Tải xuống ứng dụng
100% Soca (Mata yang Tidak Bisa Melihat) / Chapter 25: Menghadapi Ketakutan

Chương 25: Menghadapi Ketakutan

SOCA

Malam ini, menjadi malam kedua di mana Deildra tidak dapat tidur barang sepicing pun. Batinnya terus bergolak. Nurani dan kebenciannya terus berperang, tumpang tindih membisikan seruan-seruan yang bertolak belakang.

Hingga pagi, Deildra hanya duduk tercenung di atas ranjangnya. Sampai akhirnya, seorang kasim mengetuk pintu untuk memberitahu bahwa Aaron menunggunya di ruang tengah. Mengesah, Deildra beranjak menemui gurunya.

"Ada apa dengamu, Deil?" Aaron menatap Deildra yang baru saja duduk. Dilihatnya wajah serta penampilan muridnya itu begitu kusut semerawut. "Kenapa keadaamu begitu kacau?"

Tersenyum ketir, Deildra balas menatap orang di hadapannya. Terakhir kali dirinya bertemu Aaron, gurunya dalam kondisi berang. Namun, kali ini roman orang tua itu sudah kembali tenang dan damai. "Keadaanku sudah kacau sejak dulu, Guru. Sudah sangat lama sekali."

"Deil--"

"Aku tak akan mengembalikan dia padamu!" Deildra menukas ucapan Aaron.

Menghela napas, Aaron menampilkan sekelumit senyuman. "Aku tidak akan memaksamu mengembalikan Nier padaku." Aaron memandangi muridnya dengan tatapan teduh. "Deil, dengarkan aku. Di antara semua orang yang ikut berduka atas dirimu, akulah yang paling banyak menumpahkan air mata. Aku mengerti, aku bisa memahami perasaanmu. Namun, Nier, dia ... dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua hal yang terjadi padamu. Jangan tumpahkan kemarahanmu padanya, Deil."

"Tidak ada hubungannya?" Deildra tersenyum sinis. "Aku melihat Lodrak memeluknya dalam ingatan Saman itu."

Kedua alis Aaron mengernyit, bingung. Air mukanya sekejap tampak kaget, tetapi sejurus kemudian kembali tenang. "Apa maksudmu, Deil? Kau tidak menyakiti Nier, bukan?"

Membisu, Deildra tak menjawab. Berpaling menghindari tatapan Aaron, emosinya berkecamuk. Lewat beberapa saat, barulah pria bercambang tipis itu membuka suara dengan agak kaku. "Aku mencoba memasuki pikirannya. Seperti katamu, ada aura gelap yang menutupi. Namun, beberapa gambaran berhasil kudapatkan. Salah satunya, Saman itu tengah berada di pelukan si keparat Lodrak."

Aaron terdiam sejenak, memikirkan semua yang diucapkan muridnya. Mencoba menelaah, mencari simpul dari untaian benang merah yang semerawut. "Lalu, apa kesimpulanmu?"

Deildra mengesah, memandang ke luar kaca. "Dari informasi yang kumiliki sepuluh tahun lalu, Lodrak Magi memiliki dua isteri. Isteri pertamanya dari golongan Saman, mereka memiliki tiga putra. Istri dan ketiga putranya itu yang kubunuh." Deildra menjeda ucapnya. Mengertakan gigi, kedua matanya memerah karena menahan suatu gejolak di dadanya. "Isteri keduanya dari golongan manusia, namanya Allin Kleine. Wanita itu melahirkan satu putra untuk Lodrak. Akan tetapi, baik Allin atau anaknya, tidak berhasil kutemukan saat itu. Namun, sungguh tak kusangka kalalu dunia begini kecil. Takdir sendiri yang menuntunku pada anak malang tersebut."

"Dengan kata lain, kau mengatakan bahwa Nier putra Lodrak dengan isteri manusianya? Deil, seorang manusia tidak bisa melahirkan anak dari Saman. Mereka akan mati membeku ketika usia kandungan menginjak tiba bulan." Aaron menatap lurus Deildra, nyalang. "Tidakkah pemikiranmu itu hanya sebuah asumi semu tanpa dasar? Terlalu liar!"

