Saat senja tiba esok harinya. Richard menyiapkan lebih dari sekedari fisik dan mentalnya. Ia membawa Pasukan Khusus secara rahasia dan terutama meletakkan Howie di bangunan tersembunyi yang menghadap dermaga, sebagai penembak jitu jika terjadi sesuatu.
Redd mencemaskannya lebih dari apapun, tapi Raja itu sudah bertekad. "Aku berjanji akan kembali, jangan cemaskan aku." Itu kalimat Richard saat ia memutuskan untuk tetap pergi.
Menghabiskan waktu untuk berkendara, Raja itu juga memastikan bahwa tidak akan ada warga biasa yang berada di sana, beruntungnya dermaga itu sudah tidak pernah digunakan sejak peristiwa kematian Wendy, sehingga kosong dan tidak terlalu repot untuk menyembunyikannya.
"Anda yakin soal ini?" Louis bertanya kala mobil mereka tiba di area pelabuhan. "Dia merencanakan sesuatu."
"Jelas dia merencanakan sesuatu."
"Yang Mulia—,"
"Aku akan tetap pergi, aku yang akan menangkapnya dengan kedua tanganku dan memasukkannya ke penjara."
Louis hanya mendesah, lantas dengan perlahan keluar dan membukakan pintu untuk Richard. Membiarkan pria itu berjalan menuju dermaga yang sudah dilingkari oleh pengawal Andrew sendirian, dengan Andrew sendiri di ujung bersama Justin yang diam tanpa kata.
"Richard," Andrew tersenyum kala melihat sang sepupu mulai melangkah di ujung jalan kayu dermaga. "Tidak tahu kau akan bersedia datang."
"Aku ingin membawamu ke penjara," Richard menyahut. "Tentu aku datang."
Andrew terkekeh. Memberi instruksi agar Justin maju dan langsung diikuti dengan patuh, bersama dengan pistol yang langsung diarahkan pemuda itu ke arah Richard tanpa meleset.
"Bagaimana?" Adrew terkekeh. "Tidak mengucap apa kabar? Akhirnya kalian saling berhadapan."
"Agak mengejutkan," Richard berucap tenang. "Bukan begitu, Justin."
Justin tersenyum kecil. "Tidak terlalu, sudah merencanakan seumur hidup untuk membunuhmu dan menghancurkan kerajaan. Kesempatan luar biasa yang akhirnya tiba."
"Kau memiliki dendam pada orang yang salah."
"Dan siapa kau mengajariku," Justin tersenyum sarkas. "Ibumu membawa ayahku dalam kematian dan Ayahmu tidak bisa melakukan apapun untuk Ayahku. Kerajaan buta, berpura-pura bahwa kematian keduanya bukan apa-apa tapi menyelamatkan yang lainnya, hanya agar kau tidak mengetahui apa-apa. Begitu memuakkan."
"Apa kematianku akan memuaskanmu?"
"Tidak," Justin terkekeh. "Menghancurkan kerajaan ini adalah kepuasanku."
Andrew hanya tersenyum. Mengeluarkan sebotol kecil cairan keemasan dari sakunya dan mengangkatnya di udara. "Kau sudah memberi tanda tangan?"
"Bajingan licik sepertimu, tidak bisa melakukan apapun selain mengancam."
Andrew menaikkan bahu. "Asal aku mendapatkan segala hal yang aku mau. Aku bisa membunuhmu di sini, mudah mengarang segalanya bukan."
Richard tidak menjawab, menarik keluar amplop coklat dengan stempel kerajaan dari balik mantelnya lantas melemparkannya ke arah Andrew. Dengan gerakan perlahan sepupu Raja itu meraihnya, membukanya sejenak dan membacanya. Menemukan penyerahan tahta yang tertulis jelas dengan stempel sah milik penguasa Chevailer itu.
"Bagus sekali."
"Sekarang serahkan Violet," Richard menggeram marah.
"Well," Andrew terkekeh. "Tidak. Violet akan tetap jadi milikku, karena aku harus memastikan bahwa kau tidak akan mencurangiku."
"Kau!"
Andrew hanya tersenyum licik sembari melangkah mundur ke ujung dermaga yang berisi speedboat hitam; yang jelas merupakan alat baginya untuk melarikan diri. "Sampai jumpa sepupu," pria itu memberi kode pada Justin. "Bunuh dia."
