Gideon, city of duel, Paladin Ray Starling
Aku, Nemesis dan Hugo mendapat sebuah random event quest dengan tingkat kesulitan 8 bernama "Selamatkan Roddie Lancarse." Sama seperti quest untuk menyelamatkan Miliane, kami akan berpacu dengan waktu. Namun, aku memiliki dua kekhawatiran tentang hal ini.
Pertama adalah tingkat kesulitan quest. Aku tidak tau sesulit apa quest dengan tingkat kesulitan 8 itu, jadi aku menanyakan hal itu kepada Hugo…
"Cukup sulit untuk membuat seorang tian berlevel 500 gagal dengan spektakuler," katanya. "Bahkan sebuah party berisi sekelompok tian seperti itu juga akan kesulitan untuk menyelesaikannya."
… dan itulah jawabannya. Jadi, quest dengan tingkat kesulitan 8 itu terlalu sulit bahkan untuk para tian level max. Bahkan jika kami para Master pada dasarnya lebih kuat dari pada tian, sudah jelas bahwa itu terlalu sulit untukku—seseorang dengan level di bawah 50. Namun, aku tidak berniat untuk membiarkan anak itu mati hanya karena sulit untuk menyelamatkannya.
"Aku harus mengatakan bahwa membiarkan mereka kabur adalah sebuah kesalahan fatal," kata Nemesis.
Dan itulah kekhawatiranku yang lain—kelima preman yang kami hadapi.
Orang yang kupukul masih terbaring di gang, jadi Hugo mengikatnya menggunakan tali. Kami memutuskan untuk menyerahkannya kepada para penjaga, jadi gadis yang kami tolong—Rebecca—bergegas menuju pos penjaga.
Sayangnya, keempat preman lainnya melarikan diri sambil mengancam akan membunuh adiknya. Kami tidak tau dimana markas mereka, jika mereka sampai disana lebih cepat dari kami dan memberitahu semua orang tentang apa yang terjadi disini, nyawa anak itu akan berada dalam bahaya.
"Hadeh, sebaiknya aku menyemprot mereka menggunakan gas," kataku. Sedikit saja mereka menghirup racun dari Miasmaflame Bracer milikku, dan mereka tidak akan bisa bergerak lagi.
"Kita sedang berada di tengah kota, jadi bukankah itu akan dihitung sebagai tindakan terorisme?" tanya Nemesis.
Kau benar, pikirku. Meskipun aku juga bisa membakar kaki mereka menggunakan api dari bracer sebelah kiri dan membuat mereka tidak bisa berjalan, dan…
"Aku bisa menduga bahwa kau sedang memikirkan sesuatu yang mengerikan," kata Hugo. "Biarkan aku meyakinkanmu bahwa kau tidak perlu khawatir dengan mereka." Dia kemudian menunjuk ke arah jalan tempat mereka melarikan diri.
Aku tidak dapat melihat apa yang ada dibalik sudut jalan itu, tapi aku dapat mendengar sesuatu yang sedang diseret di atas tanah.
"Suara apa itu?" tanyaku. Sumber suara itu terus mendekat sampai pada akhirnya itu masuk kedalam pandanganku.
"Mahaf membuatmhu menunngghu, Hugo." Itu adalah seorang gadis. Jika kau mengabaikan topi unshanka yang ada di kepalanya, dia akan sama tingginya dengan Nemesis.
Hal pertama yang kusadari dari dirinya adalah putih. Rambut putih, pipi putih, topi putih. Meskipun disini tidak dingin, dia juga memakai jaket panjang berwarna putih dan juga syal putih. Dan, entah kenapa, dia juga sedang menggigit sebuah kue manju berwarna putih. Satu-satunya hal pada dirinya yang tidak berwarna putih adalah mata birunya.
"Heh." Hugo kembali masuk mode Pujangga." Kerja bagus, Cyco."
Dia menelan manju yang ada dimulutnya sebelum menanggapi hal itu. "Itu merepotkan, tapi mereka lemah, jadi aku tidak terlalu memikirkannya."
Aku menatap ke bawah dan melihat dia sedang memegang beberapa orang—keempat preman yang telah melarikan diri— tepat pada kerah baju yang ada di leher mereka.

Bisa dengan mudah menyeret dua orang pada masing-masing tangan sudah jelas tidak cocok dengan penampilannya, tapi aku segera menyadari bahwa ada tato Master di tangan kirinya.
Yah, kurasa itu adalah kekuatan yang masuk akal jika dia adalah seorang Master, pikirku.
Caranya berbicara benar-benar monoton, dan aku tidak bisa menduga apakah dia sedang bersandiwara atau memang itulah gaya bicaranya yang sebenarnya.
Dia menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dan mengirimkan tatapan tajam ke arahku dan Nemesis. "Hugo sang penggoda wanita berteman dengan seorang lolicon? Apakah kau menyukai loli, tuan?"
"Siapa yang kau panggil lolicon?!" teriakku.
"Siapa yang kau panggil loli?!" Nemesis berseru disaat bersamaan.
Dia benar-benar menyebutku sebagai seorang penyimpang seksual dengan perkataan pertamanya kepadaku! Orang mana yang melakukan hal seperti itu?! pikirku.
"Dada rata dan tubuh pendek itu adalah salah satu ciri seorang loli," kata gadis itu. "Dan siapapun yang menjadikan loli sebagai pelayannya adalah seorang lolicon asli."
Itu adalah sebuah fitnah. Nemesis adalah bagian dari diriku, jadi dia tidak masuk hitungan.
"Tidak!" kata Nemesis. "Bentukku ini lebih mengutamakan kecantikan dari pada fungsi!"
"Master dengan Embryo yang mengklaim bentuk itusebagai sebuah kecantikan adalah seorang lolicon akut," kata gadis putih itu.
"Kau…! Sepertinya aku harus melakukan sesuatu pada mulutmu itu!" teriak Nemesis.
"Coba saja."
Nemesis melompat ke arah gadis itu, yang menghadapinya dengan wajah tetap tanpa ekspresi. Mereka mulai bertarung, tapi aku seperti sedang melihat dua ekor kucing yang saling bertengkar.
Memang aneh bagi Nemesis untuk sejujur ini pada orang lain yang bukan diriku, pikirku.
"Jadi, Hugo," aku mulai berbicara. "Siapa gadis monoton dan monochrome yang tanpa ragu melabeli orang asing sebagai orang mesum ini?"
"Cyco," jawabnya. "Dia adalah… anggota partyku. Aku menghubungi dan memintanya untuk menangkap para preman yang melarikan diri. Gadis ini memang memiliki mulut yang kasar, tapi seperti yang kau lihat, dia cukup bisa diandalkan. Oh, dan sebagai tambahan, hal yang dia katakan barusan masih jauh dari hal terburuk yang bisa kau dengar darinya."
"Serius?" aku mengangkat alisku.
"Ya," dia mengangguk. "Khususnya jika dibandingkan dengan ejekan yang dia katakan kepada pemilik klan kami."
… Aku bahkan tidak dapat membayangkan hal itu, pikirku.
Yah, kesampingkan mulut kasarnya, sekarang kami memiliki tiga orang Master di dalam party kami. Tentu saja, itu meningkatkan kesempatan kami dalam menyelesaikan quest ini.
"Baiklah, Cyco, katakan kepada kami apa yang kau dapatkan," kata Hugo.
"Okay," Cyco menjawab sambil tangannya tetap bercengkraman dengan tangan Nemesis saat mereka saling mendorong satu sama lain dalam situasi yang mirip seperti sebuah pertandingan sumo. Tapi dalam keadaan itu, dia memalingkan wajahnya ke arah Hugo dan mulai berbicara. "Setelah aku menghajar dan menginterogasi mereka, mereka memberitahu dimana tempat persembunyian mereka. Itu terletak diluar gerbang timur, di Cruella Mountain Belt. Lokasi spesifiknya ada pada peta yang mereka miliki."
Dengan lihai, dia menggunakan mulutnya untuk menggigit kertas yang ada di saku jaketnya dan melemparkannya kepada Hugo hanya dengan menggunakan kepalanya.
"Cruella Mountain Belt?" aku mengulangi nama tempat itu. Itu adalah wilayah yang belum pernah kudengar sebelumnya.
"Itu adalah nama pegunungan yang ada di sebelah timur kota ini," kata Hugo. "Area di seberang pegunungan itu adalah wilayah Caldina."
"Jadi pada dasarnya itu adalah perbatasan antara negara," kataku.
"Itu adalah tempat yang sempurna bagi sebuah tempat persembunyian bandit," lanjut Hugo. "Setiap operasi militer yang dilakukan Kerajaan Altar di Cruella Mountain Belt akan dianggap sebagai tantangan perang oleh Caldina."
