Pagi ini aku datang lagi ke makam. Aku tak terlalu ingat bagaimana menemukan makam yang aku cari. Semua tertulis dalam bahasa mandarin. Huruf kanji yang terlihat bagaikan cacing disko bagi mataku. Jika tak ada sang penjaga makam, bisa dipastikan aku sudah nyasar kemakam orang lain.
"Kok, sendirian aja?"
Akupun menoleh. Aku meletakkan mawar putih di tempat yang sudah disediakan. Aku bangkit dan mendekati anak penjaga makam yang diminta mengantarku oleh ibunya.
"Iya, kebetulan aja lagi nggak ada yang bisa anter"
Anak itu terlihat bisa menerima jawaban dariku.
"Nama saya, Aqila. Kakak siapa?"
Aku segera mengembalikan pandanganku padanya. Seorang anak berusia sekitar 17 sampai 18 tahun.
"Eda…" jawabku singkat.
Aku ingat, biasanya para penjaga makam dan keluarganya akan bisa mengingat dengan mudah semua tamu yang mengunjungi makam. Baik nama mereka maupun makam milik siapa yang mereka kunjungi. Bagi orang biasa akan terdengar sangat aneh. Tapi bagi para penjaga makam, hal tersebut adalah hal lumrah. Seperti mereka adalah RT dari sebuah perumahan beitu kira-kira.
"Kakak cari makam lain? Dari tadi kakak nggak focus ke makam ini~?"
Aku berfikir sejenak sebelum menjawab. Pertama aku sudah memberikan nama yang tak akan dikenali oleh orang lain. Kedua aku harus…
"Emangnya, kamu hafal semua makam di sini?"
Aqila meyakinkanku bahwa mungkin ia tak hafal, tapi ia bisa baca tulisan pada tiap batu nisan. Bahkan sebenarnya, ia bisa tau tanpa harus membacanya.
"Kamu kenalan dulu ya sama mereka?" tanyaku menggoda
"Ya, nggak lah Kak Eda. Tapi kelihatan kok. Nggak tau aja sih, kami para penjaga makam biasanya dianugrahi hal-hal kayak gitu."
Aku tersenyum dan mendekati Aqila yang duduk dikursi di mana Defiance duduk saat mengunjungi cinta mati dalam hidupnya. Aku jongkok dan mengeluarkan selembar kertas.
"Makam ini luas banget ya, emang normalnya ukuran makam seberapa sih?"
Aqila mengernyitkan keningnya. "Ya tergantung keluarga sih, tapi biasanya emang kalau segini bisa untuk dua tiga orang, kenapa ?"
"Oh, nggak apa-apa, kok…"
Aku duduk bersila kali ini. Jongkok cukup membuatku lelah rupanya.
"Terus kenapa ditulis pake huruf kanji ya rata-rata, emang mereka native gitu?"
Aqila tertawa lepas. Pertanyaanku memang terlihat bodoh.
"Ya namanya juga makam Cina Kak, Kalau makam Jawa ya tulisannya Bahasa Indonesia"
Bagus, Aqila lebih terlihat santai saat ini. Aku masih terus mencoba membawanya ke tujuanku.
"Eh, emang, pas Artha dimakamkan, ada pemakaman lain nggak sih?"
Aqila terlihat berfikir. Ia terlihat tak yakin untuk menjawab
"Pas itu saya masih umur 8 tahun Kak. Masih SD, jadi ya nggak inget juga sih…."
Aku mencoba membuatnya berfikir terlalu jauh rupanya. Jika pertanyaan ini ku lemparkan pada ibunya, aku yakin pasti akan lebih cepat dijawab. Hanya sedikit beresiko. Pasti ibunya kan mengadu kepada Fifi.
"Oh, Masih SD ya?, eh ngomomg-ngomong kamu sekarang kelas berapa sih?"
