Tinggal sendirian di kamar pada anjungan ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan
tentang keempat orang anak buahnya. Mungkin sekali mereka telah menjadi korban si pemuda sakti
yang sampai saat itu tiada diketahuinya siapa adanya. Keesokan harinya tiada kabar tentang Kemani
maka Dewi Siluman segera memanggil anak buahnya yang bernama Laruni. Laruni adalah anak
buah Dewi Siluman yang paling tinggi ilmunya. Tiga perempat bagian ilmu silat Dewi Siluman
sudah dikuasainya dengan sempurna.
Waktu Laruni datang menghadap, Dewi Siluman menunggunya bersama Sarinten, Inani dan
seorang gadis lainnya bernama Wakania.
Dewi Siluman tidak membuang-buang waktu, segera dia berkata. "Laruni, aku percayakan
satu tugas kepadamu yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah tahu bahwa empat
kawanmu di bawah pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk mencari seorang pemuda
berkepandaian tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di pulau kita dan merupakan bahaya besar
bagi kita serta setiap rencana kita. Keempat kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini. Aku
khawatir bahwa mereka menemui hal-hal yang tak diingini. Kuharap kau bisa menyelidiki apa yang
telah terjadi dengan mereka dan paling penting ialah mencari serta menangkap hidup-hidup pemuda
itu, membawanya kemari."
"Tugasmu siap kulaksanakan Dewi." kata Laruni menyahuti. "Apakah aku akan pergi
seorang diri?!"
"Seorang diri aku percaya kau akan mampu melaksanakan tugasmu," jawab Dewi Siluman.
"Namun kurasa akan lebih baik jika kawan-kawanmu yang tiga orang ini ikut bersamamu." Dewi
Siluman kemudian palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap gadis jelita berkulit kuning
langsat itu sejurus maka berkatalah dia.
"Inani, kau pergi bersama Laruni dan bawa kecapimu."
Bukan saja Inani, tapi Sarinten, Laruni dan Wakania menjadi heran mendengar ucapan sang
Dewi. Adakah seorang yang hendak ditugaskan mencari musuh lawan hebat disuruh membawa
kecapi? Sungguh tak dapat dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh demikian.
"Kalian mungkin heran," ujar Dewi Siluman sambil pandangi paras keempat anak buahnya.
"Tapi justru suara petikan kecapi di rimba belantara yang sunyi atau di lamping gunung atau di tepi
jurang yang curam, akan menarik perhatian setiap telinga manusia yang kebetulan mendengarnya!
Dengan kerahkan tenaga dalammu maka suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini akan
mengundang datangnya pemuda yang tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah menangkapnya!"
Diam-diam keempat orang gadis itu memuji kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur
persiapan untuk perjalanan maka berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di kaki sebuah bukit,
mereka mengatur rencana dan berpencaran. Laruni ke utara, Sarinten ke selatan, Wakania ke timur
dan Inani ke barat.
Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berdiri di muka gua batu,
memandang ke arah pedataran liar di bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di ufuk timur
membuat pemandangan lebih bagus dan indah. Anak sungai yang membujur di sebelah tenggara
kelihatan berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu. Batu-batu cadas hitam bergemerlap. Wiro
menarik nafas dalam, menghirup udara pagi yang segar. Diperhatikannya lengan kanannya. Dia
gembira sekali karena lengan yang tempo hari patah itu kini sudah sembuh. Berarti hari itu adalah
hari dimana dia kembali memulai menyelidiki di mana letaknya sarang Dewi Siluman. Sebenarnya
pendekar ini ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang, yaitu goa yang diterangkan secara misterius
dalam tulisan manusia aneh yang telah mengencingi kepalanya dulu itu. Namun karena waktu yang
disebutkan dalam tulisan itu ialah bulan purnama empat belas hari maka dia musti menunggu, kira-
kira empat lima hari di muka. Wiro tak suka menunggu, untuk menghabiskan waktunya dia
memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi Siluman.
Demikianlah, setelah menikmati pemandangan indah serta puas menghirup udara pagi yang
segar maka Pendekar 212 ini segera tinggalkan gua. Suara siulannya menggema dikeheningan pagi
membawakan lagu tak menentu, membuat takut binatang-binatang kecil membuat burung-burung
terkejut dan menghentikan kicau lalu terbang ketakutan.
