"Apa tidak ada hal yang ingin kau katakan padaku? Kenapa kau hanya diam saja tanpa membalas ucapanku?" tanya Monica. Merasa diabaikan. Ia merasa sepertinya situasi ini terasa tidak asing karena seolah ia pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Bryan menatap Monica.
"Memangnya apa yang kau ingin aku lakukan? Seperti yang kau tahu, pertunangan ini diinginkan oleh Kakekmu dan kedua orangtuaku. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan. Tapi yang pasti keputusan mereka sudah bulat," ujarnya setenang air yang menggenang.
Ketenangan yang membuat Monica semakin bingung untuk meresponnya.
"Apa menurutmu kau tidak terlalu santai dalam menanggapi masalah ini? Kau tahu bahwa ini adalah keputusan bulat yang dilakukan oleh kedua wali kita. Orangtuamu dan juga Kakekku. Tidakkah kau perlu melakukan sesuatu? Aku yakin kau jelas tidak ingin menikah dengan wanita yang tidak kau cintai dan kau kenal begitu saja. Apa kau tidak punya rencana apapun?" Monica sungguh berharap pria ini mau diajak untuk bekerjasama menggagalkan acara pertunangan ini.
"Tidak ada," jawabnya singkat, yang langsung membuat kepala Monica mendidih.
"Tidak ada? Maksudmu.. kau akan pasrah begitu saja?" tanya Monica penuh penekanan. Ia rasa dirinya perlu untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya.
Bryan mengangguk. Mengartikan bahwa apa yang di dengar Monica tidaklah salah.
Monica menatap Bryan dengan takjub.
"Sejak awal aku memang tidak peduli dengan siapa aku akan menikah. Jika itu pilihan kedua orangtuaku, maka aku hanya perlu mempercayakannya pada mereka. Aku tidak pernah mengambil pusing tentang masalah itu," ucapan Bryan yang sukses membuat Monica menggigit bibir bawahnya tanda frustasi.
"Dan jika kau ingin menggagalkan pertunangan ini, maka lakukanlah itu sendiri. Aku ingin tahu sejauh mana kau bisa melakukannya," lanjut pria itu lagi dengan sikap tidak yakin.
Monica berusaha menahan diri dan kembali bernegosiasi.
"Aku tidak akan mungkin bisa melakukannya sendiri tanpa kau bekerjasama denganku! Kakek tidak akan pernah mau mendengarkanku. Baginya aku hanyalah angin lalu. Dan apapun yang dikatakannya adalah benar. Tapi ini akan berbeda jika kau yang bertindak. Tidakkah kau bisa mengatakan pada kedua orangtuamu bahwa kau tidak menyukaiku dan menolak perjodohan ini?" Monica berbicara dengan penuh harap.
"Tentu saja tidak," Bryan menjawab dengan tanpa berpikir.
Monica menatapnya dengan kesal. Ia sudah bicara panjang lebar tapi pria ini hanya mengatakan tidak??
"Alasannya?" tanya Monica kesal.
"Karena aku tidak ingin membuang energi dan pikiranku untuk hal-hal yang tidak berguna dan tidak menguntungkan untukku. Bukankah kau sendiri yang tidak menyetujui perjodohan ini? Kalau aku.. aku tidak masalah. Selama itu seorang wanita. Dan bukan pria. Aku rasa aku tidak akan keberatan," jelasnya lagi.
"Jadi jika yang akan menikah denganmu adalah seekor domba betina, kau juga tidak akan keberatan?" balas Monica dengan sinis.
"Aku mengatakan seorang wanita. Bukan seekor binatang," ralat Bryan.
Monica merespon dengan malas. Jika pria ini tidak mau bekerjasama dengannya, maka sudah tidak ada lagi yang perlu mereka bicarakan.
"Tapi… aku merasa cukup penasaran. Apa kau sungguh tidak mengenaliku?" tanya Bryan sambil mendekatkan wajahnya.
Monica mendadak mundur.
Ia mencoba mengingat-ingat kembali dimana tepatnya ia pernah melihat Bryan sebelum ini. Seperti yang sudah diduganya sejak tadi, ternyata benar mereka memang pernah bertemu. Tapi dimana? Kapan? Dan bagaimana? Monica sama sekali tidak bisa menebaknya. Tapi.. mendengar suara dan melihat sikap menyebalkan Bryan rasanya ia merasa tidak asing.
