Tải xuống ứng dụng
76% Soca (Mata yang Tidak Bisa Melihat) / Chapter 19: Junior vs Senior

Chương 19: Junior vs Senior

Soca

Anak panah menukik deras, cahaya kebiruan yang melingkupinya memecah gulita. Sekilas, menyerupai sebuah meteor yang jatuh dari langit. Orang-orang yang melihat menyikapinya dengan berbeda-beda. Ada yang terkaget-kaget, kagum, ada pula yang lekas meningkatkan kewaspadaan.

Adanya, serangan anak panah sangat cepat dan tanpa diduga-duga. Akan sangat sulit menghentikan maupun menghindarinya. Bahkan, Pillax sampai terkesiap, membeku di tempat. Semua orang dibuat melongo dan tak mampu bergerak dari tempat masing-masing, tergemap dengan berbagai macam reaksi.

Namun, hal yang terjadi berikutnya malah lebih mengejutkan lagi. Seseorang yang menghentikan laju anak panah justru orang yang tidak melihat kedatangannya sama sekali. Dengan kalem Deildra menangkap anak panah tersebut ketika lewat di atas kepalanya. Sekali genggam, anak panah langsung patah menjadi dua bagian kemudian melebur menjadi butiran cahaya dan menghilang.

Di atas atap, Altair menggeram kesal, emosinya bertambah gusar. Suaranya mendesis dingin saat bergumam, "Apa-apaan dia itu?"

Tak tahan, Altair melompat turun dari atap. Kedua kakinya menjejak tak jauh di sisi Deildra. Namun, Altair bersikap abai terhadap orang yang sejatinya adalah senior seperguruannya itu. Alih-alih menyapa Deildra, Altair malah mendongak rangah pada Pillax.

"Dengar, Nona Pillax, carilah hewan peliharaan ayahmu di tempat lain. Kalau kau bersikeras membuat onar di rumah orang. Jangan salahkan aku bila bertindak kasar."

"Cih! Keparat!" Pillax memaki. Emosinya tersulut lantaran Altair memanggilnya dengan sebutan nona. Tubuhnya tiba-tiba melesat menerjang Altair, pedang yang tersoren di pinggangnya dicabut dengan cepat.

Selain karena merasa kesal, Pillax juga merasa penasaran ingin menjajal kemampuan Altair yang sempat membuatnya terkesiap barusan. Ketika menyerangnya dengan lesitan anak panah yang tak terduga. Saat itu, kondisinya sedang tidak siap, untung saja Deildra menghentikan serangan tersebut. Jika tidak, dirinya pasti sudah terluka saat ini. Meski Pillax sendiri tak mengerti kenapa pria bercambang tipis itu malah menolongnya.

Lantaran dipicu oleh Pillax, Bagad pun ikut menerjang ke arah Rigel. Sementara yang lima puluh orang lainnya terpecah menjadi tiba bagian, separuh menyerang Altair, separuh menerjang Rigel, sisinya yang paling banyak menggempur Deildra.

Altair menangkis pedang Pillax yang menyasar lehernya dengan ujung busur. Masih dalam kondisi digunakan menangkis serangan, Altair menarik tali busur dan menciptakan empat anak panah sekaligus. Keempat anak panah itu pun melesat dan semuanya mengenai sasaran dengan tepat. Empat orang berseragam hitam tumbang ke tanah, anak panah menancap di dada masing-masing.

Pillax mendengus berang, di saat lawannya tepat berada di bawah hidungnya masih saja mampu melumpuhkan orang lain. Pillax melayangkan tangan kiri hendak meninju wajah Altair, tetapi sesaat sebelum pukulannya sampai, lawannya sudah lebih dulu menelengkan kepala. Otomatis, pukulannya lewat begitu saja, mengenai udara kosong.

Altair menarik tangan kanannya ke atas, bermaksud memukul tangan kiri Pillax yang lewat di sisi kepalanya. Namun, Pillax menyadari maksudnya itu dan buru-buru menarik tangannya kembali sebelum kena dipukul.

Altair memutar busurnya sampai 90° derajat, tangan kanannya menarik tali busur dan menciptakan satu anak panah. Altair melecit mundur sembari melepaskan anak panahnya. Desau angin bersiuran mengiringi lesitan anak panah yang menukik.

