Almiera Shofia Prameswary
Dalam beberapa hari menuju hari yang akan menentukan nasib serta masa depanku, aku mulai menata persiapan sikap serta apa yang harus aku lakukan selama di sana nanti. Sebenarnya pada rencana awal, aku ingin meminta pada Angga untuk pergi menggunakan mobil serta sedikit berbohong bahwa mobil milik Angga sedang berada di bengkel, tapi ia menolaknya, ia malah menasihatiku agar ketika memulai sesuatu yang baik tidak boleh dengan sebuah kebohongan, karena ketika sekali berbohong maka akan ada kebohongan lain untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya, jadi ia memutuskan untuk pergi menggunakan motor besarnya walaupun memang sedikit susah kalau untuk naik bertiga membawaku dan Syafina. Sebenarnya Angga melarangku ikut naik motor bersamanya, ia menyarankanku pergi lebih dulu menggunakan mobil dan ia akan menyusul sesuai dengan jadwal pertemuan dengan ke dua orang tuaku, tapi aku menolaknya karena aku ingin pergi bersama dan juga aku telah memiliki perlengkapan keselamatan berkendara sendiri yang ku beli ketika membeli belanjaan untuk masak pada malam itu di rumahnya, bahkan hingga saat ini, perlengkapan tersebut belum digunakan sama sekali, jadi mungkin inilah saatnya.
Hari ini adalah hari libur, tapi bukan hari minggu, hanya tanggal merah untuk memperingati sesuatu. Aku menyibukkan diri agar bisa sedikit melupakan tentang masalah yang akan menetukan masa depanku dengannya nanti.
Tok tok tok.
Sebuah ketukan menghentikan aktifitasku. Sebelum membuka pintu, aku menyempatkan diri melihat sekilas dari jendela dengan sedikit membuka gorden untuk memastikan siapa tamu yang datang berkunjung sepagi ini. Namun aku tak bisa melihatnya, ia berdiri memunggungi pintu. Dari postur tubuhnya aku seperti pernah mengenalnya, tapi yang jelas ia buknlah Angga.
Dengan hati-hati aku membuka pintu lalu menyapanya yang masih berdiri memunggungi.
"Maaf, cari siapa ya?"
Orang itu berbalik, dan ternyata aku memang mengenalnya, tapi untuk apa ia berada di sini? Dan kenapa ia bisa tau alamat rumahku? Karena seingatku ia pergi sudah sangat lama sekali, bahkan mungkin sekitar sembilan sampai sepuluh tahun yang lalu, kami terpisah setelah lulus dari SMA, ia melanjutkan kuliahnya di luar kota karena mengejar impiannya sementara aku juga mengejar mimpiku yang sedari kecil aku cita-citakan.
"Dudi, kan?"
Aku meyakinkan diri bahwa yang datang memang orang yang ku maksud.
"Iya, kok kamu masih inget aja?"
"Aku kan orang yang gak gampang lupa, lagian juga kan belum tua-tua bangetlah buat jadi pelupa."
Ternyata benar, ia adalah orang yang ku kenal dari masa lalu.
"Kok kamu bisa di sini sih? kamu tahu rumah aku dari mana?"
"Aku kayaknya capek berdiri terus dari tadi, aku gak di suruh masuk dulu nih?"
"Emh, maaf ya di dalem lagi kotor nih, duduk di sini aja ya, aku ambil minum dulu."
Aku tak mau dan tak bisa mengajaknya ke dalam rumah, aku khawatir Angga salah faham ketika melihat aku menerima tamu laki-laki, Aku tak mau hubunganku yang hanya tinggal selangkah lagi harus bermasalah, walaupun aku tahu kalau Angga takkan cemburu berlebihan.
Terdengar dari jauh suara motor besar memasuki gerbang komplek ketika aku masuk untuk mengambil air minum untuk Dudi, aku hafal betul suara itu adalah suara motor besar milik Angga, karena di komplek perumahan ini hanya dia satu-satunya yang memiliki motor besar dengan suara berisik seperti itu.