Justin mengangguk, berjalan lurus ke arah Richard yang bersiaga dengan lekas dan kemudian secara tiba-tiba memutar arah. Melepas tembakan ke arah Andrew yang sudah berada di ujung dan menghasilkan suara keras bersama kesiap kaget.
Tidak ada slow motion, tembakan itu memicu penjaga lain untuk melepas tembakan pula dan Justin hanya berlari lekas ke arah Richard. Berteriak keras entah untuk apa dan segera saja seluruh Pasukan Khusus muncul ke dermaga, memberi tembakan ke penjaga Andrew yang langsung jatuh ke tanah dengan lelehan merah.
"Justin," Richard terperangah kala pemuda itu berlutut di depannya. "Apa yang kau—,"
"Nanti, kita harus—,"
DOR!
Kalimat pemuda itu berhenti kala tembakan keras terakhir menggema begitu dahsyat, dalam sekejap mata di depan wajahnya sendiri. Justin terdiam tanpa kata, tersedak oleh lelehan merah di mulutnya sementara jantungnya dilanda nyeri kala timah panas yang ditembakkan oleh Andrew menembus jauh dari sekedar tulang punggungnya.
Justin diam, terjatuh dari posisinya dan dengan lekas Richard menangkapnya. Di latar belakang ada Kylie yang menjerit begitu keras dan tepat sebelum Andrew yang terluka berlari lebih jauh, Louis melepas tembakan ke kakinya dan berlari lekas untuk menangkapnya. Merebut Violet dari tangannya dan menahan pria itu di tanah.
"Justin!" Teriakan Kylie bersambut dengan langkahnya yang begitu keras menuju dermaga, ia berlutut panik di sisi Richard dan meraih tangan mantan pengawal Ratu itu. "Justin tidak, tidak!"
"Justin, apa yang terjadi ..." Richard bahkan tidak sanggup berkata. Hanya menahan pemuda itu sementara darahnya membasahi telapak Richard.
"Yang Mulia," pemuda itu terbata. "Maafkan aku, maafkan aku."
"Justin, tunggu—,"
Pemuda itu hanya diam, matanya yang kosong menatap Kylie sekilas. "Terimakasih," bisikan itu disertai senyum. "Aku sudah selesai melaksanakan tugasku."
"Ap—sial. Kau tidak boleh begini," Raja itu mengumpat, dengan marah mengangkat Justin dalam gendongan walau begitu kesusahan dan membawanya menuju mobil. Masuk ke kursi belakang bersama Howie yang bergerak cepat untuk mengendarai.
"Sadar! Justin sadar," Richard berucap marah. Menatap cemas pada mata yang tidak lagi fokus itu. "Kau harus menjelaskannya padaku Demi Tuhan!"
Namun tidak ada jawaban, Howie membawa mobil mereka ke basement tertutup Rumah Sakit. Sementara Richard berteriak panik, Howie masuk untuk menemui dokter kepercayaan dan dengan tergesa membawa pemuda itu masuk. Mengabaikan tetes darah yang menjatatuhi ubin dan bersegera masuk ke ICU yang lenggang. Mengabaikan kesiap kaget beberapa orang yang mengenali Raja dan menutup separuh area.
"Selamatkan dia," Richard berucap cepat.
Dokter itu mengangguk, dengan bantuan beberapa perawat berusaha melakukan tindakan penyelamatan, dengan alat-alat yang berkedip riuh dan ketegangan penuh. Melewati menit-menit panjang yang berlalu walau kemudian tidak berguna lagi, karena setelah keringat dan semuanya. Kedipan marah di monitor tidak lagi ada, berganti dengan garis lurus panjang yang mengerikan dan tundukan bersalah para dokter.
Bersambut dengan Richard yang juga tak bisa berkata dan tangisan Kylie yang meledak kala ia akhirnya tiba. Semuanya kacau, mendung dan kelam. Raja Chevailer itu tergugu, karena sejenak penyesalan dan tanda tanya besar. Justin menyelematkannya, memutar tembakan dan semuanya. Itu jelas berarti sesuatu dan ia tahu jawabannya tidak akan pernah ia dengar secara langsung.
Janjinya pada Redd untuk menyelamatkan Justin menjadi abu, tidak ada yang bisa ditepati lagi dan sesuatu yang kosong membayangi pikiran Raja itu—Justin menyelamatkanku, Justin menyelamatkanku. Kalimat yang menggema dengan perlawanan sempurna dari kenyataan.
"Maafkan saya Yang Mulia, tapi saya tidak bisa menyelamatkannya."
...