Pendekar 212 Wiro Sableng segera maklum bahwa asap biru pekat yang membungkus diri
dan membuat matanya tak bisa melihat apapun adalah sangat berbahaya dan mengandung obat jahat
yang bisa melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini tutup jalan nafas lalu melompat ke
samping. Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia keluar dari kurungan asap. Di sekelilingnya
masih gelap gulita.
Wiro Sableng pusatkan tenaga dalamnya pada kedua kaki. Dengan membentak nyaring
pendekar ini membuat gerakan yang dinamakan: Gunung Meletus Batu Melesat ke Luar Kawah.
Gerakan ini membuat tubuhnya mencelat laksana anak panah lepas dari busurnya.
Di lain pihak Inani begitu melihat lawannya terbungkus asap biru segera pergunakan tangan
kiri untuk mengambil segulung benang yang sangat halus, sehalus jaring laba-laba. Sekali
menyentakkan maka gulungan benang yang terbuat dari sutera itu menerobos asap biru gelap
laksana seekor ular. Inani gembira sekali sewaktu benang suteranya dirasakannya melibat
sasarannya di dalam asap gelap itu. Setelah yakin betul-betul bahwa Wiro Sableng tidak berdaya
lagi dilibat benang sakti tersebut maka Inani semprotkan asap putih dari mulut kalung tengkorak.
Sekejapan kemudian maka sirnalah asap biru gelap dan suasana menjadi terang benderang kini.
Dan betapa terkejutnya gadis jelita berbaju biru ini. Yang dilibat oleh benang suteranya
bukanlah tubuh lawannya, melainkan pohon beringin besar yang terletak kita-kira sepuluh langkah
di hadapannya.
Inani memandang berkeliling dengan cepat. Di belakangnya Wiro Sableng tertawa gelak-
gelak.
"Sejak kapan ada manusia yang bermusuhan dengan pohon beringin?!" ejek Wiro.
Penuh geram Inani gulung dengan cepat benang suteranya. Dengan kalung tengkorak di
tangan kembali dia menyerang Wiro Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut kedatangan si
gadis dengan putaran jala biru.
"Sekali-sekali kau musti merasakan juga bagaimana kalau jala ini melibat dirimu sendiri!"
ujar Wiro.
Inani tidak percaya bahwa si pemuda akan sanggup gunakan jala itu karena untuk
memakainya mempunyai cara tersendiri yang hanya anak-anak buah Dewi Siluman yang
mengetahuinya.
Karenanya tanpa ada keraguan sedikit pun Inani sama sekali tidak batalkan serangannya.
Kalung tengkorak yang kekuatannya lebih keras dari bola baja itu menyambar ganas siap untuk
menghancurkan kepala lawannya. Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu dikejap yang sama jala
sutera biru di tangan lawan membuka dan menebar menyungkupi tangan kanan terus kepala dan
tubuhnya.
Wiro Sableng adalah seorang yang. bermata tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala biru itu
dia merasa sangat tertarik dan memperhatikan dengan seksama bagaimana si gadis memainkan
senjata tersebut. Sehingga pada saat jala itu berada di tangannya, dengan mudah dia bisa pula
mempergunakannya.
Inani coba berontak dan lepaskan diri dari sekapan jala. Tapi sudah terlambat. Seluruh jala
telah membungkus tubuhnya sampai ke lutut. Membuat dia tak bisa lepaskan diri lagi.
Wiro tertawa gelak-gelak dan berdiri tolak pinggang.
"Lepaskan jala ini!" teriak Inani.
"Enak betul," sahut Wiro. "Kalau kulepaskan pasti kau akan serang diriku lagi!" Dan
Pendekar 212 lalu melangkah ke hadapan Inani.
"Kau mau bikin apa?! Pergi!"
"Eh, aku cuma mau lihat parasmu apa tidak boleh!"
"Pergi!" teriak Inani.
Wiro Sableng menyengir. Dia melangkah lagi dan jarak mereka cuma terpisah dua jengkal
saja. Inani dapat merasakan hembusan nafas pemuda itu di parasnya yang jelita. Sepasang mata
mereka untuk kesekian kalinya beradu pandang.
"Pergi!"
"Saudari, kau betul-betul inginkan aku pergi? Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu!" Wiro
lantas totok tubuh Inani sehingga si gadis kini berdiri mematung. "Aku akan pergi dan kau akan
sendirian di sini untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada binatang liar buas yang menggerogoti
dirimu, kau akan mati kelaparan di sini!" Lalu Pendekar 212 balikkan badan berpura-pura hendak
pergi.
Apa yang dikatakan Wiro terasa benar dan mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya pemuda
itu berlalu dia cepat berseru. "Saudara, tunggu dulu!"
Wiro jual mahal dan terus melangkah.
"Saudara, kembalilah!" seru Inani lagi.
Wiro berpaling, "Ada apa?"
Dengan rasa jengah dan paras merah Inani berkata. "Kembalilah dulu!"
"Lucu! Tadi kau bentak aku agar pergi! Sekarang malah menyuruh kembali!"
"Lepaskan jala ini. Juga totokanku!"
"Tidak bisa." jawab Wiro seraya menggeleng.
