(POV - Alayna Morrel)
Helsinki, Finlandia
Salju sudah menyelimuti kota ini sejak pertama kali aku datang beberapa minggu yang lalu. Aku belum pernah melihat salju sebanyak ini selama tinggal di San Fransisco. Embun menutupi jendela dapur yang menghadap halaman belakang rumah yang kutempati selama di Finlandia. Es membingkai pinggiran kaca jendela hingga terlihat buram.
Kutuang segelas air putih lalu mengambil lima butir tablet berwarna biru dan meminumnya. Seperti yang kulakukan beberapa minggu terakhir, pagi ini aku akan mengunjungi danau luas yang mulai membeku tidak jauh dari tempat tinggalku. Kuambil jaket wool tebal dan parka hijau yang menggantung di dekat pintu masuk lalu memakainya, kurasa suhu hari ini mencapai minus delapan derajat celcius. Jauh lebih dingin dari kemarin.
Mungkin hanya aku yang menyukai berjalan di salju dalam suhu seperti ini. Walaupun bergelung di antara selimut yang hangat juga menyenangkan, tapi tidak semenyenangkan merasakan angin dingin yang menerpa wajahmu hingga membeku.
Seperti pagi ini, angin beku menusuk wajahku saat aku melangkah keluar dari rumah. Kuselipkan kedua tanganku ke dalam saku jaket parka yang kukenakan lalu mulai berjalan. Tentu saja dalam suhu minus delapan udara dingin masih sangat terasa walaupun aku sudah mengenakan empat lapis pakaian.
Suara sepatu bootsku yang menginjak salju memecah keheningan pagi ini, danau yang kutuju hanya berjarak 10 menit dengan berjalan kaki. Rumah yang kusewa saat ini berada di pinggiran kota Helsinki cukup jauh dari keramaian pusat kota. Sepupuku, Luke, yang mengatur semuanya untukku sejak beberapa bulan yang lalu.
Luke mengetahui penyakitku sejak 3 tahun yang lalu, Ia mencari beberapa rumah sakit yang dikhususkan untuk penyakit yang kuderita, bahkan Ia ikut membiayai beberapa penelitian kanker yang mereka lakukan. Semua obat terbaru yang ditemukan belum bisa menyembuhkanku, mungkin hanya memperlambat tapi tidak ada yang bisa menghentikannya. Salah satu rumah sakit yang dipilih oleh Luke berada di kota ini, karena itu aku memilih negara ini. Selain udara dinginnya, Finlandia cukup jauh dari Greg...
Kini namanya berubah dari Gregory menjadi Greg, aku tidak tahu sejak kapan aku memanggilnya seperti itu.
Kualihkan pandanganku ke langit gelap di atasku, berusaha memikirkan hal lain. Hanya ada dua penduduk lokal yang mengunjungi danau pagi ini, walaupun mereka berada di seberang danau yang cukup jauh dari tempatku.
Aku berhenti tidak jauh dari pinggir danau untuk memandang pemandangan serba putih di depanku, bahkan pepohonan di sekitar tertutup oleh salju. Mungkin surga terlihat seperti ini, putih tanpa noda... dan kosong.
Kuhela nafasku hingga uap yang keluar dari mulutku mengepul di sekitar wajahku yang kedinginan. Aku sangat merindukan Ella saat ini, sudah berapa lama sejak aku bertemu dengannya terakhir kali? Satu bulan yang lalu? Hanya Luke dan Ella yang mengetahui rencanaku, dan aku sudah bersusah payah meminta Ella untuk bersumpah tidak memberitahu siapapun kemana aku akan pergi. Terutama pada Greg.
Aku masih mengingat ekspresi terakhirnya sebelum aku pergi, sambil mengelus perutnya yang membesar Ella tersenyum padaku lalu mengatakan, 'Greg akan menemukanmu, Lana. Dan aku akan menunggumu kembali.'
Greg tidak akan menemukanku dengan mudah. Luke berjanji akan memberitahuku jika seseorang mencariku, dan sejauh ini tidak ada kabar darinya.
Saat salju mulai turun lagi kuputuskan untuk kembali ke rumah. Lokasi di sekitar danau merupakan tempat wisata saat musim panas, ada beberapa villa lain yang disewakan di sekitar rumah yang kutempati. Saat musim dingin seperti ini hanya sedikit yang menyewanya, setahuku hanya ada aku dan seorang penghuni baru di sebelah rumahku. Rumah penjaga sekaligus pengelolanya berada tidak jauh dari rumahku juga, jadi hanya kami bertiga yang menguasai danau seluas ini. Selain beberapa penduduk lokal yang tinggal di seberang danau tentu saja.
Saat musim dingin di Finlandia matahari hanya muncul selama beberapa jam saja, langit masih gelap walaupun jam sudah menginjak pukul 8 pagi.