Mengesah, Deildra terdiam sejenak. Apa yang diiucapkan Aaron memang benar, bahkan tudingan si pria tua atas asumsi liarnya juga masuk akal. "Jika Saman itu bukan putranya, lalu siapa? Lodrak bukanlah makhluk yang memiliki banyak kasih untuk sesamanya, selain dari keluarganya." Deildra menjeda, mengambil napas. "Mungkin, ini semua takdir dari Rabb untukku. Agar semua urusan di antara aku dan si bajingan itu bisa terselesaikan."

"Rabb tidak akan menuntun seorang manusia pada pembalasan dendam, Deil." Mata tua Aaron merunduk turun, sendu. "Ada pun, apa hubungan Neir dengan Lodrak, tugasmu untuk mencari tahu kebenarannya. Ingat, Deil! Aku tidak pernah mengajarimu mendakwa tanpa ada kebenaran yang jelas benderang. Kau tidak boleh asal menyimpulkan, apalagi sampai mendakwa hanya berdasar asumsi belaka. Kau tidak memiliki bukti konkret sama sekali."

Mengehela napas panjang, Aaron meneruskan lagi ucapannya. "Deil, bila sekalipun nanti kebenaran menyatakan asumsimu benar. Tetap saja Neir tidak terlibat atas apa yang terjadi di antara kau dan Lodrak. Namun, aku mohon padamu, sampai kebenaran itu benar-benar teruangkap nyata. Jangan sakiti Nier, jangan jadikan dia sebagai pelampiasan kemarahanmu.

"Deil, sampai kapan pun kau akan selalu menjadi murid terbaikku. Namun, bila suatu hari nanti aku mendengar kabar kematian Nier. Maka, jangan sekali-kali tampakan rupamu di hadapanku." Embusan napas Aaron menguar, mengakhiri ucapannya.

"Aku tidak akan membunuhnya. Jadi, kau tenang saja. Tak perlu takut melihatku." Deildra memalingkan tatap. Nada suaranya terdengar sinis.

Menghela napas, Aaron terdiam senjenak. Tampaknya, dugaan dirinya memang tak meleset. Deildra tak akan mengambalikan Nereid begitu saja. Jadi, obrolan mereka sudah selesai, tak ada lagi yang mesti diomongkan. Aaron bangkit berdiri, melangkah keluar. Meninggalkan Deildra bersama keheningan.

"Jaga dirimu baik-baik, Deil. Jaga juga Nier untukku," kata Aaron sebelum benar-benar melewati pintu.

Deildra tak mengatakan apa-apa, mematung seperti arca. Lama pria bercambang tipis itu membatu dalam bisu, termangu-mangu. Setelah lewat beberapa lama, barulah terdengar helaaan napas keluar dari mulutnya.

Deildra meringis saat mencabuti beling-beling kecil yang menancap di telapak tangannya. Darah segar kembali mengalir, membentuk sungai-sungai kecil, menetes jatuh melewati celah jemari. Rasanya sakit, bukan telapak tangannya, melainkan hatinya.

_______

Ingin menenangkan diri dulu, Deildra memutuskan untuk tidak menemui Nereid selama bebera hari. Dirinya fokus menyelidiki penyerangan yang terjadi di Desa Alres. Mencari tahu latar belakang keluarga Rigel.

Setelah lewat sepuluh hari, barulah Deildra pergi menemui Nereid seorang diri. Sebab, Dew tengah mengerjakan perintahnya untuk mencari beberapa dokumen di Biro Altarra. Sebuah instansi remsi milik negara.

Mengembuskan napas panjang, Deildra berusaha mengendalikan emosinya. Menekan bahara kebencian di hati. Bagaimanapun, dirinya tidak ingin terus-terusan menjadi murid durhaka bagi Aaron karena terus melanggar ajaran-ajarannya.

Deildra melangkah tenang dan hati-hati melewati ruang lapang yang cukup luas menuju ke pintu sel. Matanya awas memandang, melewati celah-celah jeruji besi. Hatinya agak sedikit tergetar, perasaannya jadi campur aduk. Antara kasihan atau merasa puas.

Mendengar suara langkah kaki dan gemerincing rantai, Nereid membuka matanya perlahan. Darah di wajah serta tubuh lainnya sudah mengering. Kakinya yang remuk sudah hampir pulih. Luka-luka lecet bekas cambukan sudah menghilang. Hanya luka bakar di dada dan bekas cabikan kaki lektaa di perutnya yang meninggalkan bekas.

