Tuan Lee memenuhi janjinya dengan mengundang Ren Hanenberg ke meja mereka saat makan siang. Sebagai salah satu investor terbesar SpaceLab, tentu saja Tuan Lee mendapatkan perlakuan sangat istimewa dan Ren Hanenberg dengan senang hati mampir dan berbincang-bincang.
"Kami pengagum Anda," kata Haoran sambil tersenyum lebar. "Perkenalkan, ini kekasihku, Emma. Dia sangat ingin suatu hari nanti bisa bekerja di SpaceLab. Waktu aku bilang bahwa aku akan mengunjungi kantor pusat SpaceLab, dia merasa sangat bersemangat dan ingin sekali ikut ke sini."
Emma mengulurkan tangannya dan menyalami Ren Hanenberg dengan ramah. "Selamat siang, Profesor. Kita sudah pernah bertemu sebelumnya. Waktu itu Anda datang ke acara konferensi Cybersecurity di Singapura."
Ren mengangguk. Ia masih mengingat Emma. "Hallo, apa kabar?"
"Kabar baik. Uhm... kami ingin tahu, apakah kami boleh ikut Tuan untuk melihat-lihat SpaceLab? Aku sangat ingin tahu bagaimana operasi SpaceLab yang luar biasa ini dijalankan..." tanya Emma lagi. Ia menatap Ren dengan senyum ramah.
Pria tampan di depannya mengangguk lagi. "Tentu saja. Kalian adalah tamu kehormatan SpaceLab, aku akan mengajak kalian berkeliling setelah makan siang."
"Apakah anak-anak ini tidak merepotkan?" tanya Tuan Lee.
"Tidak sama sekali. Aku senang melihat anak muda yang bersemangat untuk mengetahui tentang luar angkasa. Kita butuh lebih banyak darah muda di industri ini," jawab Ren Hanenberg. "Tuan juga mau ikut?"
Untunglah Tuan Lee menggeleng. Ia masih sangat sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan sehingga ia menolak tawaran Ren Hanenberg. Kalau tidak, Emma akan terpaksa mengontrol pikirannya agar tidak mau ikut.
Setelah berbincang-bincang sedikit, Ren Hanenberg lalu meninggalkan mereka untuk bertemu dengan para investor lain. Ia akan memerintahkan stafnya nanti datang dan membawa Haoran beserta Emma ke kantornya setelah makan siang, dan ia akan mengajak mereka berkeliling SpaceLab.
***
"Lewat sini, Tuan Muda, Nona," kata staf itu dengan sopan. Ia mengajak Haoran dan Emma berjalan melintasi lorong panjang yang tampak berdesain futuristik dan kemudian mengetuk pintu di sebelah kiri, sebelum ujung lorong.
"Silakan masuk." Terdengar suara Ren Hanenberg dari dalam mempersilakan mereka masuk.
Staf membukakan pintu untuk Haoran dan Emma lalu mempersilakan mereka masuk sebelum pergi meninggalkan mereka. Kedua remaja itu melihat Ren Hanenberg sedang duduk di ruangannya yang sangat luas dan menatap mereka dengan penuh perhatian.
Ruangan direktur Space Exploration ini sangat megah dan memiliki jendela besar dari lantai hingga langit-langit dengan gorden besar yang membingkai di kiri dan kanan. Di tengah ruangan ada meja besar dan mewah dengan kursi yang sangat nyaman, di belakangnya ada rak buku besar berisi berbagai buku dari berbagai bahasa, dan di seberangnya ada sebuah sofa dengan selimut yang dilipat rapi.
Sama seperti pakaian Ren Hanenberg yang serba gelap, ruangannya ini juga dirancang dengan nuansa gelap dan serius.
"Hallo. Profesor. Terima kasih Anda sudah menerima kami," kata Emma sambil mengulurkan tangannya menjabat tangan Ren. Pria itu menyambut tangan Emma dan mempersilakan mereka duduk dengan tangan kirinya.
"Tempat ini sangat mengagumkan," kata Emma. "Aku ke sini karena Profesor mengatakan bahwa satelit SpaceLab bisa membantuku untuk menghubungi rumah orang tuaku di bulan. Apakah Profesor bisa membantuku menggunakan satelit itu di sini? Sebentar saja..."
Haoran terdiam di tempatnya, mengamati interaksi antara Emma dan Ren Hanenberg. Selain ayahnya, ia belum pernah melihat Emma mengendalikan pikiran seorang manusia lainnya. Ia tidak yakin apa yang sedang terjadi sekarang.
Apakah Emma sedang mengendalikan pikiran Ren untuk memberinya akses ke satelit SpaceLab? Ia hanya bisa mengamati dengan penuh perhatian.
Ren menatap Emma dalam-dalam dan kemudian mengangguk.
"Kalian pandai sekali, menggunakan aksesku di sini, sehingga tidak akan ada yang mencurigai kalian," seulas senyum terukir di bibirnya. Ia memberi tanda kepada Haoran dan Emma agar mendekat. "Aku akan menunjukkan caranya."