Pillax tak tinggal diam, dibabatnya anak panah itu menggunakan mata pedang hingga terpotong menjadi dua bagian. Namun, empat anak panah lainnya datang menyusul dengan kecepatan lebih deras dari yang tadi. Pillax menggeram, membabat lagi keempat anak panah itu sekaligus.

Melihat Pillax agak sedikit kerepotan, tiga pria berseragam hitam datang dengan maksud membantu. Namun, belum juga sampai beberapa langkah, tahu-tahu anak panah sudah melesat dengan kecepatan tinggi. Ketiganya langsung tumbang tanpa bisa melakukan perlawanan yang berarti.

Mendapati hal itu, Pillax menjadi bertambah kesal juga berang. Diayunkannya kaki menerjang ke arah Altair.

Namun, Altair merupakan penganalisa yang baik. Altair menyadari bahwasanya Pillax hanya pandai dalam pertarungan jarak dekat, dengan senjata pedang sebagai keahlian utamanya. Sehingga, Pillax menjadi sedikit kelabakan saat menerima serangan-serangan jarak jauh.

Sangat berbeda dengan Altair yang menguasai kedua jenis tipe pertarungan, baik jarak jauh maupun jarak dekat. Dalam keahlian menggunakan senjata pun, Altair  menguasai beragam, baik panah, pedang, tombak, bahkan nunchaku sekalipun mampu dikuasai dengan baik.

Memanfaatkan kelemahan lawan, Altair pun menghindari pertarungan jarak dekat. Tiap kali Pillax datang menerjang, Altair akan melompat mundur dan menjauh. Melesatkan anak-anak panahnya dan memaksa Pillax menghentikan laju kakinya untuk menghalau serangan. Semakin lama, Pillax semakin dibuat kelabakan oleh rentetan lesitan anak panah Altair yang bagai hujan, terus berdatangan.

__________

Masih di lokasi yang sama, perkelahian sengit juga terjadi antara Rigel dan Bagad. Mulanya, mereka memilih bertarung dengan tangan kosong. Namun, setelah beberapa kali beradu pukulan, Bagad menyadari bahwa pengendalian aura Rigel sangatlah mumpuni, sehingga tenaga dalam si pemuda pirang jauh lebih kuat daripada dirinya.

Bagad pun kemudian menarik keluar golok berukuran cukup besar yang tersoren di punggungnya. Untuk mengimbangi, Rigel menciptakan sebuah pedang dengan auranya. Saat lima sampai enam orang berseragam hitam datang menggempur, Rigel juga menciptakan rantai di tangan kirinya. Rantai itu kemudian menyabet habis keenam orang berseragam hitam hingga bertumbangan di tanah yang becek.

"Sial!" Bagad menggeram gusar. Tak disangkanya jika si bocah pirang benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa.

Rigel tak ingin berlama-lama membiarkan lawannya mampu berdiri tegak. Diterjangnya Bagad dengan sabetan pedang mengarah ke dada. Saat Bagad menangkis pedangnya dengan golok, kaki kiri Rigel bekerja, lututnya ditarik ke atas menyasar perut lawan.

Namun, Bagad menyadari serangan itu, tubuhnya lekas diputar ke sisi kiri Rigel, goloknya hendak menebas leher si pemuda pirang. Namun, Rigel maklum akan datangnya serangan itu, dibungkukkannya tubuh sehingga golok lewat di atas kepalanya. Anginnya dingin saat menerpa kulit.

Rigel memutar tubuhnya sedikit, hingga menjadi kembali berhadapan dengan Bagad, pedangnya deras menyasar perut. Bagad agak terkesiap kali ini lantaran pergerakan Rigel lebih cepat dan lincah. Ditangkisnya serangan itu menggunakan golok, tetapi tubuh Rigel malah berputar, sikutnya keras menghantam dada kanannya.

"Bajingan!" Bagad mengumpat. Terhuyung beberapa langkah ke belakang, dadanya terasa sakit.

