Sesuatu di dalam dadanya seakan ingin meledak detik itu juga, dan kakinya tanpa sadar menendang kursi hingga terjatuh.
"Kau ingin dicium seperti semalam, hah? Apa dengan begitu kau akan bangun? Dasar pelac*r!"
Dengan sentakan kasar, ia meraih kepala Misaki dan melekatkan bibirnya dengan bringas.
Dingin.... batin wataru.
Ia melumat rakus bibir dingin Misaki dengan perasaan kacau balau, satu-satunya yang membuatnya merasa lebih baik kini malah tak sadarkan diri?
Semua perasaan negatif yang menguasai lelaki itu detik sebelum kini runtuh.
"Kau belum bangun. Demammu juga belum tentu tak akan kembali lagi. Pria itu benar-benar menipuku..."
Ia menegakkan diri setelah menata poni Misaki yang terlihat mengganggu kenyamanannya. Mata lelaki itu berubah dingin, sudut bibirnya berkedut. Diraihnya ponsel yang ada di meja belakangnya dan menghubungi seseorang.
<Tak biasanya kau menghubungiku dengan nomor ini! Waka. Sama.*>
_______
*Waka-sama: waka artinya tuan muda, sama adalah gelar kehormatan.
Mendengar nada bicara menyebalkan pada akhir kalimat dari lelaki muda di teleponnya, kening Wataru bertaut.
"Hentikan kekonyolanmu!"
<Hahaha! Baiklah! Baiklah! Jangan marah begitu! Aku hanya bercanda! Katakan, apa maumu kali ini? Perawan baru lagi? Aku punya banyak kenalan baru, loh!>
Nadi di dahi Wataru terlihat jelas siap untuk meledak kapan saja, tatapan matanya menyipit tak suka.
"Aku tidak butuh perempuan! Berapa kali sudah kubilang kalau aku lebih suka berburu?"
<Baiklah! Baiklah! Kubilang jangan marah begitu. Kau terdengar seperti kembang api yang menggemaskan! Pffft!>
Ledekan itu membuat hati Wataru semakin lama semakin memanas, ia memejamkan mata kuat-kuat dan berusaha menghadapi lawan bicaranya lebih santai.
"Aku ingin kau menelusuri sebuah alamat IP*."
____________
*Alamat IP (Internet Protocol Address atau sering disingkat IP) adalah deretan angka biner antara 32 bit sampai 128 bit yang dipakai sebagai alamat identifikasi untuk tiap komputer host dalam jaringan Internet.
<Oh, lalu?>
Si lawan bicara sedikit terdengar tertarik.
"Hancurkan dia dan keluarganya. Buat mereka miskin, hancurkan reputasinya dan relasinya, serta buat mereka susah mendapat pekerjaan."
Lelaki di seberang telepon tertawa.
<Siapa lagi kali ini yang membuatmu marah?>
"Lakukan saja apa yang aku perintahkan! Jangan banyak tanya!"
<Wataru. Wataru. Kau benar-benar kejam. Miyamoto benar-benar mengubahmu menjadi iblis tak punya hati, ya!>
Sesaat, Wataru bisa merasakan lelaki di seberang sana mendengus penuh minat.
"Oh! Satu lagi! Ponselku rusak! Aku ingin yang baru."
<Ponselmu rusak? Pantas saja. Apa kau tak bisa bersenang-senang dengan 'menu' di dalamnya sampai mengamuk seperti ini?>
"Diam, kau, Shou!" bentak Wataru dengan amarah tertahan.
<Ah! Kalau bukan masalah 'pangeran kecil', lalu apa?>
"Jangan memberikan istilah menjijikkan semacam itu!"
<Kenapa? Bukankah 'pangeran kecilmu' itu memang penakluk wanita?>
Kali ini suara tawa lawan bicaranya terdengar begitu keras dan jelas.
"Aku capek hari ini, tak bisa meladeni kekonyolanmu. Akan aku kirim informasi yang kaubutuhkan setelah menutup telepon."
<Aaaaah! Waka-sama kita rupanya sibuk dengan saham yang anjlok!>
Bola mata Wataru terbelalak hebat.
"Dari mana kau tahu?"
Cukup lama lelaki bernama Shou itu terdiam, lalu tak seperti nada bicaranya sebelumnya yang penuh kejenakaan dan kejahilan, kini ia berbicara serius dengan nada berbahaya.
<Aku adalah penyedia informasi terhebat. Kau pikir apa yang luput dari mata dan telingaku?>
Wataru mengatupkan rahangnya kuat-kuat, pikirannya melesat cepat pada Misaki.
Kenapa ia tak langsung menghubungi Shou saja? Kenapa malah detektif Futaba? Tangannya sudah kotor oleh berbagai macam hal, masih saja ia mau berbuat sok tak melanggar hukum? Apa yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini? Sejak kapan ia bersikap sok suci?
