"Ayah pulang," aku mendengar suara ayahku berbisik di sela rambutku, di antara ciuman hangatnya pada pelipisku. Momen yang indah tiap kali melakukannya, seolah semua masalah runtuh dalam seketika. Tentang aku yang tak bisa menyelesaikan kuliah, atau tentang aku yang bahkan tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan setelah ini.
'Aku sudah berbuat yang benar,' Ku ujarkan bisikan itu untuk diriku sendiri. Menggigit bibir bawahku selepas kusadari, aku bahkan tak sanggup bangun untuk berlari memeluk lelaki itu. Bukan karena aku tak sanggup bangkit dari ranjang ini, aku takut benar-benar menangis dan memintanya membawaku.
Selepas pintu kamar terbuka dan kudapati suamiku menutup pintu—mengantar kepergian ayahku—aku menarik selimut dan memuaskan diri untuk menangis sejadi-jadinya.