Di antara suara siulannya yang tak menentu itu mendadak lapat-lapat Wiro Sableng
menangkap suara sesuatu di kejauhan. Pendekar ini hentikan langkah serta siulannya. Suara di
kejauhan itu adalah suara bunyi-bunyian. Tak dapat dipastikan suara bunyi-bunyian apa.
Dipertajamnya telinganya, tapi karena suara bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar
dikenalinya. Penuh rasa ingin tahu maka Wiro Sableng kemudian langkahkan kakinya ke arah
datangnya suara tersebut. Lewat sepeminum teh suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi agaknya
masih jauh. Maka dari melangkah biasa, Wiro Sableng mulai berlari dengan cepat. Lewat lagi
sepeminum teh, suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi sumbernya masih jauh. Rasa aneh
menjalari diri Pendekar 212. Jangan-jangan pendengarannya telah menipu diri sendiri. Atau
mungkin suara bunyi-bunyian itu adalah suara setan atau bangsa dedemit penghuni rimba belantara?!
Kalau tidak mengapa setelah demikian lamanya sumber suara tersebut masih belum berhasil
dicapainya?!
Ketika lewat lagi satu kali peminum teh maka barulah Wiro Sableng mengenali suara bunyi-
bunyian itu. Suara petikan kecapi. Dia tak tahu lagu apa yang dibawakan, tapi suaranya demikian
merdu dan menyayat hati. Mungkin itu lagu seorang gadis yang ditinggal kekasih, pikir sang
Pendekar 212! Mendekati sumber bebunyian itu Wiro bertindak hati-hati. Rasa aneh yang
menggerayangi tubuhnya menjadi satu peringatan baginya. Jarak antara dia pertama kali mendengar
suara itu tadi jauh sekali, berkilo-kilo meter. Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa terdengar
sampai demikian jauhnya. Kemudian siapa pulakah .yang memetik kecapi itu?
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Wiro menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya
segerombolan pohon-pohon yang tumbuh dengan rapat. Kemudian di sebelah depan dilihatnya sinar
terang dari matahari yang menyeruak di antara kerapatan pohon-pohon dan semak belukar.
Ternyata di bagian muka sana itu adalah ujung dari sebuah lembah subur yang ditumbuhi rumput
hijau. Pemandangan dari tempat ketinggian itu indah sekali karena di bawah lembah kelihatan
sebuah telaga. Namun Pendekar 212 sama sekali tidak tertarik dan perhatikan keindahan
pemandangan itu. Dia bergerak ke samping kiri dari mana suara kecapi terdengar santer sekali. Dia
masih belum melihat manusia dan kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-semak rapat di
dekat pohon beringin besar. Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara menuju ke balik pohon
beringin. Matanya memandang tajam menembus di antara celah-celah semak belukar.
Dan terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Betapa tidak. Apa yang disaksikannya hampir tak bisa dipercayanya. Di balik semak belukar
itu terhampar sebuah batu hitam besar laksana pelaminan, menghadap di lembah subur. Dan di atas
batu besar hitam itu duduklah seorang dara jelita sekali, berbaju biru. Rambutnya diriap lepas,
bergerai di bahu dan di punggungnya sampai ke pinggang. Sinar matahari membuat rambut yang
hitam itu berkilauan. Di pangkuan sang dara terletak sebuah kecapi yang kayunya bagus diukir-ukir.
Jari-jari si gadis menari-nari dengan lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan dia memainkannya
tanpa matanya memandang pada kecapi itu tapi memperhatikan keindahan lembah di bawahnya.
Betapa ahlinya dia memainkan kecapi itu dan betapa indahnya lagu yang dibawakannya. Untuk
beberapa lamanya Pendekar 212 dibikin terpesona, bukan saja oleh kepandaiannya dan keindahan
permainan kecapi si dara baju biru, tapi juga oleh kejelitaan parasnya. Beberapa lama kemudian
barulah Wiro Sableng menyadari bahwa cara si gadis memainkan kecapi itu bukanlah cara biasa
seperti yang dimainkan oleh orang. Buktinya petikan kecapinya itu telah terdengar oleh Wiro
Sableng di tempat yang sangat jauh. Pastilah si gadis baju biru memetiknya dengan disertai aliran
tenaga dalam yang hebat pada jari-jari tangannya. Dan pastilah bahwa gadis jelita ini bukan gadis
sembarangan.
