Dio mengingat lagi kata kata Amy tadi, bahwa adiknya itu tidak tahu bagaimana harus bersikap layaknya seorang adik kepada orang asing.
"Saat itu dia bukan Amy." Dio menatap tajam cermin itu seolah tatapan mata membunuh. "Gadis itu adalah Amanda. Cuma dia yang bisa membuat Ibu bangun lagi, saat itulah yang kupikirkan. Kita berdua tidak terikat sebagai saudara. Kita terikat seperti bisnis, dan ayah tak menyadari itu."
Dio meringis memegang kepalanya yang migrain di bagian kanan yang makin pening dan sakit. Rasanya seperti ditusuk tusuk dengan paku di separuh wajah, kepala, bahkan tangan kanannya.
"Bagaimana aku bisa hidup?" Dio memukul mukul dahi dan kepalanya, gemetaran dan kesakitan. "Bagaimana bisa ibu melakukan ini padaku? Kenapa ibu melakukan ini?"
Buk buk buk.
Dio memukul dirinya sendiri. Tanpa ia sadari matanya berkaca-kaca.
"Kita adalah saudara, sudah seharusnya begitu. Iya kan, Bu?"
"Ibu bahkan tidak tahu betapa aku membencinya saat itu."
Dio mengingat lagi, semua yang telah terjadi dan ia lalui bersama adiknya.
"Apa aku masih hidup dengan palsu?"
Saat ia tersenyum, saat ia melempar lelucon, bahkan saat ia menolong Amy drai banyak kejadian, seperti saat drai kecelakaan mobil, saat Amy melarikan diri dan menangis dan kejadian masa lalu lainnya.
"Aku ingin mengakuinya, Bu." Dio menangis, telapak tangannya ia gebrakkan di kaca. "Aku ingin menyukainya layaknya kita berdua saudara. Tapi kenapa ibu melakukan ini? Kenapa ibu….menerimanya di rumah kita saat itu?"
Dio ingat di malam saat ibunya terkena serangan kutukan itu, Amy hanya menatapnya dengan datar. Dia bukan dari keluarga sejak awal seperti Dio. Dio merasa anak itu tidak seharusnya masuk, apalagi kejadiannya tepat sebelum Nadia terkena serangan itu. Dio ingin menyalahkannya, namun ayah yang membawanya pulang dan ibu nampak senang dengan anak perempuan. Dio menyalurkan kebencian itu dengan pura pura menyayanginya, saat itu.
"Anak itu menyukaiku. Dia menganggapku sebagai kakaknya, Bu. Tapi kenapa kau pergi dan membuatku membencinya? Aneh bukan?"
Hubungan keduanya memang aneh sejak awal. Amy menyukai Dio tapi berpura pura membencinya, sedang Dio membencinya tapi pura pura menyukainya, meski ia berusaha menyukainya. Ini tak mudah.
"Tapi aku tetap anak pertama di keluarga Holan. Aku adalah kakaknya, aku ingin hidup, Bu. Jadi kumohon jangan membunuhku."
Dio hampir gila, berbicara sendiri di depan cermin seolah berbicara dengan ibunya. Ia menyalahkan ibunya, menyalahkan Amy, namun berakhir menyalahkan diri sendiri dan melarikan diri. Inilah Dio yang sebenarnya. Ia merasa iri dan tak bisa diandalkan. Ia ingin semua orang mempercayainya dan mengandalkannya. Ia ingin menjadi putra yang baik, kakak yang baik, keturunan yang baik dan berhenti menjadi palsu. Ia berusaha menenggak pil penenang itu dengan susah payah karena tangannya gemetaran. Setelah membereskan emosinya, Dio keluar dari kamar mandi dan tampil seperti dirinya yang biasanya. Setelah menutup pintu Dio berbalik dan betapa terkejutnya ia melihat seseorang berdiri tepat di belakangnya.
"Kakek."
"Kenapa kau terkejut seperti itu? Seolah melihat hantu saja." Kakek tersenyum sembari berjalan dengan tongkatnya.
"Kau baik baik saja?"
"Eh? Oh tentu saja, apa ada yang salah?"
"Tidak. Kau sangat lama di kamar mandi. Syukurlah kalau tidak ada apa apa."
Kakek mengelus puncak kepala.
Amy datang dengan Alfa. Kakek ingin menghampiri mereka, Dio menggandengnya.
