CEMAS
Arthur menggenggam secangkir kopi late ditanganya sembari mengamati lalu lalang jalanan ibu kota Jakarta dari balkon appartemennya, sesekali ia mencecap kopi dari cangkrnya. Pikirannya melayang terbang tinggi bersama lautan awan hitam yang terbentang diatas sana, udara dinin yang berhembus memeluk tubuh indah pria Eropa itu.
Leon sang pengawal memasuki ruang kerja Arthur dan berdiri tepat dibelakang sang pangeran, Leon membungkukkan badan menghormati sebelum mulai berbicara.
"tuan, ada panggilan dari baginda Raja."
Arthur menoleh dari ujung matanya ia menjumpai sang pengawal masih menunduk menyerahkan sebuah ponsel, ia mengambil benda itu malas kemudian menghibaskan tangan kanannya bermaksud meminta Leon meninggalkanya sendiri.
"hormat saya baginda raja." Salam Arthur pada seseorang diujung telepon.
Senyum indah Arthur terlukis diwajah tampan pangeran itu, mimic wajahnya penuh dengan kepuasan dan kemenangan. Entah apa yang dikatakan oleh sang raja dikejauhan sana, tapi apapun itu jelas perkataanya adalah hal yang menggembirakan.
"baiklah baginda raja, ananda akan selalu mengingat pesan baginda. Terima kasih atas berita menggembirakan ini."
Pria bermata biru itu mengakhiri panggilanya, menyimpan ponsel itu di saku celananya kemudian kembali mencecap kopi yang mulai dingin tertiup angin malam. Arthur berjalan santai memasuki ruang kerjanya, ia mengamati beberapa berkas yang tergeletak tak berdaya diatas meja kerjanya. Tangan kirinya mengambil acak salah satu berkas itu membukanya dan membacanya sekilas, senyumnya kembali menyingsing tapi sedetik kemudian ia melempar sembarangan sebendel kertas itu.
"harus kuapakan kalian? Ini hanyalah sedekah bagiku dan kalian sudah merayakanya? Tapi taka pa bernafaslah hirup oksigen sebanyak mungkin sebelum kalian masuk dalam kubangan air." Gelak tawa memecah keheningan malam diantara dinding sebuah apartemen mewah, hembusan angin seolah turut merayakan kebahagiaan sang pangeran.
Arthur yang dikenal sebagai pria kalem, baik hati, murah senyum, dan lembut itu mala mini bagai menjelma menjadi seorang monster mengerikan. Sorot matanya menyimpan jutaan rahasia, tawanya memekik mengerikan, dan senyumnya sinis mematikan.
Pangeran yberambut coklat kemerahan itu memanggil Leon sang pengawal. "Leon jangan lupa tutup semua jaringan dengan keluarga kerajaan. Setiap panggilan harus menggunakan nomor biasa jangan gunakan nomor khusus, jika terlanjur maka bersihkan semuanya." Titah Arthur.
Pengawal bertubuh tegap itu tak menjawab, ia hanya memungkukkan badan menghormati kemudian meninggalkan kembali sang majikan bersama dengan segelas kopi late ditangannya. Ruangan yang memiliki desain interior classic dengan hiasan beberapa patung penggambaran dewa yang dipercaya orang – orang Yunani itu adalah satu- satunya tempat yang mengetahui setiap rahasia yang ada dibalik mantel Arthur.
Kau bahkan tak tahu siapa aku, kau tidak bisa mengenaliku, apakah mata elang yang kau miliki kini sudah tak bekerja sebaik dulu? Tapi mungkin ini adalah takdirnya, kumohon jangan salahkan aku karena aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Gumam Arthur dalam hati.
Pangeran Eropa itu membuka laci meja kerjanya, mengambil tumpukan kertas yang telah usang. Ia memandanginya, membelainya dan tersenyum dihadapan kertas itu. Sebuah kertas dimana terdapat sketsa abstrak sesosok wanita remaja mengenakan seragam sekolah sedang tersenyum kearahnya, tatapan mata lekat itu mengamati setiap detail sketsa tak berwarna itu hingga netranya terhenti disudut kertas.
Sebuah tanda tangan dan tanggal dimana sketsa itu dibuat, hah sudah cukup lama sekitar sepuluh tahun lalu. Binar mata yang tadinya cerah kini redup beriringan dengan turunya gurat senyum diwajah tampan itu, ia berteriak hingga gema suaranya terdengar dari balik pintu disusul kemudian suara pecahan sebuah benda yang tak lain adalah gelas jangkir kopi late yang tedi dinikmatina.
