Melihat Galuh telah berhasil mngalahkan semua mayat hidup itu, Ki Demang dan keluarganya pun menghampiri dirinya, "Hatur nuhun Nyi Dulur! Terimakasih sudah menyelamatkan kami semua" ucap Ki Demang.
"Ah bukan apa-apa Ki Demang, saya hanya melaksanakan kewajiban untuk menolong sesama" jawab Galuh. Ki Demang pun mempersilahkan Galuh masuk kedalam rumahnya.
Di dalam rumah, Ki Demang menyuguhkan aneka makanan dan minuman pada Galuh sambil menceritakan apa yang terjadi pada desa ini. "Nama saya Ki Sukma, saya demang di Desa Cisoka ini. Dahulu desa ini sangat makmur, aman, tentram, dan damai sampai kemunculan Ki Wikuyana, dia adalah seorang tuan tanah yang ingin menjadi Demang di desa ini.
Segala cara ia lakukan untuk menjadi demang termasuk membagi-bagikan hartanya pada rakyat desa, tapi rakyat desa malah jadi tidak bersimpati padanya, pada saat pemilihan Demang untuk menggantikan Demang terdahulu yang naik jabatan menjadi pejabat di Kutaraja, rakyat desa memilih saya, dan akhirnya Tumenggung Sukadana dari Kutaraja Mega Mendung mengangkat saya menjadi Demang, rupanya hal tersebut menjadi biang dendam bagi Ki Wikuyana, ia menantang saya untuk berduel sebab menuduh saya curang dalam pemilihan Demang, saya berhasil mengalahkannya dan dia pun pergi dari desa ini, tapi 10 tahun kemudian ia kembali ke desa Cisoka ini sebagai dukun teluh, ia membuat kekacauan di desa ini dengan ilmu teluhnya!"
"Dukun Teluh? Keempat mayat hidup tadi tampaknya dikendalikan oleh suatu kekuatan ghaib yang sangat hebat!" sahut Galuh.
"Benar, Ki Wikuyana sangat tinggi ilmu hitamnya, ia dikenal sebagai dukun yang bersekutu dengan Jin dan Setan!" jawab Ki Sukma.
Galuh lalu berpikir, ia teringat kepada cerita gurunya tentang orang-orang sesat yang bersekutu dengan Jin untuk mencapai tujuannya. "Apakah Ki Wikuyana ini adalah manusia yang bersekutu dengan Jin Ki Demang?"
Ki Demang Sukma mengangguk. "Benar, setiap manusia bisa bersekutu dengan Jin dan Setan bila telah dikuasai oleh nafsu duniawi, sehingga menjadikannya mereka mahluk yang jahat! Bahkan Ki Wikuyana telah menculik gadis-gadis perawan untuk diambil darahnya sebagai persembahan bagi para Jin yang memberinya ilmu hitam!"
Nyi Demang ikut membuka suara. "Pak, masa kita terus mengobrol tentang dukun teluh itu tanpa mengenal putri penolong kita ini, jangan keburu kita lupa berterima kasih padanya!"
Ki Demang mengangguk "Ah betul, kita sudah mengobrol cukup banyak, siapakah nama Nyi Dulur?"
Galuh mengangguk sambll tersenyum, "Nama Saya Galuh Parwati"
Nyi Demang mengangguk sambil tersenyum, "Hmm... Galuh Parwati, dari logat bicaramu kamu sepertinya bukan dari Pasundan ya? Logat Bicaramu seperti dari Jawa Pesisir Utara?"
"Benar Nyai Demang, saya berasal dari Tegal, tapi saya sudah lama bermukim di Bukit Tunggul" jelas Galuh.
"Bukit Tunggul? Saya pernah mendengar ada seorang pertapa sakti di sana bergelar Dewa Pengemis, apakah kamu murid si Dewa Pengemis itu?" Tanya Ki Demang.
"Benar saya murid Dewa Pengemis dari Bukit TUnggul." jawab Galuh.