Bekas luka bakarnya masih kemerahan, artinya luka itu belum sembuh total. Sedangkan luka bekas kaki lektaa berwarna hitam legam, mirip tato. Bekas luka semacam itu akan lama hilangnya, butuh bertahun-tahun. Kecuali diolesi gel penghilang bekas luka buatan Altair dan Allera, dalam hitungan minggu atau bulan sudah bisa hilang. Namun, etnah di mana kini salep gel penghilangan bekas luka itu berada.

Tubuh Nereid beringsut pelan saat Deildra memasuki sel. Namun, karena tidak diberi makan selama sepuluh hari ini. Membuat tubuhnya tak memiliki tenaga sama sekali. Jadi, tak banyak gerakan mampu dilakukannya.

Nereid memang tidak akan mati bila tak makan apa pun selama bebera bulan atau tahun. Namun, selama prosesnya tubuhnya tetap merasakan lapar. Bila tidak minum, tenggorokannya menjadi kesat.

Nereid memejamkan rapat matanya saat tangan Deildra terulur menyentuh wajahnya. Pikirannya langsung menduga bahwa pria itu akan menyakitinya lagi. Namun, dugaannya keliru kali ini karena Deildra hanya menyibakan rambutnya saja. Tak melakukan apa-apa lagi.

"Bangun!" Deildra meminta dengan suara memerintah.

Nereid tetap bergeming juga tak mengucap apa-apa. Pasalnya, tak ada tenaga untuk sekadar bangun. Tubuhnya lunglai.

Deildra menanggapi diamnya Nereid sebagai suatu bantahan. Emosinya jadi naik. Tangannya bergerak menjambak rambut Nereid dan menariknya bangun. Namun, dengan segera Deildra sadar bahwa tubuh remaja itu memang terlalu lemah. Dirinya lupa tak memberi makan minum Nereid selama sepuluh hari ini.

Kedua tangan Nereid mengantung lunglai, matanya yang redup hanya terbuka sedikit. Wajahnya dipenuhi darah yang sudah kering, sehingga terlihat menyeramkan sekaligus memprihatinkan di saat bersamaan.

Deildra mendengus dingin, menatap jengkel ke arah Nereid. Mau tidak mau, dirinya harus membawa remaja itu dengan kedua tangannya. Salah sendiri datang ke sana sendirian. Namun, dengan cara seperti apa membawanya? Itulah yang masih Deildra pikirkan.

Apa harus menyeret remaja itu? Toh, Nereid punya rambut yang panjang. Jadi, akan mudah menggusurnya. Namun, hal itu tedengar sangat kejam. Bagaimana kalau ada prajurit yang melihat dan menceritakannya pada orang lain. Lalu, sampai pada Aaron. Deildra menggeleng pelan, mengembuskan napasnya kasar. Meras ogah serta tak sudi bila harus memangku atau mengendong makhluk tanpa daya itu.

Setelah tercenung cukup lama, akhirnya Deildra memutuskan untuk memanggulnya saja--menempatkan Nereid di pundak kirinya; dipanggul seperti karung beras.

_________

Begitu sampai di rumah pribadinya. Deildra lekas menyerahkan Nereid pada beberapa kasim. Meminta mereka membersikan remaja tersebut dan memberinya makan. Setelah itu, harus lekas dibawa ke ruang tengah.

Sebelum dibawa pergi, Deildra menarik dagu Nereid dan memberikannya ancamannya. "Dengarkan aku! Patuhi semua perintahku dan jangan pernah membantah atau mencoba melarikan diri. Jika sampai hal itu terjadi, bukan kau yang akan menanggung akibatnya, melainkan Aaron. Kakek tua itu yang akan menerima sakitnya beragam senjata karena ulahmu."

Mendengar semua ancaman Deildra, kedua mata Nereid menjadi terbeliak. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi yang terdengar hanya gumam tak jelas. Namun, dari roman serta tatapannya. Jelas bahwa Nereid tak ingin kalau sampai gurunya mendapat siksaan serupa dengan yang pernah di terimanya.