Ketika si gadis baju biru menggeser badannya sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat
kalung tengkorak kecil yang tergantung di lehernya. Terkesiaplah pendekar ini. Baju biru, kalung
tengkorak kecil, itulah ciri-ciri dandanannya anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Karena
memaklumi bahwa si gadis meskipun masih belia tapi berilmu tinggi dan memiliki tenaga dalam
sempurna maka Wiro Sableng tak mau bertindak sembrono. Dia menunggu sampai beberapa lama,
tapi si gadis agaknya masih belum mau menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya pendekar kita
putuskan untuk keluar dari balik pohon beringin tanpa menunggu sampai si baju biru itu menyudahi
permainan kecapinya. Sambil mendehem maka Wiro Sableng munculkan diri.
Meskipun dia memainkan kecapi adalah sengaja untuk mengundang datangnya orang yang
tengah dicari, namun suara deheman tadi membuat Inani gadis yang memainkan kecapi itu jadi
terkejut juga. Belum dia berpaling, didengarnya suara laki-laki berkata.
"Petikan kecapimu sedap sekali saudari. Lagunya pun indah!"
Inani hentikan permainannya dan putar kepala dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri
seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih dan tubuhnya tegap
kekar. Meskipun sudah dewasa namun pandangan matanya seperti mata anak-anak, membayangkan
kepolosan dan kejujuran hati.
Meski terkesiap beradu pandangan dengan Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya,
maka membentaklah Inani.
"Siapa kau?"
Wiro Sableng sunggingkan senyum. "Ah kenapa kau hentikan permainan kecapimu, Saudari?
Rupanya aku mengganggumu saja. Harap maafkan. Aku...."
"Jangan banyak bicara! Lekas terangkan siapa kau!"
"Tadinya tengah menggembalakan kerbau di sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar
suara petikan kecapimu lalu datang ke sini...."
"Jadi kau gembala huh?"
"Betul!" sahut Wiro.
"Jangan dusta! Kau pasti pemuda yang tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap!"
Habis membentak begitu maka Inani segera gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian.
Sebuah benda terbentuk bola hendak di lemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda yang harus
dilepaskannya ke udara, untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya bahwa dia telah berhasil
menemukan orang yang mereka cari. Di udara bola itu akan pecah dan memancarkan warna merah
hingga mudah dilihat. Tapi sebelum tangannya sempat melemparkan bola itu, Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah tangkap pergelangan tangan kanan Inani. Keduanya saling tarik menarik dan saling
pandang menyorot. Betapa pun si gadis kerahkan tenaganya tetap saja dia tak sanggup lepaskan
pegangan Wiro.
"Lepaskan tanganku!" teriak Inani. Rasa aneh menjalari dirinya. Seumur hidup itulah
pertama kali seorang laki-laki menyentuh kulit tubuhnya.
"Aku akan lepaskan," kata Wiro sambil tersenyum
"Tapi benda ini harus kau berikan dulu padaku."
"Kurang ajar. Lepaskan tanganku!" sentak Inani.
Wiro gelengkan kepala. "Berikan dulu benda ini, saudari baru kulepaskan." katanya.
Dengan mengkal Inani lepaskan bola itu yang segera diambil dengan tangan kiri Wiro
Sableng. Kemudian baru dilepaskannya lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti benda berbentuk
bola itu tiba-tiba Inani berdiri dan lemparkan kecapinya ke arah si pemuda.
Cepat-cepat Wiro Sableng berkelit. Kecapi lewat menderu di atas kepalanya. Ketika benda
itu hampir menghantam pohon beringin dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat dan
menangkap kecapi itu. Lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata. "Saudari, gerakanmu
melemparkan benda ini hebat sekali. Tapi sungguh sayang kalau kecapi yang bagus ini hancur
berantakan!"
Perlahan-lahan Wiro Sableng letakkan kecapi di kaki pohon beringin. Baru saja itu
dilakukannya maka si gadis sudah menerjang menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda
menyingkir pastilah sebuah tendangan akan mendarat di perutnya.
"Eh, saudari. Apa-apaan ini! Tak ada hujan tak ada angin, tak ada pasal tak ada lantaran,
kenapa kau menyerang aku?!"
