"Lux, kamu kenapa? Belakangan murung."
"Tidak, aku tidak apa-apa kok."
Aku memberi senyum kecil kepada teman-teman sekitarku dan memberitahu mereka untuk segera duduk sebelum guru memasuki kelas kami.
Sudah beberapa hari berlalu sejak aku diberitahu akan menikahi Jeno. Membuat perasaanku semakin runyam dan meragukan bahwa pilihan tersebut tidak memberi dampak positif bagi kehidupanku.
Tidak lama kemudian bel pelajaran pertama berbunyi.
2 orang berjalan berdampingan menuju kelasku dan salah satunya adalah kepala sekolah sedangkan yang lainnya tidak dapat aku kenali.
Pria tersebut memiliki postur tubuh semampai dan lumayan berotot. Kulitnya putih bersih dan sudah pasti terawat dengan baik.
Tatapannya lemah lembut, meskipun matanya tajam seperti kucing. Dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, itu semua sudah cukup untuk membuatku merasa terpana.
"Berdiri! Beri salam!"
Sontak perintah dari ketua kelas menyadarkan ku dari lamunan tadi. Membuat teman sebangku ku tertawa kecil sebelum membungkuk bersamaku.
"Selamat pagi, pak."
"Selamat pagi, semuanya. Silahkan duduk."
Sambil mengeluarkan laptop dan binder ku keluar dari tas, aku merasakan seolah ada seseorang yang menatapku.
Jika bukan karena Shua yang menarik ku pelan untuk melihat ke arah guru, aku pasti masih menatap ke bawah lantai.
"Jadi, seperti yang kalian lihat. Kita kedatangan guru baru. Silahkan, anda dapat memperkenalkan diri anda."
Kata kepala sekolah kepada pria tersebut dan nampaknya ini adalah pertama kali bagi dirinya untuk mengajar sekolah.
"Nama saya Lee Jeno. Kalian dapat memanggil saya Profesor Lee."
"Saya mengajar mata pelajaran sastra, seni fotografi dan wali kelas untuk kelas Avaritia."
Mendengar hal tersebut, beberapa murid yang tidak memiliki pelajaran tersebut di jadwalnya hanya dapat bergumam pelan.
Saat kepala sekolah meninggalkan kelas agar diatur oleh Profesor Lee, mulai saat itu juga aku mulai merasa gugup.
Karena mengetahui bahwa calon suamiku sekarang adalah guruku membuatku harus bekerja ekstra agar tidak menjatuhkan ekspektasinya terhadap diriku.
Ia pun mulai membaca nama-nama dibuku absen dan menyuruh kami untuk memperkenalkan diri secara singkat agar ia dapat mengenal kami lebih dekat.
"Lux Ferre Weissmann, silahkan perkenalkan dirimu."
Aku pun beranjak dari kursi ku, memegang ujung rok ku dengan pelan. Aku agak sedikit menurunkan pandanganku agar tidak bertatapan dengan dirinya.
"Nama saya Lux Ferre Weissmann, bisa dipanggil Lux dan baru-baru ini berumur 16 tahun."
"Hobi saya membaca novel dan mendengarkan musik. Novel favorit saya adalah 'Black Blouse' karya Magistra Beruv dan lagu favorit saya adalah 'Heartquake' karya Dwonery."
"Sekian dan terima kasih."
Ucapku pelan seraya membungkuk dan kembali ke tempat duduk. Teman-teman bertepuk tangan dengan pelan dan Profesor Lee terlihat memberi senyum kecil ke arahku.
"Baik itu adalah yang terakhir. Terima kasih, Lux."
"Ternyata kita memiliki selera musik yang sama, mungkin kamu bisa menyarankan beberapa lagu Dwonery kepada saya lain kali."
Ucapnya pelan yang membuat seluruh wajahku terasa membara dan memerah. Melihat hal tersebut, teman-temanku merayuku hingga Shua pun ikut tertawa melihat keadaanku yang merasa sangat malu.
"Baiklah, cukup mengganggu Lux. Mari mulai pembelajaran hari ini dengan beberapa peraturan di kelas saya yang perlu kalian ketahui."
Sambil memperhatikan Profesor Lee menulis di papan, aku tidak dapat melepaskan pandanganku dari dirinya.
Tiba-tiba, ia berbalik melihat ke arah kami para murid. Merasa yakin penyebabnya adalah tatapanku, aku mulai membuka binder dan mencatat semua yang ada di papan.
"Hei, sepertinya Profesor Lee benar-benar menyukaimu, deh. Dari tadi ia menatapmu terus setelah menulis di papan."
Bisik Shua yang membuat detak jantungku berdegup sangat kencang, berharap bahwa apa yang ia katakan itu benar.