Hari ini adalah kemoterapi pertamaku setelah berusaha menundanya selama tiga bulan terakhir. Jika bukan karena Luke yang membuatku berjanji untuk segera menjalani kemoterapi mungkin aku akan menundanya lebih lama lagi. Kemo atau tidak tetap saja sama hasil akhirnya bagiku.
Sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman ironis, bahkan mungkin Dad saat ini sudah menganggapku mati. Hubunganku dengan Dad mulai merenggang sejak dokter mendiagnosa bahwa ada kemungkinan 75% kanker yang merenggut nyawa Mum akan merenggut nyawaku juga sebelum umurku mencapai 27 tahun. Tapi aku tidak menyalahkan Dad, kurasa hatinya sudah hancur saat Mum meninggal karena Dad tidak pernah menikah lagi hingga saat ini. Dan sekarang putri satu-satunya menderita penyakit yang sama.
***
Langit sudah kembali gelap saat aku pulang dari rumah sakit, waktu juga menunjukkan hampir tengah malam. Kusandarkan kepalaku di jendela taksi yang dingin sambil memandang lampu jalanan yang berkerlip dengan pandangan kosong. Bahkan bernafas pun membuat seluruh tubuhku terasa sakit.
Bukan hanya menyakitkan, tapi kemoterapi juga menghabiskan sisa harapan yang kumiliki. Kupejamkan kedua mataku untuk melawan rasa mual yang kembali muncul. Dokter menyarankan untuk tinggal paling tidak semalam tapi aku tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi di rumah sakit, apalagi mencium bau disinfektan yang menempel di setiap sudut rumah sakit lebih lama lagi.
Serpihan salju mulai turun perlahan, aku tidak tahu mengapa tapi di sini hujan salju lebih sering turun saat malam hari. Kurasa aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak malam ini dengan rasa sakit yang ditambah dengan dingin yang menusuk.
Pikiranku teralihkan saat kurasakan supir taksi yang kunaiki beberapa kali melirik ke arahku dari spion tengah, lalu aku mulai benar-benar memperhatikan jalanan yang kami lewati. Suasana di luar yang gelap membuat hampir mustahil untuk mengetahui dimana kami berada saat ini. Kutelan ludahku saat rasa panik mulai merayapiku. Yang jelas ini bukan jalan ke rumah yang kutempati.
"Apa ini jalan yang benar?" tanyaku berharap Ia hanya melewati jalan pintas yang tidak kuketahui. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri sehingga tidak memperhatikan taksi yang kutumpangi atau jalan yang kami lewati.
Sekali lagi Ia hanya melirik ke arahku sekilas lalu menjawab dengan pendek dalam bahasa Finlandia yang tidak kumengerti. Tanganku merogoh handphone di tasku tapi saat aku melihat layarnya tidak ada satupun bar sinyal yang muncul.
Supir di depanku adalah pria paruh baya yang bertubuh cukup besar, tidak tahu kenapa hal itu membuatku semakin panik. "Sir? Kurasa aku akan turun disini." kataku sambil mengeluarkan beberapa lembar uang lalu menyodorkannya padanya. Tapi Ia tidak menghiraukanku atau uangku, pandangannya masih tertuju ke depan.
"Sir!" panggilku lagi kali ini lebih keras, tanganku meraih tuas pintu di dekatku walaupun aku tahu pintunya masih terkunci.
Apa ada yang akan mendengar jika aku berteriak minta tolong sekarang? Tapi kami berada di antah berantah, hanya ada pepohonan dan rumah yang terbengkalai di kanan kiri jalanan. Aku tidak melihat satu orang pun sejak beberapa saat yang lalu. Apa aku harus memecah kaca taksi ini? Tapi aku tidak memiliki benda tumpul untuk dibenturkan, lagipula aku ragu bisa keluar dari jendela saat taksi ini masih bergerak.
Mungkin karena rasa panik, atau shock, atau hanya keadaanku yang lemah setelah kemoterapi, aku hanya bisa membeku di tempat dudukku saat teror mulai menggantikan rasa panik yang merayapiku. Ia membelokkan taksinya ke jalanan yang lebih kecil dan gelap dari sebelumnya, butuh beberapa waktu lamanya hingga aku menyadari jalan tersebut adalah akses menuju peternakan.
Jika yang terjadi padaku saat ini adalah film, pasti para penonton akan menganggapku bodoh karena aku hanya duduk di tempatku tanpa melakukan apapun. Tapi rasa takut dan teror membuatku tidak bisa menggerakkan tubuhku, apalagi berpikir jernih.
Saat kami berhenti di depan bangunan yang menyerupai gudang, adrenalin mulai membuat akal sehatku kembali. Tepat saat Ia mematikan mesin mobilnya lalu membuka pintu di sebelahnya, aku juga melakukan hal yang sama. Adrenalin juga lah yang memaksa kakiku untuk berlari di tengah salju walaupun sulit karena aku memakai sepatu boot dan celana jeans yang membatasi pergerakan kakiku.