Sebagai jawaban Inani keluarkan jala sutera biru. Benda ini segera diputar menderu di atas
kepalanya. Didahului dengan lengkingan keras, Inani lancarkan pukulan tangan kiri dan kirimkan
satu tendangan. Angin serangan ini demikian hebatnya membuat pakaian dan rambut Pendekar 212
sampai berkibaran, sementara dia mengelakkan dua serangan ini, maka jala biru berkelebat dan
menebar ke arah kepalanya. Wiro cepat tundukkan kepala tapi jala sutera biru terus memapas
hendak melibat pinggangnya. Sekali lagi Wiro mengelak dan sekali lagi pula jala itu, menyusup
laksana kilat ke arah kedua kakinya.
"Hebat!" seru Wiro memuji seraya melompat dua tombak.
Penasaran sekali Inani kembali memburu dengan gempuran serangan yang lebih hebat tapi
walau bagaimanapun Pendekar 212 bukanlah semudah yang diduganya untuk dirubuhkan. Sedang
sampai saat itu Wiro sama sekali mengambil sikap mengelak, tak sekalipun balas menyerang.
"Kenapa mengelak terus, tak berani menyerang?!" bentak Inani penuh penasaran. Dia
berharap-harap salah seorang kawannya muncul di situ agar bisa membekuk si pemuda.
"Hentikan seranganmu, saudari. Kita toh tidak punya permusuhan. Mari bicara dulu baik-
baik."
"Kalau kau mau bicara, bicaralah nanti di hadapan Dewi Siluman!"
"Oh, jadi kau anak buahnya Dewi Siluman? Kau tahu saudari. Dewimu itu kawan baikku!"
Karena merasa dipermainkan dengan ucapan itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih
ganas. Dia keluarkan jurus-jurus yang mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa, dua puluh jurus
telah berlalu. Jika Wiro mengadakan perlawanan pastilah tidak semudah dan sebanyak itu jurus
yang bisa dilewati Inani.
"Saudari! Jika kau tak mau hentikan seranganmu terpaksa aku turunkan tangan kasar!"
memperingatkan Wiro.
"Kalau kau memang punya kepandaian silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan
pemuda banci yang cuma pandai berkelit dan mengelak saja!"
Wiro panas sekali dikatakan pemuda banci.
"Harap kau jangan menyesal, saudari!" katanya seraya pasang kuda-kuda.
Pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat yang
sama jala sutera menderu dari atas ke bawah dalam satu gerakan yang luar bisa cepatnya.
"Gadis cantik!" seru Wiro. "Lihat baik-baik. Ini jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit.
Pegang kuat-kuat jalamu, kalau tidak akan kurampas!" Habis berkata begitu Wiro hantamkan
dengan perlahan telapak tangan kirinya ke muka sedang tangan kanan membuat gerakan cepat ke
samping sesuai dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit menekuk.
"Pemuda sombong!" maki Inani. "Kau akan terima nasib sial di dalam jalaku!" Dan si gadis
lipat gandakan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba dia terkesiap karena pukulan tangan kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin
deras yang ke luar dari telapak tangan kiri lawan. Belum lagi habis rasa terkesiap ini sekejap
kemudian dirasakannya jala sutera birunya yang tadi telah menebar kini menciut lagi ujungnya.
Ketika kejapan berikutnya berlalu. Inani merasakan tangannya yang memegang jala laksana
dipelintir dan tahu-tahu jala sutera itu terlepas dari tangannya, kena dirampas oleh Wiro Sableng.
Pendekar 212 tertawa dan main-mainkan jala sutera biru yang berhasil dirampasnya.
"Apakah kau masih belum mau menghentikan pertempuran dan bicara dulu baik-baik?"
tanya Wiro pula.
Sebagai jawaban malah Inani loloskan kalung tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan
sebat menyerang ke arah sang pendekar. Di antara suara menderu kerasnya sambaran kalung
tengkorak maka terdengar pula suara mendesis. Dari mata dan hidung tengkorak kecil itu mengebut
asap biru yang tebal gelap dan menebarkan bau aneh menusuk hidung. Pendekar 212 terkejut bukan
main. Dia masih mempermainkan jala sutera sewaktu asap biru yang sangat pekat itu telah
membungkus dirinya.