Rantai di tangan kiri Rigel kembali muncul setelah tadi sempat dihilangkannya sesaat seusai berhasil menumbangkan keenam orang berseragam hitam. Kali ini panjang rantai paling hanya dua kaki. Rigel menyapu kedua kaki Bagad dengan rantai itu.

Bagad melompat menghindari sapuan rantai, tetapi tahu-tahu Rigel sudah menerjang lagi dengan pedang terhunus ke arah ulu hati. Bagad menangkis serangan itu dengan goloknya, tetapi Rigel menyambitkan lagi rantai di tangan kiri ke arah pinggangnya. Bagad menangkap rantai dengan tangan kirinya. Namun, hal itu malah membuat kedua tangannya jadi sama-sama menahan serangan.

Memanfaatkan daya dorong, Rigel menekuk kedua kakinya kemudian melompat, kedua kakinya menghantam dada Bagad.

Kali ini, tubuh Bagad bukan lagi terhuyung, melainkan jatuh terjengkang. Rigel lekas memburu, pedangnya disabetkan, tetapi Bagad masih sempat menangkis dengan goloknya meski sambil telentang di tanah berlumpur. Rigel mendengus dingin, mengubah rantai di tangan kirinya menjadi sebuah tombak dan menusukkannya ke perut Bagad.

Suara teriakan Bagad mengangkasa memenuhi langit malam, menakuti burung-burung yang sedari tadi menonton jalannya pertarungan. Tubuh Bagad mengejang beberapa saat, kemudian diam memayat dengan kedua mata melotot.

__________

Deildra sendiri, telah usai membereskan ketiga puluh tujuh orang yang mengeroyoknya. Bukanlah hal sulit bagi seorang yang pernah meraih gelar Hungost terbaik melumpuhkan orang sebanyak itu dalam waktu singkat. Jangankan orang dengan hanya kemampuan kasar seperti orang-orang berseragam hitam, Saman yang memiliki kemampuan mengendalikan aura saja belum tentu menang melawan Deildra dengan jumlah kurang dari lima puluh.

Agaknya, kali ini Paliv Kliros ataupun Alepa telah membuat kesalahan besar. Keduanya tidak menyelidiki lebih detail siapa orang yang diburu maupun yang melindungi Nereid. Terlebih, mereka juga pasti tidak pernah menyangka bahwa Hungost yang telah membenamkan diri di hutan itu muncul kembali dan merupakan guru dari sang hewan buruan.

Laporan yang Alepa terima hanyalah sebuah pernyataan, bahwasanya penyusup yang memasuki ruang bawah tanah adalah seorang pemuda yang masih belia berambut pirang. Sedangkan orang yang membawa kabur Nereid juga hanya dua bocah ingusan.

Oleh karena itu, Paliv mengizinkan putranya memimpin bersama Bagad untuk melakukan pengejaran. Membawa pulang kembali anjing peliharaannya yang telah menghasil banyak uang untuknya. Namun, Paliv tidak akan pernah mengira jika putranya membuntuti bocah-bocah dengan latar belakang unik. Memiliki silsilah keluarga yang tidak biasa, guru serta kemampuan yang juga tidak biasa.

Saat ini, tubuh Pillax sudah tersungkur jatuh ke tanah berlumpur. Ada dua anak panah menancap di lengan kanannya, satu di perut bagian kiri. Pedangnya terlempar beberapa depa di depan. Sedangkan Altair, masih kokoh berdiri tanpa segores luka pun.

Altair maju selangkah, kedua kakinya terbenam di tanah berlumpur. Mulanya, tanah hanya becek tergenang air hujan, tetapi lantaran dijadikan arena pertempuran, terinjak-injak. Jadilah kini tercipta kubangan lumpur bercampur genangan air hujan. Satu anak panah tercipta di busur Altair, matanya menyipit tajam, fokus pada sasaran.

Hakikatnya, Pillax sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk melawan maupun melarikan diri. Dirinya tidak lebih hanya seekor kelinci rapuh yang menghadapi seekor raja hutan. Memohon ampunan pun tidak mungkin, masih lebih baik mati daripada merendahkan diri. Oleh karena itu, Pillax pun pasrah saja menerima panah kematiannya.

