Pada satu Malam purnama ketiga, suasana hening senyap, langit tiada berbintang dan bulan purnama pun nampak tertutup awan tipis. Tidak seperti biasanya, bulan purnama itu berwarna merah keemasan, tidak berwarna putih, sehingga bulan purnama bercahaya merah keemasan yang tertutup oleh sekumpulan awan putih tipis itu nampak sangat menakutkan bagi orang-orang yang melihatnya, tidak ada suara binatang-binatang malam pada malam itu, yang terdengar hanya suara koakan burung-burung gagak dan srigala-srigala di hutan.
Udara malam yang seharusnya dingin sejuk, kala itu berubah mendadak menjadi panas dan sangat lembab, anehnya udara lebih panas daripada siang siang hari. Sejak senja tadi orang-orang sudah tidak ada yang berani keluar, bahkan para pemuda yang biasanya suka meronda malam, tidak ada yang berani untuk meronda. Para penduduk negeri Mega Mendung tidak ada yang berani keluar ataupun hanya sekedar melongok dari jendela rumahnya. Fenomena alam yang serba aneh dan mengerikan Inilah yang menurut orang tua dimasa lalu dinamakan peristiwa Bulan Kabangan.
Begitu pula halnya dengan keadaan di Keraton Mega Mendung, sebuah negeri yang telah menerima masuknya Islam namun sistem ketatanegaraannya masih bercorak Hindu-Budha, walaupun kebanyakan penduduknya memeluk agama leluhur (yang juga sudah mulai ditinggalkan berganti memeluk Islam). Meskipun keadaan di sana nampak sangat sepi tidak seperti malam-malam biasanya, keadaan di sana nampak terang benderang dari lampu-lampu yang dipasang disetiap sudut dan jalan Keraton, para prajurit tetap berada di posnya masing-masing untuk menjaga keamanan Keraton.
"Malam yang aneh dan menakutkan, jarang-jarang terjadi peristiwa Bulan Kabangan beberapa tahun ini, bahkan selama dua puluh tahun hidupku, aku belum pernah melihatnya" ucap salah seorang prajurit dari dua penjaga gapura pintu gerbang keraton pada temannya.
"Kau benar, bulu kudukku juga berdiri melihat peristiwa ini, apalagi kudengar suara kaokan burung gagak dan lolongan anjing hutan... Bukan itu bukan anjing hutan, tapi lolongan srigala yang tiada hentinya... Menurut orang tua dulu, Bulan Kabangan adalah suatu pertanda tidak baik, akan peristiwa buruk atau suatu malapetaka!" sahut kawannya.
"Kalau kau berkata begitu, aku jadi khawatir dengan keadaan kita dan nasib seluruh negeri ini, esok lusa kita akan menggempur kerajaan Sancang diselatan sana, bagaimana kalau kita kalah dan Sancang balas menyerbu Negeri kita? Belum lagi kalau Padjadjaran menyerbu kita karena jelas-jelas Raja kita berontak pada kekuasaan Prabu Surawisesa! Atau yang lebih buruk lagi kalau gabungan pasukan Banten dan Cirebon yang menyerang!"
"Boleh jadi, tapi sebaiknya kita tidak terlalu mengkhawatirkan semua itu, Raja kita adalah Raja yang sangat sakti mandraguna, apalagi kita dibantu oleh tokoh-tokoh silat sakti dari daerah selatan."
"Tapi aku tetap merasa tidak tenang Kang!" balas kawannya yang masih nampak gelisah dan ketakutan karena peristiwa bulan kabangan ini.
"Kalau begitu kau harus yakin pada takdir Gusti Allah, kalau Gusti Allah menghendaki kita menang, kita pasti akan menang!" ujar kawannya membesarkan hati kawan jaganya itu.
"Justru itulah yang aku takuti Kang, sudah satu tahun ini, semenjak gusti Prabu senang bertapa, dia tidak mengizinkan adzan berkumandang di Kotaraja ini, itu artinya kita juga dilarang untuk beribadah shalat padahal itu adalah kewajiban kita selaku umat muslim! Bukankah Sang Prabu sudah menerima dan mengizinkan Islam menyebar di Mega Mendung ini, kenapa dia melarang kita beribadah?! Apalagi tokoh-tokoh silat yang membantu kita dari golongan hitam semua yang sesat! Aku khawatir peristiwa Bulan Kabangan ini adalah suatu pertanda yang akan melanda kita semua!"
"Ssst.... Hati-hati kalau bicara!" desis kawannya sambil menempelkan jari telunjuknya pada mulutnya, "Kita ini hanya orang kecil saja yang harus tunduk pada Raja kita, kita ini hanya prajurit yang harus mengikuti semua perintah raja kita! Sudah, waktu jaga kita sudah habis, sebaiknya kita beristirahat untuk perjalanan esok ke Sancang, jangan bicarakan hal ini lagi agar tidak menjadi sugesti buat kita!"
Kawannya hanya bisa mengangguk-ngangguk saja walaupun kegelisahan masih nampak jelas diwajahnya "Baiklah Kang, ayo kita beristirahat, itu para prajurit pengganti sudah datang". Merekapun lalu berlalu setelah dua orang prajurit pengganti datang menggantikan tugas mereka.
Asap dupa membumbung tinggi menghamparkan aroma dupa bercampur kemenyan. dihadapan pendupaan besar itu, duduk seorang pria berkumis melintang, berpakaian ringkas hitam, rambutnya yang panjang digelung keatas kepalanya. Mata pria ini terpejam, dia duduk dengan sikap semedi. Pria itu tak lain adalah Kertapati, sang Prabu dari kerajaan Mega Mendung yang saat ini sudah mulai berani secara terang-terangan memberontak pada kerajaan Padjadjaran setelah sebelumnya dia hanya berani menunjukan sikap pembangkangannya pada Prabu Surawisesa dengan hanya telat menyerahkan upeti bulu bekti dan mengurangi jumlah upetinya pada Kotaraja dengan berbagai alasan.
