Nuansa pulang cepat hari ini demi menghindari keterlambatan untuk pertemuannya dengan Neptunus. Ia tidak tahu bagaimana sifat pria itu, siapa tahu gampang marah, jadi sebisa mungkin dirinya menghindari hal-hal yang bisa membuat kliennya kesal.
"Kau yakin akan menemuinya dengan penampilan seperti ini?" tanya Durah yang meragukan penampilan putrinya yang tampil tomboi sederhana kali ini.
"Kenapa aku harus ragu?" Nuansa bertanya balik.
"Kau akan bertemu dengan klien, ibu pikir akan lebih bagus jika kau menggunakan pakaian yang sedikit formal, karena kau tidak memiliki gaun atau sebagainya, setidaknya pakai pakaian yang lebih rapi."
"Hm, ayah setuju," tambah Arfan.
"Pakaian formal apa yang aku punya? Seragam SD?" canda Nuansa. "Tidak masalah dengan penampilanku, aku akan menjadi diriku sendiri di hadapannya, walaupun aku tidak tomboi sebenarnya, tapi, aku hanya ingin berpenampilan sesuai dengan kemampuanku. Lagi pula aku hanya akan menjadi pacar pura-puranya, bukan pacar betul-betul," sambungnya.
Mendengar itu, Durah dan Arfan lantas saling melirik.
"Baiklah jika menurutmu itu yang terbaik. Kami akan selalu mendukungmu," ucap Durah. Nuansa kemudian memeluk kedua orangtuanya.
"Aku berangkat dulu." Nuansa berpamitan.
"Hati-hati, jaga dirimu," ujar Arfan.
"Ok."
Nuansa lalu pergi menuju restoran yang sudah ia janjikan dengan Neptunus. Karena menurut alamat yang diberikan oleh Neptunus, letak restoran itu tak jauh dari rumahnya (hanya sekitar 30 menit jika berjalan kaki), Nuansa pun memutuskan untuk pergi ke restoran itu dengan berjalan kaki.
"Woah, ini restorannya?" gumam Nuansa yang terpana melihat restoran romantis itu.
"Kalau begini pertemuan kami akan terasa seperti kencan," lanjutnya. Gadis itu lalu masuk ke dalam restoran romantis tersebut.
Saat mencapai pintu, Nuansa disambut oleh seorang penjaga pria yang menggunakan kemeja dan celana panjang.
"Selamat datang, Nona," sambut si penjaga yang terheran-heran dengan setelan pakaian Nuansa.
"Iya, terima kasih," kata Nuansa dengan ramahnya.
"Maaf, Nona, anda datang untuk makan?"
"Aku tidak berpikir kalau restoran adalah tempat untuk berenang."
"Maksud saya, anda memesan meja nomor berapa dan atas nama siapa?"
"Makan di sini harus memesan meja dulu? Apa meja makan yang kalian miliki hanya sedikit?"
"Itu peraturan jika ingin makan di sini, pelanggan harus memesan meja dulu beberapa jam sebelum makan malamnya."
"Begitu, ya. Hmm, aku tidak yakin, apa ada pria bernama Neptunus Bimasakti yang memesan meja di sini?"
"Nomor mejanya berapa ya, Nona?"
"Aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku."
"Baiklah, saya akan masuk sebentar untuk menanyakan pesanan meja atas nama Neptunus Bimasakti. Mohon tunggu di sini sesaat, ya, Nona."
"Ok, aku tunggu."
Si penjaga lantas masuk ke dalam restoran tersebut, dan tidak sampai 1 menit kemudian, ia keluar lagi.
"Silakan masuk, Nona," ucap si penjaga.
"Tunggu, itu artinya Neptunus Bimasakti memang memesan meja di sini?" tanya Nuansa.
"Ya."
'Oh, Fani benar, sepertinya tidak akan ada penipuan,' batin Nuansa.
Nuansa lalu diantar ke sebuah meja dengan 2 kursi yang berhadapan. Meja itu dekat dengan kolam renang besar yang dihiasi oleh bunga mawar yang membentuk simbol cinta. Di sekeliling pinggir kolam itu, hanya ada 5 set meja lain selain meja yang dipakai oleh Nuansa, jadi pemandangannya sangat luas.
Plus, pembicaraan para pasangan tidak akan bisa terdengar oleh pasangan lain, sebab jarak dari satu meja ke meja yang lain memang cukup jauh. Nuansa pun menunggu kedatangan Neptunus sembari terus mengingat wajahnya agar ia bisa memastikan bahwa ia telah bertemu dengan Neptunus Bimasakti.
Sekitar 10 menit setelah menunggu, Nuansa melihat seorang pria dengan kacamata hitam dan tuxedo datang mendekatinya. Pria itu berperawakan persis seperti Neptunus.
"Nuansa Indahsari?" ujar pria itu pada Nuansa. Suaranya terdengar sangat macho di telinga Nuansa, membuat jantungnya jadi berdebar 2 kali lebih kencang.