Karena kedua mata Nereid membeliak, maka netra hitamnya menjadi terlihat jelas. Membuat Deildra menjadi terhenyak sesaat. Deildra memang selalu begitu, selalu tertegun kalau melihat remaja yang memiliki netra hitam kelam seperti milik Aludra.

Namun, dengan cepat Deildra menguasai dirinya lagi. Mempertegas sekali lagi ancamannya. "Tidak akan terjadi sesuatu apa pun pada Aaron, selama kau mematuhi perintahku dengan baik. Jadi, jangan coba-coba untuk membantah."

Deildra melepaskan cengkramannya pada dagu Nereid. Memberikan isyarat tangan pada dua kasim yang memapah tubuh remaja itu agar lekas pergi. Deildra tentu tidak benar-benar akan menghukum Aaron bila Nereid membangkangnya. Namun, pria bercambang tipis itu hanya memanfaatkan keluguan serta kasih sayang tulus Nereid terhadap Aaron.

Butuh waktu lumayan lama bagi para kasim untuk bisa membersihkan tubuh Nereid secara menyeluruh. Karena banyak darah kering menempel di kulit yang susah untuk dibersihkan, rambut pun sama. Nereid pun diam saja pria-pria kemayu itu memandikannya karena memang tak punya daya untuk menolak.

*Kasim: statusnya sama seperti dayang. Kasim adalah pelayan pria yang sudah lebih dulu dikebiri sebelum diangkat menjadi pelayan atau kasim di istana.

Para kasim kemudian memakaian Nereid busana yang layak. Mengelap serta menyisiri rambutnya lalu mengikatnya rapi dengan sehelai kain. Memberikan makan. Mulanya, Nereid makan dengan sangat pelan karena tangannya masih lemas, sulit digerakan. Namun, setelah mendapat sedikit tenaga, makannya menjadi rakus. Tanpa menyentuh setetes pun air minumnya.

Begitu usai makan, para kasim lekas membawa Nereid ke ruang tengah sesuai perintah. Deildra sudah duduk menunggu di sana, kedua kakinya yang diluruskan menumpang pada meja. Para kasim lekas pergi mematuhi isyarat tangan Deildra.

"Duduk!" Deildra menatap Nereid yang masih berdiri termangu menundukan kepalanya.

Nereid duduk dengan patuh. Tak ingin membangkang sedikit pun karena takut Deildra akan menyiksa Aaron sama dengan ketika menyiksanya.

Deildra menurunkan kedua kakinya dan membenarkan duduknya. Menatap wajah remaja di depannya dengan agak lekat. Mengamat-ngamati rupa Nereid. Ada satu kesamaan antara Nereid dan Lodrak, yakni sama-sama memiliki rambut yang panjang. Mungkin bukan satu, tetapi dua. Lodrak juga memiliki netra hitam kelam.

"Mulai hari ini kau tinggal di sini. Di bawah pengawasanku. Jangan berpikir untuk membuat ulah."

Nereid tak menjawab, hanya mengangguk kecil.

"Sekarang pergilah istirahat! Kamarmu ada di sana." Deildra menunjuk pintu tak jauh dari tempatnya duduk. "Jangan kunci pintunya dari dalam."

Nereid mengangguk lagi. Lekas berdiri dan melangkah menuju pintu dengan sangat patuh. Kakinya masih sedikit pincang.

Deildra menatap punggung remaja itu sampai pintu ditutup. Di luar, senja sudah tiba, dirgantara dihiasi layung jingga. Lama Deildra tercenung, matanya menerawang menembusi mega. Sampai akhirnya Dew datang membawa beberapa buku serta amplop besar berwarna cokelat. Keduanya terlibat orbrolan yang serius sampai larut, ditemani moke dan kudapan.

_________

Esok harinya, pagi-pagi sekali Devoss datang berkunjung. Meminta Deildra memberikan semangat pada peserta perekrutan Hungost. Mulanya, Deildra menolak karena Devoss memintanya secara tidak resmi, melainkan pribadi. Tanpa surat tertulis yang dibubuhi setempel.

"Ayolah, Deil! Bantu aku!" Devoss menggenggam gelas berisi teh hangat dengan kedua tangannya. Kemudian menghela napas. "Peserta tahun ini sebenarnya lumayan banyak, tapi payah-payah. Baru tes kedua sudah tumbang ribuan. Kalau begini terus, bisa-bisa leherku dipenggal gara-gara dianggap tidak becus dalam bekerja."

