ia mendapati seorang Langit yang berdiri di balik pintu UKS, Bumi terkejut dan segera mendekati Langit.
Wajah Langit terlihat sangat pucat, ia juga seperti kedinginan, Bumi semakin dekat tangannya berusaha meraih dahi Langit, saat ia ingin menyentuhnya Langit memilih mengelak, ia menjauhkan dahinya pada raihan tangan Bumi,
"Hentikan, aku tak apa-apa!" ucap Langit angkuh
Bumi memaksa, dan meneruskan langkahnya mendekat pada Langit, ia tak memperdulikan perkataan kasar Langit, ia memaksa memegang dahi Langit, sementara tubuh Langit yang tinggi dan tegap selalu mengelak.
Langit menatap tajam Bumi, dan kali ini dia benar-benar kesal, ia menepis tangan Bumi yang hampir menyentuh dahinya, "Berhenti kata ku!" ucap Langit dengan membentak
Bumi terdiam, tangannya seketika menjadi dingin dan kaku, matanya menatap balik mata Langit, tatapan Bumi berkaca-kaca ia sadar hatinya terluka dengan sikap Langit, ia mencoba menahan air mata itu, dengan membuka lebar-lebar matanya, juga tak mengizinkan mata nya berkedip, Bumi terus mencoba tegar,
"Ku bilang kau masuk!" tunjuk Bumi pada pintu UKS dengan nada memerintah
Langit enggan bergerak, ia hanya menatap tajam mata Bumi yang berkaca-kaca, tatapan Langit terkesan penuh arti di sana terlihat kemarahan dan kesedihan,
"Ku bilang masuk! Kau sangat pucat! Apa kau bosan hidup?" ucap Bumi dengan setengah berteriak,
Langit mengepalkan sebelah tangannya, ia menatap tajam dan mendekat ke wajah Bumi, "peduli apa kau?" ucapnya singkat, dengan mata yang memerah.
Bumi terpaku dengan tatapan Langit membuatnya gugup, namun ia ikut maju dan menggenggam tangan Langit yang tergepal, "Kau Langit!"
Tatapan Bumi begitu dalam, merasuk ke dalam dada Langit, Langit yang semakin lemas tak bisa menolak, jemarinya semakin lunglai, juga suhu tubuhnya begitu dingin, matanya semakin berat dan sayu.
"Kau!" Bumi semakin panik, ia mencoba memopong Langit ke ruang UKS, dengan terengah-engah Bumi tetap tak putus asa.
Beberapa orang hanya mematung melihat Bumi yang kerepotan membawa Langit, bukan tak simpati tapi mereka sungkan membantu seorang yang arogan dan kasar seperti Langit , apalagi beberapa tawaran mereka sebelumnya ditolak Langit mentah-mentah.
"Cuih, dasar penjilat!!" Beberapa gadis mengomel.
Bumi tak terusik langkahnya semakin pasti membaringkan Langit di ruang UKS, "berbaringlah, tunggu!" Bumi beranjak meraih kotak P3K, juga meminta bantuan pada yang ahli,
Sebelum Bumi bangkit, Langit berkata "tak usah kau pedulikan aku! Pedulikan saja senior itu!" ucapnya dengan nada jutek.
Bumi menoleh, sedikit aneh untuk seorang Bumi, mungkin ia merasa tak paham, tapi Bumi memilih diam dan beranjak bangkit dari kursinya.
"Dasar!!" ucap Langit mendumel.
Bumi belum begitu jauh dari jangkauan Langit, ia masih mendengar dumelan Langit, Bumi yang dengan gerak cepat mendapatkan kotak P3K,
Brakk,
Bumi meletakkannya dengan keras, wajahnya seperti kurang ikhlas, juga dengan muka datarnya, tak ada kelembutan dari sentuhan Bumi.
Bumi meraih thermometer, mendekatkan pada Langit,
Langit dengan angkuh menepis thermometer itu, dan menjatuhkannya,
Bumi diam, ia berdiri dan menghela nafas panjang, menatap tajam Langit, "Kau ini!" ucap Bumi singkat,
Bumi beranjak pergi meninggalkan Langit tanpa basa-basi.
Sementara Langit,