Pria tampan itu lalu menyandarkan punggungnya ke kursi dan membuka komputer besar yang ada di depannya. Dengan lincah, jari-jarinya yang panjang segera mengetik sesuatu. Layar hologram di sampingnya segera menyala dan menampilkan model 3D sebuah satelit yang tampak megah sekali sedang berputar perlahan.
Emma dan Haoran segera mendekat dan berdiri di belakang Ren dan mengamati layar komputernya. Emma membaca isi layar Ren dengan tanpa suara dan mengangguk-angguk.
"Ini satelitnya? Keren sekali," komentar Haoran sambil mengamati model hologram satelit di samping Ren Hanenberg. Ia lalu kembali mengarahkan pandangannya pada layar komputer sang direktur.
"Benar. Ini adalah Satelit Pegasus 1." Ren memencet beberapa perintah lagi dan memasukkan kode akses serta passwordnya. Ia lalu menoleh ke samping dan berkata kepada Emma. "Kau bisa mencari koordinat yang kau inginkan."
"Terima kasih banyak, Profesor. Rasanya aku bisa mengambil alih dari sini," kata Emma gembira. Ia menyentuh bahu Ren Hanenber dan memandangnya dengan lembut. "Kami perlu waktu untuk mengecek sesuatu. Kupikir Profesor sebaiknya beristirahat saja."
Ren mengangguk dan menguap lebar sekali. Wajahnya terlihat sangat mengantuk.
"Kau benar."
Ia lalu keluar dari kursinya dan berjalan ke sofa di seberang mejanya. Seperti robot yang patuh, ia lalu melepaskan sepatunya dan berbaring di sofa. Matanya segera menutup dan ia pun tertidur dengan damai.
Setelah memastikan Ren tidur dengan nyenyak, Emma dan Haoran saling pandang. Emma langsung duduk di kursi Ren tadi, sementara Haoran menarik satu kursi ke sampingnya dan duduk di sebelah Emma.
"Seperti pangeran tidur saja," komentar Emma sambil tersenyum. Haoran langsung batuk-batuk mendengar kata-kata gadis itu. Emma yang sudah mulai membuka-buka kendali Satelit Pegasus 1 mengerling ke arah Haoran. "Kau kenapa?"
"Tidak apa-apa..." kata Haoran cepat sambil menepuk-nepuk dadanya. Ia lalu menepuk bahu Emma. "Ayo lanjutkan saja. Kita tidak punya banyak waktu."
Emma mengangguk dan melupakan pertanyaannya. Dengan lincah jari-jemarinya mengarahkan Pegasus 1 untuk menampilkan pemandangan dari koordinat yang ia inginkan. Kamera Satelit Pegasus 1 dengan cepat menampilkan koordinat yang dituju Emma.
Gadis itu memberi perintah agar Pegasus melakukan pembesaran gambar hingga maksimal agar ia dapat melihat ada apa di koordinat tersebut. Setelah ia memencet ENTER, layar hologram di sebelahnya yang tadi menampilkan model satelit, berubah menjadi model bulan.
Layar komputer kedua yang ada di sebelah kanan Emma kemudian menampilkan gambar yang diperbesar dari kamera satelit, tepat di koordinat yang Emma inginkan. Mereka melihat sebuah ngarai di bulan yang kosong dan kering, sama seperti permukaan bulan lainnya. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada tanda-tanda kapsul ruang angkasa maupun stasiun tempat tinggal, sama sekali.
Keduanya saling bertukar pandang.
"Tidak ada apa-apa di koordinat ini," keluh Emma.
"Coba kau kirim gelombang radio ke sana. Siapa tahu kapsulnya tersembunyi. Mereka tentu tidak ingin keberadaan mereka dilihat sembarangan," kata Haoran.
"Hm... akan aku coba," jawab Emma. Gadis itu membuat beberapa perintah dan mengirim pesan Morse berupa koordinat yang diberikan ayahnya kepadanya. Setelah mengulanginya beberapa kali, Emma lalu mengirimkan beberapa kode lagi. "Aku menyebutkan nama ayahku."
"Oh..." Haoran mengangguk.
Mereka menunggu beberapa saat, tetapi tidak ada perubahan sama sekali di layar. Emma menatap lekat-lekat pada layar komputer, seolah berusaha memaksa terjadi sesuatu, tetapi tidak ada yang terjadi.
"Jangan-jangan aku salah... Mungkin koordinatnya bukan untuk ini..." keluh Emma sedih.
Ia menatap layar komputer dengan wajah kuyu. Ia lalu berdiri dari kursinya dan hendak menenangkan diri, ketika tiba-tiba Haoran menahan bahunya.
"Emma.. itu tanda apa?" Pemuda itu menunjuk ke arah layar komputer. Emma menoleh dan mengamati arah yang ditunjuk tangan Haoran. Tanpa sadar ia mendesah kaget.
"Itu pesan masuk!"
Emma buru-buru kembali duduk di kursinya dan memencet tombol enter. Di layar komputer terlihat wajah seorang wanita yang berwajah penuh senyum.
"Aku kenal dia..!" seru Emma. Tangannya tanpa sadar menekap bibirnya. "Ini asisten AI ayahku. Panggilannya AWA."