"Baguslah kalau lehermu dipenggal. Aku akan menabuh alat musik dan berpesta untuk itu." Deildra tertawa-tawa kecil mengabaikan delikan mata Devoss.

"Aku serius, Deil."

"Memang siapa yang bercanda? Kalau kau mati aku bisa mengantikan lagi posisimu." Deildra tertawa rendah.

"Baiklah, terserah kau saja." Devoss menyesap teh hangatnya. "Kau pilih jalan sendiri atau aku seret?"

"Memang kau berani?" Deildra menaikan satu alisnya sembari menyeringai, menantang.

Mengembuskan napas kuat, Devoss mengerang frustrasi sembari bangkit. "Baiklah! baiklah! Kubawakan kau surat resminya, bersetempel," katanya dengan penuh penekanan dan rasa jengkel.

Tawa rendah Deildra kembali memenuhi ruangan. Berdiri meraih mantel tebalnya, Deildra bergegas menyusul Devoss yang sudah hampir di muka pintu. "Baiklah! Tunggu sebentar, aku urus beberapa hal dulu."

Usai mengucapkan kata-katanya, Deildra langsung masuk ke ruang tengah. Meninggalkan Devoss mamatung sendirian di ruang depan. Devoss sendiri tak benar-benar ngambek sebenarnya, juga tak serius akan membuat surat resmi untuk Deildra.

Nereid masih tertidur saat Deildra membuka pintu kamarnya. Tampak lelap juga damai. Deildra menggenggam kenop pintu dengan sangat erat, kemudian menariknya kembali. Selanjutnya, Deildra menulis sebuah memo singkat untuk Dew. Berisi pesan bahwanya dirinya akan pergi. Jadi, Dew memiliki tugas menjaga Nereid. Selembar kertas itu ditempelkan di papan pintu kamar asistennya.

Setelah semua hal itu dilakukan, barulah Deildra berangkat bersama Devoss. Menunggangi masing-masing kuda. Keduanya memacu laju kuda dengan santai, tak buru-buru. Menikmati hangatnya cahaya pagi sang surya sembari mengobrol ringan.

Deildra sudah tahu kalau Rigel melewati dua tes dengan sangat gemilang. Tes kedua atau tes kemampuan bela diri tangan kosong tentu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Rigel. Bukan hanya Rigel, tetapi Allera dan Altair pun melewatinya dengan mudah.

Tes ini meliputi pertarungan tangan kosong, tanpa menggunakan senjata ataupun kemampuan aura. Masing-masing peserta harus berhadapan dengan Tentara Hungost sungguhan dalam jangka waktu tertentu. Bila mampu bertahan, makanya dinyatakan lolos. Bila tak sanggup bertahan, berarti gugur.

Tes semacam itu, tidak lebih hanya sekadar permainan bagi Rigel atau Altair pun Allera. Namun, Deildra merasa agak cemas dengan tes yang ketiga, tes mental. Sebab, Deildra tahu bahwa Rigel masih memiliki trauma atas masa lalunya. Memiliki trauma berarti kesehatan mentalnya ada masalah.

Mengembuskan napas kuat-kuat, Deildra turun dari kudanya begitu sampai di depan Asrama Kalle. Namun, baru saja kedua kakinya menjejak di tanah. Seseorang tiba-tiba datang menerjang, memeluk tubuh tegapnya.

"Paman!"

"Eh, Alle!" Deildra hampir limbung, untung saja dirinya memiliki keseimbangan yang baik. Kedua tangannya buru-buru menarik bahu Allera agar melepaskan pelukannya. Namun, dengan sengaja gadis itu malah mempereratnya. "Alle, lepaskan! Nanti dilihat orang."

"Dilihat siapa? Paman Devoss? Sudah dari dari tadi dia melihatnya."

"Eh?" Deildra menatap Devoss yang tengah tersenyum-senyum kecil. Seketika juga wajah Deildra berubah mengancam. Walaupun Devoss tak mengatakan apa-apa juga tampak bersikap biasa saja. Namun, Deildra tahu dan sangat yakin. Rekannya itu tengah tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya. Menertawakan.

