Aku menyeret koperku dengan jengkel. Aku harus pulang. Ah! Benci sekali rasanya. Aku tak suka rumahku.
Itu bukan rumah bagiku! Itu neraka!
Aku naik kereta bersama Isla. Mengapa? Karena arah pulang kami searah.
Kami berpisah di Stasiun Kota.
Aku tiba di Social Drive. Rumah bercat putih dengan petak-petak bunga di halamannya.
Aku masuk dan langsung melihat pemandangan yang selalu kulihat.
Ibu, Ayah tiri, dan Bella si adik tiri yang amat manja sedang berkumpul dan berbagi candaan.
Lihatlah? Aku seperti orang luar di sini.
Aku tidak peduli dan melintasi mereka tanpa menyapa. Aku berjalan menuju loteng yang menjadi kamarku.
Loteng ini amatlah berdebu. Hanya ada meja beserta kursi, tempat tidur, lemari, laci, rak, sofa usang, jendela, permadani kuno, dan kamar mandi kecil.
Aku melempar ransel ke sofa dan koper ke sudut, lalu merebahkan diri di ranjang.
"Ah! Aku lelah sekali," keluhku.
________________________________
Isla mengirimiku surat.
Dear Azalea Pandora,
Apa kabarmu, Sobat Pemurungku? Aku harap keluargamu memerlakukanmu lebih baik.
Ah! Aku hendak berjalan-jalan ke pantai selama 2-3 hari bersama sepupuku. Kami akan berangkat besok lusa. Aku hendak mengajakmu agar kita bisa berlibur bersama. Mau, kan?
Aku mengajakmu karena tidak seru jika aku sendirian yang perempuan. Akan lebih seru juga kalau aku mengajakmu.
Mau, ya? Tolong... Please...
Love,
Isla Calderon.
__________________________________
Besok lusa.
Aku memasukkan segala hal yang kuperlukan ke ranselku.
Aku turun dan melihat pemandangaan yang sama lagi.
Keluargaku menatapku mencemooh dan sama sekali tidak bertanya tentangku atau kemana aku akan pergi.
Aku berjalan keluar.
"Kemana kau?" tanya Ibu.
"Berlibur bersama teman ke pantai di selatan negara," jawabku acuh.
Ibu tampak panik dan memandangku penuh peringatan.
"Kamu... melihat lelaki itu?" Ibu tampak cemas.
Ayah tiri dan Bella memandang Ibu yang kini berdiri dengan bingung.
"Lelaki apa yang ibu maksud?" tanyaku.
"Lelaki yang selalu bisa memikat wanita dan paling aneh," ucap Ibu.
"Ah! Ya, aku pernah melihatnya," Aku memutar bola mata bosan.
"Di mana?!" desak Ibu.
"Di Legend of Sins and Virtues Museum," jawabku acuh.
Aku hendak pergi. Kenapa Ibu bertanya seolah mengintrogasi penjahat? Siapa lelaki aneh itu? Apa hubungan dia dengan ibu?
"Kenapa kamu ke sana?!" seru Ibu khawatir.
Seruan itu membuat ayah tiriku, Chad, dan Bella tersentak.
"Apa salahku kalau aku pergi ke sana?!" seruku kesal. "Itu hanya field trip!"
"Kenapa kamu tidak izin dulu?!" balas Ibu.
"Apa gunanya aku izin?!" pekikku. "Ibu juga tidak akan peduli, kan? Ibu hanya peduli pada Chad dan Bella! Untuk apa aku izin?!"
"Hei!" Chad menundingku, ia tampak amatlah emosi. "Kamu bagian keluarga ini walaupun aku tidak sudi mengakuimu! Setidaknya bilang!"
Aku melotot ke arahnya.
Aku tidak takut pada orang dewasa yang tolol dan pengecut itu!
"Aku bukan keluarga ini!" seruku jengkel. "Aku tidak sudi memakai nama keluarga Lynch yang konyol itu! Nama keluargaku Pandora!"
Ibu tersentak. Ia menayapku nanar.
"Pandora?" gumam ibu. "Darimana kamu tau nama keluarga itu?"
"Ketika tahun ke-3 di sekolah, ada yang mengirim kalung dan surat padaku ketika tahun baru," ceritaku cepat. "Katanya itu hadiahku dan aku bisa memakai nama keluarganya."
"Siapa yang mengirimkannya?!" lengking Bella.
Aku mengangkat bahu, tidak peduli.
Ibu tampak tidak percaya. Jelas ia tampak seperti ingin bukti tentang apa yang aku ceritakan tadi.
Aku mengeluarkan kalung itu.
Kalung berbandul permata ungu yang tepinya terbuat dari emas asli dan dibentuk menjadi tengkorak dan sayap kelelawar.
"Ibu ikut," bisik ibu.
Aku mendongak, tersentak.
Bella menjerit tidak mau. Sedangkan Chad menatap Ibu tidak percaya.
"Apa-" Aku melongo.
"Ibu ikut berlibur denganmu," ucap ibu.
__________________________________
Akhirnya, ibu tetap ikut walaupun aku sudah membantahnya.
Pantai Burch amatlah tenang dan sepi.
Ada sebuah pondok indah yang telah disewa oleh keluarga Isla.
Kami sibuk bermain, sementara ibu terus tampak resah dan memandangku dengan khawatir.
___________________________________
Malamnya, aku tidak bisa tidur.
Aku menggeliat dan berjalan-jalan di tepi pantai.
Duduk di atas batu karang. Tidak peduli kakiku basah dan rambutku berantakan karena dimainkan oleh angin malam.
Aku mendongak dan memandang langit malam yang dihiasi bercak cahaya dari bintang.
"Bulannya indah, ya," Suara datar yang begitu menenangkan terdengar.
Aku menoleh.
Lelaki itu. Kini, ia memakai pakaian yang lebih santai.
Tapi, dia tetaplah amat menawan.
"Tidak perlu takut, Nak," Ia tersenyum.
"Kamu seperti ayahku di dalam mimpiku setiap malam," gumamku. "Aku takut tidur."
"Kenapa?" tanyanya lembut.
"Aku takut bermimpi tentang ayahku lagi," bisikku. "Aku takut aku akan ditinggal lagi olehnya."
"Tidak usah takut," ucapnya. "Dia tidak akan meninggalkanmu."
"Kenapa-"
"Sst," Ia tersenyum kecil. "Pejamkan matamu, Nak."
Aku hanya menurut.
Entah kenapa angin dan air seolah sedang memainkan lagu pengantar tidur yang amatlah mendayu.
Ah... aku mengantuk...