Angga Abimana
Tok tok tok...
Mataku masih terpejam ketika ketukan di pintu semakin lama semakin kencang. Mungkin orang di baliknya sudah tak sabar. Suasana di luar masih terlihat gelap. Matahari masih enggan menyapa orang-orang yang masih tertidur lelap.
Malas, aku berjalan tanpa sempat mengenakan pakaian. Hanya ada sedikit bagian tubuh yang tertutup celana pendek yang biasa ku gunakan saat tidur.
Ku buka pintu tanpa langsung menyadari siapa di baliknya. Mataku yang masih sulit menahan kantuk terpaksa terbuka.
"Mas, kok baru bangun?"
Belum sempat ku jawab, Mira langsung masuk tanpa ku persilahkan. Ia membawa beberapa wadah yang entah apa isinya. Wadah itu langsung ia taruh di atas meja makan.
"Syafina mana?"
Lagi, ia bertanya seolah tak peduli dengan jawaban yang akan ia dapat. Ia berjalan menuju kamar Syafina dan mendapati Syafina tengah duduk di balik meja belajarnya. Di atas kertas, terdapat beberapa coretan yang mungkin belum menjadi sebuah karya. Melihat siapa yang berdiri di ambang pintu kamarnya, Syafina tersenyum.
"Tuh, Syafina aja udah bangun dari tadi, masa kamu baru bangun? Kamu gak lupa kan sama jadwal barunya?"
Aku tersenyum kikuk, belum terbiasa dengan apa yang harus ku lakukan sebelum menikahinya.
"Iya, maaf. Aku mandi dulu ya."
Sebisa mungkin aku mandi dengan cepat. Dinginnya air di pagi ini tak menyurutkan niat. Awal yang baru harus dilakukan dengan tekad kuat.
Keluar dari kamar mandi, Mira dan Syafina yang berada dalam gendongan telah menunggu. Ia tersenyum, ku balas dengan canggung. Hubungan yang telah di restui benar-benar terasa berbeda.
Aku memakai kaus dengan tergesa tanpa memilih lebih dulu, yang penting nyaman di gunakan.
Setelah itu, aku bergegas menuju rumah Mira seperti apa yang ia katakan. Ku keluarkan mobil dari garasi rumahnya kemudian ku hidupkan.
"Mas, sarapan dulu."
Dari balik pintu rumahku, Mira memanggil. Sengaja ku tinggalkan mobil dalam posisi menyala, sebelum mesin siap di pakai.
Di atas meja makan sederhana, Mira telah menyiapkan sarapan yang juga sederhana namun menggugah selera.
"Selesai sarapan, kita langsung berangkat ya."
Kami menikmati sarapan bersama seperti keluarga, walaupun sebelumnya kami pernah melakukan hal yang sama, namun kali ini rasanya benar-benar berbeda.
"Mas, maaf soal kemarin ya?"
Untuk sesaat, Mira membuka obrolan serius tentang apa yang terjadi ketika kami baru saja pulang dari rumah orang tua Mira.
"Gak apa-apa, aku ngerti ko."
Aku memaklumi apa yang Andrew lakukan, ia hanya meminta kepastian perasaan yang sebenarnya sudah pasti bertepuk sebelah tangan.
Mira berusaha membiasakan diri menjadi seorang ibu. Pekerjaan yang rutin dilakukan pun ia lakukan, bahkan termasuk mencuci pakaian. Tapi aku menolak ketika ia bermaksud mencucikan pakaian milikku, aku masih bisa melakukannya sendiri, lagi pula itu akan membuatnya kelelahan.
"Oh ya, aku boleh bilang sesuatu?"
Dalam perjalanan, aku memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang mengganggu pikiran.
"Apa?"
Mira menatapku, terlihat wajah lelahnya setelah pagi ini memulai sesuatu yang baru, aku yakin ia juga belum terbiasa.
"Yang kamu lakuin itu bukan belajar menjadi seorang istri, tapi pembantu."
Mira cemberut, ia belum mengerti dengan apa yang ku maksud, bahkan ia pun sepertinya belum mengerti tentang arti dari seorang istri.
"Maksudnya?" Tatap Mira sinis namun tetap terlihat manja. Ku balas dengan tersenyum melihat sisi lain dari orang yang selama ini terlihat sangan dewasa dan mandiri.
"Tugas seorang istri itu cuma satu, yaitu membantu suami."