"Kalau begitu, kenapa kedua negara tidak bekerja sama untuk menangani para bandit itu?" tanyaku. Bandit yang berkeliaran di dekat perbatasan kelihatannya merupakan masalah besar bagi Altar dan Caldina, jadi sudah wajar jika mereka seharusnya bekerja sama dan menumpas mereka.
"Itu tidak akan pernah terjadi," kata Hugo. "Caldina hanya akan bergerak jika mereka bisa mendapatkan uang dari hal itu. Faktanya, mereka akan melakukan apapun untuk hal itu."
"Jadi, maksudmu…?" tanyaku.
"Dengan biaya tertentu, para bandit itu bisa mejadi pelanggan yang berharga."
Jadi mereka ada dibalik semua ini? Pikirku.
"Aku menduga bahwa mereka mendapatkan bayaran yang besar dan memberikan kerja sama pasif sebagai gantinya," lanjut Hugo. "Caldina mungkin setuju akan melakukan tindakan jika pasukan kerajaan membuat pergerakan. Bahkan jika itu hanyalah sebuah sandiwara, kerajaan masih tidak akan dapat melakukan apa yang mereka inginkan."
Hugo membuka peta yang diberikan Cyco kepadanya. Di sisi kiri peta adalah Gideon. Bagian kanan menggambarkan gurun, dan wilayah tepat di tengah-tengahnya terdapat pegunungan. Gunung yang terletak paling dekat dengan Gideon memiliki tanda lingkaran yang menandai sesuatu.
"Ini tempatnya," kata Hugo. "Tempatnya terletak di seberang pegunungan. Sepertinya kita harus bergegas."
"Ya," setujuku. "Kita harus berlari dengan sangat cepat."
Entah kenapa, Hugo memberikan tatapan aneh kepadaku.
"Apa?" tanyaku.
"Ray," katanya. "Kau seorang Paladin, bukan? Apakah kau tidak akan menaiki seekor mount?"
"Aku memiliki seekor kuda, tapi aku tidak bisa menungganginya karena aku tidak memiliki skill Horse Riding," jawabku.
"Jadi begitu…" kata Hugo, terlihat benar-benar tercengang.
"… Ya."
Yah, ini terkesan canggung, pikirku.
"Heh," dia terkekeh. "Ini pertama kalinya aku melihat seseorang yang tidak memiliki skill Horse Riding meskipun memiliki job jenis ksatria."
"Apakah orang-orang bisanya memilikinya?" tanyaku.
"Yah," kata Hugo. "Katakan saja aku merasa seperti ada seseorang yang mengatakan bahwa dia adalah seorang perenang kepadaku, tapi mereka tidak bisa melakukan renang gaya dada, gaya punggung, atau gaya kupu-kupu."
"Apakah ada gaya renang lain selain itu?" tanyaku.
"Gaya anjing dan gaya tradisional Jepang?" jawabnya.
Kelihatannya mereka tidak masuk hitungan.
"Bagaimanapun, aku paham dengan situasinya," kata Hugo. "Serahkan padaku. Aku memiliki sarana transportasi yang memungkinkan kita sampai di tempat persembunyian mereka dalam waktu singkat."
"Thanks," kataku berterima kasih.
Meskipun ini tidak ada hubungannya, tapi Nemesis dan Cyco telah menjadi teman selama pertarungan mereka, dan sekarang sedang saling bersalaman.
Pertemanan adalah hal yang bagus, pikirku. Tapi, fakta bahwa satunya berwarna hitam dan satunya lagi berwarna putih mengingatkanku dengan anime para cewek yang tayang beberapa dekade yang lalu.

Party kami—Aku dengan Nemesis berada dalam bentuk pedang, Hugo, dan Cyco—telah berjalan melalui gerbang timur di distrik ketiga Gideon dan saat ini sedang berdiri didepan pintu masuk area Cruella Mountain Belt.
Disana ada sebuah jalan yang mengarah ke pegunungan, yang sedang digunakan oleh kereta-kereta dan sejenisnya.
Kami baru saja hendak pergi menuju tempat persembunyian para preman itu dengan menggunakan sarana transportasi yang dikatakan oleh Hugo, tapi…
"Ngomong-ngomong, apa sarana transportasi yang tadi kau bicarakan?" tanyaku.
"Ini bukan tempat yang tepat untuk hal itu." kata Hugo. "Kita harus pergi ke tempat yang lebih sepi."
Apakah dia tidak bisa menunjukkannya kepada orang lain atau sejenisnya? Pikirku. "Apakah itu terlalu mencolok atau sejenisnya?"
"Ya, bisa dibilang begitu," jawabnya.
Dan dengan begitu kami berjalan selama lima belas menit lagi. Kami juga tidak berjalan mengikuti jalan pegunungan. Sebenarnya Hugo membawa kami ke sebuah hutan.
Baik, ini aneh, pikirku. Kami berada jauh dari satupun jalan yang dapat digunakan oleh kereta atau sejenisnya.
Jika kami akan menggunakan sesuatu yang dapat dinaiki, jalan pegunungan yang terletak di dekat Gideon akan lebih bagus.
"Tempat ini kelihatannya bagus," katanya setelah menemukan sebuah area hutan yang terbuka. Tempat itu berbentuk melingkar dengan diameter sekitar 10 meter. Disini anehnya terdapat sedikit pohon yang tumbuh tinggi, dan sepertinya tanaman yang ada disini baru saja mulai tumbuh.
"Kurasa ada seseorang dengan job berbasis sihir telah menggunakan sihir serangan AOE disini," kata Hugo. "Aku tidak tau sekuat apa sihir itu, tapi ini memudahkan kita."
Dia merogoh inventory-nya, mengeluarkan sebuah lembaran perak, dan membentangkannya di atas tanah.
Setelah dia melakukan itu, aku menyadari seberapa besar lembaran itu. Benda itu berbentuk persegi dengan lebar hampir 5m2.
"Aku sudah mempersiapkan garasinya," kata Hugo. "Cyco, apakah ada musuh di sekitar sini?"
"Tidak sama sekali." Jawab Cyco. "Aku tidak merasakan hawa keberadaan monster ataupun manusia."
"Baiklah kalau begitu." Hugo membuka sebuah window dan mulai melakukan sesuatu di dalamnya. Sesaat kemudian, suara mesin mulai keluar dari bawah lembaran yang dia bentangkan di atas tanah.
"… Tunggu, mesin?" gumamku. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu.
Job Hugo adalah High Pilot. Kata "pilot" umumnya digunakan pada orang yang mengoperasikan sebuah mesin. Namun, dunia ini tidak memiliki satupun mesin yang dapat dinaiki…
… kecuali di sebuah negara.
"Hugo," kataku. "Kau…"
"Ray," dia berbicara sebelum aku dapat menyelesaikan perkataanku. "Aku ikut ambil bagian dalam quest ini sebagai orang dan duri yang melindungi bunga indah yang kita panggil 'perempuan'."
Pernyataannya itu menegaskan bahwa dia tau apa yang ingin kukatakan.
"Kenapa kau mengambil quest ini?" lanjut Hugo. "Apakah itu karena kau adalah Paladin di Kerajaan, atau karena kau adalah seorang pria?"
Hanya ada satu kata yang bisa kukatakan untuk menjawabnya.
"Mengabaikan hal ini akan meninggalkan rasa pahit di mulutku." Itulah hal yang ku pikirkan saat menerima quest ini. "Setidaknya, aku tidak melakukan hal ini karena job-ku."
"Begitu juga aku." Dengan perkataan itu, Hugo tersenyum kecut dan menekan sebuah tombol yang ada pada window di depannya. Tombol itu bertuliskan "sortie" di atasnya.
Tepat setelahnya, lembaran yang ada diatas tanah mulai melebar. Permukaannya mulai bergeser dan terbuka seperti sebuah garasi, memperlihatkan ruangan yang benar-benar mengabaikan ketebalan lembaran itu.
Empat buah tiang muncul dari masing-masing sudut lembaran itu dan berhenti saat mereka mencapai tinggi sekitar 5 meter.
Sesaat kemudian, sebuah suara menderu terdengar dari bawah ruangan itu saat sebuah lift mulai naik sampai ke permukaan.
Di atasnya, terdapat sebuah objek besar. Kedua tangan dan kakinya memberikan kesan humanoid. Namun, itu sama sekali bukan manusia.
Benda itu memiliki lebih dari lima meter dan tertutupi oleh lapisan baja berwarna hijau gelap.
Di daerah pinggangnya, terdapat sebuah senapan dan pisau militer yang cocok dengan ukurannya yang besar, dan sepertinya itu bukanlah senjata yang bisa kau beli di toko-toko.