"Kau terlihat sangat cantik saat tertidur. Apa kau memang suka minum-minum? Aku sarankan, kau sebaiknya mengurangi kebiasaan minummu itu. Itu tidak hanya tidak baik bagi kesehatanmu, tapi juga tidak baik bagi dirimu sendiri mengingat apa yang bisa saja terjadi setelah kau mabuk berat dan kehilangan kendali," ucap Bryan yang langsung menyadarkan Monica di tempat.
"Kau...? Jangan katakan kau adalah laki-laki yang ada di kamar hotel bersama denganku dua hari yang lalu? Itukah kau?!!"
Monica sungguh tidak percaya dengan situasinya ini sekarang.
"Sejujurnya aku cukup merasa sedih karena kau sangat lambat mengingatku. Tapi kau benar. Aku adalah laki-laki itu. Senang bertemu denganmu lagi," ujar Bryan dengan senyum penuh.. seringai?
Monica mendadak merinding. Ia menelan ludahnya dengan berat.
"Bagaimana mungkin bisa itu adalah kau? Kau.. " Monica masih tak percaya.
Pria yang beberapa hari yang lalu bersama dengannya adalah calon tunangannya?
"Kau pasti benar-benar sedang mempermainkan aku. Apa sebenarnya tujuanmu?" desis Monica. Ia merasa sangat terhina.
Terhina karena ia yakin pria ini tidak hanya sudah mengenalnya sejak awal lebih dari hari ini seperti yang sudah dikiranya sejak tadi. Tapi Pria ini bahkan juga sudah mengenalnya lusa kemarin saat dirinya tengah mabuk dan bertingkah kegilaan?
Monica menatapnya tak percaya.
"Aku tidak punya maksud apapun. Kita bertemu secara kebetulan. Saat itu aku tidak sengaja melihatmu di club. Dan kebetulan juga saat itu kau berulah. Aku hanya bermaksud membantumu," terang Bryan tanpa Monica bisa percaya.
"Dengan membawaku ke hotel?" serang Monica dengan kalimat yang diyakininya cukup mematikan.
"Tentu saja. Kau sedang mabuk saat itu. Tidak mungkin 'kan aku membawamu pulang dalam keadaan kacau dan menemui Kakekmu? Aku rasa, itu adalah pilihan yang paling baik. Dan kau perlu tahu juga, aku tidak melakukan apapun padamu malam itu. Jadi jangan menatapku dengan tatapan membunuhmu itu. Kalau kau masih tidak percaya, kau bisa memeriksanya ke dokter jika perlu. Apa kau masih menyangsikan aku?" jawab Bryan dengan sangat yakin.
Monica tidak tahu harus merespon apa. Bryan terlalu pandai dalam berkata-kata. Dan itu semua semakin membuat Monica sulit untuk mempercayainya.
"Ya..tentu saja aku masih sangat menyangsikanmu. Dan aku bukannya tidak mengingatmu. Aku hanya sudah menghapus seluruh ingatanku tentang malam itu dan membuangnya jauh-jauh. Aku harap kau juga melakukan hal yang sama. Apalagi jika kau sampai mengatakannya pada Kakek. Aku akan pastikan kau tidak akan merasa tenang dalam menjalankan keseharianmu lagi."
Bryan tertawa.
"Kau mengancamku?" tanya Bryan tidak percaya ada wanita yang berani mengancamnya sekalipun itu bukan ancaman yang diperlukan.
"Ya.. jika itu memang diperlukan," balas Monica. Ia tentu akan melakukan apapun yang diperlukan untuk menyelamatkan dirinya dari amukan Kakek.
Bryan tertawa lagi. Membuat Monica merasa tidak senang. Apa ada sesuatu yang lucu dari ucapannya?
Bryan mengacak-acak rambut Monica. Monica langsung melototinya.
"Sudahlah.. lebih baik kita kembali. Masih ada hal lain yang perlu kukerjakan. Apa kau ingin ke suatu tempat? Aku akan mengantarmu," tawar Bryan.
Sebetulnya Monica tidak terlalu ingin berada lebih lama dengan Bryan, tapi tak ada salahnya ia menerima tawaran itu.
"Antar aku ke kantor."
***