Dengan agak kuat, akhirnya Deildra berhasil menarik tubuh Allera darinya. "Alle, tidak boleh seperti itu lagi."

"Kenapa? Bukannya dulu Paman senang aku peluk?"

Dulu, sepeuluh tahun lalu. Tentu saja Deildra tidak akan keberatan. "Alle, dulu itu usiamu baru tujuh tahun."

"Waktu di pondok Kakek, aku juga memeluk Paman." Allera tersenyum lebar sembari menaikan kedua alisnya, nakal.

"Alle--" Deildra menghentikan sendiri ucapannya. Tidak jadi marah dan hanya menghela napas panjang saja. Mengalihkan pembicaraan. "Dari mana kau tahu Paman akan datang?"

"Paman Devoss." Allera menunjuk pria bercambang lebat yang tengah menahan tawa. "Semalam, Paman Devoss mengunjungi asrama dan mengobrol bersama Alta dan Rigel. Lalu, dia bilang ini membawamu hari ini untuk menyemangati para peserta."

"Baiklah! Kita masuk saja kalau begitu." Deildra berjalan lebih dulu memasuki Asrama Kalle. Untung dirinya sudah sangat hafal dengan seluk beluk kastel ini. Jadi, tidak memerlukan Devoss untuk membimbingnya.

Allera mengikuti. Begitu juga Devoss, sembari mengangkat bahu tak acuh. Bingung mana yang tamu, mana yang tuan rumah.

Kastel Kallae merupakan istana khusus untuk merekrut anggota baru yang diadakan setiap tiga tahun sekali. Sekaligus markas utama Tentara Hungost. Letaknya tak terlalu jauh dari Istana Utama (Istana kerajaan Phollea). Kastel ini didirikan memang untuk menjaga serta melindungi Istana Utama dari serangan para Saman.

Menara-menara pengawas bertengger kokoh di Kastel Kallae. Para tentara berjaga bergantian di sana untuk terus mengawasi situasi dan kondisi. Sangat ketat, hingga seekor semut sekalipun tak akan lolos dari pengawasan mereka.

Masing-masing peserta tinggal di satu kamar yang dihuni sepuluh orang. Terkecuali Allera, gadis itu mendapat kamar khusus, dihuni sendirian. Para peserta umumnya sedikit banyak sudah membaca aturan-aturan ataupun sejarah terciptanya Tentara Hungost. Jadi, banyak dari para peserta yang mengenali sosok Deildra.

Namun, karena Deildra berjalan berdampingan dengan Devoss. Jadi, para peserta itu tak berani menyapa dan hanya menyoja ramah saja. Menatap penuh kagum dua sosok yang sama-sama memiliki postur tubuh gagah dan penuh karisma.

Karena Deildra mengatakan ingin bicara secara pribadi dengan Rigel, Allera pun tak bersikeras ikut. Gadis itu pergi ke kamarnya untuk berlatih fokus, mempersiapkan diri untuk tes mental nanti malam. Sedangkan Altair, masih memiliki rasa jengkel di hatinya kepada Deildra karena membawa Nereid secara curang. Lantaran sudah tahu bahwa seniornya akan datang dan sudah bisa ditebak pasti menemui muridnya. Jadi, sudah sejak pagi-pagi sekali Altair memilih berlatih di lapangan. Enggan bertemu Deildra.

Kebetulan, Altair dan Rigel mendapat kamar yang sama. Lebih tepatnya, kebetulan yang disengaja karena memang Deildra dan Devoss yang mengaturnya.

Rigel dan yang lainnya langsung menyoja saat Deildra memasuki kamar asrama. Devoss kemudian mengajak pergi para peserta di dalam ruangan, kecuali Rigel.

"Bagaimana, apa siap untuk tes nanti malam?" Deildra duduk di salah satu ranjang. Bertanya langsung ke intinya tanpa banyak basa-basi.

"Aku akan berusaha." Rigel duduk di ranjang lain. Saling berhadapan dengan Deildra.

"Aku tanya, kau siap tidak? Memangnya aku peduli kalau kau akan berusaha keras atau tidak?" Deildra menaikkan kepalnya sedikit, agak miring. Sengaja mengintimidasi muridnya sendiri untuk mengetes seberapa banyak keinginan Rigel untuk menjadi yang terbaik.