Sudah tiga hari tiga malam dia bersemedi di ruangan pusaka kerajaan. Dia bersemedi ditengah-tengah ruangan pusaka kerajaan dengan dikelilingi berbagai benda dan senjata pusaka milik kerajaan Mega Mendung, tidak ada seorangpun yang berani mengganggu semedi sang Prabu. Dalam khusuknya semedi Sang Prabu, tiba-tiba angin deras berseoran di ruangan pusaka kerajaan itu dengan suara yang menggidikan, lalu terdengar suara ringkikan-ringkikan dan tawa yang menyeramkan tak tahu darimana asalnya, semua benda-benda pusaka di ruangan itu bergoyang-goyang!
Di antara keanehan-keanehan tersebut, tiba-tiba sebilah keris yang berada dihadapan Sang Prabu melayang keudara, lalu berputar-putar sebanyak tujuh kali diatas kepala Sang Prabu. Perlahan Sang Prabu membuka kedua matanya, diambilnya serangkum bunga tujuh rupa dari sebelahnya lalu dimasukan kedalam bara pendupaan, sehingga kini aroma pendupaan itu bercampur juga dengan aroma bunga tujuh rupa. Saat itu juga keris yang tadi melayang-layang dan berputar-putar diatas kepalanya turun keatas pangkuannya.
Sang Prabu mengambil keris itu dan disentuhkan ke keningnya, lalu dia membuka keris itu dari sarung atau warangkanya, keris itu berhulu gading, terbuat dari baja berumur seribu tahun dari dasar kawah gunung Krakatau, bereluk sembilan, ditengahnya tergambar ukiran naga dan ujung runcing keris itu tepat merupakan ujung lidah naga yang menjulurkan lidahnya di ukiran keris tersebut. Keris itu mengeluarkan hawa yang sangat panas serta sinar terang berwarna biru menggidikan! Seluruh ruangan yang tadinya redup yang hanya diterangi oleh empat buah lampu kecil disetiap sudut ruangan kini menjadi terang berwarna biru akibat cahaya yang keluar dari keris yang menandakan bahwa keris itu bukan suatu senjata mustika biasa!
Sang prabu lalu mencium bagian tengah keris itu, lalu dia berkata "wahai keris Kyai Segara Geni, mustika yang telah turun temurun melindungi trah penguasa Kerajaan Mega Mendung, tolonglah berikan kekuatanmu padaku untuk mengalahkan semua musuh-musuhku! Lindungilah kami para penduduk Mega Mendung!", sekejap keluar api berwarna biru dari dalam tubuh keris itu bagaikan membakar tubuh keris itu, sesaat kemudian api berwarna biru itu pun padam. Setelah mengucapkan itu, dia menyimpan kembali keris pusaka tersebut pada sarungnya dan disentuhkan lagi pada keningnya sambil membungkuk, seolah dia bersujud pada keris pusaka tersebut.
Baru saja dia selesai, tiba-tiba terdengar suara serak dan parau yang besar dari sebuah sudut ruangan yang gelap "Bagus Prabu! Sekarang Eyang dialam Arwah sudah merestui dirimu untuk menjadi penerusnya, dia berjanji akan melindungi seluruh daerah kekuasaan Mega Mendung!"
Sang Prabu membalikan tubuhnya dan memandang kearah suara itu. Sesosok tubuh tinggi besar berjubah hitam-hitam serta mengenakan topeng berwajah setan yang amat menyeramkan tiba-tiba muncul di sebuah sudut ruangan tersebut yang sangat gelap.
Sang Prabu usap-usap kumisnya yang melintang dan dagunya, dia lalu membuka mulutnya "Tentu saja itu yang aku harapkan Eyang Topeng Setan," ucapnya pada orang bertopeng mengerikan itu.
"Tapi kau harus ingat Prabu, kau baru membunuh salah seorang selirmu yang sedang hamil saja, kau juga harus membunuh putra sulungmu dari permaisuri tuamu yang akan segera lahir dalam malam ini sebagai tumbal! Baru Eyang di alam arwah akan merestui dan membantumu untuk menghancurkan Cirebon dan Banten, sehingga kau dapat menguasai seluruh tanah Pasundan ini!"
Sang Prabu mangut-mangut, dipelupuk matanya masih tergambar jelas bagaimana dia membunuh selirnya yang sedang hamil empat bulan dengan pedang pusakanya sendiri yang dia lakukan dengan terpaksa, ditengah rasa bimbang karena hausnya ia akan kekuasaan! Kini si Topeng Setan yang menjadi perantara antara dirinya dengan Eyang Di Alam Arwah yang berjanji untuk membantunya, meminta tumbal yang kedua, yaitu membunuh anak sulungnya yang akan segera lahir, begitu bayi itu dilahirkan, dia harus langsung membunuhnya! "Ya tentu saja aku ingat Topeng Setan," jawabnya.
"Bagus! Sekarang susunlah rencanamu untuk menyerang Negeri Sancang, Eyang di Alam Arwah akan membantumu sehingga kau akan menang dengan mudah! Tujuh hari dimuka setelah kau menghancurkan Sancang, kau harus segera membunuh bayi putra sulungmu itu!" tukas si Topeng Setan yang lalu menghilang bagaikan asap ditiup angin. Sang Prabu bangun dari duduknya lalu melangkah keluar dari ruangan pusaka itu.