Mira menanggapi serius, namun ia belum mengerti maksud ucapanku.
"Maksudnya?"
"Jadi gini, semua pekerjaan rumah itu sebenernya kerjaan suami, cuma karena suami nyari nafkah seharian di luar, istri ngebantu ngerjain kerjaan itu."
Mira kembali tersenyum setelah mengerti apa yang ku katakan.
"Jadi, kamu gak harus ngelakuin apa-apa lagi, yang harus kamu lakuin cuma satu."
"Apa?"
"Belajar menyayangi Syafina sebagai seorang ibu."
Mira mengusap lembut pipiku, lalu mengecup kepala Syafina yang duduk di pangkuannya.
"Aku udah lebih dari siap kok."
Mira begitu percaya diri. Aku berharap ia benar-benar siap dengan tumbuh kembang Syafina yang bisa saja mempunyai sifat kurang baik.
Sampai di tempat kerjanya, aku mengantar Mira masuk. Beberapa dari mereka tersenyum menyapa Mira ketika berpapasan. Aku merasa beberapa orang dari mereka seperti memperhatikan.
"Rin."
Mira menyapa seseorang. Dari cara mereka bertegur sapa, tampak mereka seperti teman baik.
"Ra, ini?"
Leorin bertanya dengan memberi sebuah kode yang hanya di mengerti oleh mereka berdua.
"Iya."
Mira pun menjawab dengan kode yang sama.
"Jadi sekarang udah...?"
Dari ekspresinya, Leorin seperti kaget namun senang dengan kabar yang ia terima. Terlebih setelah meengetahui bahwa Mira akan segera melepas masa lajangnya.
"Iya, sebulan lagi."
"Hah? Serius?"
Refleks, Leorin memeluk Mira, ia tak kuasa menahan rasa bahagia.
"Oh ya, lupa, kenalin ini calonnya."
"Mas, ini Leorin, temen baikku di sini."
Leorin mengulurkan tangan, aku menyambut seraya menyebut nama.
"Angga Abimana."
Senyum Leorin menghilang setelah ia mendengar namaku.
"Ini?"
Mira bisa menebak kata singkat berupa pertanyaan yang di ucap teman baiknya itu.
"Iya, dia orangnya."
Ekspresi tak percayanya kembali muncul.
"Kok, kamu gak bilang-bilang, Ra?"
Mira hanya tersenyum lalu menjelaskan.
"Karena aku gak mau nanti dia ke cantol sama kamu."
Kami bertiga tertawa kecil, padahal aku sama sekali belum mengerti dengan apa yang mereka bicarakan sebelumnya.
"Mas, Rin ini suka sama beberapa buku kamu, dia tahu kamu tapi belum lihat langsung orangnya. Beda sama aku, aku tahu orangnya tapi sebelumnya gak tahu kalau kamu penulis."
Sekarang aku baru mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.
"Serius, Ra? Kamu baru tahu kalau orang yang kamu suka ternyata penulis?"
"Hhmm, bisa di bilang gitu."
"Kirain kamu suka karena dia orang terkenal."
"Ya enggak lah, malah pas tahu dia penulis, aku jadi agak khawatir."
"Khawatir? Kenapa?"
"Khawatir dia ngelirik cewek lain."
Mira mengucapkan kata terakhir itu dengan penekanan, bahkan mungkin bernada ancaman.
Setelah selesai dengan obrolan mereka, aku pamit agar tak terlambat untuk menyerahkan dokumen persyaratan ke Kantor Urusan Agama. Aku mengurus izin menikah pada daerah kediaman orang tua Mira. Karena daerah tempat tinggalku dan Mira berbeda dengan orang tua Mira. Beruntung proses izin tak begitu sulit, semua hanya perlu waktu saja.
Almira Shofia Prameswari
Aku bahagia, di hari pertama bekerja pada babak baru kehidupanku, di antar olehnya. Hubungan kami memang belumlah resmi secara hukum ataupun agama, tapi perintah Papa sangat jelas, bahkan hingga melarang Angga membawa pulang motornya sendiri, dan sebagai gantinya, mobilku lah yang akan membantunya menyiapkan segala syarat serta keperluan pernikahan.
"Ngelamun aja, mentang-mentang orang-orang lagi pada sehat."
Leorin memukul meja kerja di hadapanku.
"Udah ngebet pengen..."
