Setelah aku naik ke kelas 2 SMA, aku di ajak berlibur oleh ayahku bersama teman - teman ku untuk pergi ke desa. Aku sempat kepikiran untuk mengajak juga Manami-san atau Rika-tan, tapi karena takut akan jadi masalah besar, jadinya aku merahasiakan hal ini pada keduanya.
Setelah kami sampai, kami disambut oleh seorang pria tua, yang tampaknya juga aku kenal.
Jika dilihat, pria tua itu terlihat jauh lebih tua dari ayah ku dan aku memperkirakan kalau ia berumur 60 tahun. Ia terlihat sedang tergesa-gesa datang menuju ke arah kami yang berada di dekat perbatasan desa, tempatnya lumayan jauh dari pemukiman warga.
Usia ayah ku saat ini adalah 47 tahun sedangkan ibuku memiliki usia yang lebih muda dari ayah 7 tahun.
"Waduh. maaf sekali Takeuchi-shi, saya agak telat menyambut. Tadi ada warga yang anaknya mau dinikahkan jadi saya urus sana-sini dulu," Ia menyalami ayahku, ayah merupakan seorang tuan tanah di desa ini yang sudah sejak lama ia tinggalkan dan memilih tinggal di kota. Saat ayah sudah berhasil banyak tanah di desa ini yang ayah beli, dan disini juga merupakan kampung halaman ayahku.
Bagi penduduk di desa ini keluarga ayah sejak lama terkenal dermawan dan itu berlanjut terus sampai ayahku, tidak sedikit yang ia tolong dalam pembangunan di desa ini seperti tempat ibadah, sekolah di desa, dan juga memberi sumbangan berupa sembako saat musim kemarau melanda; dimana saat itu sulit untuk mengharapkan hasil pertanian dari desa ini.
"Wah ya tidak apa-apa Wada-shi, biasa saja. Oh ya ini Hideki, masih ingatkan. Saat ini ia sudah masuk kelas 2 SMA sekarang. Dan ini teman-temannya. Nah, mereka saya antar ke desa ini agar dapat mengetahui bagaimana kehidupan di desa, mumpung mereka masih libur," kata ayah ku.
"Wah wah, ini Hideki-kun rupanya sudah besar ya sekarang. Saya sempat tidak kenal tadi, dulu ketika masih kecil sering datang kemari, jadi heran saya, waktu rupanya cepat berlalu ya," ia kemudian menyalami ku dan ke dua teman ku yang sekelas dengan ku.
Sambil bersalaman, mereka pun memperkenalkan diri padanya. Nama mereka adalah: Kondo Tomi dan Miura Shinji, penampilan Shinji sama seperti penampilan ku. Dengan badan yang sedikit kurus dan tidak terlalu gemuk, sedangkan Tomi berbadan gemuk.
Ayahku lalu mengatakan pada mereka tentang paman itu, Wada-shi adalah pria yang sangat rajin dan santun yang patut jadi panutan. Ayah lalu menyampaikan maksud kami datang kesini pada Wada-shi.
"Ah, Wada-shi, saya datang kesini berniat membawa mereka untuk memperkenalkan bagaimana kehidupan di desa. Dan sekaligus membiarkan mereka menginap disini, kira-kira selama seminggu dan saya harap setelah mereka tinggal disini mereka jadi lebih menghargai orang dari desa.
Setelah ayah memberitahu padanya bahwa aku dan teman ku akan berada di desa ini sekitar seminggu, dengan harapannya agar kami tahu tentang kehidupan di desa dan menghargai orang desa. Dia pun meminta agar kami di perbolehkan tinggal.
"Saya hanya minta mereka diperbolehkan mendirikan perkemahan di sekitar hutan dekat desa, tolong Wada-shi ajari mereka untuk mandiri. Soal kebutuhan makan biar mereka berusaha sendiri, ya mencari ikan, memancing di sungai, mencari jamur ataupun sayur yang bisa di makan, sampai memasak, jangan dibantu agar tidak manja. Nanti berasnya saja disediakan," kata ayah.
Lalu kami pun pergi ke area hutan dekat desa. Aku dan teman ku mencari tempat datar untuk dapat mendirikan tenda, dan mulai menyiapkan semua perlengkapan untuk kamping. Ayahku kemudian pergi meninggalkan kami dan kembali ke kota.
Dua buah tenda berukuran 3 kali 3 meter berdiri saat menjelang petang, Paman itu ikut membantu kami yang anak-anak kota, sampai semuanya beres.
Paman lalu mengajak kami untuk mampir ke rumahnya di pemukiman desa. Di sana ia memberitahu tempat sungai di dalam hutan yang bisa dipancing ikannya, dan tempat ke kebun sayur miliknya di dekat hutan ataupun jamur yang boleh kami petik.