"Kelas 12 Kak, Tapi ini lagi liburan, tunggu pengumuman ambil Ijazah aja sih , sama tunggu kelas kuliah dimulai, makanya aku bisa temeni Kakak…"
Aku mengerti sekarang, kurasa aku harus mencarinya sendiri. Aqila memang hafal semua penghuni makam, tapi, jika aku teruskan, percuma. Tak akan ada hasilnya. Aku memutuskan untuk bangkit berdiri.
"Tapi setahuku, kalau hari kematian sama ada 3 sampai 4 orang deh Kak?"
Statement Aqila berhasilmenghentikannku meninggalkannya. "Kalau hari pemakamannya, ya ada selisih satu dua hari lah, kan tergantung kepercayaan mereka"
"Cewek semuanya?"
Aqila merengut "Kok Cewek?, Setahuku Cowok Deh!"
Ha cowok semuanya, wah susah ini. Lama ini. Aku harus mulai dari mana.
"Emang kenapa sih Kak?" tanyanya penasaran
"Enggak gini lo, Kakak ini punya teman juga. Kebetulan meninggalnya harinya sma kayak MBak yang satu ini. Denger-denger sih dimakamamin di kompleks sini juga, Ya, kakak pingin liat juga…."
Aqila memandangiku tanpa reaksi. Apa kebohonganku terlalu non sanse? Atau dia hanya merasa aku mengarang cerita.
"Emang umur kakak sekarang berapa sih?"
"Umur, aku? 22. Kenapa?"
Qila bangkit dari tempat duduknya. " Yang di sana umurnya 89 saat meninggal, pasti bukan dia berarti" jawabnya.
Ia melihat ke sisi lain diatas bukit yang lebih tinggi. "Kalau yang di atas, usianya sekitar 9 tahun. Namanya, Gandhi Hang"
"Kayaknya bukan dia deh, soalnya dia lebih tua dari aku sih…."
Qila berfikir.
"Bukan ya?" gadis ini mulai meninggalkan makam Artha dan menuruni bukit. Aku mengikutinya dari belakang. Ia berjalan cukup jauh, tanpa rasa takut.
"Nah, munkin yang ini!. Pas meninggal umurnya sama dengan teman kakak tadi…"
Aku memandangi makam besar didepanku.
"Tapi ia dimakamkan sehari lebih cepat!"
Aku mengitari makam ini. "Namanya siapa?".
"Eh, siapa ya?, nggak tau…"
Langkahku terhenti saat Qila mengatakan hal itu. "Bukannya kamu bias baca semua tulisan kayak begini?~ Atau kamu belum kenalan ya sama yang ini?".
"Ya, Tapi yang ini tulisannya beda"
Aku tak mengerti apa bedanya. Mungkin lebih kuno, atau lebih modern.
"Bukan, ini ditulis dalam kanji Jepang" tadasnya. "Aku cuma bias bahasa Mandarin"
Walapun begitu bagiku ini terlihat sama. Tentu saja goresan-demi goresan mirip hampir tak ada bedanya bagiku. Berbeda dengan makam Artha yang terlihat besar dan mewah, makam ini terlihat biasa saja. Walaupun terlihat terwat, tetap saja ini sangat minimalis. Minim budget lah istilah para jet set.
"Apa, mau aku tanyakan?" Qila membuyarkan lamunanku.
"Ha?, Oh nggak usah …."jika ia menanyakannya, bisa celaka. Aku akan mencari cara lain untuk mencari tahu siapa yang terbaring di dalamnya.
Benar juga ya, makam Artha, terlihat bak monumen cinta. Aku bisa melihatnya jelas dari sini. Sangat artistik. Dan loh kok, kalau dipikir-pikir.
"Benar! Itulah, yang aku mau bilang ke Kakak, makam ini tepat segaris lurus dengan makam Nona Vine Artha teman Kakak tadi. Lihat! Bahkan mereka dibuat berhadapan. Mama pernah cerita sih, kalau dulu sebelum Artha dimakamkan…."