Ia tersenyum, menggoda, mengerlingkan mata.
"Ih, apa sih? Yang ada pusing tahu."
Aku berpura-pura, padahal dalam hati berbunga-bunga. Ku ambil ponsel di atas meja untuk sekadar menanyakan kabar.
"Mas, gimana? Udah selesai?"
Tak butuh waktu lama, pesanku telah berbalas.
"Udah, tinggal berkasnya di anter ke Papa kamu aja, biar langsung di anterin ke KUA di sana."
Leorin yang masih duduk di depan meja kerjaku protes.
"Akhirnya, aku di kacangin juga, main sama Syafina aja ah. Yuk sayang, main sama tante, Bundanya lagi sibuk sama Ayah kamu."
Aku tertawa menertawakan diri sendiri yang bisa lupa segalanya, bahkan termasuk Syafina.
"Maaf, aku lagi gak fokus nih. Maafin Bunda ya sayang."
Aku meminta maaf pada mereka berdua, terutama Syafina. Sejak tadi tanpa sadar aku kurang memperhatiknnya. Namun Syafina sepertinya tak merasa seperti itu, ia masih asik dengan hobinya sendiri.
"Gak apa-apa, Ra, kamu selesaiin urusan kamu dulu aja, biar Syafina sama aku dulu. Yuk sayang."
Leorin membawa Syafina ke ruangannya meninggalkan aku sendiri yang masih asik berkirim pesan dengan Angga.
"Oh, udah makan belum, Mas?"
Tak sabar menunggu balasan pesan darinya, walau sebenarnya tak lama. Aku mulai melakukan panggilan video. Entah kenapa, semenjak mendapat restu dari Papa, aku mulai semakin berani. Tanpa malu atau sungkan aku menghubunginya terlebih dulu. Bahkan pagi ini aku sampai berani membangunkannya.
"Halo."
Tanpa sadar aku melamun. Panggilan video telah terhubung beberapa detik yang lalu, bahkan hingga menunjukkan angka lebih dari dua puluh.
"Eh, maaf, kirain belum di angkat."
Aku salah tingkah oleh kekonyolanku sendiri. Sebagai pengalih rasa malu, aku memperbaiki posisi duduk serta merapikan rambut panjangku yang sebenarnya sesuatu yang tak perlu.
"Udah cantik ko."
Angga tersenyum, entah itu pujian atau memang sengaja menggoda.
"Makasih, Mas, udah makan belum?"
Angga memperlihatkan yang ada di sekelilingnya. Ia sedang duduk di pinggir jalan tak melakukan apa-apa.
"Loh, Mas, kamu di mana? Lagi ngapain?"
"Aku lagi istirahat aja, tadi gak sempet istirahat, jadi sebelum ke situ aku istirahat dulu, sebentar. Oh ya, Syafina mana?"
"Mmhh, dia lagi di ajak main sama Leorin."
Puas melepas rindu, Angga langsung berangkat untuk menjemputku. Waktu masih tengah hari, ku suruh ia untuk beristirahat lebih lama di sana, karena kalau di sini, itu berarti ia akan menungguku terlalu lama hingga waktu pulang nanti.
Aku beranjak menjemput Syafina di ruangan Leorin. Ternyata, Syafina sedang menikmati santap siangnya.
"Eh, kesayangan Bunda lagi makan."
Ku hampiri Syafina, tak lupa memberi kecupan di kepalanya. Syafina sudah terbiasa dan bisa makan sendiri, hanya sedikit dari makanan yang menempel ke pipinya.
"Udah selesai, Ra?"
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Leorin.
"Tadi aku mau nawarin kamu makan, tapi pas di depan ruangan kamu, aku denger kamu lagi ngobrol, jadi aku tinggal aja."
"Iya, gak apa-apa, Rin. Makasih loh ya udah nemenin Syafina.
"Ah, kamu kayak yang sama siapa aja, Ra."
Hari pertama mencoba menjalani hidup sebagai seorang ibu ternyata melelahkan, tapi menyenangkan, semua rasa lelah itu hilang begitu saja begitu melihatnya bahagia. Semoga aku bisa menjadi ibu yang terbaik untuknya.
SEMBILAN BAB TERAKHIR CUMA ADA DI BUKU, EKSTRA PART BISA BACA YANG JUDULNYA "BEFORE...AWAKENING."
— Chương tiếp theo sắp ra mắt — Viết đánh giá