Saat itu Sri putri bungsu Ki Demang keluar dari kamarnya dan membawakan pakaian untuk Galuh. Saat itu Galuh baru tersadar lalu memperhatikan semua yang berada di ruangan itu, semuanya tampak mendengus-denguskan hidungnya, ia baru sadar kalau ia masih memakai pakaian ala pengemis semejak meninggalkan Bukit Tunggul kemarin, ia pun merasa kalau bau badannya sangat menyengat tak sedap.
Sri memberikan pakaian yang ia bawa untuk Galuh, "Teteh, maafkan kalau saya lancang, tapi mungkin Teteh kurang nyaman dengan pakaian yang dipakai Teteh, ini pakailah pakaian saya, mudah-mudahan pas di tubuh Teteh."
Galuh memang merasakan pakaian ala pengemis yang pakai saat ini tidak sedap dipandang, robek-robek, penuh tambalan, berdebu, kotor, serta bau, maka dengan malu-malu ia pun menerima pakaian pemberian Sri, "Terimakasih Sri, oya saya mohon pamit sebentar untuk mandi ke sungai."
Nyai Demang mengangguk "Baiklah, tapi setelah mandi kembalilah kesini Galuh, menginaplah disini sebagai ucapan terima kasih kami."
Galuh pun mengangguk "Baik Nyi, maaf saya permisi dulu." Galuh lalu keluar menuju ke sungai, beberapa saat setelah Galuh keluar, putra sulung Ki Demang diam-diam mengikutinya dari jauh.
Di Sungai yang berada di pinggir Desa Cisoka, Galuh Parwati mandi membersihkan dirinya di tempat yang agak tertutup dan terlindungi, selama ia menjadi pengemis memang ia jarang sekali membersihkan diri. "Apakah Jaya meninggalkan aku karena aku kotor dan bauku yang tidak sedap ini?" tanyanya dalam hati sambil menciumi tubuhnya yang baru dibilas air, ia pun mandi agak lama di sana.
"Ah bau tubuhku tidak bisa hilang! Guru memang pernah berkata selama aku memiliki ilmu Hitut Semar dan Telapak Kawah Tunggul, bau tubuhku ini tidak akan bisa hilang! Haduh bagaimana Jaya mau suka kepadaku kalau aku bau begini?!" keluh Galuh mengingat pesan dari gurunya tersebut.
"Aku bisa menghilangkan bau badanku kalau aku membuang seluruh ilmu ajian yang guru berikan padaku, tapi sialnya untuk saat ini aku belum bisa membuang ilmu yang guru berikan padaku karena aku masih membutuhkannya!"
Setelah selesai mandi, ia mengenakan pakaian yang diberikan Sri kepadanya. "Hmm... Selama di Bukit Tunggul aku belum pernah mengenakan pakaian seperti ini, apakah aku cocok mengenakan ini?" tanyanya pada diri sendiri.
Dia lalu berkaca dalam kejernihan air sungai yang mengalir di sana, gadis itu tersenyum melihat penampilannya sendiri, ia mengenakan pakaian kemeja biru muda serta celana ¾ berwarna biru tua dengan ikat kepala berwarna biru tua juga, ia lalu mengikat rambutnya yang panjang dan bagus kebelakang, kini penampilannya beda jauh tidak lagi seperti saat mengenakan pakaian pengemis, ia nampak seperti seorang gadis desa dari keluarga yang terpandang.
Galuh lalu membaui badannya sendiri, "Hmm... Sudah tidak terlalu bau lagi walaupun aku tidak bisa menghilangkan bau badanku selama aku masih memiliki ilmu yang guru berikan padaku. Yah yang penting sudah tidak terlalu menyengat seperti tadi!" gumamnya.
Ia lalu melangkah ke tepi sungai, tapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang pria sedang duduk di batu kali seolah sedang menunggunya. "Kau... Bukankah kau Lesmana putra Sulung Ki Demang? Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Galuh dengan penuh curiga.