"I-iya," jawab Nuansa yang gugup, wajahnya seketika berubah menjadi merah merona.
'Kenapa aku jadi gugup?' batin Nuansa.
"Aku Neptunus Bimasakti, kau bisa memanggilku dengan nama Neptunus, ya aku tahu itu agak sedikit panjang, tapi jangan protes," ucap Neptunus sembari duduk dan melepaskan kacamatanya
'Dia agak sedikit cerewet, tapi tetap terlihat mengesankan,' batin Nuansa yang tak henti-hentinya mengagumi Neptunus.
"Baiklah," kata Nuansa.
"Jadi, kau dipanggil dengan nama apa? Indah? Sari?" tanya Neptunus.
"Nuansa, nama panggilanku adalah Nuansa," jawab Nuansa.
Neptunus terdiam sesaat. "Well, baru kali ini kutemukan orang dengan nama panggilan yang tak kalah panjang dari nama panggilanku."
Nuansa terkekeh kecil.
"Jadi, kau dua puluh satu tahun, ya?" ucap Neptunus.
"Dan kau dua puluh tiga."
"Kau tidak benar-benar tomboi, ya, kan?"
"Engh, kurasa begitu."
"Kenapa kau begitu kaku?"
"Benarkah? Maksudku, aku biasa saja."
"Ya, seharusnya kau menggunakan gaun yang berkilau, bukan berpenampilan seperti ini, jadi tentu kau biasa saja."
"Bukan, bukan, bukan begitu maksudku. Maksudku, aku juga tidak kaku sepertimu."
"Kalau begitu, berikan setidaknya aku satu pertanyaan."
"Tunggu, apa? Bukankah seharusnya kau yang bertanya-tanya padaku?"
"Ladies first, aku akan bertanya setelah kau bertanya. Aku hanya akan menanyakan satu pertanyaan padamu."
"Apa? Umur? Status? Alamat rumah?"
"Itu semua pertanyaan bodoh, kau sudah mencantumkannya di data dirimu."
"Oh, iya, hehehe."
"Silakan bertanya."
"Ke-"
"Tapi setelah makan. Mulutmu bau, pasti kau belum makan, kan?" sela Neptunus. Nuansa pun secara refleks mencium aroma mulutnya yang memang bau.
"Kau cukup peka sebagai pria," ucap Nuansa.
"Semua orang akan sangat peka dengan bau mulutmu itu."
"Apa ini mengganggu?"
"Untuk itulah aku memesan makanan beberapa jam yang lalu."
Beberapa pelayan lalu datang mengantar makanan yang dipesan oleh Neptunus.
"Ok," ujar Nuansa.
Mereka lalu langsung menyantap makanan masing-masing dengan cukup lahap.
"Ini enak, pasti harganya mahal," ucap Nuansa usai menghabiskan makanannya
"Mhm, gajimu sehari dariku saja tidak akan cukup untuk membayar semua ini," kata Neptunus. Mendengar itu, Nuansa yang sedang minum pun tersedak.
"Jadi, apa pertanyaanmu untukku?" sambung Neptunus yang juga sudah selesai makan.
"Aku menganggap tidak sopan jika aku terlalu banyak bertanya kepada kau klienku, jadi ... Aku hanya akan bertanya, kenapa kau menyewaku? Maksudku, aku tahu aku tidak berhak menanyakan hal ini, tapi, kau sendiri yang memintaku untuk bertanya, ya ... Kau pahamlah."
"Keluargaku dan teman-temanku mendesakku untuk mencari pasangan, mereka bilang jika aku terlalu lama sendiri, maka aku tidak akan pernah move on dari mantan kekasihku."
"Dan pada kenyataannya kau memang tidak pernah move on darinya, kan? Itulah kenapa kau menyewaku?"
"Aku move on, tapi hanya terlalu sulit untuk mencari gadis yang tepat."
"Kenapa? Apa kau trauma karena diputuskan oleh mantanmu itu?"
"Kau yakin ada gadis yang sanggup memutuskanku apabila mereka berpacaran denganku?"
"Hehehe, tidak."
"Bagus. Aku ditinggal mati olehnya, sekarang kau tahu."
Nuansa terdiam sejenak. "M-maaf."
"Tidak apa."
'Pantas saja dia sulit untuk move on,' batin Nuansa.
"Ok, bisa aku bertanya sekarang?" ujar Neptunus.
"Kau bisa bertanya sesuka hatimu," ucap Nuansa.
"Tapi kau harus menjawabnya, sebab aku hanya akan menanyakan satu pertanyaan."
"Tentu aku akan menjawab."
Neptunus lantas mendekatkan wajahnya ke wajah Nuansa dan menatapnya secara seksama. Hal ini tentu saja membuat jantung Nuansa berdebar semakin kencang dan terus mengencang.
"Berapa ukuran BHmu?" tanya Neptunus.
Nuansa melongo. "Hah?".
Kira-kira gimana rasanya kalau jadi Nuansa?