Aku berusaha membuat minuman dengan cepat agar aku bisa segera mengenalkan Angga pada Dudi agar tak terjadi kesalah fahaman.
Setelah selesai, aku bergegas dengan membawa segelas minuman pada nampan, dan setelah sampai di luar serta menaruh minuman untuk Dudi, tak ku lihat Angga berada di sana, sepertinya ia telah masuk ke dalam rumahnya.
"Sebentar ya, aku ke sana dulu."
Ku tinggalkan Dudi sendiri untuk menjemput Angga lalu mengenalkan mereka berdua. Aku mengetuk beberapa kali pintu rumahnya, namun tak ku dapati jawaban apa-apa hingga akhirnya ia keluar dengan raut wajah berbeda.
"Ada apa?"
Ia tersenyum seperti biasa, sama sekali tak menunjukan perubahan sikap apa-apa.
"Ikut aku yuk, ada yang mau aku kenalin."
Aku menarik tangan Angga tanpa menunggu jawaban iya darinya.
Dudi melihat ke arah kami berjalan, ia seperti terkejut namun aku tak tahu mengapa, tapi yang jelas bukan karena sebuah masa lalu.
"Kenalin, ini Angga, calon suami aku."
Dudi seketika berdiri, kali ini dengan raut wajah kaget bercampur heran. Ia menjabat tangan Angga lalu memperkenalkan diri.
"Tunggu, kayaknya ini ada yang salah faham nih."
Aku dan Angga tak mengerti apa yang Dudi maksud.
"Maksudnya?"
Dudi terdiam, ia seperti kebingungan harus menjelaskan sesuatu.
"Jadi gini, aku ke sini karena Papa kamu."
"Papa? Maksudnya?"
"Aku... Orang yang dijodohin Papa kamu buat kamu."
Deg, aku syok mendengar alasan Dudi berada dihadapanku saat ini, jadi alasan kenapa ia berada di sini saat ini serta alasan tahu tentang alamat rumahku karena ia adalah orang yang Papa maksud. Perlahan aku menoleh menatap Angga yang masih berdiri di sampingku, wajahnya masih tersenyum tapi aku bisa melihat ia sedang menutupi rasa kecewanya dengan apa yang terjadi. Keputusanku untuk tak menceritakan tentang apa yang terjadi antara aku dan Papa ternyata menjadi petaka.
"Kamu harus denger dulu penjelasan aku."
Aku merajuk, merasa takut dengan apa yang akan ia lakukan, terlebih aku takut ia takkan lagi mau memperjuanganku.
"Aku gak tahu kalau Papa bakal ngejodohin aku sama dia, dia emang pernah ada dalam hidup aku tapi itu dulu, jauh sebelum kami mengejar mimpi kami masing-masing dan sekarang aku gak ada apa-apa sama dia, semua udah berubah karena aku punya mimpi baru."
Tak terasa air mataku terurai, rasa takut kehilangan semua yang ada di depan mata membuatku tak sanggup untuk menahan rasa bersalah. Angga menatapku, tatapan yang tak pernah ku lihat sebelumnya, kini jelas tersirat rasa kecewa yang begitu dalam darinya sampai ia memutuskan untuk pergi hanya dengan kata "maaf".
Aku tak sanggup mengejarnya, tangisku saat ini hanya akan menambah perih rasa sakit hati yang di alaminya.
" Ra, maaf aku gak tahu kalau semua bakal jadi kayak gini, aku pikir kamu belum terikat sama siapapun, makanya aku nerima perjodohan Papa kamu karena aku juga masih sayang sama kamu, tapi setelah aku lihat hubungan kalian, aku bakal nolak perjodohan ini, sekali lagi aku minta maaf."
Aku tak sedikitpun menanggapi apa yang Dudi jelaskan hingga ia pergi tanpa permisi, aku merasa ia pun kecewa tapi aku tak peduli dengan itu semua, yang ku pikirkan saat ini adalah bagaimana memperbaiki hubunganku dengan Angga yang hanya tinggal beberapa hari lagi harus menentukan semuanya.