"Eh?" Rigel buru-buru menunduk. Tampaknya, memang sulit menyembunyikan sesuatu dari gurunya. Deildra sudah mengetahui kalau dirinya merasa bimbang dan sedikit memiliki keraguan untuk tes nanti malam.

"Apa kau takut?"

Sejenak, Rigel tak menjawab. Jemarinya bertautan erat, gugup dan sedikit tertekan. "Ya."

"Kalau begitu menyerah saja!"

"Tidak!" Rigel mengangkat wajah dan menatap lurus ke arah Deildra. Matanya yang kuning cerah tampak memancarkan sorot tajam. "Kau benar. Aku memang merasa takut. Namun, bukan berarti aku tak berani menghadapi tes ini. Bagaimanapun, aku akan menghadapi ketakutanku."

"Semangat yang bagus!" Deildra tersenyum hangat. Namun, sejurus berikutnya malah menghela napas. "Tes nanti, akan menjadi yang tersulit bagimu. Dua tes berikutnya bukanlah apa-apa, sambil terpejam pun kau pasti bisa lolos. Namun, tetap saja, bila gagal di tes ketiga, tes keempat dan kelima tak akan bisa kau ikuti."

"Aku akan berusaha."

"Hmm." Deildra bangkit, menghampiri. Menepuk pundak Rigel agak keras. "Kalau begitu berjuanglah! Jangan membuatku malu. Aku percaya kau mampu melewatinya."

"Terima kasih atas kepercayaanmu, Guru."

Senyuman di wajah Rigel mengembang, sedikit banyak keraguannya sudah menghilang. Kedatangan Deildra juga dukungannya telah membuat semangat serta tekadnya menjadi bertambah kuat. Mungkin, benar kata orang. Kekuatan terbesar datang dari dukungan orang terdekat.

_________

Begitu malam datang menjelang, sebelum tes mental dimulai. Deildra lebih dulu memberikan ceramahnya untuk para peserta agar menjadi lebih bersemangat. Bahwasannya, rintangan sulit sebenarnya akan membentuk pribadi seseorang menjadi lebih tangguh. Jadi, meraka tidak boleh mengeluh dan merasa pesimis.

Deildra berharap agar para peserta memiliki mental yang setegar karang. Jangan sampai seperti dirinya yang tak mampu melawan kesedihan sampai bertahun-tahun lamanya. Waktu adalah sesuatu yang berharga dan tak bisa dikembalikan. Jadi, para peserta harus menghargainya, menggunakannya sebaik mungkin.

Antusias riuh menyambut, tepuk tangan bergemuruh nyaring. Meski cuaca sangat dingin, tetapi di lapangan sana suasana tetap semarak. Walau beberapa peserta tampak gugup, tetapi lebih banyak yang menampilkan mimik penuh keyakinan.

"Eh, Pirang! Kenapa wajahmu? Seperti maling mau digantung saja." Allera menyadari ada sedikit yang berbeda dengan Rigel hari ini. Sedikit pucat dan tampak risau.

"Adik Rigel, apa kau gugup, eh?" Altair sengaja mengejek dengan menyebutnya "Adik".

Rigel tak menjawab, hanya mendengus dingin. Mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar-debar keras, berdentuman. Keringat dingin sudah mengembun di keningnya. Rasa gigil mulai menyerang tubuh. Entah kenapa, menjelang detik-detik tes. Rasa gugup itu datang kembali menyambangi, padahal tadi sudah lebih tenang.

Allera sudah akan meneruskan menggoda Rigel lagi. Namun, suara nyaring pembimbing tes mengurungkan niatnya. Seorang mayor muda menyerukan agar para peserta segera bersiap-siap karena tes akan segera dimulai.

Tak ada satupun para peserta yang membantah. Mereka semua duduk bersila di atas tanah berlapis rumput yang sangat dingin. patuh mengikuti interuski dengan sangat tertib, tidak gaduh. Kedisiplinan meraka memang sudah terlatih dengan baik.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, maka tes ketiga pun dimulai ....

__________

Bersambung ....

__________


Load failed, please RETRY

Chương tiếp theo sắp ra mắt Viết đánh giá

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C25
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập