Wiro Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah
dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain
daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhu-
yung-huyung dengan sebatang pedang pendek menan-
cap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat mem-
bopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah.
Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan me-
nodai pakaian Wiro sendiri!
Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong
lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat
tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini, bapak??" tanya
Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri.
Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan
demikian rupa.
"Wiro, tolonglah selamatkan anakku.... Mayang dilarikan
oleh.... Gempar Bu... mi...."
"Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham
bergemeletukan!
"Kej... kejar dia, Wiro...."
"Tapi kau sendiri, pak...."
Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada
untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara.
"Diriku tak... usah kau pikirkan nak. Tak ada harap-
an.... Yang perlu Mayang. Nasib dan... dan dirinya ku-
serahkan padamu. Kuharap kalian...."'
Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Ke-
palanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya
lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro mem-
baringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipan-
danginya tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. "Nasib
dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian...."
Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapan-
nya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak
disampaikan laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama
pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan ce-
pat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah
melarikan Mayang!
Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran.
Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana
mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak di-
ketahui ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan
yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya
hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali
ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat
terdengar pula suara burung hantu mengerikan semen-
tara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke
tulang-tulang sumsum.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas
kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika
menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa
celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu!
Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke
Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas me-
lakukan pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk mem-
buat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagai-
mana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke
sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?!
Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas!
Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia
tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini
juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan
apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis
kalau bukan kehormatannya?
Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang
hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun
yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia
membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar'
Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah
dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan
batang lehernya! Akan ku patah k ani" kata Wiro dengan
hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan "Brak!"
sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah
tumbang ke bumi!
Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari
laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpang-
gul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak
berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang
tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!
Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru
dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian
dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah
yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak su-
ngai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu
bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari
dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya
lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang
terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi mem-
bawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan
mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan
diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok,
kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di am-
bang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka
dada. Ketika melihat orang yang datang dengan mem-
bawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan
kening.
"Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!"
orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di
hadapannya.
Gempar Bumi menyeringai.
"Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!"
Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi
adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki ber-
nama Sati menelan ludahnya.
''Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati
dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti.
"Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu!
Lekas pergi!"
Mata Satj tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah
Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah
lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga Gempar B,umi,
Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati.
"Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan
batang lehermu!"
Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya
ditinggalkannya tempat itu.
Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai
papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan.
Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu
dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di
hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini.
Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah
Mayang.
"Manusia keparat! Lepaskan totokan ku...!"
"Ah, kau masih saja bersikap galak," kata Gempar Bumi.
"Bedebah! Lepaskan totokan ku!"
"Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok
jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan
diulurkannya tangan kanannya.
"Jangan sentuh!" teriak Mayang.
Gempar Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu.
Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak.
"Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku
akan kawini kati secara baik-baik, tapi...'
"Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!"
potong Mayang.
"Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan
menyesal akan kuperlakukan Secara kasar!"
"Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang-
siang! Saat ini juga...."
"Eh, apakah kau tidak takut mati?!"
"Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!"
Gempar Bumi tertawa mengekeh.
"Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau
inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan!
Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku.... Kau
akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa
nikmatnya... betapa...."
"Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku
lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan api
pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak.
"Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk mem-
bunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala
keindahan hidup itu! Ha... ha... ha... ha!"
"Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan
kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu
sampai lumat!"
"Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar
Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sang-
gup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!"
"Kalau tidak aku ada orang lain yang akan me-
lenyapkanmu dari muka bumi ini!"
"Aha... siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar
Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal
melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!" Gempar Bumi tertawa membabak. "Pe-
rempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepan
daiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau!
Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi
mayat dia kalau berani berhadapan denganku!"
Mayang mendengus.
"Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang.
sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup mem-
bunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama
Datuk Sipatoka itu!"
"Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang
sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di antaranya pemuda berambut gondrong yang
mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang.
Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak
pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu
utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru
angin Pulau Andalas belum pernah dia menghadapi
lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk
mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu.
"Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan
dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran
karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan
niscaya tidak kuampunkan jiwanya...."
"Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran
padamu untuk ambil langkah seribu!"
Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba ta-
ngannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat me-
nyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang!
Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan se-
ringai nafsu yang mengembang kempiskan cuping hi-
dungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas
dada sang dara!
Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung
yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk
Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil me-
laksanakan niatnya melarikan si gadis?
Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam
hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang di-
namakannya Perguruan Kejora, Tapi karena adanya
maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari peresmian
itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali
hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam
mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora.
Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang
sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawan-
nya. Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai
dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat
kediaman Inyak Ninik, guru Mayang.
Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di se-
buah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak
buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi
mendatangi kampung itu, merampok dan membakar
serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam
pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu
terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah
penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar
Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia
menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap
Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di
sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian
juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya!
Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke
Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal
mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi
anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia
sampai di bagian Barat kampung, berubahlah parasnya.
Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya
tak dapat melihat perobahan parasnya itu!
Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong
tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan
lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari!
Meski dia membawa anak-anak buah yang berkepandaian
tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu
Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia
melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan
kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang.
Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera
perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang
Wiro Sableng.
"Bunuh bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan
dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertem-
puran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika
dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli
anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal keempat
anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja
di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tam-
bah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh
menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama
saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur
melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang
lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemun-
culan Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa
artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang
pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi
dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat!
Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan
Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan
bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus
saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat
ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan!
Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gem-
par Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar
Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua ber-
anak!
Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi ber-
hasil menyelundupkan pedangnya dan menancap de-
ngan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Ma-
yang berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak
bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang. Gempar
Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam
dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut
hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini
terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang ke-
mudian segera melakukan pengejaran....
Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih
bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh
Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak
dan menangis.
Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pon-
doknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingat-
annya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakan-
nya parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning
langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati
Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang
tertegun-tegun. Hatinya mendorong-dorong agar kem-
bali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah
haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian
kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun
jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorong-dorong
di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan
kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah di-
tempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu!
Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari se-
buah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali.
Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya
memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika
dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan peman-
dangan yang terpampang di depan matanya, di bawah
penerangan pelita.
Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak.
Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh
Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa
selembar pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk ludahnya.
Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di
hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, meng-
gulung tubuh gadis itu.
"Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati.
"Keparat betul si Gempar Bumi ini!"
Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak
yang dibuatnya laki membalik dengan cepat Sepasang
matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan
kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding itu berlobang besar.
Di luar pondok seseorang terdengar berteriak: "Ke-
terlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!"
"Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip?
Kau akan terima hukuman berat dariku!" teriak Gempar
Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pa-
kaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum
pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara
sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi meman-
dang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun
dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!