Angga pergi menggunakan motor besarnya, ia memang pandai meredam emosi tapi sikapnya ketika awal tadi langsung memacu motor dengan kecepatan tinggi menunjukan bahwa ia pun butuh melampiasakan apa yang ada dalam hati.
Beberapa kali aku berusaha menghubungi, tapi sampai saat ini nomornya tak pernah aktif. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya, aku khawatir ia mengalami kecelakaan saat berkendara dalam kondisi tak tenang seperti itu. Tanpa terasa air mata yang sebelumnya telah mengering kini harus kembali membasahi pipi. Aku tak sanggup membayangkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tanpa pikir panjang aku segera mengeluarkan mobil dari garasai untuk mencari keberadaannya. Dalam perjalanan tak hentinya aku menangis meratapi kebodohanku yang tak menceritakan semua yang terjadi ketika pertemuanku dengan ke dua orang tuaku minggu lalu.
Beberapa jam berlalu, aku masih berkeliling tanpa henti mencarinya hingga akhirnya aku pasrah dan menyerah. Aku memutuskan untuk pulang dan menunggunya datang, aku berharap ia baik-baik saja dan pulang masih dalam keadaan yang sama.
Aku menghela nafas dan menyandarkan diri untuk sedikit melepas rasa lelah ketika terjebak pada lampu merah menuju arah rumah. Sekilas penglihatan mataku menangkap sesuatu yang sudah begitu ku hafal, seorang gadis kecil terikat dengan menggunakan gendongan pada pengemudi motor duduk dibelakang jok motor besar yang di tumpanginya.
"Syafina."
Akhirnya aku menemukannya, walau saat ini aku belum bisa berbuat apa-apa, tapi aku tetap bahagia tak terjadi sesuatu padanya. Lampu merah masih menyala namun hanya tinggal beberapa detik saja hingga lampu itu berubah warna dan para pengendara yang sejak tadi menunggu bisa kembali melanjutkan perjalanannya.
Aku mengikuti mereka berdua dari belakang, sepertinya mereka menuju ke arah jalan pulang. Angga tak sekalipun menoleh tapi aku yakin ia menyadari keberadaan mobilku dari kaca spion pada motornya.
Benar saja, akhirnya Angga kembali ke rumahnya beserta Syafina. Ia berhenti di depan rumahnya sendiri, sementara aku segera memarkirkan mobil lalu menemuinya, berharap tak tertinggal momen untuk meminta maaf atas semuanya.
"Maafin aku."
Aku menarik tangannya hingga menghentikan langkahnya yang akan masuk ke dalam rumah untuk menaruh tas gendong milik Syafina yang pemiliknya telah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya. Angga terdiam sejenak lalu menghela nafas kemudian tersenyum.
"Gak apa-apa kok, gak perlu ada yang di maafin."
Angga menanggapi seperti tak pernah terjadi apa-apa. Refleks tangisku kembali pecah seiring pelukanku padanya namun kali ini semua terjadi karena rasa bahagia.
"Maaf aku udah bohong, harusnya malam itu aku bilang semuanya, biar gak ada salah faham."
"Iya, aku ngerti ko, jangan di bahas lagi, lebih baik sekarang kita fokus aja sama masalah pertemuan sama orang tua kamu nanti."
"Tante kenapa? Ayah jahatin Tante?"
Tak di sangka untuk ke sekian kalinya adegan drama kisah asmara kami terlihat olehnya, sontak aku melepaskan pelukan serta mengusap air mata.
"Gak sayang, Tante kangen sama ayah kamu, Syafina kangen gak sama tante?"
Syafina tersenyum, lalu menghampiri ketika aku membentangkan tangan untuk memeluk serta menggendongnya.
"Syafina sayang Tante."
Dalam dekapanku, ia berkata lirih.
"Iya sayang, Tante juga sayang kamu sama ayah kamu."
Aku bersyukur, akhir cerita pada hari ini kembali bahagia dan Angga masih bersedia untuk berjuang demi masa depan kami berdua, juga untuk Syafina.