Area dadanya terbuka, dan di dalamnya, aku melihat sebuah kokpit yang sangat mirip dengan apa yang kulihat di anime lama.
Kesimpulannya, itu adalah sebuah robot tempur humanoid.
"Magic and Gear," kata Hugo. "Atau lebih dikenal sebagai Magingear. Senjata utama milik Kekaisaran Dryfe."
Hugo—seorang High Pilot dari Kekaisaran Dryfe—mengatakan hal itu saat dia masuk kedalam kokpit.
"… Hugo," kataku dengan kagum.
"Saat ini, aku hanyalah seorang ksatria yang bertarung demi air mata seorang wanita," katanya kepadaku. "kau juga bukan seorang Paladin dari Kerajaan Altar. Benar begitu, kan? Rekan ksatria-ku."
"… Ya." Aku mengangguk.
Belum lagi, dia mengeluarkan aura seperti yang ada pada manga shoujo atau sebuah pertunjukkan Takarazuka dan berbicara seolah-olah dia adalah seorang karakter dari sebuah drama. Meskipun itu terlihat sangat konyol, aku tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang dia katakan.
Kerajaan dan Kekaisaran sudah pernah berperang. Dan saat ini sedang dilakukan gencatan senjata, tapi menurut rumor yang ada, situasi ini akan kembali memanas dalam beberapa bulan ke depan. Negara tempat kami berasal adalah musuh bebuyutan.
Namun, saat ini, hal itu tidak ada hubungannya dengan kami. Itu juga benar-benar tidak relevan dengan seorang gadis yang menangis demi adiknya dan bocah laki-laki yang akan kami selamatkan.
Status kami benar-benar tidak ada hubungannya dengan apa yang harus kami lakukan. Saat kami menerima quest ini, kami telah bertindak sebagai diri kami sendiri.
"Kalau begitu, bisakah kita berangkat?" Hugo bertanya dari dalam kokpit.
"Ok," jawabku sambil melompat kesalah satu tangan Magingear yang dia piloti. Tangan satunya sudah ditempati oleh Cyco.
Dengan dua tangan yang sudah penuh, Magingear milik Hugo mulai berdiri.
"Magingear kelas Demi-Dragon, Marshall II… Sortie!"
Dan dengan begitu, Marshall II mulai berlari menuju tempat tujuan kami—sisi seberang pegunungan.
*
Magingear yang merupakan singkatan dari "Magic and Gear"—istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan jenis senjata utama milik Kekaisaran.
Saat aku duduk di tangan kanan senjata itu, semua guncangan yang disebabkan karena benda ini berlari membuatku memikirkan sesuatu.
Embryo pertama yang kulihat setelah mulai bermain Infinite Dendrogram adalah Baldr milik kakakku, Itu juga merupakan sebuah senjata modern, tapi karena itu adalah sebuah Embryo—sesuatu yang unik bagi setiap Master—itu tidak terlalu mirip dengan sesuatu yang dibuat dengan menggunakan teknologi.
Namun, Magingear adalah senjata yang dihasilkan dari kekuatan ilmu pengetahuan milik Kekaisaran—sebuah bagian dari setting dunia ini.
Sejauh yang kutahu, Kekaisaran adalah satu-satunya negara di Infinite Dendrogram yang maju dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan. Kenyataan itu membuatku penasaran kenapa negara lain tidak mengikuti jejak Kekaisaran.
Inovasi teknologi adalah sesuatu yang akan menyebar seperti api. Kekaisaran sudah menjadi negeri teknologi selama lebih dari seratus tahun. Seharusnya pengetahuan mereka sudah menyebar ke negara lain saat ini.
Saat kau memandang dunia ini sebagai sebuah game, kau mungkin bisa mengatakan bahwa alasan dari hal itu adalah karena developer ingin menjaga agar setiap negara memiliki keunikan tersendiri. Namun, Setting Infinite Dendrogram cukup detail sampai bisa menggabungkan fungsi dasar dari login dan logout*. Hal itu membuatku berpikir bahwa gap teknologi antar negara juga mengandung alasan world-building.
*TN: Maksudnya developer bisa membuat fenomena log in dan log out terasa seperti hal yang biasa bagi para NPC di Infinite Dendrogram.
Jadi, saat kami sedang dalam perjalanan menuju persembunyian Gouz-Maise Gang, aku menanyakan hal itu kepada Hugo. "Bagaimana menurutmu?"
"Heh," dia tersenyum. "Untuk mengetahui jawaban dari hal itu, kau harus mengetahui tentang sebuah peradaban tertentu."
"Peradaban?" tanyaku.
"Ya," kata Hugo. "Peradaban itu sering disebut sebagai peradaban yang 'hilang' atau peradaban 'kuno'."
… Nama itu terdengar tidak asing, pikirku. Oh, iya, Silver—kuda yang kudapat dari gacha—memiliki kata peradaban kuno' dalam deskripsinya.
"Peradaban itu ada pada beberapa ribu tahun yang lalu," lanjut Hugo.
Menurut Hugo, peradaban kuno itu sangat maju dalam hal teknologi. Dalam aspek ini mereka sama dengan Kekaisaran, tapi teknologi mereka jauh lebih maju dari pada yang dimiliki oleh Kekaisaran saat ini.
Namun, peradaban itu lenyap, hanya meninggalkan beberapa mesin dan naskah kuno yang sampai sekarang masih berusaha dipecahkan oleh para arkeolog.
"Kau harus menceritakan lebih banyak lagi kepadaku," kataku.
"Ada beberapa teori yang mengatakan bahwa peradaban besar itu lenyap karena kemajuan teknologi mereka membuat orang-orang menjadi sombong, dan hal itu memancing kemarahan ilahi," jelas Hugo. "Menurut legenda, seorang dewa dan ketiga belas pelayannya turun untuk menghancurkan setiap peradaban pada saat itu. Setiap negara selain Dryfe dan Granvaloa mempercayai legenda itu, jadi orang-orang memilih untuk tidak menciptakan satupun kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan."
Begitu, pikirku. Jadi mereka selalu menghindari teknologi karena mereka takut dengan hukuman ilahi. Hm…? Dryfe dan Granvaloa?
"Kalau begitu, hal itu tidak berlaku bagi kedua negara itu?" tanyaku. "Dan tunggu, Granvaloa memiliki ilmu pengetahuan yang maju?"
"Yah…" katanya sambil merenung. "Kau bisa mengatakan bahwa Granvaloa memiliki ilmu pengetahuan maju dan kau juga bisa mengatakan mereka tidak memilikinya."
Bagaimana aku harus mengartikan hal itu?
'Pertama, biarkan aku menceritakan tentang Dryfe kepadamu," kata Hugo. "Dryfe selalu menganggap dirinya sebagai penerus sejati dari peradaban kuno dan oleh karenanya mereka tidak lari dari teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, semua upaya mereka untuk menciptakan teknologi dari masa kuno telah gagal, sehingga mereka harus puas dengan mesin seperti Magingear, yang hanya bisa difungsikan menggunakan sihir eksternal."
"Sihir eksternal?" tanyaku.
'Ya, mereka hanya bisa digerakkan dengan menggunakan MP. Saat ini, Marshall II milikku menggunakan 1MP per menit. Dalam mode bertempur, konsumsinya akan meningkat menjadi 1MP per detik. Memang ada perbedaan yang besar, tapi itulah cara kerja mesin milik Kekaisaran."
MP per detik, huh? Mengingatkanku dengan skill Reversal milikku, pikirku.
Bagaimanapun, sekarang semuanya menjadi masuk akal. Itulah alasan kenapa job milik Hugo—Pilot, Mechanic, dan High Pilot—hanya berfokus pada pertumbuhan MP.
"Jadi mesin dari masa lalu memiliki perbedaan?" tanyaku.
"Banyak dari mesin yang sudah ditemukan memiliki generator yang dipasang di dalamnya," jawab Hugo. "Generator itu menyediakan semua sihir yang dibutuhkan untuk menggerakkan mesin tersebut, dan sejauh yang kutahu, itu adalah teknologi yang hilang di dunia modern."
Menarik, pikirku. Aku penasaran apakah Silver ada hubungannya dengan semua itu.
"Bisakah kau lanjut ke Granvaloa?" tanyaku. "Aku tidak tau kalau mereka memiliki teknologi mesin." Aku hanya tau bahwa itu adalah sebuah negara yang ada di tengah laut, jadi aku selalu membayangkan bahwa itu berbentuk kapal layar, seperti yang ada pada Age of Discovery.