Malam itu kami menginap di tempat tinggal paman, dan berkenalan dengan para anak muda yang sebaya dengan kami di desa. Tapi, Paman Wada meminta mereka untuk tidak membantu kami dalam hal apapun. Dan berada di sekitar kamping, agar kami bisa mandiri sesuai pesan Ayah.
Pagi-pagi sekali Aku dan ke dua temanku kembali menuju perbatasan hutan tempat tenda kami berdiri, kami membawa sejumlah kilogram beras dan perabotan masak-memasak dari tempat tinggal Paman.
"Ya..., benar-benar welcome to the jungle nih Hideki. Kamu sih pake nurut segala sama ayah mu itu. Harusnya kan kamu liburan ke Osaka. Eh, malah jadi tarzan disini. Huh capek deh," Shinji mengeluh sejadinya sambil melempar panci yang dibawa.
"Iya nih. Udah perutku kelaparan lagi nih," Tomi menambahkan. Tomi bertubuh gemuk dan doyan makan.
"Udah deh. mendingan kalian cari cara bagaimana agar kita ada sayur untuk di makan. Sudah pembelian barang nggak bisa. Uangnya ada; tapi orang-orang di desa nggak ada yang mau menjual apa-apa pada kita karena perintah ayah ku. Ayo deh kita cari ranting atau apa kek yang dapat dibakar supaya kita bisa masak," kataku pada mereka.
Keadaan ini membuat kami terpaksa bergerak juga, daripada kami harus kelaparan. Kami menyiapkan tungku dari susunan batu, dan menyalakan api. Api pun menyala; lalu kami memasak nasi di dalam panci. Untung Tomi membawa bekal banyak, yaitu mie instant yang bisa kami gunakan untuk menjadikan lauknya.
"Tuh kan enak juga ternyata jadi tarzan begini. ha ha.," Aku menghibur ke dua temanku itu.
"Enak. tetapi aku nggak kenyang nih makan segini," gerutu Tomi.
Biasanya dia makan dua piring, dua porsi atau lebih, tetapi sekarang hanya dapat satu porsi.
Setelah sarapan, kami pergi ke arah sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Tapi sebelum kami meninggalkan tenda, Paman Wada datang bersama anak perempuannya. Namanya Wada Saori.
"Loh, kalian pada mau kemana? Sudah pada sarapan belum?," tanya Paman.
Ia lalu mengenalkan anaknya itu pada kami bertiga. Saori-san adalah anak pertama Paman sudah empat tahun ini ia menjanda ditinggal mati suaminya karena kecelakaan, belum punya anak. Jika di lihat usianya sekitar 20-an. Wajahnya cukup cantik aku heran kenapa ia masih menjanda.
"Malam kemarin Saori belum sempat bertemu kalian karena dia sedang membantu acara warga yang mau menikah. Nah, sekarang untuk urusan memasak dan makanan biar dia yang membantu kalian ya. Melihat kami merasa aneh ia pun menyambung perkataannya.
Tidak apa-apa, Paman tidak akan bilang ke ayah Hideki kok.," Saya hanya merasa kasihan jika melihat Hideki dan teman-temannya yang harus berusaha memasak sendiri di hutan dengan perlengkapan seadanya. Dan lagipula di tempat tinggal Saori ia tidak terlalu banyak memiliki pekerjaan, karena ia lebih sering kembali ke tempat tinggal paman dan juga di rumah pun ia hanya tinggal seorang diri saja.
"Waduh. Jadi ngeropotin Saori Oneesan nih. Tapi baiklah pak, dari pada bobot saya susut seminggu di sini. HaHaHa," Tomi senang sebab keperluan makan bakal terjamin.
"Iya. Nggak apa-apa kok, Oneesan biasa memasak dan nyuci kok," katanya.
Saori Oneesan berpenampilan khas wanita yang tinggal di desa, dengan memakai pakaian biasa yang tidak terlalu maju. Wajahnya cantik dan sebagai janda yang masih muda tubuhnya juga semakin subur dan berisi.
Tingginya 165 cm bisa dibilang itu merupakan tinggi tubuh yang ideal untuk seorang wanita, tapi tidak tampil dengan seksi. Payudaranya juga bisa dikatakan cukup besar mungkin sekitar D cup, dengan bentuk pinggang yang lebar dan pantatnya padat berisi tampak terlihat menonjol jika dilihat dari belakang; dari celana yang dipakainya.
Setelah kami saling berkenalan, aku pun ikut pergi bersama dengan Saori Oneesan. Paman Wada pergi kembali ke rumahnya, sedangkan aku pergi ke rumah Saori Oneesan.