Marahlah Inani.
"Kalau kawan-kawanku datang kau pasti akan mereka bekuk!"
Wiro tertawa sinis. "Kau bisa berteriak memanggil mereka," katanya.
Inani buka mulut betul-betul hendak berteriak. Tapi entah mengapa hal ini kemudian tak jadi
dilakukannya. Malah dia berkata. "Jangan kira dengan kehebatan yang kau miliki kau bisa
menghadapi Dewi Siluman! Tak satu ketinggian ilmu silat, tak satu kesaktian, pun yang sanggup
mengalahkan Dewi Siluman!"
"Hemm begitu...?" Wiro garuk-garuk rambutnya.
"Aku tidak mengerti, apakah Dewi Siluman itu benar-benar seorang manusia atau seorang
siluman? Apakah parasnya secantik Dewi ataukah mengerikan seperti Siluman?!"
"Pemuda kurang ajar! Jangan kau berani lancang mulut menghina Dewi kami!" bentak Inani.
"Eh, siapa yang menghina? Aku cuma tanya?!"
"Lekas lepaskan kau mau berjanji memetik kecapi memainkan sebuah lagu untukku!"
Inani memaki-maki dalam hati. Rahang-rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng dudukkan
dirinya di atas batu besar. Sambil memandang ke lembah di hadapannya pendekar ini berkata.
"Dunia sungguh aneh. Siapa yang akan menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik sanggup
melakukan kejahatan luar biasa? Membunuh manusia-manusia tiada berdosa, bahkan anak-anak dan
orang tua renta?"
Inani memandang tajam-tajam pada Pendekar 212.
"Aku tak pernah membunuh manusia! Jangan main tuduh sembarangan!"
Wiro palingkan kepala dan memandang dengan tersenyum pada si gadis. "Kau toh anak
buahnya Dewi Siluman, biang penebar kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini? Yang
kabarnya, mau menguasai dunia persilatan di delapan penjuru angin?!"
"Tapi tidak semua anak buah Dewi Siluman yang jadi pembunuh!"
"Lantas kau jadi apa?" tanya Wiro Sableng. "Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?!"
"Sudah! Tutup mulutmu dan lekas lepaskan jala serta totokanku ini!"
"Bersekutu dengan orang-orang jahat, menjadi anak buah orang jahat tiada beda dengan
berbuat kejahatan itu sendiri! Masa muda yang begini indah, yang cuma sekali saja dalam
kehidupan, dipakai untuk mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang. Kebahagiaan dunia tiada
dapat, dan kelak di akhirat akan menerima siksaan...."
"Aku tak perlu nasihatmu!"
"Dengar saudari. Aku akan bebaskan kau kalau kau berjanji mau menunjukkan dimana
sarangnya Dewimu itu."
"Kau paksa pun aku tidak akan beritahu," jawab Inani. "Sekalipun kau sampai ke sana, kau
Cuma akan mengantar nyawa!"
Wiro tersenyum. "Kau tak akan bisa hidup dalam cara begini terus-terusan saudari. Satu hari
kebenaran akan datang menumpas. Kebenaran kadangkala tidak memandang bulu. Siapa yang berserikat dengan kejahatan pasti akan ditumpas, termasuk kau! Apakah gunanya hidup begitu rupa?
Hidup percuma mati tiada harga? Padahal dunia ini begini indah dan semua keindahan itu untuk
kita semua...?"
Tergetar hati Inani mendengar ucapan Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Inilah
kali pertama dia bertemu dengan seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia mendengar ucapan
demikian rupa. Walau bagaimanapun Inani adalah seorang perempuan yang berperasaan halus dan
lekas tersentuh lubuk hatinya. Namun demikian kehidupan di tengah-tengah anak buah Dewi
Siluman telah sangat meresap dan mempengaruhi dirinya sehingga sesaat kemudian kembali gadis
ini membentak agar dirinya dilepaskan.
Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala.
"Sayang." katanya. Dibukanya jala yang melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera itu
dan diletakkannya di atas bahu si gadis. "Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi dengan aman.
Jangan kira kau kubebaskan karena takut pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu...."
"Aku tak minta dikasihani."
"Kuharap kau masih mau berpikir!" ujar Wiro.
Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Inani.
"Di lain hari kita akan bertemu lagi saudari. Saat itu mungkin dalam suasana yang lain.
Jangan menyesal jika nanti aku turun tangan jahat terhadapmu. Selagi masih ada kesempatan,
tinggalkanlah pulau ini. Kau bisa memulai hidup baru yang jauh lebih baik...."
Inani tak berkata apa-apa. Dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Saudari tunggu dulu!" seru Wiro. "Kecapimu ketinggalan!"
Si gadis baru ingat akan kecapi itu. Dia berbalik dan cepat-cepat menyambar benda itu.
Sewaktu dia hendak berlalu kembali tiga sosok tubuh berkelebat dari arah timur.
Terdengar satu seruan nyaring. "Inani! Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga kau
hendak meninggalkan musuh besar kita begitu saja?!"
Inani terkejut sekali. Juga Wiro Sableng.
Dan sedetik kemudian tiga sosok tubuh itu sudah berada di hadapan mereka!