Saat angannya kembali menyelami kenangan masa lalunya, sebuah klise peristiwa menyedihkan juga menyapanya, marah, menyesal, sedih, kecewa bercampu menjadi satu membuat sang empu yak mampu membendung bulir air matanya.
***
Di tempat lain Safira tengah asik menikmati sereal tivi diruang tengah rumah mewah bergaya American Classik itu, baju yang ia kenakan masih sama saat ia pulang dari gunung Bromo, rambutnya berantakan dan penampilanya sungguh terlihat menjijikan.
Satu mangkuk besar popcorn bertengger dipangkuanya, satu mangkuk berukuran sedang berisi kentang goreng, satu piring kecil irisan buah kiwi tergeletak dimeja, dan satu gelas besar jus wortel yang tinggal ampasnya berdiri tegak dipinggir meja marmer rumah mewah itu.
"kak, mandi dulu sana jorok banget sih." Tegur Ryuna kesekian kalianya tiap ia melewati ruang keluarga.
Tak ada jawaban Safira mengacuhkan teguran adik iparnya, ia bahkan melarang ART yang bekerja dirumahnya membersihkan butiran popcorn dan kentang yang bercecer disekitarnya. Pantas jika Ryuna bergidik jijik melihat Safira, tapi wanita 27 tahun itu justru merasa nyaman dengan semua keadaan ini.
Jarum jam menunjukan pukul 12 malam, mata Safira mulai berat, rasa kantuk menyerangnya tanpa ampun. Wanita itu akhirnya mengaku kalah, perlahan matanya mulai terpejam.
Ryuji memasuki pintu rumah Safira, bajunya masih rapi tapi wajahnya tak mampu menyembunyikan keletihanya setelah sehari penuh ia bekerja. Pengusaha muda itu mengendurkan dasi yang lebih dari 12 jam telah mencekiknya, ia membuka sepatu hitam mahalnya dan menyimpan disebuah rak khusus disamping pintu masuk bagian samping rumah itu. Ruji berjalan menyusuri lorong pintu samping, langkahnya terhenti saat memasuki ruang keluarga dan menjumpai tivi besar itu masih menyala.
Sang CEO itu bermaksud mematikan televise tapi ia justru dikejutkan melihat sang istri tengah tertidur pulas memeluk dua mangkuk yang isinya telah kandas, ia tersenyum melihat pemandangan ini. Perlahan dan dengan penuh kelembutan Ryuji memindahkan mangkuk itu ke meja, kemudian mengangkat tubuh mungil Safira menggendongnya untuk kemudian ia tidurkan diranjang mereka.
Malam memang tak pernah panjang bagi Ryuji, baru empat jam ia memejamkan mata tapi kini ia sudah berdiri dibalik kompor mengolah sesuatu. Mencium aroma harum Safira mengerjapkan matanya kemudian dengan langkah pasti ia menuruni anak tangga menuju dapur.
"Ryuu …. Kamu??"
Safira terpelangah melihat sang suami sedang mengolah beberapa bahan makanan,
"kenapa?? Ini bukan pertama kalinya kamu tahu aku turun ke dapur kan?" ledek Ryuji sembari memamerkan senyumnya.
Safira memeluk Ryuji dari belakang menghirup dalam- dalam aroma tubuh suaminya, Ryuji merasa sangat senang mendapatkan perhatian Safira kembali setelah hampir seminggu lamanya istrinya itu mengacuhkan dirinya.
"kau sudah tidak marah lagi?" Tanya Ryuji
Safira masih memeluk erat tubuh suaminya, ia menggelengkan kepala kemudian menyusup diantara tangan Ryuji.
"jadi selama kamu cuek sama aku karena kangen masakan aku ya?" Tanya Ryuji lagi
Safira mengendikan kedua bahunya kemudian melepaskan pelukanya, ia mencubit gemas hidung Ryuji hingga membuatnya mirip seperti hidung badut.
'kenapa kamu yang masak? Bik inem kemana??" Tanya Safira
"dia ijin pulang kampung semalam saat aku baru sampai rumah, katanya ibunya meninggal."
Safira manggut- manggut mencomot beberapa potong telur yang sudah tersaji di piring saji, tak lama setelahnya sepasang suami istri itu telah melahap habis masakan Ryuji.
"Ryuu kemana Ryuna?"
"masih tidur mungkin." Jawabnya santai
"Saf, kamu sakit?? Kok pucet gitu? Dari semalem badanmu juga anget." Tanya Ryuji sembari meletakan telapak tangannya di kening Safira.
"enggak, aku sih gak merasa sakit."
"okey, tapi kamu tetep dirumah aja ya gak usah ke kantor." Titah Ryuji.