Lalu sesampai dirumah ia pun menyiapkan keperluan yang kami butuhkan. Di dalam rumah aku sendiri merasa terangsang, terlebih sudah cukup lama aku tidak melakukan hubungan itu.
Aku sedikit mengodanya, dan melihat apakah ia bisa di ajak untuk melakukan hal itu. Terlebih pastinya ia juga sudah cukup lama tidak melakukan hal itu.
Terlihat pancingan ku sedikit berhasil, pada awalnya ia menolak lalu aku mencoba memberanikan diri menyentuh dan memeluknya, karena aku lihat tidak ada siapapun dirumahnya ini, hanya ia sendirian.
Setelah cukup lama aku menyentuh payudaranya, aku pun mencium bibirnya dengan keahlian ku selama ini ia pun mulai lebih aktif merespon. Aku merasakan tangannya berusaha masuk ke dalam celana ku. Dengan senang karena aku telah berhasil membuatnya lebih berani, aku pun melepas pelukan ku padanya lalu membuka celana ku sendiri, setelah itu melihat responnya.
Ia terlihat terdiam sejenak, lalu dengan ragu - ragu, ia tampaknya tahu apa yang harus ia lakukan.
Tangannya lalu meraih penisku dan mengocoknya. Penis ku kesenangan sebab tangannya semakin liar mengocoknya.
"Em..., lenguhku.
Lalu aku pun menanyakan, padanya:
"Boleh nggak Oneesan, aku masukan ini ke dalam vaginanya. Supaya nanti penisnya bisa dimainkan di dalam agar lebih memuaskan, terus Oneesan bisa gerasain lagi nikmatnya berhubungan seks lagi?"
Tampaknya ia semakin terangsang dengan pertanyaan ku, ia pun mengangguk dan dengan tindakan ia melepaskan celana dalamnya dalam posisi berdiri, lalu aku menyentuh vaginanya itu yang telah terlihat; dan mengeseknya dengan jari dengan pelan, setelah melihat ia mulai menikmati, secara peralahan ku masukan jari ku dan mengocok vaginanya semakin cepat.
"Ah.... enak.... enak... ah.… ah... kayaknya aku mau keluar nih. Akh…, ia melenguh menikmatinya.
"Enak juga kan?," aku bertanya padanya.
Ekspresi kenikmatannya membuat aku semakin teransang. Dan tangan ku juga semakin aktif mengosok permukaan vaginanya.
"Iya Hideki-kun. sstt enak.... akh... akh.... oh...
Lalu aku pun menghentikan tanganku dia pun bertanya.
"Kok berhenti sih Hideki-kun?"
Aku pun menjawab akan memasukan penisku kedalam vaginanya. Dia hanya mengangguk.
Pelan-pelan lalu kumasukan batang penisku dan mulai memaju mundurkan penisku dalam posisi kami berdiri. Setelah agak lama aku pun mulai merasakan kenikmatan. Melihat hal ini ia lalu berkata padaku.
Keluarin aja Hideki-kun nggak usah ditahan, aku merasakan tubuh ku mulai mencapai puncak dan ku keluarkan lah cairan kenikmatan ku. "Croott… Crott semburan sperma ku keluar di dalam vaginanya.
Melihat ku ia pun sudah terbakar birahi, pingulnya bergoyang agar lebih merasakan gesekan penisku di vaginanya.
Tapi sebelum ia mencapai klimaks, Ia mendengar suara teman-teman ku mendekat. Ia segera menyudahi aksinya dan kembali membereskan pakaiannya dan beranjak untuk membersihkan diri.
"Ehm. Makasih ya Oneesan sudah mau lakukan itu sama saya. Jangan bilang ke yang lain ya Oneesan,"
Aku pun menghampirinya dan memberinya ciuman di keningnya, kemudian aku merapikan pakaian dan pergi menemui ke dua temanku.
Ia hanya mengangguk, dan tampaknya ia sendiri sangat malu menyadari apa yang barusan terjadi.
Tapi klimaks yang belum sempat diraihnya aku pikir itu akan membuat pikirannya jadi tak karuan saat itu. Karena ia seperti tidak rela melepas penisku.
Temanku mereka sudah berkumpul bersama di depan rumah itu. Ia menyuruh kami ke tenda duluan meninggalkannya dan memberi alasan bahwa ia akan pergi kesana serta menyuruhku untuk membawa makanan yang sudah selesai dimasak, agar tidak terlihat bahwa ia sedang merapikan bajunya. Dan kami pergi membawa makanan yang sudah jadi ke tenda kami.
Saya harap pembaca menyukai ceritanya.