Almira Shofia Prameswari
Gadis cantik yang berprofesi sebagai tenaga medis pada rumah sakit daerah, usianya baru 27 tahun dan belum menikah.
Aku lelah, hari ini begitu banyak orang yang mengalami sakit sehingga dengan terpaksa aku pulang hingga melebihi jam kerja yang hanya sampai pukul empat sore. Sebelum pulang aku teringat dengan kejadian kemarin ketika aku berlibur bersama Syafina, anak kecil yang belum lama ini menjadi tetanggaku. Gadis kecil yang baik, cerdas dan cantik, mungkin paras cantik itu dia warisi dari ibunya yang sudah tiada karena wajahnya tak terlalu mirip dengan ayahnya, hanya beberapa bagian saja yang kurasa mirip dengan ayahnya, tapi tak dapat kupungkiri bahwa ayah Syafina pun cukup tampan, namun yang paling penting sepertinya dia Ayah yang baik. Tak terasa aku jadi tersenyum sendiri membayangkan mereka berdua.
Hari sudah sangat sore, aku bergegas pulang tapi sebelum itu ada hal yang harus aku lakukan lebih dulu, hari ini aku berencana membelikan Syafina kue, jadi sebelum pulang aku akan mampir ketempat kue yang beberapa kali pernah aku kunjungi. Tak sabar rasanya melihat ekspresi bahagianya ketika menerima kue itu dariku.
Waktu telah menunjukan pukul lima sore, aku khawatir kalau toko kue yang aku tuju akan segera tutup, namun beruntung aku masih sempat sampai disana tepat beberapa menit sebelum toko kue itu tutup.
"Mba, maaf apa tokonya masih buka?"
Aku bertanya pada pegawai toko yang sedang membereskan barang-barang dan kue yang akan disimpan pada tempat penyimpanan kue khusus.
"Oh iya mba, kebetulan kami baru mau tutup sebentar lagi, mau beli kue apa?"
Aku memilih-milih kue yang kemunhkinan akan Syafina sukai, dan tak butuh waktu lama aku menemukannya.
"Mba, tolong bungkus yang itu ya, tiga."
Setelah membeli beberapa macam kue, aku kembali melanjutkan perjalanan pulangku, dengan percaya diri aku tersenyum membayangkan kalau Syafina akan senang menerima kue pemberianku.
Sesampainya aku dirumah dan setelah memarkirkan mobil digarasi, tanpa mandi atau berganti pakaian terlebih dulu, aku lamgsung mengantarkan kue yang kubeli kerumahnya. Setelah sampai didepan rumahnya, kulihat rumahnya tak seperti biasanya, rumah itu sepi seperti tak berpenghuni, Namun itu tak menyurutkan niatku untuk segera memberikan kue itu.
Tok tok tok...
Kucoba beberapa kali mengetuk pintu depan rumahnya, namun hasilnya nihil, sepertinya mereka memang sedang tak berada dirumah. Aku kembali pulang kerumahku untuk menyimpan kue itu pada lemari pendingin dan berharap mereka pulang sebentar lagi, dan harapan itu akhirnya terwujud. Kudengar samar suara motor yang baru saja mematikan mesinnya tepat didepan rumahnya. Aku segera berjalan dengan senyum yang terhias jelas diwajah, menuju keruang tamu rumahku dan membuka tirai jendela untuk memastikan kalau yang datang memang orang yang aku tunggu. Senyumku semakin mengembang ketika yang kulihat memang benar-benar dia. Segera kuambil kue yang baru saja kusimpan dilemari pendingin itu, masih tak kuhiraukan pakaian kerja yang masih menempel ditubuhku, tak mau kehilangan kesempatan lagi untuk menemuinya.
"Mas, Syafina mana?"
"Syafina belum pulang Ra, bentar lagi kayanya."
"Loh, emang gak pergi sama kamu? Soalnya tadi aku kesini, kamu gak ada."
Amgga tak menjawab pertanyaanku, dia tersenyum melihat sebuah mobil yang datang lalu berhenti tepat didepan rumahnya. Pintu mobilpun terbuka dan seorang anak kecil berteriak girang lalu berlari memelukku.
"Tante."
Aku tersenyum senang melihatnya begitu bahagia, tanpa kusadari orang lain yang juga turun dari mobil itu bersama anak kecil lainnya yang kutaksir usianya tak jauh berbeda diatas Syafina.
"Eh sayang udah pulang, ini tante bawain kue."
Syafina senang sekali mendapatkan kue dariku, dia mengajak temannya yang datang bersama perempuan yang baru saja turun dari mobil itu masuk kedalam rumahnya untuk menikmati kue pemberian dariku. Aku pernah melihat perempuan itu, kalau tak salah dialah orang yang berkomentar pada statusku kemarin.
"Ini Mira ya?"
Perempuan itu ternyata tau namaku, mungkin juga dia melihat identitasku dari media sosial sama seperti yang kulakukan. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.
"Aku Riana, panggil aja Ana."
Perempuan itu memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan dan sebagai orang yang tau etika, aku menyambut uluran tangan dan niat baik perkenalannya. Aku menatapnya mulai dari atas sampai bawah, pakaian yang dia kenakan begitu seksi dan memperlihatkan bentuk indah tubuhnya, hingga mebuat mata para lelaki pasti kagum melihat keseksiannya.
"Mas, aku pulang dulu ya."
Aku pamit untuk pulang tanpa mempedulikan jawabannya, hatiku begitu bergejolak melihat Angga bersama wanita seperti itu, memang tak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan, akupun tak mempunyai hubungan apa-apa dengan Angga, namun tak kusadari sisi kecil dalam diriku benar-benar tak menyukai kedekatan mereka.