<Oi? Wataru? Kenapa kau yang diam sekarang?>
"Berisik! Kurasa kita perlu bertemu saja. Aku juga perlu membahas sesuatu denganmu."
<Membahas sesuatu?>
"Sisanya akan aku ceritakan nanti. Tapi, pertama-tama bereskan dulu pemilik alamat IP yang kuperintahkan saat ini."
<Baik. Baik. Beritahu aku alasan yang masuk akal untuk mengeksekusi perintahmu.>
Wataru kembali merasa kesal, ia melirik pelan ke arah Misaki. Pandangannya otomatis mengarah ke bibir perempuan itu. Semburat merah muncul di kedua pipinya, rasa malu dan marah silih berganti memenuhi ruang di dadanya.
"Dia menipuku."
<Ok! Cukup masuk akal! Akan aku laksanakan!>
Dan sambungan telepon itu pun ditutup.
Ia menurunkan ponselnya dari telinganya, meletakkannya dengan kasar di tempatnya kembali setelah mengirim informasi seperlunya ke lawan bicara bernama Shou tadi.
Lelaki itu kemudian berdiri cukup lama menatap Misaki dengan pandangan curiga dengan mata dinginnya, "bangun..." telunjuk kanannya mengetuk pelan dahi Misaki, lalu kembali hawa panas menjalar naik di dadanya mengingat nama Ishida dan Ishikawa.
Dasar! Kenapa semua pria bernama 'Ishi' membuatku merasa seolah tertekan begini? umpatnya dalam hati. Tak senang dengan fakta menyebalkan itu.
"Bangun, dasar pelac*r..." ia kembali mengetukkan telunjuknya, suaranya terdengar pelan meski rasa sakit menyengat mulai hadir di dadanya.
"Oi! Pelac*r murahan! Kubilang bangun! Apa kau tidak capek bersandiwara seperti ini terus? Kau mata duitan, kan? Apa saja pasti akan kau lakukan! Kau tidak dengar aku tadi bicara apa di telepon? Aku bisa melakukannya padamu juga saat ini!"
Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya lebih keras dan cepat pada dahi Misaki. Sebuah perbuatan kekanakan dan kasar yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang lelaki dewasa, lebih-lebih seorang dewa bisnis Asia Timur. Siapa yang menyangka?
Ocehan Wataru berhenti seiring telunjuknya berhenti pada dahi Misaki. Ia tersenyum tipis dengan raut wajah menakutkan, detik berikutnya tatapan matanya meredup.
Ia gila! Ia sudah gila gara-gara perempuan tidak jelas itu! Sial*n!
Sudut mulutnya kini tersenyum ringan, lemah seolah bisa terkoyak dalam sekali sentuh. Nada suaranya berubah berat, dalam, dan sedih. Dan di setiap kata yang terlontar dari bibir menawannya, ia mengetuk-ngetukkan kembali telunjuknya dengan perasaan gemas bercampur rasa setengah meradang.
"Pe.la.c*r. Fa.vo.rit.ku"
Senyumnya terlihat lesu, sekujur tubuhnya seolah tersiram air dingin. Ia memiringkan kepalanya menatap Misaki, bola matanya terlihat tak berjiwa. Mimik wajahnya begitu jelas terluka.
Tangannya menyapu lembut pipi Misaki, dan dengan perasaan gelisah ia menelusupkan jemari tangannya tadi ke sela-sela rambutnya sendiri, matanya yang masih menatap Misaki memancarkan rasa mendamba sebuah kegilaan.
"Kau milikku. Hanya milikku. Misaki. Propertiku."
Ia menaikkan tubuhnya di atas kasur dan berbaring di tepi ranjang pasien yang cukup besar itu.
Kehadiran Misaki yang tak pernah disangkanya memberikan sebuah percik dalam hidupnya yang sulit untuk ditelaah oleh otaknya. Apakah cinta? Ataukah memang hanya mainan unik sejak awal?
Ke mana hatinya saat ini sebenarnya berada? Bayangan sekejap Aiko sang mantan pacar yang didapatinya tidur bersama pria lain tanpa sehelai benang pun, membuat jantungnya terpelintir jauh ke dasar.
"Hari yang menyebalkan...."
Bisiknya pelan dengan geraman rendah, kemudian ia menutup mata. Meski mata pandanya yang disamarkan dengan concealer sekertarisnya dan ia terlihat seperti biasa, namun tubuh dan pikirannya benar-benar terkuras habis. Ia lelah. Lelah dengan semua sandiwara yang melahap habis jati dirinya. Bahkan saat menutup mata pun ia tak mampu mengenali siapa dirinya saat ini.