"Heh. Negara itu lebih berfokus pada teknologi pembuatan kapal dari pada teknologi mesin," kata Hugo. "Contohnya, kapal uap bukanlah hal yang langka bagi penduduk mereka, tapi disana tidak ada mobil. Pada dasarnya, Granvaloa memiliki teknologi yang lebih tidak seimbang dari pada Dryfe. Bagaimanapun, meskipun teknologi sihir mereka tertinggal dari negara lain, kapal sihir mereka tidak ada tandingannya."
"Jadi begitu," Aku mengangguk. Meskipun itu terbatas pada pembuatan kapal, negara maritim itu maju dalam hal sihir dan teknologi.
Ya, itu bisa dikatakan tidak seimbang, pikirku.
"Juga," tambah Hugo. "Karena hanya mereka yang menggali benda dari reruntuhan bawah laut, bahkan Dryfe saja tidak tau apa yang sebenarnya mereka miliki."
Yah, itu tentu saja menggelitik rasa ingin tau ku. Aku harus pergi kesana suatu hari nanti.
"Hmm… Hugo," Nemesis mulai berbicara. "Apakah kau mendapatkan pengetahuan tentang peradaban itu dari deskripsi resmi dunia ini?"
'Tidak," jawabnya. "Aku mendengar hal ini dari para tian yang bekerja sebagai arkeolog dan beberapa kenalan eksentrik yang telah menjelajahi reruntuhan di berbagai belahan dunia. Klan-ku memiliki banyak orang dengan hobi yang aneh."
"Klan-mu?" tanyaku.
"Ya," Hugo mengangguk. "Itu adalah salah satu klan terbesar di Dryfe, jadi kami memiliki anggota yang sangat banyak. Jika kau pindah ke Kekaisaran, aku akan membantumu bergabung."
"Ha ha ha," aku tertawa. "Aku tidak yakin hal itu akan terjadi."
"Heh. Kupikir itu bergantung pada hasil perang yang akan datang."
Dia tidak salah. Itu bisa dengan mudah terjadi jika Kekaisaran menjadi pemenang dan Kerajaan menjadi wilayahnya.
"Meskipun bukan tidak mungkin bahwa hasilnya akan membawaku bergabung dengan klan mu," tambahnya.
"Klan ku, huh?" kataku. "Aku sebenarnya belum memilikinya saat ini."
"Kalau begitu kau harus menemukan sebuah klan yang memiliki anggota yang akrab denganmu dan bergabung dengannya. Itu akan memberimu lebih banyak hal yang bisa dilakukan di dunia ini. Kau juga bisa membuat klan sendiri, jika kau mau."
"Aku akan memikirkan hal itu… Oh?" kataku dengan tercengang.
Saat kami sedang berlari menerobos hutan, Magingear telah menurunkan output mesinnya dan menurunkan suaranya sampai batas minimum.
"Sepertinya kita sudah sampai," kata Hugo.
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada dekat dengan tepi hutan.
"Aku melihatnya," kata Cyco.
Aku melihat melalui celah diantara pepohonan.
Diluar hutan itu terdapat sebuah bangunan besar—sebuah benteng batu. Dengan dinding yang tertutupi lumut, benteng itu berdiri di tengah area hutan terbuka dengan luas beberapa ratus meter.
Dilihat dari penampilannya, dapat dengan mudah dikatakan bahwa itu sudah dibangun sejak lama, kemudian ditinggalkan, dan sekarang digunakan sebagai tempat persembunyian oleh para bandit.
"Tempat itu sama seperti yang ada di dalam peta," kata Hugo. "Tidak diragukan lagi, itulah tempatnya. Bahkan ada penjaga disana."
Dia benar—aku dapat melihat beberapa bandit yang berdiri di dinding benteng. Namun, sikap bosan yang mereka tunjukkan dan seringnya mereka menguap menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan pekerjaan itu dengan serius. Setidaknya, mereka masih belum menyadari kami yang bersembunyi di hutan.
Aku khawatir dengan kemungkinan bahwa mereka akan melihat Magingear, tapi sepertinya itu tidak diperlukan. Pohon-pohon yang ada di hutan ini cukup tinggi untuk menyembunyikan mesin ini tanpa masalah. Lapisan berwarna hijau gelap ini mungkin juga menjadi kamuflase yang bagus.
"Sekarang bagaimana?" tanya Nemesis. "Apakah kita harus menyerang mereka secara langsung?"
"Jangan bodoh," kataku. "Semuanya akan berakhir jika mereka menggunakan anak-anak yang mereka culik sebagai sandera."
Dan lagi, itu pasti akan terjadi dalam setiap skenario dimana kami melakukan tindakan untuk melawan mereka dan melakukan penyelamatan. Namun, karena kami tidak mengetahui struktur bagian dalam benteng itu, menyelinap masuk tanpa ketahuan akan menjadi hal yang sulit. Juga, tidak peduli seberapa cerobohnya para penjaga itu, mereka akan segera menyadari kami jika kami menampakkan diri di tempat terbuka.
"… Aku kebetulan memiliki ide untuk memecahkan masalah ini," kata Hugo.
"Ide?" tanyaku.
Magingear yang dia piloti mengangguk dengan yakin dan menunjuk ke arah dirinya sendiri.
"Semua orang di dunia ini tau bahwa senjata ini adalah milik Kekaisaran," kata Hugo. Itulah alasan kenapa dia menuju kemari melalui rute dimana tidak ada orang lain yang bisa melihat kami.
"Sekali lagi, ini adalah senjata milik Dryfe," lanjutnya. "Dryfe yang sama sekali tidak memiliki alasan untuk menyelamatkan anak-anak dari Kerajaan."
"Hm…? Ah!" Aku akhirnya menyadari apa maksudnya.
"Jika aku menyerang benteng, mereka akan berpikir bahwa itu tidak ada hubungannya dengan kasus penculikan. Bagaimanapun, tidak ada alasan bagi seorang pria dari Kekaisaran untuk datang menyelamatkan anak-anak negara musuh. Mereka mungkin akan mengira bahwa aku tidak akan pandang bulu dan membunuh setiap anak-anak yang mereka culik, dan hal itu akan merugikan mereka karena semakin sedikit anak-anak maka semakin sedikit juga uang tebusan yang akan mereka terima." Kata Hugo.
Jadi, identitas Hugo yang sebenarnya sepertinya akan berguna bagi kami, huh? Pikirku.
"Mereka tidak akan bisa menggunakan anak-anak sebagai sandera," lanjutnya. "Dan tentu saja mereka tidak akan duduk dan tinggal diam saat aku menyerang benteng itu. Mereka pasti akan datang untuk menghadapiku. Dan saat mereka sedang sibuk denganku, kau bisa menyelinap masuk kedalam benteng dan menyelamatkan anak-anak yang diculik. Itulah rencana yang kupikirkan."
"Kedengarannya bagus," aku mengangguk. "Meskipun, apakah kau yakin kau akan baik-baik saja? Menjadi pengalih perhatian bukanlah hal yang mudah."
"Marshall II memiliki armor yang kuat," kata Hugo. "Ini tidak akan dikalahkan dengan mudah. Dan juga, aku memiliki Cyco disini."
"Yap," Cyco mengangguk. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Kau gunakan Enemy Detect," kata Hugo. "Dan juga persiapkan beberapa Bom Asap untuk menyembunyikan kita saat kita sedang mengurangi jumlah mereka."
"Oui, umm… monsieur."
"Kau dapat menggunakan asap yang ada untuk mendekati benteng," tambah Hugo, berbalik ke arahku. "Selamatkan anak-anak itu, dan jangan sampai ketahuan."
"Baiklah," aku mengangguk.
"Dimengerti!" kata Nemesis. "Ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa Aku dan Ray lakukan!"
"Ini mungkin akan menjadi pertarungan melawan waktu," tambah Hugo. "Kalian harus bergerak dengan cepat dan tepat."
"Aku tau," Aku kembali mengangguk. Sebuah pertarungan melawan waktu sambil mencoba menyelamatkan anak-anak. Itu sangat mirip dengan quest pertamaku, saat aku harus menyelamatkan Miliane.
Namun, saat itu, aku bersama Liliana dan—tentu saja—kakakku. Tanpa dirinya, aku tidak akan bisa sampai ke tempat Miliane berada, dan jika dia tidak membuat Demi-Dragon itu tetap sibuk, situasinya akan menjadi jauh lebih buruk.
Juga, itu adalah sebuah quest dengan tingkat kesulitan 5. Sementara quest yang kami lakukan saat ini memiliki tingkat kesulitan 8. Aku tidak tau monster seperti apa yang akan kuhadapi, dan aku tidak memiliki orang yang bisa ku andalkan di belakangku seperti saat aku menyelamatkan Miliane.