Sambil berlari aku berusaha menoleh ke belakang, yang merupakan kesalahan besar karena Ia berlari tepat di belakangku. Aku berpikir Ia tidak akan mengejarku karena aku meninggalkan tasku di dalam mobilnya. Tapi sepertinya Ia tidak hanya ingin merampokku. Sesaat kemudian aku merasakan salah satu tangannya melingkari sikuku.
"Aaaaahhhhhhh!" teriakku sambil mendorongnya menjauh dariku tapi Ia masih memegang sikuku hingga aku ikut terjatuh dengannya. Kepalaku membentur sesuatu dengan cukup keras dan sesaat dunia berputar di depan mataku sebelum akhirnya diikuti rasa sakit yang luar biasa. Kukedipkan kedua mataku berusaha mengembalikan fokus pengelihatanku, aku bisa merasakan darah mengalir di sebagian wajahku.
Penyerangku bangun dari tempatnya lalu merangkak ke atasku, di tangan kanannya sebuah pisau berkilat saat Ia mengangkatnya ke leherku. Ia menggumamkan beberapa kalimat dalam bahasa Finlandia dengan suara seraknya yang dalam, sedikit bau alkohol tercium dari nafasnya.
Jadi ini bagaimana aku akan mati, kupikir aku akan mati karena penyakitku. Kedua mataku menatap ke langit di atasku, walaupun masih agak berbayang tapi aku bisa melihat bintang yang bertaburan sepanjang mata memandang. Aku tersentak saat tangan kirinya meraba jeans yang kukenakan hingga menemukan kancing jeansku.
"Ja—jangan— Kumohon."
Tapi tangannya masih berusaha menarik kancing jeansku dengan kasar.
"Kumohon." ulangku dengan sisa suara di tenggorokanku. Kukumpulkan sisa kekuatanku lalu menggerakkan kakiku untuk menendangnya. Tendanganku tidak berdampak banyak baginya tapi paling tidak itu membuatnya terkejut, cukup bagiku untuk merangkak menjauh darinya. Tapi usahaku hanya berhasil membawaku beberapa meter saja, tangannya dengan kasar menarikku hingga aku berada di punggungku lagi.
"Aaahhh!" Dengan seluruh kekuatanku aku berusaha mendorong dan menendangnya menjauh dariku. Kupejamkan mataku yang mulai berbayang lagi karena benturan sebelumnya. Aku tidak melihat pisaunya yang mengarah padaku atau ekspresi marah yang membayangi wajahnya sebelum menusukkannya ke perutku.
Kubuka mataku dan langsung menatap wajahnya sementara rasa sakit yang baru menjalar dari perutku. Wajah terakhir yang kulihat sebelum mati. Ekspresi puas yang menjijikan terlihat jelas di wajah psikopatnya.
Aku bisa merasakan bajuku yang basah karena darah yang mengalir dari perutku, salju di sekitarku terasa semakin dingin dalam setiap detik yang berlalu. Ia masih berusaha membuka kancing celana jeansku... samar-samar aku merasakan tangannya yang menarik celanaku. Bagaimana manusia bisa lebih kejam dari binatang? Tanyaku pada bintang yang berpendar di atasku. Aku tidak memilki sisa tenaga untuk melawannya lagi, lagipula sebentar lagi sepertinya aku akan kehilangan kesadaranku...
Suara geraman binatang terdengar keras di dekat kami, membuat psikopat yang saat ini menindihku tersentak dari aktivitasnya. Bayangan hitam melompat dengan sangat cepat di atas kami, membawa serta psikopat bersamanya. Mungkin serigala... pikirku samar-samar, kesadaranku sudah menurun drastis bahkan aku tidak bisa menengok untuk menonton psikopat itu dicabik-cabik oleh serigala.
Suara teriakannya yang kesakitan membelah keheningan malam. Apa setelah ini giliranku? Walaupun aku merasa berterimakasih karena serigala itu sudah menolongku sebelum psikopat menyentuhku lebih jauh, tapi kuharap aku sudah mati sebelum serigala itu mencabik-cabikku juga...
Di antara suara teriakan menyedihkan di dekatku kupaksa kedua mataku untuk tetap terbuka walaupun terasa berat, bintang-bintang malam ini terlihat sangat cantik di atas.
Kupikir saat mendekati ajal kita akan melihat kilasan balik kehidupan kita selama ini... Tapi yang kulihat saat ini bukan kilasan kehidupanku. Aku hanya melihat Greg yang berlumuran darah berdiri memandangku dari atas.
Hai!
Setelah dilihat-lihat lagi POV gonta ganti gini ternyata menyebalkan juga ya hehehe tapi udah terlanjur ;'( semoga yang baca tidaq kapok~
Nanti kalau bikin cerita baru aku coba belajar tulis pake sudut pandang ketiga biar enakkk
Terimakasih sudah baca!