Altair melepaskan anak panahnya, meluncur cepat menerobos angin. Keakuratannya sudah tidak perlu diragukan lagi, sudah pasti tepat seratus persen mengenai sasaran. Namun, sayangnya laju anak panah harus terhenti sesaat sebelum menusuk masuk melewati jantung Pillax. Deildra menghentikan laju panah itu dengan anak panah miliknya.

Deildra menghampiri Pillax, merunduk dan menepuk pelan kepala pemuda itu. Titahnya, "Pergilah!"

Pillax tak mengerti sebenarnya, tetapi lantaran diberi jalan. Toh, ia tidak memohon ataupun menurunkan harga dirinya, tidak ada salahnya menerima sebuah kesempatan. Pillax lekas bangkit berdiri, berjalan cepat menuju salah seekor kuda yang tidak melarikan diri dan berada tak terlalu jauh dari tempatnya.

Altair mendengus dingin, melepaskan lagi tiga anak panah sekaligus ke arah Pillax yang sedang melarikan diri. Namun, lagi-lagi anak panahnya dihentikan oleh Deildra. Pillax pun lolos dan menghilang ditelan kegelapan.

"Kau itu apa-apaan sebenarnya dari tadi? Sentimen, eh?" Air muka Altair terlihat begitu jengkel, mendongkol.

Alih-alih menjawab, Deildra malah berjalan menghampiri Altair. Menatap si pemuda dengan seulas senyuman, seakan-akan tidak ada hal yang mesti didebatkan. Busur di tangan Deildra menghilang, padahal bisa saja Altair melayangkan serangan.

Kedua mata Altair mengerung, pancaran matanya tampak sangat dingin juga tajam. Tangannya erat menggenggam busur. "Kenapa kau melepaskan bajingan itu? Apa kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu jika bajingan yang baru kau lepaskan telah banyak menebar penderitaan pada orang-orang."

Tersenyum, Deildra menjawab dengan nada kalem, "Tak banyak yang bisa aku katakan padamu. Tapi, jika kau marah terhadapku, aku akan mengizinkanmu untuk meluapkannya. Kau bisa memukulku, bahkan membunuhku. Namun, kukatakan padamu, baik membunuhku atau hanya sekadar melayangkan pukulan terhadapku, itu tidak akan mudah."

"Cih!" Altair mendengus dingin. Busur di tangannya menghilang, tetapi sebagai gantinya ia memasang kuda-kuda. Selain merasa jengkel, kesempatan bagus juga bisa menjajal adu kemampuan bersama seorang yang menerima gelar Hungost terbaik. Jadi, Altair berniat menerima tawaran Deildra untuk menuntaskan kekesalan di hatinya.

Senyuman di bibir Deildra masih terpeta, bersiap menerima serangan dari juniornya.

Tanpa ragu-ragu Altair langsung menerjang membawa serentetan serangan. Walaupun tidak ada niat membunuh di dalam hati Altair. Namun, kandungan tenaga yang disisipkan dalam pukulannya cukup perkasa. Kalau sampai kena sasaran, pastilah cedera yang dialami lawan tidak akan sederhana.

Altair melayangkan tinjuan mengarah ke rahang Deildra, tetapi dengan enteng seniornya itu menangkis menggunakan telapak tangan. Seketika tangan Altair seperti tersengat arus listrik, kesemutan dan sedikit tegang.

Lantaran serangan pertamanya gagal, Altair kemudian menggunakan tangan kirinya untuk melakukan serangan kedua. Diayunkannya tangan kiri menuju bawah telinga Deildra. Namun, lagi-lagi serangannya terhenti sebelum sampai mengenai sasaran. Deildra sudah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat.

Kedua tangan Altair menjadi terkunci sekarang, sebab saat ini kepalan tangan kanannya juga dicengkeram oleh Deildra. Altair berusaha menarik tubuhnya, tetapi cengkeraman Deildra sangat kuat, sulit dilepaskan. Terpaksa, Altair menekuk kakinya dan hendak menubruk perut Deildra dengan lututnya.

Namun, tentu saja Deildra menyadari maksud serangan tersebut. Dengan lincah dan penuh energik, Deildra menarik kedua tangan Altair ke udara kemudian memutarnya, tubuhnya ikut berkelit. Sehingga dengan cepat posisi Deildra yang semula di depan berganti menjadi di belakang. Serangan lutut Altair pun lolos.

