Vampir itu cepat. Amat sangat cepat, dan walaupun ia menebas udara aku masih tetap terhuyung ke belakang.
Ia menyerang dengan kukunya yang panjang dan tajam, bergegas kutahan dengan pedang.
Ah... berat sekali bobotnya.
Vampir itu berniat membuatku terjatuh dengan kakinya. Aku bergegas melompat dan buru-buru menjaga jarak.
Sedangkan ketiga temanku berusaha melawan anak buah strength, mereka terus menerus terkungkung di jeruji hitam yang merambat keluar dari rambutnya.
"Menyerahlah, Half-Blood!" seru vampir. "Walaupun kalian telah melewati ujian tekad, kalian tetap akan kalah dari kami. Kami telah dipilih langsung untuk menjaga pos kedua, master sudah mengakui."
Langit kembali bergemuruh. Awan hitam seolah berpusar di atas rumah ini.
"Master akan mencincang kalian!" ledek anak buah strenght. "Lihat saja nanti!"
Aku berhasil menebas tangan kanan vampir itu. Tangan itu jatuh dan lenyap menjadi debu, tapi tangannya kembali tumbuh.
"Tidak ada gunanya," kekeh vampir. "Kamu tak bisa mengalahkan vampir origin. Kami abadi, kecuali jika master yang menyuruh kami untuk mati atau kami dibunuh oleh para roh."
"Diam!" seruku dingin. "Aku tidak peduli dengan kelebihan kalian, Makhluk Penghisap Darah yang kotor!"
Vampir itu tertegun dan menyipit ketika ia menatapku.
"Kami mengejek vampir!" serunya berang.
"Hei!" Anak buah strength melilit vampir dengan jeruji hitamnya. "Kamu tidak perhatikan sifat anak itu? Dia mirip master."
"Aku tidak peduli!" pekiknya. "Dia menghina kaumku!"
Aku menyeringai ketika vampir itu menerjang ke arahku.
Aku dapat mendengar pekikan Isla.
Seolah tahu, aku mengacungkan pedang dan membuat vampir itu tertusuk pedang, dia yang menghampiriku dan dia juga yang membuat dirinya tertusuk.
"Ini..." Dengan gemetar dia menyentuh pedang milikku, membuat kulitnya terbakar. "Senjata tempaan kaum Last Place of Soul. Senjata yang dibuat dari berbagai permata elemen dan dibakar dipanasnya kawah paling dalam maupun mengerikan di neraka... dan didinginkan di jurang paling dalam lautan es Last Place of Soul..."
Ia terbuyarkan sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya tentang pedangku.
"Senjata terkutuk, Nyx Weapon," desah anak buah Strength. "Bagaimana bisa..."
Langit bergemuruh.
Anak buah strength menghujamkan jeruji hitamnya, membuat labirin di ruangan sempit itu. Ia memotong rambutnya sendiri, jeritannya sungguh memilukan.
Aku tahu ini... Pertahanan terakhir bangsa Strength. Labyrinth of bars.
Aku terpisah dari ketiga temanku dan anak buah strength itu sedang berkeliaran bebas. Mencari kami.
Aku berjalan sesenyap mungkin.
Aku mendengar pekikan Isla, membuatku membeku di tempat. Aku mengintip dengan ketakutan.
Isla tercekik oleh jeruji besi itu, Avery yang berjuang mati-matian menangkis jeruji itu dengan pedangnya, dan Rick yang sedari tadi berguling menghindar.
Anak buah Strength hanya memandang mereka acuh.
Cengkramanku mengerat di gagang pedang itu. Rantai muncul melilit lengan kananku seperti ular, menjeratnya hingga pergelangan tangan.
Aku dapat mendengar ucapan lelaki yang selalu menemuiku.
"Rantai itu adalah mekanisme tambahan yang aku buat sendiri untukmu," jelasnya. "Mekanisme agar senjatamu sulit dilepaskan, aku buat itu beserta mekanisme agar senjatamu dapat terus bersamamu walau telah lenyap. Mekanisme yang ini akan muncul ketika kamu sedang marah, sedih, dan takut."
Mekanisme buatannya? Ah, bukan. Mekanisme buatan ayah.
Aku memejamkan mata dan menghela nafas.
Aku berlari dan mengayunkan pedang dengan buas, membuat Isla menjerit semakin keras dan Avery merunduk. Rick hanya terpaku.
Anak buah strength tidak mengharapkan itu, terlalu shock untuk bergerak sehingga jeruji miliknya tetap diam.
Tapi, aku hanya berhasil menyabet lehernya sedikit.
Aku melompat mundur dan mengacungkan pedang dengan mengancam.
"Wah! Aku tidak merasakan auramu," Anak buah strength tampak mencemooh. "Sepertinya kamu lumayan, setara dengan si tampan yang masih berdiri tegak itu."
Aku tau siapa yang dia maksud. Siapa lagi kalau bukan Avery.
"Aku. Tidak. Mirip. Dengan. Siapa-siapa," ujarku penuh dengan penekanan.
"Kamu mirip dengan master, Half-blood," ucap anak buah strenth. "Cara kalian marah maupun mengancam. Tapi, aku tidak takut denganmu."
Langit kembali bergemuruh.
Aku menggeram kesal. Dia tidak takut padaku, ya? Kalau begitu, aku akan membuat dia ketakutan sehingga tidak akan pernah bisa dia lupakan.
Seiring dengan amarahku yang terus memanas dan keinginan untuk membunuhnya.
Aku tidak tahu bahwa lantai bergoncang.
Aku memandang ketiga temanku khawatir.
Jeruji besi membungkus mereka seperti sangkar dan tergantung di atap.
"Aku akan melepaskan mereka jika kamu bisa mengalahkanku," ujarnya. "Fokus, Half-blood. Aku tidak akan setengah-setengah. Kamu pikir goncangan akan membuatku takut?"
Lantai retak. Dan dari retakan itu muncul rantai hitam pekat yang saling jerat dengan jeruji.
Aku mendekatinya, yakin bahwa rantaiku cukup untuk menahan jeruji-jeruji itu. Tapi, aku salah besar.
Satu jeruji melesat cepat ke arahku.