"Kakek istirahat saja," kata Amy.
"Kakekmu ini masih kuat. Tenang saja. Aku tidak menyangka kalian tumbuh cepat sekali."
"Ah ya, tadi apa yang kalian bicarakan di ruangan kakek?"
"Itu tidak terlalu penting."
"Benarkah. Aku malah jadi penasaran, sepertinya itu terdengar penting."
"Ini menyangkut masa depan keluarga Holan dan Ardana. Masalah putra-putraku dan cucu-cucunya."
"Itu terdengar membosankan." Amy tersenyum diikuti kakek. Mereka hanya saling melempar guyonan.
Sesaat sebelumnya, di ruangan kakek. Arvy dan Dio berdiri di depan meja, sedang kakek duduk di kursinya.
"Apa yang ingin kakek bicarakan?" tanya Arvy gamblang. Wajahnya malas.
"Apa terjadi sesuatu yang serius?" tanya Dio.
"Seperti biasa kau selalu tidak sabaran." kata Kakek pada Arvy. "Apa pekerjaan kalian baik baik saja? Atau ada masalah? Terutama kau Arvy, apa kau membuat masalah akhir akhir ini?"
"Apa?" Arvy memutar bola matanya. "Serius kakek tanya itu? Kita bahkan bukan anak smp atau sma lagi, Kek."
"Apa salahnya? Kakek hanya khawatir pada kita, Kak."
"Dengarkan Dio, betapa dewasanya dia dibanding kau."
"Ya sudah bicara saja dengan Dio," sahut Arvy dengan setengah hati. Ia berbalik dan hendak melangkah pergi. Namun sebelum itu kakek mengatakan sesuatu yang membuatnya tak bisa meninggalkan ruangan.
"Bukankah kau ingin mendengar tentang Gita?"
Skakmat.
Arvy kembali ke tempatnya. Tak ada pilihan lain selain mendengarkan kakeknya.
"Gita?" Dio bertanya tanya.
"Ah dia itu pacarnya si Arvy," jawab kakek.
"Kakek!" Arvy menegurnya sebelum kakek mengatakan hal lebih banyak lagi tentang Gita.
"Kak Arvy punya pacar?" Dio tertawa kecil. "Aku tidak percaya. Kenapa kau tidak mengenalkannya pada kami?"
Arvy menoleh dan menatap keponakannya itu dengan sengit. Seolah memberi tanda untuk diam saja tidak usah ikut campur.
"Apa kau dan adikmu tidak ada masalah belakangan ini? Aku mendengar terakhir kali kalian menangkap para koruptor di sebuah perusahaan besar. Benarkah itu?"
"Iya, Kek. Tapi itu sudah lama sekali. Sebelum aku koma."
"Kalau kau dan adikmu dan juga si Nak Alfa kesusahan hubungi saja kakek. Ayahmu mungkin sangat sibuk."
"Baik, Kek. Terima kasih atas perhatiannya." Dio tersenyum hangat, terdengar seperti cucu yang baik dan patuh pada orang tua.
Arvy meliriknya dengan wajah datar. "Senyum ini…apakah kamuflasenya? Apa itu palsu? Jika benar, itu pasti sangat memuakkan, apalagi melakukannya bertahun tahun."
Arvy mengetahuinya sejak Dio makan bersama di apartemennya saat itu. Dio meminjam kamar mandi dan tak sengaja menjatuhkan salah satu pil di bawah tempat wastafel untuk mencuci tangan, Dio sendiri tak menyadarinya. Saat hendak mandi, Arvy tak sengaja menemukannya dan bingung itu apa. Ia pun teringat bahwa Dio yang terakhir menggunakannya. Ia pun menyimpannya dan menanyakan obat apa itu ke apotek. Dan mengetahui bahwa itu adalah obat penenang, basa diminum saat tidur dan insomnia. Dan kandungan obat tidurnya lumayan tinggi, petugas apotek menjelaskan bahwa itu dikonsumsi untuk penderita insomnia berat dan depresi berat.
Saat menatapnya, Dio tiba tiba menoleh ke arahnya dan juga tersenyum dengan cara yang sama.
"Kenapa kau tersenyum, sialan?" Arvy memalingkan wajahnya.
"Padahal dia murni sekali auranya. Apa benar Dio mengonsumsi obat semacam itu?