Altair menyadari posisinya saat ini sangat tidak menguntungkan karena kedua tangannya masih terkunci. Bila dibiarkan terus begitu Deildra bisa dengan gampang memelintir kedua tangannya dan menindasnya. Oleh karena itu, memanfaatkan daya dorong, Altair hentakan kedua kakinya. Tubuhnya berputar bulat seperti ulat, kedua kakinya siapa menghantam kepala Deildra.

Mendapati serangan yang cerdik semacam itu, Deildra menjadi terpana juga. Dilepaskannya cengkeraman pada kedua tangan Altair, kemudian menggunakan kedua tangannya itu untuk menangkap kedua kaki si junior sebelum mengenai kepalanya. Deildra membungkuk lalu membanting keras tubuh Altair ke tanah. Suara gedebug jatuh bercampur bunyi kecipak nyaring terdengar.

Suara keluhan disertai erangan sukses lolos keluar dari mulut Altair.

Deildra tersenyum ramah, melangkah kalem menghampiri Altair. Kemudian berjongkok sembari menepuk bahu sang junior yang baru saja bangkit. "Bagaimana, Adik Junior? Masih ingin mendendam kepadaku, eh?"

Seluruh tubuh bagian belakang Altair dipenuhi lumpur, wajahnya juga kecipratan. Akibat dibanting sedemikian rupa, Altair merasakan punggungnya benar-benar ngilu. Ia masih duduk belunjur di kubangan, mengatur napasnya.

Altair merasa menyesal telah kalah telak begitu saja dari Deildra, padahal guru mereka sama. Namun, dalam sekali gebrakan saja dirinya sudah jatuh tersungkur tanpa daya.

"Tidak apa-apa." Deildra menepuk kepala Altair agak keras. Seakan ia paham dengan apa yang ada di benak juniornya. "Sebenarnya kemampuanmu sudah sangat baik. Jujur kukatakan, aku kagum padamu. Namun, pengalamanmu masih hijau, itulah yang membedakan kemampuan kita berdua. Sepuluh tahun mendatang, kau pasti akan mampu meluapkan kemarahan itu padaku. Simpanlah, aku akan menunggumu."

Deildra bangkit berdiri, menatap langit yang kelam, sekelam hati dan emosinya saat ini. Wajahnya gelap dipenuhi kedukaan, tak ada lagi senyuman. Jiwanya kacau semrawut, pelbagai kenangan-kenangan menyedihkan lewat di benaknya. Membuat hatinya diliputi nestapa. Andai saja Aludra tak menghilang, mungkin putranya akan secakap Altair.

"Alta." Aaron berdiri di muka pintu dan sudah akan melangkahkan kakinya ke tanah. Namun, Deildra mencegahnya.

"Jangan kotori kedua kakimu, Guru. Biar muridmu yang datang ke sana." Deildra melirik Altair yang sudah berdiri.

Walaupun masih sedikit jengkel juga memiliki rasa tidak suka terhadap Deildra. Namun, Altair menuruti apa yang diucapkannya seniornya. Bergegas berlari ke arah Aaron agar pria tua itu tidak turun dari rumah dan mengotori kedua kakinya.

"Kau tidak apa-apa?" Aaron menyambut, memegangi kedua lengan Altair yang kotor berlumpur.

"Aku baik-baik saja. Guru, pakaianku kotor, jangan dipegang." Altair menatap Aaron sembari tersenyum meyakinkan.

"Tidak apa-apa, nanti Alle akan mencucinya." Aaron tertawa rendah. Tangan keriputnya menarik tubuh Altair agar masuk. "Di luar dingin, ayo masuk dan lekas bersihkan dirimu."

"Iya." Altair menurut.

Rigel yang sedari tadi membisu menonton perkelahian antara junior melawan senior, kini berjalan menghampiri Deildra. "Guru, kita juga harus membersihkan diri."

"Hmm, ayo!" Deildra menepuk punggung Rigel keras, hingga membuat muridnya sedikit terdorong ke depan.

Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C19
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập