Jika kau bertanya hari apa yang paling indah dalam hidupku, maka jawabannya adalah hari ini. Hari dimana umurku genap 20 tahun. Hari dimana aku merasa bahwa banyak orang yang peduli dan menyayangiku. Dan mengingatnya, selalu membuatku ingin tersenyum, dan terus tersenyum.
"Oliv, aku ingin bicara."
Aku tersentak. Pria di belakangku terdengar begitu serius ketika mengatakannya. Dan aku jelas tahu, kemana arah pembicaraannya. Alva membawaku ke sofa ruang keluarga, sebelum mata coklatnya menatapku secara detail.
"Tentang itu ... "
Jangan, Alva. Ku mohon. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti siapapun, setidaknya di hari spesial ini.
"Alva." Aku menyahut, "Bisakah kita tidak membicarakannya saat ini?"
Dan tanpa ku duga, pria tampan itu menggeleng, "jika bukan sekarang, kapan?"
Aku menarik nafas sejenak. Hanya saja, hatiku sudah dimiliki orang lain. Dan aku sama sekali tidak mau mencegah orang itu, karena aku juga menginginkannya. Mengatakan hal ini kepada Alva adalah hal sulit. Apalagi setelah semua perjuangan yang ia lakukan. Betapa menyesalnya ia. Betapa keras usahanya untuk membayar penyesalannya. Mengingat itu, rasanya aku tidak ingin menjawab apapun mengenai apa yang ia ucapkan kemarin malam di rooftop hotel.
Namun jika dipikir ulang, caraku untuk membuatnya tidak sakit hati, akan menambah sakit hatinya di kemudian hari. Aku bukan mencegah, justru menunda, dengan resiko sakit yang lebih besar.
"Kau benar. Aku tidak mungkin selalu berlari atas itu." Aku menarik nafas panjang dan tersenyum kecil. "Terima kasih, Alva. Terima kasih, sudah menjadi satu bagian indah dalam hidupku. Kau tahu? Aku benar-benar sudah melupakan segala hal buruk di masa lalu. Karena bagiku, menjalani masa depan dengan hal baik bersamamu, akan jauh lebih menyenangkan."
Ya, aku sungguh sungguh, Alva. Segala hal persetan yang kau lakukan padaku, yang melukaiku, semua seolah sirna tak berbekar dalam anganku. Bagiku, kau adalah Alva yang ku temui di taman universitas. Bagiku, kau adalah Alva dengan segala hal yang membuatku tersenyum, membuat hidupku jadi berwarna.
Meskipun hatiku bukan milikmu, aku akan tetap memilikimu, sebagai sahabatku, sebagai kakakku, sebagai seseorang yang melindungiku.
"Olivia"
Aku menggenggam tangan Alva.
"Kau tahu? Jika ada seorang gadis yang menyia-nyiakan pria sepertimu, maka gadis itu adalah orang bodoh. Gadis itu sama sekali tidak tahu arti sebuat perjuangan" Dan ya, akulah gadis bodoh itu. Alva menunduk, "Maaf"
"Jangan" aku memotong ucapannya, "Jangan pernah meminta maaf, karena bagiku, kau bersih, Alva." Kau sudah bersih, Alva. Kau tidak perlu meminta maaf atas sesuatu yang aku bahkan tidak ingin mengingatnya. Bukankah gadis bodoh ini yang seharusnya meminta maaf.
"Olivia ... "
Tidak. Jangan menatapku seperti itu. Jangan pernah mengharapkanku. Karna sebesar apapun kau berharap, hatiku sudah menemukan tempat ia berlabuh. Aku menggenggam tangannya yang dingin, "Sungguh, aku tidak mau menjadi orang bodoh" Oliv tidak mau menjadi orang bodoh itu. Tapi Oliv juga tidak akan menolaknya. Karena sekali lagi, aku menginginkannya. Aku menginginkan prua yang sudah memiliki hatiku lebih dari apapun di dunia ini. Karena itu, akulah yang seharusnya meminta maaf, Alva.
Kemudian ia mendekatkan wajahnya untuk menciumku. Aku terdiam, tudak membalas juga menolaknya. Ku tutup mataku perlahan, dan saat itu, aku benar-benar yakin akan perasaanku. Ciuman ini terasa biasa. Tidak ada getaran di dada, tidak ada perasaan nyaman dan candu, tidak ada hal menarik yang selalu ku rasakan ketika aku mencium bibir pria itu. Bersama Alva, semuanya terlampau biasa aja.
Suara langkah penuh emosi membuatku membuka mata, seiring dengan Alva yang menjauhkan tubuhnya dariku. Aku menoleh, mendapati sosok pria yang sudah menjadi pusat duniaku sedang berjalan penuh amarah. Keadaannya sangat berantakan. Aku masih menatap pria itu ketika pintu kmarnya dibanting dengan sangat keras. Dan, crap! Saat itu aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang menjadi alasan pria itu menjadi sangat marah.
Aku mengaktifkan ponselku dengan segera. Dan benar saja, beberapa pesan dan misscalled dari pria itu silih berdatangan. Membuatku menggigit bibir bawahku keras-keras. Ya Tuhan! Kenapa aku sakit melihat keadaan pria itu?
Ketika aku hendak beranjak, ketika Alva menahan tanganku. Pria itu menatapku semakin sayu, "Jawab aku, Olivia .."
Aku menatapnya dalam, "Akan ada seorang gadis yang mencintaimu dengan tulus. Gadis itu tidak peduli sebesar apapun dunia menilai betapa baiknya kau. Karena bagiku, kau adalah dirimu, yang ia cintai sepenuh hatinya, buruk ataupun baik."
"Dan katakan bahwa kau bisa menjadi gadis itu. Aku berjanji .."
"Alva" aku kembali memotongnya, "Aku memcintai kelembutanmu. Aku mencintai caramu mewarnai hari-hariku. Aku mencintaimu yang punya ribuan cara untuk membuatku merasa spesial, tapi aku tidak mencintai sisi gelapmu, Alva. Dan karena itu, aku tidak bisa berjalan di atas ketidaksempurnaan bersamamu."
Alva tampak mendudukkan kepalanya, "Aku bisa berubah. Aku bisa menghapus semua sisi gelapku untuk berjalan bersamamu."
"Apakah kau akan selamanya menjadi orang lain dihadapan kekasihmu?"
"Olivia ..."
"Jika aku bisa memilih, aku akan memilihmu. Tapi kenyataannya, aku tidak mencintaimu." Baohong. Akankah kau bisa memilih pria lain ketika hatimu sudah tertaut padanya? Aku semakin menatapnya, "Ku mohon, jangan pernah berharap padaku. Lupakan aku dan cari kebahagiaanmu."
Aku melepas genggaman tangannya, dan bergegas menuju kamar pria yang telah dengan telak mencuri hatiku. Hingga aku bahkan tidak bisa melihat siapapun selain dia. Seberapa besar aku menolak kenyataan tentang aku yang sudah jatuh di dasar hatinya, sebesar itu pula aku menyadari bahwa ku sudah jatuh cinta padanya.
Ya. Aku mencintai Jonathan Marteen, lebih dari seorang anak perempuan mencintai ayahnya. Aku mencintai Jonathan sebagai seorang gadis kepada prianya. Aku bahkan tidak ingin peduli apa yang akan orang katakan tentangku. Aku juga tidak peduli jika umurnya 21 tahun lebih tua dariku. Karena yang ku tahu, perasaan ini tidak berbohong, aku sangat mencintainya.