Sesampainya dirumah aku tak ingin melakukan apapun selain hanya merebahkan diri dikamar untuk meredam hatiku yang cemburu. "Cemburu? Apa iya aku cemburu pada mereka?" Aku tak peduli dengan apa yang kurasakan, tapi yang jelas aku tak menyukai kedekatan mereka.
Beberapa kali aku melihat dari jendela ruang tamu rumahku dan mobil dari perempuan itu masih terparkir disana yang berarti bahwa perempuan itu masih asik bertamu dirumah Angga.
"Mereka ngapain sih? Ko lama banget, cewek itu belum pulang juga."
Aku melirik jam yang dikenakan ditangan kiriku telah menunjukan pukul delapan malam, berarti sudah dua jam berlalu sejak perempuan itu datang bertamu. Fikiranku kini mulai kacau dipenuhi bayangan-bayangan negatif tentang apa saja yang mereka lakukan selama berdua.
"Gak mungkin, aku yakin dia orang yang baik, gak akan ngelakuin hal serendah itu, tapi gimana kalau cewek itu yang maksa?"
Aku mengacak-acak rambutku sendiri hingga berantakan, stres memikirkan hal negatif yang mereka lakukan padahal bisa jadi mereka hanya sedang asik mengobrol saja, sambil menemani Syafina dan anak dari perempuan itu. Untuk mendinginkan otak dan hatiku yang mungkin saja memang benar ini yang dinamakan cemburu, aku beranjak menuju kamar mandi yang berada disamping dapur bagian belakang rumahku. Segarnya guyuran air yang membasahi sekujur tubuhku ternyata memang mampu memberi sedikit rasa rileks pada otak dan hatiku. Setelah selesai mandi aku sudah merasa lebih baik dan lebih tenang. Aku segera mengenakan pakaian piyama dan bersiap untuk tidur, kucoba untuk tak peduli dengan apa yang terjadi dengan mereka. Namun ketika aku baru saja mulai memejamkan mata, terdengan pintu depan rumahku seperti ada yang mengetuk, aku tak langsung beranjak, aku mencoba memastikan bahwa pendengaranku tak salah, dan ternyata memang benar-benar ada yang mengetuk pintu rumahku. Aku berjalan gontai untuk mengecek siapa yang bertamu selarut ini, sebelum membuka pintu aku mencoba sedikit mengintip seseorang yang tengah berdiri tepat didepan pintu rumahku dan tebak siapa yang kulihat? Ya, aku melihat mereka berdua berdiri disana. Dengan setengah hati aku membukakan pintu untuk mereka.
"Maaf ganggu, aku boleh minta tolong?"
Tanpa basa-basi Angga langsung mengutarakan niatnya. Aku menatap mereka bergantian, belum bisa menebak apa yang mereka inginkan dariku.
"Iya, minta tolong apa?"
Angga sepertinya tak enak menceritakan apa yang menjadi masalahnya sehingga meminta tolong padaku, dia hanya diam saja sambil menggaruk kepalanya yang kurasa tak gatal sama sekali. Melihat Angga seperti itu, Ana mengambil inisiatif untuk berbicara tentang apa yang mereka inginkan, dan setelah tau alasan mereka kemari, rasanya aku benar-benar ingin mencubit sekeras-kerasnya bagian dari tubuh Angga, entah itu perut, tangan, pipi atau apa saja yang bisa kujadikan pelampiasan rasa gemasku padanya. Aku tak segera mengiyakan apa yang menjadi keinginan mereka karena hatiku dengan tegas dan keras menolak namun mulutku belum mampu mengatakannya, tapi tiba-tiba saja mulutku mengizinkan dengan diiringi senyum yang sangat lebar penuh kemenangan.
"Oh iya boleh ko, boleh banget malah, Ana nginep dirumah aku aja, biar aku ada temen ngobrol."
Mereka berdua sepertinya heran tampang jutekku pada mereka sebelumnya tiba-tiba hilang dan berganti menjadi senyum sumringah penuh kemenngan. "Yes, dengan kaya gini, aku bisa mastiin kalau Angga dan Ana gak macem-macem, terus aku bisa tidur nyenyak deh." Sambil membawa Ana menuju ke kamar tamu, senyum kemenangan dari wajahku tak pernah hilang.
Kuperhatikan, Ana sudah berganti pakaian dengan menggunakan kaus dan celana training dan sepertinya pakaian itu milik Angga karena dapat dilihat dari ukurannya yang terlalu besar untuk dia kenakan. Ana tak lebih tinggi dariku, namun tubuhnya lebih ramping dan seksi, berbeda denganku yang memang sedikit berisi dan chubby.
"Aku tinggal ya, jangan sungkan anggap rumah sendiri."
Aku beranjak bermaksud meninggalkannya sendiri, mungkin juga Ana sudah ingin beristirahat.
"Mira."
Ana mencegahku, sepertinya ada yang ingin dia sampaikan.
"Ya?"
"Bisa ngobrol sebentar?"
Ana tersenyum. Sebenarnya sejak awal tadi bertemu dan berkenalan dengannya, Ana sama sekali tak menunjukkan sikap permusuhan padaku, mungkin karena aku terbawa perasaan sehingga sikapku sebelumnya sedikit kurang pantas padanya, dan sekarang sepertinya saat yang tepat untuk memperbaikinya.
"Bisa, ya udah, kalau kamu belum ngantuk, kita ngobrol diruang tamu sambil ngeteh."
Ana setuju dengan usulku, dia beranjak menuju ke ruang tamu, sementara aku menuju ke dapur untuk membuat lemon tea hangat dan membawa beberapa cemilan sebagai teman begadang.