Tapi, kali ini, aku memiliki Hugo dan Cyco bersamaku. Aku juga sudah menjadi lebih kuat dibanding saat itu, dan Nemesis semakin bisa diandalkan dari pada sebelumnya. Aku tidak tau sejauh apa aku bertahan, tapi…
"… Mundur bukanlah sebuah pilihan ketika nyawa anak-anak sedang dipertaruhkan."
"Hm?" tanya Hugo.
Tunggu, apakah aku mengatakan itu dengan keras? Pikirku. Kelihatannya Hugo mendengar apa yang kukatakan dan sedang menatapku dengan kamera yang terpasang di kepala Magingear.
"Ada apa?" tanyaku.
Yah, aku agak paham dengan apa yang ingin dia katakan. Dia mungkin berpikir bahwa aku sedikit terlalu serius tentang Infinite Dendrogram, yang—dari awal sampai akhir—tidak lain hanyalah sebuah game. Namun, game atau bukan, melihat anak-anak mati di depanku akan meninggalkan rasa pahit di mulutku.
Hugo terus terdiam. Dia menatapku melalui kamera sambil memikirkan sesuatu.
"Jika kau memiliki sesuatu yang ingin dikatakan, maka katakanlah,' kataku.
"… Baiklah." Hugo akhirnya berbicara. Apa yang dia katakan jauh dari perkiraanku. "Ini bukan masalah besar… Aku hanya menyadari bahwa kau, juga, merupakan seorang Master Maiden sejati.'
"Hm?" aku mengangkat alisku. Aku tidak paham dengan apa yang dia maksud. Aku tidak tau apa hubungan antara apa yang baru saja kukatakan dengan fakta bahwa aku adalah Master milik Nemesis, sebuah Type Maiden.
"Apakah kau tau kesamaan yang dimiliki oleh para Master dengan Embryo Type Maiden?" tanyanya.
"Mereka memiliki kesamaan?" aku bertanya balik.
"Ya. Seorang Master yang ku kenal memberitahuku bahwa Master seperti itu memiliki hal yang sama."
Aku belum pernah bertemu dengan Master Maiden lain, tapi aku sedikit terkejut mendengar bahwa kami semua memiliki sebuah kesamaan. "Dan apa itu…?"
"Mereka tidak merasa bahwa Infinite Dendrogram hanyalah sebatas game."
… Apa?
"Itu hal yang bodoh," kataku. "Aku benar-benar sadar bahwa kita sedang berada di dalam game saat ini."
Aku tidak memiliki khayalan besar tentang berada di dalam skenario light novel tua dimana game yang mulai kumainkan sebenarnya adalah dunia lain. Infinite Dendrogram adalah sebuah game, dan aku tidak akan membantah hal itu.
"Master yang kusebutkan sebelumnya mengatakan hal yang sama," kata Hugo. "Namun, di suatu tempat jauh di dalam hatinya, mereka tidak percaya bahwa itu adalah kebenaran. Dan itulah sebabnya…" Dia terdiam.
"Kenapa… apa?" tanyaku.
"Bukan apa-apa. Jangan dipikirkan. Maaf telah mengatakan sesuatu yang aneh tepat pada saat kita hendak menyerang benteng. Aku sedikit terbawa suasana."
Sialan, jangan membuatku penasaran setelah mengatakan semua itu! Pikirku.
"Oh, ngomong-ngomong," dia kembali berbicara. "Musuh yang kita hadapi memang para tian, tapi membunuh mereka tidak akan dihitung sebagai tindakan kriminal jika mereka adalah penjahat atau jika kau hanya membela diri. Tolong ingat hal itu."
"Ya… Aku akan mengingatnya," aku mengangguk.
Setelah itu, Hugo kembali terdiam.
Aku masih penasaran dengan apa yang ingin dia katakan, sih, pikirku.
"Master," Nemesis berbicara kepadaku melalui telepati.
Ada apa?
"Apakah kau tau apa yang ingin dia katakan?" tanyanya.
Tidak, aku tidak tau. Kau juga sama, kan?
"Aku tidak akan berkata demikian. Tapi jika kau memang tidak tau, mungkin akan lebih bagus jika tetap seperti itu."
"Hm?" aku mengangkat alisku. Apa maksudmu?
"Ray!" teriak Hugo dengan terkejut. 'Lihat sebelah sana!" memotong percakapan singkatku dengan Nemesis, Magingear-nya menunjuk ke arah benteng. Aku melihat ke arah yang dia tunjuk dan melihat bahwa gerbangnya terbuka dengan perlahan.
"Lihat sebelah sana," kata Cyco. "Ada sebuah kereta yang datang." Aku mengalihkan pandanganku ke arah yang dia tunjuk dan melihat sebuah jalan pegunungan yang mengarah ke area hutan terbuka tempat benteng itu berada.
Di jalan itu, ada beberapa kereta yang bergerak menuju tempat persembunyian bandit.
"Apakah mereka menculik lebih banyak anak-anak?" tanyaku.
"Kelihatannya begitu," kata Hugo.
"Mereka mengatakan sesuatu," gumam Cyco. Dia meletakkan tangannya di telinganya, menutup matanya, dan memfokuskan pendengarannya. "'Saat kita sampai di dalam benteng'… 'kita akan membunuhnya'… 'rekan kita'… 'tertangkap'… 'balas dendam'… 'kita akan membunuh'… 'bocah itu'."
"Sial!" Aku menyadari sesuatu dan menggumamkan rasa frustasiku.
"Tunggu, apakah yang mereka maksud…?" Hugo sepertinya juga menyadarinya.
Mereka sedang membicarakan tentang kelima bawahan yang kami kalahkan, tangkap, dan serahkan kepada para penjaga.
"kelihatannya ada orang lain selain kelima orang itu," gumam Hugo. "Mereka menyadari apa yang kita lakukan saat itu."
Dan jika memang seperti itu, maka anak pertama yang akan mereka bunuh saat mereka sampai ke benteng adalah anak yang sama dengan yang akan harus kami selamatkan.
"Sepertinya kita sudah tidak memiliki waktu lagi." Hugo membuat Magingear bergerak dari posisi berlutut ke posisi berdiri. "Aku akan menyerang orang yang ada di kereta. Seharusnya itu akan membuat orang-orang yang ada di benteng keluar dan menolong mereka. Saat itu terjadi, aku akan menciptakan tabir asap yang dapat kau gunakan untuk masuk tanpa ketahuan. Cyco, kau bantu aku."
"Baiklah!" Aku mengangguk.
"Dimengerti!" kata Nemesis dalam bentuk pedangnya.
"Yes, sir!" Cyco tersentak karena hal itu.
Sesaat setelah dia memastikan bahwa semuanya setuju dengan rencananya. Hugo membuat Magingear-nya melompat keluar dari hutan dan menyerbu ke arah para bandit itu.
Kali ini, dia tidak berlari seperti saat kami menerobos hutan. Melainkan, dia menggunakan roda yang terpasang di kakinya untuk melakukan sebuah rolling dash yang membuatnya lebih cepat dari sebelumnya. Tanpa sedikitpun memperlambat kecepatan, dia mengeluarkan senapan yang tergantung di area pinggang robot itu dan mulai melakukan tembakan ke bagian depan rombongan kereta itu.
Satu serangan saja sudah cukup untuk membuat kuda-kuda yang menarik kereta itu hilang tak berbekas, sementara gelombang kejut yang dihasilkannya menerbangkan sang kusir dan membuat kereta terguling kesamping.
Bencana yang tiba-tiba itu membuat kereta-kereta yang berbaris di belakangnya berhenti, dan Magingear itu—tidak menyia-nyiakan kesempatan itu—mulai melakukan tembakan dan dengan seketika membunuh para bandit yang mengelilingi mereka.
"Hm?" Pemandangan itu sebenarnya membuatku merasa tidak nyaman. Nemesis kelihatannya menyadari reaksiku, tapi memilih untuk tidak mengatakan apapun.
Setelah sejumlah bandit telah terbunuh oleh serangan kejutan dari Hugo, mereka akhirnya mulai membalas dan melawan balik. Namun, mereka sama sekali tidak terkoordinasi, dan menyerang sendiri-sendiri dengan cara yang mereka kuasai. Beberapa menggunakan pedang, tinju, dan kapak, sementara lainnya mengambil jarak dan menyerang menggunakan busur dan anak panah.
Jika menurut akal sehat, hal seperti itu tidak akan bisa melukai Magingear—yang sekeras tank—tapi kami sedang berada di Infinite Dendrogram. Para bandit itu kemungkinan besar memiliki job level rendah yang berfokus pada pertarungan. Karena itu, stats mereka tentu saja lebih tinggi dari pada orang biasa, dan memungkinkan serangan mereka untuk sesekali merusak dan menembus armor Magingear.
"Hghh!" Hugo berseru saat Marshall II miliknya tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Dia menggunakan pisau militer milik robot itu untuk menebas siapapun yang mendekat.
Yah, istilah "pisau" hanya berlaku jika dibandingkan dengan Magingear. Itu sama dengan longsword bagi para bandit dan itu dapat dengan mudah menebas armor mereka dan membelah tubuh mereka.
Hugo menggunakan senapan untuk menembak jatuh orang-orang yang menyerangnya dari jarak jauh. Peluru senapan itu sama dengan tembakan meriam, dan mereka membuat para bandit yang memakai panah meledak dan berhamburan ke segala arah.
Meskipun para bandit itu memiliki jumlah yang jauh lebih banyak. Hugo jauh lebih kuat dari pada mereka semua. Pemandangan itu mengingatkanku pada Marilyn—Demi-Dragon milik Rook—saat sedang mengamuk diantara pasukan goblin. Robot itu mungkin sama kuatnya dengan Marilyn. Saat kami berangkat, Hugo juga memanggilnya "Magingear kelas Demi-Dragon", dan sudah jelas bahwa deskripsi itu memang tepat.
Hugo juga sangat terampil dalam mengontrol robot itu, dan dari apa yang dia katakan kepada dalam perjalanan kemari, skill Piloting yang dia dapat dari job jenis Pilot meningkatkan stats dari mesin yang dia piloti dalam jumlah besar. Alhasil, dia memiliki keuntungan dalam pertempuran itu meskipun para bandit itu memiliki jumlah yang jauh lebih banyak.
"Tapi keuntungan yang dia miliki tidak mutlak," gumamku.
Meskipun para bandit itu mati satu per satu, beberapa dari serangan yang mereka lakukan mendarat pada Magingear. Sedikit demi sedikit, damage yang mereka berikan semakin menumpuk dan menciptakan kerusakan yang besar.
"Kelemahan," kata Cyco dari sampingku. Lalu dia mengatakan kelemahan terbesar dari robot itu kepadaku.
"Magingear tidak bisa disembuhkan," kata Cyco. "Mereka harus disimpan dan diperbaiki."
"Begitu," aku mengangguk.
Meskipun digerakkan menggunakan sihir, Magingear merupakan sebuah mesin. Sihir penyembuh dan obat-obatan tidak akan berpengaruh pada mereka, tidak seperti pada manusia dan monster Karena terus menerus kehilangan HP dan biaya MP per detik, raksasa besi itu hanya bisa bertarung dalam waktu yang terbatas.
Namun, demi para anak-anak, Hugo memainkan perannya dalam rencana ini dengan menghadapi para bandit itu secara langsung dan mengalihkan perhatian mereka.
"Itulah sebabnya kita juga harus melakukan yang terbaik," kata Cyco.
"Tentu saja," kataku setuju.
Secara bersamaan, beberapa puluh bandit berlari keluar dari dalam benteng. Mereka pergi untuk membantu rekan mereka yang sedang dalam bahaya dengan bergabung dalam pertempuran mereka melawan Magingear, tetapi itu berimbas pada berkurangnya jumlah bandit yang berada di tempat persembunyian.
"Sekarang," kata Cyco.
Di saat yang hampir bersamaan…
… Magingear itu menyebarkan objek berbentuk kaleng yang dia letakkan di pinggangnya ke sekitar tempatnya berada. Setelah sedikit bergulir di atas tanah, mereka mulai berputar sambil mengeluarkan asap putih dalam jumlah besar.
"Bom Asap, dikeluarkan," kata Cyco. "Kita bisa pergi sekarang."
Dia menghilang dari sampingku. Bukan hanya itu, dia juga menghilang dari party window. Apakah itu adalah hal yang penting atau tidak, dia mungkin pergi untuk membantu Hugo.
"Kita juga akan pergi, Nemesis!" kataku.
"Dimengerti!" jawabnya.
Saat asap putih menyelimuti wilayah sekitarku, aku mempererat genggamanku pada Nemesis yang berada dalam bentuk pedangnya dan berlari menuju benteng.
Aku harus memanfaatkan dengan baik kesempatan yang telah Hugo berikan kepadaku.
Ini semua untuk membebaskan anak-anak dan memastikan mereka bisa selamat.
Membiarkan asap ini menyelimuti tubuhku, aku menerobos masuk ke dalam benteng.
*
Kami telah menyelamatkan Rebecca dari kesulitan yang dia alami dan langsung pergi menuju tempat persembunyian Gouz-Maise untuk menyelamatkan adik laki-lakinya. Itulah sebabnya—pada saat aku menerobos masuk ke dalam benteng ini—aku hampir tidak memiliki informasi tentang kelompok seperti apa Gouz-Maise Gang itu. Aku hanya tau bahwa mereka adalah sekelompok bajingan yang menculik dan memakan anak-anak.
Aku terlalu buta.
Namun, bahkan jika aku mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan, itu tidak akan mengubah apapun.
Yang jadi masalah adalah apakah aku sudah terlalu terlambat atau tidak.
*
Asap yang berasal dari Bom Asap yang digunakan oleh Magingear milik Hugo bahkan masuk sampai kedalam benteng, membuatku bisa menerobos pintu masuk dan mencapai lorong bagian dalam benteng tanpa ketahuan.
Meskipun asap tebal memenuhi ruangan dan lorong disini, Aku sama sekali tidak kesulitan melihat jalan mana yang kuambil. Faktanya, aku bisa melihat dengan jelas hanya dengan sedikit menyipitkan mataku. Aku hanya bisa menduga bahwa asap ini tidak akan mempengaruhi anggota party Hugo. Aku tidak tau bagaimana itu bisa terjadi, sih.
"Baik, kita sudah di dalam," kata Nemesis. "Tapi kita tidak mengetahui struktur tempat ini."
Karena kami harus berhati-hati saat berjalan melalui lorong ini, Aku dan Nemesis saling berbicara melalui telepati.
Dari waktu ke waktu, kami berpapasan dengan beberapa bandit yang berlari untuk melawan Hugo, tapi sudah pasti mereka tidak dapat melihat kami karena asap ini.
"Master, menurutmu dimana kita bisa menemukan anak-anak itu?" tanya Nemesis.
Antara ruang tak berjendela di lantai dua atau lebih tinggi, atau suatu tempat di ruang bawah tanah.
"Kenapa kau berpendapat seperti itu?"
Kesempatan mereka kabur akan lebih besar jika mereka di tahan di lantai pertama, dan aku melihat banyak tumbuhan menjalar di sekitar jendela lantai atas. Mereka dapat menggunakan hal itu untuk turun ke bawah dan melarikan diri. Dengan proses eliminasi sederhana, bisa disimpulkan bahwa kalau tidak di atas mereka pasti berada di bawah.
"Kalau begitu mereka mungkin berada di bawah tanah," kata Nemesis. "Sudah menjadi standar bagi para penculik untuk menahan anak-anak di ruang bawah tanah,"
Aku tidak tau apakah bisa seyakin dirinya. Namun, ada kemungkinan disana, jadi aku tidak memiliki alasan untuk tidak mencobanya.
Saat pemikiran itu memasuki kepalaku, aku menemui sebuah persimpangan di lorong. Ada tiga jalur yang bisa kami ambil—ke depan, ke kiri dan ke kanan. Agak jauh disebelah kanan, aku melihat anak tangga yang mengarah ke bawah—pada dasarnya seperti memanggil kami untuk masuk kesana.
Aku memutuskan untuk menerima panggilan itu dan pergi ke bawah tanah.
"Ugh!" Pada saat aku menjejakkan kakiku di anak tangga pertama, sebuah aroma aneh datang dari bawah dan menyerang hidungku. Itu adalah sebuah bau busuk yang akrab tapi tidak dapat kuingat—atau mungkin tidak ingin kuingat. Namun, aku tidak bisa mundur hanya karena hal ini, jadi aku mengumpulkan tekadku dan masuk lebih dalam ke bawah.
Tangga, lantai, dinding, dan langit-langit semuanya terbuat dari batu, sama seperti yang kau duga. Langit-langitnya memiliki tinggi dua kali lipat dari tinggi badanku, sementara jarak antar temboknya bahkan lebih besar lagi.
Aku tidak akan kesulitan mengayunkan Nemesis disini, pikirku.
Aku juga tidak punya pilihan lain selain menyadari kelembaban unik yang memenuhi udara dan lumut berwarna hijau gelap yang tumbuh di dinding dan langit-langit.
"Sungguh suram," komentar Nemesis.
Bagaimanapun, ini adalah sebuah dungeon, aku memberitahunya. Juga, lumut dan kelembaban ini menjadi pertanda yang jelas bahwa ada air bawah tanah yang merembes dari suatu tempat.
"Yah, bagaimanapun, ini adalah sebuah benteng tua."
Tinggal disini dalam waktu lama tidak akan bagus untuk kesehatan anak-anak.
"Jika para bajingan itu peduli dengan kesehatan orang lain, mereka tidak akan menculik dan membunuh mereka."
… Itu benar.
Sekilas pandang pada para bawahan yang kami kalahkan di gang belakang atau orang-orang yang ada di sekitar kereta itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa mereka sama sekali tidak peduli dengan nyawa anak-anak itu. Hanya dengan mengingat perkataan dan perilaku mereka sudah membuatku mual.
"Gh…"
"Apakah kau juga merasakan itu, Master?" tanya Nemesis. Dia tidak mengatakan apa yang dia maksud dengan "itu." Namun, aku sudah tau apa yang dia maksud tanpa harus dikatakan.
"Aku mulai merasakannya setelah mulai menuruni tangga," kataku. Aku akhirnya ingat kapan terakhir kali aku mencium bau ini.
Kami tidak perlu lagi berbicara melalui telepati. Sembunyi juga merupakan hal yang tidak perlu…
… karena sesuatu yang ada di seberang lorong sudah menyadari keberadaan kami.
"Ada sesuatu disana…" kata Nemesis.
"Ya," Aku mengangguk.
Aku diserang oleh berbagai macam bau. Bau dari kelembaban ruangan, udara pengap, dan lumut yang menutupi dinding bercampur dengan bau darah dan daging busuk. Aku sudah akrab dengan bau ini karena aku sudah pernah menciumnya saat berada di dalam Tomb Labyrinth. Tidak mungkin aku bisa salah mengenalinya.
"Uuuaaaagghh…" Sebuah erangan mencapai telingaku. Hal itu diikuti oleh suara tulang yang bergemeretak. Suara itu melengkapi apa yang kubayangkan dan membuatku semakin yakin bahwa itu adalah bau yang berasal dari "Undead."
Wounded Zombie mengerang sambil mendekatiku. Daging mereka yang membusuk menggantung pada tulang mereka, dan nanah mengalir dari luka mereka. Civilian Skeleton memperpendek jarak dengan kami, gigi mereka bergemeretak saat mereka terus berjalan kedepan.
Pemandangan itu membuatku kehabisan kata-kata. Reaksi itu mungkin terkesan tidak wajar, mengingat aku sudah berhadapan dengan monster zombie di Tomb Labyrinth, tapi ada sebuah perbedaan penting antara Zombie dan Skeleton yang ada disana dengan yang ada di depanku saat ini.
Itu bukan jumlah mereka. Memang, ada mereka ada puluhan, tapi perbedaan yang kupikirkan jauh lebih penting dari hal itu.
Itu juga bukan kekuatan fisik mereka. Sekilas pandang saja sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Undead ini lebih lemah dari pada yang ada di Tomb Labyrinth.
Perbedaan besar yang kupikirkan adalah bahwa mereka semua merupakan hasil dari kematian orang lain.
"… Si-Sialan."
Aku tidak tau sedang berbicara dengan siapa—mungkin kenyataan busuk yang mengizinkan pemandangan ini terjadi—tapi itu adalah perkataan pertama yang keluar dari mulutku sebelum aku mulai terus mengulanginya di kepalaku.
"Sungguh mengerikan…" sela Nemesis.
Aku menutup mulutku, kemarahan memenuhi diriku dalam bentuk gemeretak gigi, sementara Nemesis—meskipun memiliki phobia pada undead—lebih menunjukkan rasa kasihan dari pada rasa takut.
Gerombolan undead itu terdiri dari skeleton yang sangat kecil. Aku memiliki tinggi dua kali lipat dari mereka semua.
Jumlah mereka sangat banyak sampai bisa menutupi seluruh lorong.
Tidak perlu dikatakan. Aku sudah yakin siapa mereka sebelum menjadi seperti… ini.
"Ini membuatku merasa sakit…"
Undead mini itu mendekati kami, sambil mengulurkan tangan kecil mereka. Menggenggam senjata yang sudah usang, mereka dengan perlahan menyerbu ke arah kami—sang penyusup.
Aku sudah melihat hal yang sama di Tomb Labyrinth, tapi undead yang dibuat dari mayat manusia asli benar-benar berbeda dengan mereka yang memang sejak awal sudah diciptakan sebagai undead. Hanya melihat mereka sudah cukup untuk memenuhi hatiku dengan emosi yang sulit ku bendung.
"Sepertinya para bandit ini memiliki seseorang yang bisa menggunakan necromancy di antara mereka," kata Nemesis. "Mereka memanfaatkan anak-anak yang mereka bunuh."
"Apakah kau baik-baik saja, Nemesis?" tanyaku.
"Ha!" dia mengeluarkan tawa yang dibuat-buat. "Ketakutanku tidak relevan saat ini. Bagaimana bisa mereka melakukan hal seperti ini kepada anak-anak?"
"Aku juga merasakan hal yang sama," kataku.
Dengan mata tertuju pada gerombolan undead itu, aku hanya bisa bertanya-tanya apakah aku bisa menyelamatkan mereka. Tapi aku sudah mengetahui jawaban dari hal itu. Anak-anak itu sudah hilang.
Jika disini ada suatu cara untuk membangkitkan orang yang sudah mati, negara yang dilanda perang ini pasti sudah melakukannya sejak lama. Itu artinya cara itu tidak ada atau itu adalah metode yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh kerajaan. Singkatnya, aku tidak bisa menyelamatkan mereka.
"Beritahu aku, Nemesis," kataku.
"Apa?" tanyanya.
"Apa yang terjadi pada para undead setelah mereka mati?"
Undead yang ada di Tomb Labyrinth—sebuah dungeon buatan—bukan berasal dari mayat asli, tapi hanya sebuah ciptaan. Namun, meskipun mereka memiliki nama yang sama dengan yang ada di Tomb Labyrinth, Wounded Zombie dan Civilian Skeleton yang saat ini ada di depanku sebelumnya adalah makhluk hidup. Hal itu membuatku bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada jiwa mereka.
"Aku tidak tau," kata Nemesis dengan nada menyesal. "Beberapa dari mereka hanyalah mayat kosong, sementara yang lainnya masih memiliki jiwa yang terjebak di dalamnya. Aku bukan orang yang mengetahui apa yang akan terjadi jika tubuh mereka dihancurkan."
"Begitu…"
"Namun, aku percaya akan lebih baik jika kita mengakhiri keberadaan mereka yang menyakitkan sebagai undead," tambahnya.
"… Benar."
Jarak antara aku dan anak-anak undead itu hanya tinggal kurang dari lima meter.
Cahaya samar yang berasal dari dinding menerangi wajah para zombie dan membuatku menyadari bahwa beberapa dari mereka memiliki ciri wajah saat mereka masih hidup.
Aku menutup mataku dengan erat dan tetap seperti itu selama beberapa detik. Kemudian aku membukanya dan mengarahkan punggung tangan kiriku ke arah anak-anak undead itu.
"Aku minta maaf."
Aku membuat Miasmaflame Bracer yang ada di tangan kiriku membakar mereka semua menggunakan hembusan Purgatorial Flame. Tulang tipis, daging membusuk, dan sedikit rambut yang mereka miliki diselimuti oleh api panas dan segera terbakar. Hanya butuh beberapa saat sampai HP mereka habis dan terbakar seperti mayat biasa, bukan seperti undead pada umumnya yang langsung menghilang partikel kecil.
Asap hitam memenuhi lorong sebelum mulai mencapai langit-langit yang ada di atas tangga dan bercampur dengan tabir asap berwarna putih.
Aku menghentikan aliran api dari bracer-ku, mematikan api yang membakar mereka, dan hanya meninggalkan sisa-sisa abu kremasi.
[Berhasil memusnahkan lebih dari 100 monster yang memenuhi kondisi "Undead dengan total level yang ditentukan"]
[Karena telah memenuhi persyaratan Job, "Paladin" dan persyaratan pemusnahan total, "Musnahkan 100 monster yang sudah ditentukan," skill "Purifying Silverlight" telah didapatkan]
Sebuah pesan memberitahuku bahwa aku telah mendapatkan sebuah skill baru, tapi pemberitahuan itu sama sekali tidak membuatku merasa senang. Hatiku terasa pilu.
Aku berdiri dalam diam. Aku dengan perlahan meletakkan kedua tanganku di depan dada. Sama seperti yang kulakukan di depan kuburan, aku berdoa demi kebahagiaan mereka di dunia selanjutnya.
Tiba-tiba, sebuah aliran udara yang tercipta karena suhu panas menciptakan sebuah hembusan angin yang menerobos lorong bawah tanah ini.
"T e r i m a k a s i h."
Saat angin itu berhembus, perkataan itu memasuki telingaku.
Tapi aku yakin bahwa itu hanyalah perasaanku. Itu adalah sebuah ilusi yang lahir dari harapanku agar jiwa mereka terselamatkan.
"Master," Nemesis memanggilku.
"Nemesis, apakah ini?" aku bertanya sambil meletakkan kedua tanganku di depan dada dan berusaha menahan situasi yang berat ini. "Apakah ini… perasaan yang ingin dikatakan Hugo sebelumnya?"
"… Ya," kata Nemesis. "Jika, di suatu tempat di dalam hatinya, Master Maiden tidak mempercayai bahwa dunia ini hanyalah sebuah game… Jika kau menganggap kehidupan di dunia ini sama aslinya dengan kehidupan di duniamu…"
Aku terdiam.
"… maka berat kehidupan yang kau rasakan di Infinite Dendrogram akan terasa terlalu nyata bagimu."
"Terlalu nyata, huh?" tanyaku. Kenyataan keras tentang beratnya kehidupan. "Kau mungkin benar…"
Dunia ini begitu realistis sampai-sampai sulit membedakannya dengan kenyataan. Di suatu tempat di dalam hatiku, aku bahkan percaya bahwa para tian yang hidup di sini benar-benar memiliki pikiran dan jiwa. Bahkan jika kepalaku mengatakan kepadaku bahwa ini semua hanyalah game, aku tidak dapat menghapus perasaan itu. Itulah mengapa melihat para tian yang mati karena Gardranda telah meninggalkan rasa pahit di mulutku. Itu juga alasan kenapa aku berusaha keras untuk melindungi Miliane dari sebuah bad ending seperti itu.
Begitu pula dengan kali ini. Bedanya, apa yang kulihat di depanku adalah sekelompok orang yang sudah mengalami akhir yang menyedihkan.
Aku tidak tau bagaimana kehidupan mereka. Aku tidak tau bagaimana mereka bisa berakhir seperti ini. Aku sama sekali tidak mengenal mereka, jadi tidak mungkin aku bisa mengetahui hal itu. Namun, cara mereka berakhir terlalu kejam untuk kuabaikan seperti tragedi sehari-hari, dan perasaan yang menyelimuti hatiku terlalu sulit untuk diabaikan.
Dan rasa yang kurasakan di mulutku begitu buruk sampai-sampai terasa seperti membakat tenggorokanku dan sekarang mulai merembes ke dadaku, bercampur dengan rasa sedih dan kemarahan yang begitu besar.
"Di dunia ini—dimana nyawa jauh lebih mudah hilang dari pada di duniamu—hal ini mungkin akan memberikan rasa sakit yang besar kepadamu," kata Nemesis.
"… Itu benar," kataku dengan lemah. Aku sebenarnya sudah hendak menangis. Ini begitu buruk sampai-sampai sebagian diriku ingin melarikan diri dari semua ini.
Aku mungkin bukan orang pertama yang merasakan hal seperti ini. Banyak dari mereka yang memiliki kesamaan denganku mungkin tidak dapat menahan pengalaman kehilangan yang begitu besar ini lebih dari sekali dan memilih untuk tidak pernah menyentuh Infinite Dendrogram lagi. Sebagian dari diriku juga mendesakku untuk melakukan hal yang sama.
"Namun, aku… belum." Aku masih belum hancur.
Aku masih harus menyelamatkan anak-anak yang tersisa. Aku masih memiliki janji yang harus kupenuhi.
Dan yang terpenting, aku masih harus memastikan bahwa bajingan yang melakukan hal ini mendapatkan balasan yang setimpal. Aku harus membuatnya membayarnya.
Aku mengalihkan pandangaku ke arah anak-anak—yang sekarang hanya tinggal debu.
Dibawah debu itu, terdapat sepotong logam dengan suatu tulisan dalam bahasa Infinite Dendrogram di atasnya.
Tulisan itu berbunyi "Maise's Utility Child Civilian Skeleton, Specimen No. 87."
Itu adalah sebuah pengenal. Itu adalah bentuk akhir anak ini dan nama orang yang memakaikan benda ini.
Kalimat dan jumlah yang tertulis di atasnya membuatku semakin sadar bahwa musuh ini sudah benar-benar tidak bisa dimaafkan. Apakah ini game atau bukan, aku tidak bisa mengabaikan hal ini begitu saja.
"Ayo, Nemesis," kataku. "Kita pasti menemukannya di ujung lorong ini."
"Dimengerti!"
Dan dengan begitu, kami mulai berjalan maju.
***
Satu dari dua pemimpin Gouz-Maise Gang—Lich Maise
"Hm?" kataku. Penurunan jumlah Minion Capacity-ku membuatku sadar bahwa beberapa undead yang berada di bawah perintahku telah lenyap.
Lebih tepatnya, unit undead itu hanyalah sampah yang kubuat untuk menghabiskan waktu luang. Aku meninggalkan mereka di lorong bawah tanah untuk bertindak sebagai penjaga.
Mereka lemah, jadi mereka hanya berguna sebagai alarm. Aku telah mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. Kukira aku telah kehilangan sesuatu yang benar-benar berharga.
Namun, itu membuatku sedikit terkejut. Aku mengetahui bahwa ada penyusup yang menyebabkan kekacauan di permukaan, tapi aku tidak menyangka bahwa ada juga orang yang masuk ke ruang bawah tanah.
"Gouz." Aku menggunakan magic item yang membuatku terus terhubung dengan permukaan.
"Ya?" tanyanya.
"Bagaimana keadaan di atas sana?" tanyaku.
"Aku akan memberinya waktu lima sampai enam menit lagi," jawab Gouz. "Semuanya akan berakhir setelah saat itu."
"Kalau begitu, saat semua bawahan kita mati, bergeraklah dan hancurkan penyusup itu," kataku. "Aku akan menangani tikus yang ada di ruang bawah tanah ini. Setelah semuanya selesai, kita akan pindah."
"Aye," kata Gouz. "Oh ya, sepertinya ini akan memberikan banyak jatah makan siang buatku, jadi tolong siapkan inventory tambahan, ok?"
"Tentu saja," aku memiliki beberapa inventory kosong yang digunakan untuk mengumpulkan mayat yang ada disekitarku. Aku berencana untuk membawa semuanya bersama dengan inventory yang berisi ritual dan harta karun paling berharga milikku.
"Setelah kau selesai dengan penyusup itu, tunggu di gerbang depan," kataku.
"Tentu," jawab Gouz.
Aku memutus sambungan itu.
Dengan itu permukaan sudah teratasi, pikirku. Meskipun semua bawahan kami adalah orang-orang lemah yang masih memiliki job tingkat rendah, menghadapi mereka semua dan berhasil bertahan bukanlah hal yang mudah. Itu artinya penyusup kali ini cukup tangguh. Namun, Gouz berada pada level yang berbeda.
Dia telah mencapai level maksimal, memiliki job kelas atas, dan—jika dibandingkan dengan seluruh job berjenis gladiator—dia sudah pasti merupakan lima besar di negara ini. Jika Figaro tidak pernah ada, tidak aneh jika Gouz telah mengambil kursi Over Gladiator.
Aku, juga, memiliki level maksimal. Bukan hanya itu, tapi dalam hal necromancy aku juga berada pada tingkat atas negara ini, dan hampir bisa mendapatkan sebuah Superior Job. Aku tidak tau seberapa kuat penyusup itu, tapi selama mereka bukan seorang Superior dan tidak miliki Superior Job, tidak ada yang perlu di takutkan disini.
Namun, ada sesuatu dari mereka yang membuatku penasaran.
"Untuk urusan apa mereka datang kemari?" gumamku. Mereka seharusnya sudah sadar bahwa mencoba mengalahkan kami adalah hal yang tidak layak dilakukan.
Apakah mereka tertarik dengan harta kami? Pikirku. Bahkan saat jumlah yang kukirimkan ke Caldina memang lumayan besar, uang yang kami pegang juga benar-benar banyak. Jika seseorang ingin kaya dengan cepat, tentu saja ini adalah cara tercepat.
Namun, jika mereka benar-benar berencana untuk mengambil tindakan berani mati seperti itu, maka itu sudah cukup bagiku untuk mengetahui orang seperti apa mereka sebenarnya.
"Baiklah, sekarang… Kurasa sudah saatnya untuk mempersiapkan sebuah sambutan untuk penyusup kejam-ku."