"Maaf sudari, harap jangan berprasangka dulu, saya duduk disini memang sengaja menunggumu, untuk menjagamu sebab siang hari begini banyak orang yang lalar-lewat ke sungai ini, khawatir ada yang menganggumu mandi" jawab Lesmana, memang saat itu hari sudah siang.
Dengan sungkan Galuh pun menganggukan kepalanya "Eh terimakasih Kang Lesmana." ucapnya.
Lesmana pun tersenyum "Mari kita pulang saudari."
Mereka pun jalan berdua beriringan, perasaan Galuh tak menentu ketika mereka berjalan bersama apalagi ketika beberapa orang penduduk desa Cisoka melihat mereka, sebelumnya ia belum pernah berjalan bersama seorang pemuda seperti ini, gadis hitam manis ini hanya bisa menundukan kepalanya saja menyembunyikan wajahnya yang memerah, dilain pihak Lesmana merasa senang sekali bisa berjalan berduaan dengan Galuh, sejujurnya ia telah tertarik pada Galuh sejak pertama kali melihatnya pagi tadi ketika gadis ini menolong keluarganya dari ancaman para mayat hidup itu.
Setiap langkah yang diambil, semakin Galuh Parwati merasa canggung, apalagi ketika ia mendapati Lesmana beberapa kali mencuri-curi pandang padanya, kini ia mulai merasa rishi karena pemuda disebelahnya kerap mencuri-curi pandang padanya, akhirnya ia berkata, "Kang Lesmana, maaf Kakang pulang duluan saja, ada yang hendak aku lakukan terlebih dahulu".
Lesmana jadi tidak enak pada Galuh, "Kau mau ke mana Galuh? Bukankah kau sudah berjanji akan menginap di rumah kami? Ayah dan Ibu pasti sedang menunggumu pulang!" Tanya Lesmana.
"Maaf Kang Lesmana, nanti aku pasti kembali ke rumahmu, aku pergi dulu sebentar!" ucap Galuh yang langsung melesat berlari sambil menutupi wajahnya yang memerah.
"Galuh kembalilah sebelum senja!" teriak Lesmana, ketika bayangan Galuh sudah tidak nampak lagi pemuda ini menghela nafasnya.
"Hffhhh... Gadis yang aneh... Tapi dia sungguh cantik sekali! Meskipun kulitnya cokelat dan lebih gelap dari gadis-gadis Pasundan kebanyakan tapi dia sangat menarik... Terutama bibirnya yang merah ranum dan tahi lalat di bawah mata kanannya" bisik Lesmana pada hatinya sendiri.
"Ah bodohnya aku membuat dia tidak nyaman dengan kehadiranku!" makinya pada diri sendiri.
***
Di perbatasan desa, Galuh menghentikan larinya, ia lalu duduk di bawah sebuah pohon besar, dia duduk termenung melihat para penduduk desa yang hilir mudik keluar masuk ke desa Cisoka, ada yang pulang berdagang dari desa lain, ada pula yang pulang dari sawah atau ladang mereka, beberapa ada gadis-gadis yang seumuran dengannya yang baru pulang bersama suaminya.
"Oh guru, banyak dari mereka yang seusia denganku tapi mereka sudah memiliki seorang suami dalam hidupnya, sedangkan aku... Aku masih merasa sangat asing dan aneh dengan perasaan yang sedang hinggap di hatiku ini, setiap kali aku teringat pada Jaya, hatiku terasa sakit tapi anehnya juga sangat merindukan kehadirannya, ingin sekali aku berjumpa dengannya lalu menatap dirinya sampai puas! Perasaan aneh pada Jaya ini semakin menguat ketika aku mendapati tatapan-tatapan aneh serta perhatian dari Kang Lesmana... Perasaan apakah ini yang membuatku menderita seperti ini?" desahnya dalam hati, wajah Jaya ketika sedang tersenyum menari-nari di pelupuk matanya.